Daden Geni

Daden Geni

Tungku api dari kayu, rangkaian reranting dan kayu-kayu kecil...

Operasional Jobolarangan! Wah banyak hal mengesankan yang terjadi di tempat ini tahun lalu, FUD 2012. Dan operasional kali ini pun tim gunung main-main ke tempat ini lagi. Jobolarangan tepatnya ada di daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, Tlogo Dlingo. Masih naik lagi dari Tawangmangu. Selatan persis Gunung Lawu, baik dari Cemara Sewu maupun Cemara Kandang.

Survival. Di Palapsi kami berlatih untuk bertahan hidup dengan logistik dan perlengkapan seadanya ketika di gunung. Konsep survival Palapsi adalah kesalahan managerial, maksudnya ketika pendakian yang direncanakan 3 hari (misalnya) karena satu dan lain hal jadi molor lebih dari 4 hari. Tidak seperti pecinta alam lain yang benar-benar dilepas di alam rimba hampir tanpa perlengkapan. Makanya kami meskipun survival, tapi kami masih bawa peralatan lengkap seperti tas karier, pakaian ganti, maupun ponco.

Daden geni. Ya, untuk memasak kami tidak menggunakan kompor. Tidak pula menggunakan bebatuan yang saling dipukulkan ataupun kayu yang digesek-gesekkan. Kami menggunakan lilin dan korek api. Agak modern dikit, hasil dari pemikiran para pendahulu. Realistis dan praktis. Akhirnya dengan lilin dan korek api itulah yang membantu kami untuk daden geniDaden geni tu istilah dalam Bahasa Jawa, ya mungkin terjemahan dari "menyalakan api".

Anganku pun melayang pergi menuju masa lalu yang tak mampu kudekap lagi. Saat itu, ketika simbah masih sugeng semua, aku sering menunggui tungku masak ketika beliau sedang daden geni. Melihat. Memperhatikan. Tak berani aku berkomunikasi dengan beliau. Maklum Bahasa Jawa saya tidak lancar.

Beliau mulai mengambil kayu-kayu kering yang telah disimpan di depan rumah, tempat yang teduh.  Tiga batang kayu 

to be continued yaaa

Lelaki Bergelang

Lelaki Bergelang
Dia adalah perempuan yang murah senyum dan selalu tampak bahagia. Dia adalah perempuan yang tegar dan kuat. Dia adalah perempuan yang enggan terbuka dan bersikeras untuk menyimpan semua yang dirasakannya sendiri.

Suatu saat ia memutuskan untuk menerima dan membuka dirinya pada lelaki itu. Ia masih mempertahankan sifat-sifatnya, namun ia merasa risih dengan aksesoris yang melekat di pergelangan tangan kiri lelaki itu. Hingga ia lontarkan sebuah pertanyaan yang nampaknya telah dipendam sekian lama.

"Mengapa engkau menggunakan gelang?" tanya Dia.
"Mengapa engkau bertanya demikian?" balas lelaki itu, yang memang selalu bertanya balik ketika ditanyai.
"Tidak, aku hanya risih ketika seorang lelaki mengenakan gelang sepertimu. Tapi aku hanya ingin sekadar bertanya saja."
"Hmm..," lelaki itu berpikir sebentar kemudian tersenyum.
"Mengapa kau tersenyum?"
"Sejatinya, ini bukan gelang. Ini adalah memento, pengingatku pada Yang Maha Kuasa. Tiap aku melangkah di ketinggian, tiap aku menggerakkan kedua tanganku, dan tiap aku memanggul bebanku, benda yang kau sebut sebagai gelang ini akan senantiasa mengingatkanku pada Yang Maha Kuasa. Aku mengenakan benda yang kau sebut sebagai gelang ini bukan karena aku suka, Dia. Tetapi lebih kepada pengingat bahwa masih banyak yang harus kulakukan di dunia dengan Tuhan sebagai pegangannya."

Duapuluh-an dan Tak Berguna part 1

Duapuluh-an dan Tak Berguna part 1
Satu hal yang lucu, atau lebih tepatnya ironis. Ketika itu, lebih dari satu tahun yang lalu, saya ingin menulis sebuah tulisan yang berjudul "20 years old and useless". Tulisan itu memuat kegiatan saya sehari-hari betapa tak bergunanya keseharian saya, betapa sia-sia kegiatan saya, dan betapa ruginya umur yang telah diberikan oleh-Nya pada saya. Wah kok kayak mendeskreditkan berkah yang diberikan Tuhan sih? Yap, karena saya baru sadar kalau saya belum menghasilkan karya yang berguna dan bermanfaat, bahkan untuk lingkup yang sangat kecil sekalipun. Saya menyesal, sungguh menyesal karena telah banyak menyia-nyiakan waktu.

Well, tapi tulisan itu masih belum jadi hingga saat ini. Tapi masih relevan, karena hampir tidak ada perubahan yang signifikan yang saya lakukan hingga saat ini. Stagnan, saat itu dan saat ini keseharian saya masih saja sama. Satu hal yang berubah. Judulnya.

"21 years old and useless"

Bahkan Sebuah Buku Tulis Pun Dapat Berkata Bijak

Bahkan Sebuah Buku Tulis Pun Dapat Berkata Bijak
Pernah suatu saat saya berjalan-jalan di sebuah toko alat tulis. Ketika itu saya masih berkutat dengan ospek fakultas dengan jadwal yang sangat padat, namun berjalan-jalan tanpa tujuan seperti ini adalah hal yang cukup menyenangkan bagi saya. Well, ada sih tujuan. Cari spidol, itu saja. Saya berjalan-jalan mengitari tumpukan barang yang menggunung di toko yang lumayan besar itu. Memperhatikan barang-barang yang dijual, memperhatikan alat tulis yang berjajar rapi, dan juga beberapa orang yang lalu lalang tenggelam dalam benaknya masing-masing. Udah ah, ujar saya pada diri sendiri kemudian memutuskan untuk berjalan ke luar. Hingga saya melihat sebuah buku tulis yang ditumpuk di dekat pintu keluar.

Sebuah quote. Quote yang bagus, entah siapa yang membuatnya. Menghujam pikiran. Sebuah quote tentang kepemimpinan. Saya jadi ingat selama jadi mahasiswa, terutama pada saat kegiatan non-akademik, saya adalah orang yang sulit diatur. Sangat sulit. Bahasa kerennya, merusak dinamika kelompok. Entah ogah-ogahan, entah rebel, entah pasif, bahkan bisa jadi pasif-agresif (semoga saja tidak ada yang menyadari). Akan tetapi jika memang sudah oke dan nyaman dengan atasan saya, saya akan menjadi anak yang penurut. Benar-benar penurut. Sedikit pencitraan mungkin ya, karena saya bukan orang yang mudah klop dengan suatu tim atau kelompok tertentu.

Sebuah quote yang masih terngiang hingga saat saya menghidupkan mesin sepeda motor. Saya tersenyum simpul. Benar juga, ternyata banyak hal yang telah saya perbuat dan berpotensi membuat orang lain kesulitan, kecewa, maupun terluka. Aih, memang susah ya jadi orang keras kepala. Sebuah quote itu hadir dalam hariku dan menginspirasi. Hingga hari ini. Bisa menjadi seperti itu adalah keadaan ideal bagiku. Super ideal. Meski sangat sulit kucapai saat ini. Meski  akan mencoba dan mengusahakannya. Karena tidak ada hal yang paten seputar kepemimpinan ini. Karena manusia hidup untuk belajar tentang segala hal dan tidak ada batasannya. Tahukah kamu, quote apa yang saya baca ketika itu?

"Leadership is the art of getting someone else to do something you want done because he wants to do it."
 - Dwight D. Eisenhower

"Lonceng kuil menggemakan betapa mudahnya segala sesuatu berubah.
Warna-warni bunga menegaskan kenyataan bahwa apapun yang berkembang dengan indah akan membusuk di kemudian hari.
Kebanggaan hanya sejenak bertahan, bagai mimpi di malam musim semi.
Dalam waktu singkat kedigdayaan akan surut, dan segalanya akan menjadi debu yang tertiup angin."
Eiji Yoshikawa
Teruslah mengejar karena takkan engkau dapatkan.
Berhentilah, maka ia akan datang.
Bisa saja sih, tapi usaha untuk mengejar tentu tidak sedikit.
Berusaha keras tanpa mengejar.
Berorientasi, bukan hanya obsesi.
Visi yang pasti.


Buka Bersama : Sifat Buruk

Buka Bersama : Sifat Buruk
"Sifat buruk dia yang ga kamu sukain apa, Nggra?"

Masih terngiang pertanyaan itu, di saat kita semua sedang buka bersama. Saya pun terdiam. Sesaat saja. Entah bagaimana saya akan menjawabnya. Well tanpa bermaksud sok bijak, tapi kalau kita fokus pada sifat buruk seseorang maka sifat itu malah akan tambah berkembang dan tambah besar. Saya pernah mengalaminya ketika sedang membicarakan sifat buruk orang lain, yang ada lawan bicara kita akan menambah khazanah pengetahuan seputar keburukan orang itu. Biasanya saya etel aja, tapi engga kali ini karena ia adalah salah satu sosok yang dekat dengan kehidupan saya.

Nyaman dengan seseorang berarti menerima semua sifat buruk dan baik dengan seutuhnya. Kalau memang sifatnya buruk, janganlah dijadikan bahan pembicaraan namun diperbaiki secara bertahap. Akan tetapi kalau masih dalam fase seperti saya ini, biarlah sifat itu sebagaimana biasanya saja toh sifat buruknya tidak tercela. Saya tidak ingin terlalu mengatur sifat seseorang, dalam artian orang yang dekat dengan kehidupan saya. Jika saya terlampau mengarahkannya, yang ada adalah saya nyaman dengan sosok imajiner yang ada di dalam benak saya. Bukan ia sebagaimana mestinya.

Menuliskan untuk menerima seseorang apa adanya itu mudah, namun merasakan dan menjalani sepenuh hati adalah dua hal yang susah.

Impian : Kata-kata Mutiara

Impian : Kata-kata Mutiara
Dulu ketika masih baru saja lulus dari SMA, saya berkeinginan untuk posting "kata-kata mutiara" dalam sosmed. Well entah artinya baik atau buruk, saya akhirnya engga melakukan hal tersebut. Saya sedikit mendapat kesimpulan mengapa orang-orang terkenal saja yang sering diquote kata-katanya. 

Semua berawal ketika salah seorang kawan saya "hobi" (mungkin) posting kata-kata mutiara di sosmed secara berlebihan. Berlebihan dalam hal ini maksudnya posting 5-10 (atau lebih?) quote yang sebagian merupakan "buatan"nya sendiri (karena ga ada sitasinya, haha). Intensitas postingnya dalam seminggu juga lumayan sering. Semua aspek ia bahas mulai dari pendidikan, negara, prinsip, kehidupan sosial, hingga cinta. Saya cukup lelah. Bukan kenapa-kenapa, sih. Hanya saja ia sama seperti saya (setahu saya). Berkutat dengan kehidupan pribadi yang individualis. Berkawan hanya dengan gadget dan laptop. Sekarang ia ngublek-ublek masalah prinsip, sikap ideal, dan kondisi utopis yang berkaitan dengan orang lain?

Aih tapi bukankah kita gaboleh jugde from its cover? Entah ya siapa tahu ada orang yang merasa terbantu dengan hal itu. Atau dengan kegiatan itu, ia mendapat kemudahan dalam hal-hal lainnya. Kini saya mengerti mengapa kata-kata seorang yang terkenal lebih didengar daripada orang seperti saya. Kompetensi dan reliability. Jika saya posting kata-kata mutiara yang lebay dengan intensitas berlebih apakah kamu engga jengah? Urus dirimu sendiri benerin dulu tuh kelakuanmu, mungkin kamu bakal berpikiran kayak gitu.

Kalaupun saya melakukannya, akan saya pastikan bahwa itu untuk konsumsi pribadi. Bukan memaksamu untuk melahapnya kemudian membenarkannya.

Mulai dari sendiri dulu saya perbaiki. Kemudian meluas, meluas, dan meluas. Saya ingin kelak kata-kata saya diquote oleh orang lain, dan orang yang membacanya tersenyum bahagia atau bahkan tercerahkan harinya. Tulus. Haha impian yang konyol kan?

Selama Vakum

Selama Vakum
Well sudah berhari-hari saya off dari kehidupan ngeblog di sini. Kegiatan saya pun juga cuma tidur-tiduran dan ngegame, hampir engga ke luar kamar. Ngapain? Sudah 4 semester saya tidak merasakan "kebebasan" ini. Hidup rutin, jadwal padat, tugas menumpuk, hingga pembagian waktu yang berantakan membuat saya letih. Belum lagi sudah ada tiga agenda yang menanti di semester 5 dan 6. Tapi agaknya berbeda dengan yang sudah lalu. Kini saya yang "memegang" kendali, bukan menjadi "objek" yang dikendalikan.

Rebel? Bukan. Cuma merasa cukup jengah dengan kebiasaan buruk saya. Mengatakan "TIDAK". Satu hal kecil dan nampaknya simpel, namun tak kuasa saya lakukan selama 4 semester terakhir. Dalam sudut pandang saya, hal ini bukan hal yang rebelish. Akan tetapi bagi orang lain? Terserah saja, itu hak mereka untuk berpendapat. Tapi mereka tidak berhak mengatur jika saya tidak sependapat, ini bukan hak mereka.

Yah jadi selama sekian minggu atau bahkan beberapa bulan saya berpikir, "Untuk apa saya menulis blog?" Agaknya tujuan awal saya membuat blog sudah terlupakan. Hampir setiap hari blog milik orang lain saya kunjungi dan mereka memiliki satu tujuan yang jelas. Bermanfaat. Entah bagi dirinya sendiri atau orang lain. Bisa jadi berupa review film, cerita seputar backpacking, konten lucu, dan macam-macam lah. Belum lagi media lain yang tak kalah menarik perhatian mulai dari instagram, path, twitter, banyak deh pokoknya.

Dan saya? Hmph, tulisan tak bermutu bagi orang lain dan tak jarang "memaksa" orang-orang salah satunya kamu untuk membaca tulisan saya ini. Di lain pihak, saya memang ingin mempublikasikan cerita yang berkaitan dengan perjalanan saya. Tapi sebuah "perjalanan" itu telah berakhir, hampir berakhir tepatnya. Entah pergi dari dunia itu atau hanya rehat untuk sementara. Entah. Satu hal yang pasti, tulisan saya kelak tak akan membahas hal tersebut sebanyak dahulu. Hanya sesekali saja. Mungkin.

Anyway buat kamu yang masih membaca sampai di sini, saya ucapkan terima kasih. Lakukanlah hal yang penting dan jangan membaca blog saya di saat sedang sibuk, karena tak ada manfaatnya bagimu. Haha. Sungguh ingin membuat tulisan yang bermanfaat, tapi saya agaknya belum mampu. Well saya akan tetap menulis, curhat, dan nyampah di blog ini kok. Tapi tenang saja, yang akan saya publikasikan hanya yang berkaitan dengan perjalanan saya saja. Selebihnya tidak. Konsumsi pribadi.

Konon ada seorang jenius yang mengatakan, "Hidup ini bagaikan sepeda. Untuk membuatnya seimbang, kamu harus terus berjalan." Yap tentu saja tidak salah, tapi saya akan sedikit menambahkan. Bahwa untuk membuatnya seimbang, tak selamanya dengan berjalan. Bisa juga dengan berhenti. Sepeda yang terus menerus berjalan tanpa berhenti untuk diservis juga tak berarti baik kan?

Ah saya ingat, saya dulu membuat blog untuk menuliskan segala random thoughts yang melintas di kepala.
Menulis itu menyenangkan.
Membaca tulisan juga menyenangkan.
Menulis sesuatu dan dibaca orang lain menyenangkan.
Menulis hal yang membuat pembaca bingung itu menyenangkan.
Menulis hal yang ambigu sehingga pembaca berfantasi sesuai persepsinya sendiri juga menyenangkan.
Terkadang tulisan yang ada hanya pencitraan dan kebenaran tak tertuliskan, namun bisa juga sebaliknya.
Pencitraan atau kebenaran pun diputuskan berdasar subjektivitas seseorang dalam membaca tulisan.
Entah apa yang akan dikata orang, aku menulis hanya untuk bersenang-senang saja. Itu sudah cukup.
"Kesibukan bukan alasan buat berhenti nulis," kataku pada suatu waktu.
Nyatanya, di tengah padatnya persiapan ospek ini aku keteteran. Tidak ada satu tulisan pun yang muncul ke permukaan. Jangankan menulis, untuk hal-hal sepele saja kadang aku abaikan. Ahh, kapan aku bisa hidup selow lagi seperti awal kuliah dulu?
Tiga hal yang selalu dibicarakan, proses proses dan proses. Kalau ada shorcut? Ya kenapa tidak. Meskipun ga sreg, tetapi tergantung tujuan awal saja. Komitmen.

Pergi mengasingkan diri di haluan kanan..
Romance Dawn, entah apapun itu artinya tetapi ia mampu menginspirasi dan membuat hidup saya lebih bersemangat. Impian takkan pernah hilang. Hanya manusianya saja yang tetap mempertahankannya atau malah mengacuhkannya. Back to the real world!
"Kamu bangga simulasi mini ekspedisi cuma di gunung yang sedikit lebih tinggi dari Gunung Merapi?"
"Kamu sendiri yang mengajarkanku value dan pemaknaan, kenapa aku harus menjawab? Kamu lebih tau jawabannya.."

Little Conversation

Little Conversation
"Perasaan dari kemarin kapan itu tulisanmu, pembicaraanmu, bahkan bacaanmu gunung melulu. Apa kamu engga bosen? Wong yang ngeliat aja bosen kok."
"Karena duniaku saat ini seputar gunung, ya gimana lagi."
"Maksudnya?"
"Ya saat ini aku fokusnya kegiatan di gunung gitu. Mumpung terakhir jadi harus diusahakan sebaik mungkin. Kalau nanti aku fokus ke hal selain gunung pasti tulisanku, pembicaraanku, dan bacaanku pun sudah bukan gunung lagi."

Pertanyaan Mendasar 1

Pertanyaan Mendasar 1
"Ngapain sih naik gunung? Wong cuma dapet capek, ngabisin duit, habis itu juga turun lagi."
"Kalau kata orang sih because it's there."
"Lah terus kalau kamu? Ngerasa bangga bisa muncakin gunung?"
"Yap sedikit banyak ngerasa gitu, karena Never Give Up."
"Maksudnya?"
"Kadang aku pribadi bilang "jangan menyerah, "pantang nyerah", atau "aku pasti bisa" tapi cuman berakhir jadi sebatas kata-kata doang. Aku ngerasa cukup bangga bisa muncakin gunung. Bukan karena prestigenya, tapi  bangga karena kata-kata yang kuucapkan sejalan dengan tindakan. Yang penting semangatnya, tindakannya, dan usahanya. Puncak adalah hasil dari semua itu. Semacam bonus."

...Words into Action...
Sungguh. Terlalu banyak hal yang bisa ditulis, namun terlalu sedikit waktu untuk menulis. Vakum demi akademisi, tetapi tetap meninggalkan jejak inspirasi untuk dieksekusi. Sampai jumpa. 

Perjalanan Argopuro : Pengamen Pertama

Perjalanan Argopuro : Pengamen Pertama
Kami, tim gunung FUD 2013, pun sampai di terminal Probolinggo. Terminal yang tidaklah besar kalau dibandingkan dengan Bungurasih ataupun Giwangan, tetapi cukup informatif dengan jadwal dan tarif yang tertera di papan elektronik yang dipajang di pintu masuk. Diawali dengan angkut-angkut barang di mobil (angkot carteran?), kami berjalan masuk mencari bus tujuan Surabaya. Dapat. Kami langsung naik. Saya pun mencoba untuk tidur.

Meskipun mata terpejam, saya tau kalau bus mulai berjalan. Ada orang yang melewati saya. Ada petikan dawai gitar. Untaian gitar pun mulai didengungkan. Saya perlahan-lahan membuka mata. Ia adalah seorang pria yang berumur 30-40 tahunan dengan badan yang kekar dan warna kulit sawo matang yang tampak legam terbakar matahari setiap harinya. Dengan celana jeans dan kaos polosnya, ia berdiri tegap di tengah bus sambil memeluk gitar hijaunya. Siap beraksi.

Saya kembali terpejam. Tipikal pengamen jalanan, tidak ada hal yang menarik untuk dilihat untuk saya. Ia pun bersalam sapa ala pengamen yang mungkin kami semua hafal gambaran besarnya. Terimakasih untuk sopir dan kondektur lah, menghibur penumpang lah, basa-basi lah, dan lain sebagainya. Usai. Ia bersiap melantunkan sebuah lagu.

Voila! Saya terkejut. Suaranya menggelegar ibarat memecah ombak, namun tetap pada pilihan nada yang tepat. Tidak fals, bahkan ada getarannya. Saya tidak ahli dalam bidang musik ataupun memahami musik. Nol sama sekali. Tapi yang satu ini bisa dibilang enak didengar. Kekuatannya ada pada suara, bukan musiknya karena ia cenderung memainkan gitar secara ritmis bukan melalui petikan melodis. Saya tercengang, masih dalam mode mata terpejam tentunya.

Saya perlahan membuka kelopak mata untuk kedua kalinya. Ia menghayati lagu yang ia bawakan dengan amat sangat. Siapa sangka lelaki yang terlihat cukup seram dengan tatonya ternyata pelantun lagu religi yang apik? Saya memang beberapa kali menyaksikan orang-orang berperawakan seram ataupun sangar membawakan lagu religi di bus namun mereka tidak sepenuhnya menghayati sehingga tidak ngefeel, kalau menggunakan istilah temen saya yang fokus dalam hal musik. Saya tersenyum. Dalam benak saya, lagu religi dinyanyikan oleh para pengamen jalanan untuk membuat penumpang iba dan tersentuh. Apakah saya iba? Apakah saya tersentuh dengan pengamen yang satu ini? Entah.

Satu lagu. Ya, hanya satu lagu yang ia bawakan. Saya mungkin agak kecewa, tapi yah begitulah. Ia sudah menghampiri penumpang satu per satu dan menyorongkan bungkus makanan sebagai wadah uang. Ia menghampiri orang-orang dengan tersenyum, mengucapkan terimakasih meskipun orang yang didatangi tersebut menolak untuk memberinya. Salut.

Ia sampai di baris paling belakang, seusai meminta semua penumpang termasuk saya. Bersiap turun melalui pintu yang ada di bus bagian belakang. Bus pun melambat. Ia turun ke jalan berbaur dengan hiruk pikuk jalanan.

Perjalanan Argopuro : Asongan Terakhir

Perjalanan Argopuro : Asongan Terakhir
Dan saat itu kami sedang dalam perjalanan pulang dari Surabaya menuju kota tercinta, Yogyakarta (atau Sleman untuk lebih tepatnya?). Perjalanan dari Argopuro sungguh melelahkan, namun juga mengesankan. Perjalanan paling konyol, kocak, dan penuh dengan air mata selama berlangsungnya FUD 2013 ini. Saya duduk di atas bus dengan kaki yang njarem di samping Afiq dan Enop yang mana keduanya sudah tertidur lelap, kecapaian nampaknya. Dua orang yang ada di sebelah saya itu unik. Keduanya hanya bangun ketika bus berhenti. Lebih tepatnya bangun ketika ada penjual makanan yang lewat. Saya yang duduk di paling pinggir pun hanya bisa memandangi mereka nyemil makanan dengan lahap. Bukan karena tidak ada uang. Uang ada, tapi di dalam tas karier. Tasnya ada di dalam bagasi bus. Dan di kantongku hanya ada uang 5 ribu rupiah.

Sampailah kami di Solo, kota yang membuat saya senang karena tidak lama lagi kami bisa segera sampai di Yogyakarta. Bus kami berhenti sebentar kemudian melaju kencang menembus senja. Saat itu ada seorang penjaja asongan yang naik ke atas bus. "Tahu, tahu, tahu asin, tahu asin," ujarnya sambil berjalan ke arah belakang bus. Saya memperhatikan dengan seksama. Nihil. Tidak ada orang yang tertarik untuk membeli dagangannya. Banyaknya penjaja serupa, suasana yang gelap, dan rasa lelah yang memuncak agaknya membuat para penumpang enggan untuk membeli cemilan. Penjaja asongan itu tertunduk lesu ketika berjalan ke arah depan. Dagangannya masih setumpuk padahal hari sudah hampir menjelang malam. Apa yang bisa ia harapkan. Kemudian duduklah ia di bangku baris kedua dari depan yang memang kosong, tepat di depan saya.

Kedua matanya terpejam, nampaknya menghayati perjalanan. Decit kursi. Setir yang diputar ke kanan dan ke kiri. Suara angin yang terbelah. Suara kehidupan. Lamunannya pun buyar ketika ada seorang penumpang yang duduk tepat di seberangnya memegang bahunya. Membeli dagangannya. Segeralah ia bangkit berdiri dan melayani pemecah keheningan yang memompa semangatnya itu. Kebetulan, Afiq dan Enop pun bangun. Tampak Afiq sedang mengutak-atik hpnya. Mengabari para penjemput, sepertinya. Ia kemudian melihat penjaja asongan, dan dengan sigap memesan cemilan tanpa berhenti mengetik pesan. Enop pun demikian, tahu asin 2 buah menjadi santapannya menjelang waktu Isya itu. Saya pun tak kuat menahan lapar yang menderu dinding lambung sehingga terpaksalah saya membeli cemilan dengan sisa-sisa uang yang ada.

Ibarat gelombang yang mengalir hingga ke belakang, penjaja asongan ini mulai laris dagangannya. Ia tampak bersemangat dengan mata berbinar melayani para penumpang hingga ke belakang. Kemudian ia kembali ke depan lagi, kali ini dengan ekspresi yang berbeda dengan kali pertama. Puas dan bersemangat. Dagangannya memang tidak habis, namun tinggal sedikit. Jauh lebih sedikit jika dibandingkan saat ia datang tadi. 

Sampai di daerah candi, ia berdiri. Hendak turun. Astaga, saya baru sadar akan satu hal. Kedua tangan penjaja asongan ini tidak normal struktur dan bentuknya. Saya hanya dapat terpana melihatnya. Antara kasihan, iba, dan salut bergolak menjadi satu. Ia pun membuka pintu depan bus dengan nampan dagangan di atas pundak kirinya. Sopir paham, ia memelankan laju bus dan penjaja asongan itu meloncat ke jalan raya. Telanjang kaki. Menghampiri dinginnya aspal. Menghampiri kerasnya terpaan angin. Menghampiri heningnya malam. Menghampiri cahaya lampu yang menjadikan remang-remang. 

Perjalanan Argopuro : Sang Suami

Perjalanan Argopuro : Sang Suami
Berawal dari perjalanan menuju basecamp Argopuro, saya melihat banyak fenomena yang berkesan. Kami, tim gunung Palapsi FUD 2013 (namanya panjang bener ya? -.-) berangkat ke Terminal Giwangan pada Rabu selepas Maghrib. Saya ketika itu masih kepikiran tugas asesmen seputar building rapport, jadi waktu yang lain sibuk nyari bus saya sibuk nyari orang buat diajak ngobrol sambil direkam.

Seusai "wawancara" saya bergegas ke parkiran bus tujuan Purwokerto. Kami hendak menumpang bus yang langsung ke Probolinggo. Nihil. Penjaja keliling bilang kalau jadwal paling sore jam 17.00. Kami ketinggalan. Tak putus asa, Febri dan Dhika mencari informasi untuk ke Probolinggo tanpa melewati Surabaya dulu. Rumornya, ada bus mengarah ke Banyuwangi yang melewati Probolinggo tapi baru saja meluncur. Never Give Up, kami ambil bus tujuan Solo untuk mengejar bus yang satu itu. Satu persatu tim mulai naik dan memposisikan diri. Saya, Afiq, dan Enop jadi satu. Febri dengan Dhika dan tas carriernya yang seperti roket di sebelah kiri. Dan juga Yandi Dyaning di depan saya.

Perjalanan dari Jogja ke Solo dengan bus kurang lebih selama 3 jam. Saya memasang slayer untuk menutup mata agar sesegera mungkin tertidur. Akan tetapi ekor mata saya menangkap sesuatu yang tak wajar. Ada seorang lelaki yang kira-kira berumur 60 tahun, terlihat dari rambut di bawah pecis putihnya yang semuanya beruban, kerut wajah di sana sini, dan juga perawakan yang tak lagi terlihat muda. Ia bersama seorang perempuan, yang kuduga adalah istrinya. Istrinya tak berbeda jauh dalam hal penampilan, dengan selembar jarik ia tutupi kepala dan memutuskan untuk terlelap. Satu hal yang baru saya sadari, sang suami berdiri di samping istrinya yang tertidur di bangku bus sedari tadi kita berangkat dari Giwangan.

Sesampainya kami di Solo, bus yang dimaksud telah lama berlalu. Terpaksalah kami menumpang bus yang telah kami naiki dari awal ini hingga ke Surabaya. Dhika dan Febri yang mencari-cari transport tampak lesu, kemudian keduanya berusaha beristirahat. Saya pun menyandarkan punggung dan berusaha untuk terlelap.

Saya tak jadi tidur, belum lebih tepatnya. Bukan karena sandaran yang tak nyaman, ini sudah cukup nyaman untuk kami yang lebih sering tidur beralaskan tanah dan kadang kerikil-kerikil kecil mengganggu posisi punggung kami. Jujur saya tertarik dengan sang suami yang sedari tadi berdiri di samping tempat duduk istrinya tersebut. Saya mengintip keadaannya. Sang istri tidur terlentang tapi tampak gelisah karena berguling ke kanan dan ke kiri tanda tak nyaman. Hingga akhirnya ia turun ke atas lantai bus dan bersandar, menjadikan tempat duduknya sebagai bantal. Kemudian ia berputar 180 derajat dan menaruh keningnya ke atas tempat duduk, berusaha untuk terlelap.

Batuk yang tiada henti melanda sang istri, sang suami pun hanya dapat memperhatikan sambil memijit kedua bahu sang istri dengan lembut. Sang istri masih di alas bus dan sang suami pun berjongkok di sebelahnya, berusaha meringankan beban sang istri dalam diam. Kondektur pun mendekat dan menanyakan keadaan sang istri yang sedari tadi mengeluarkan suara seperti orang mau muntah. Entah apa jawaban sang suami, saya sendiri berasumsi sang istri sedang terkena mabuk darat. Kondektur meminta sang istri untuk duduk di tempat duduk kemudian memintanya meletakkan perut di atas paha sehingga seperti posisi rukuk, agar mabuk daratnya segera mendingan. Sang istri hanya menurut saja. Sang suami pun kembali berdiri di samping tempat duduk sang istri.

"Pak mbok lenggah (pak, silahkan duduk saja)," ucap kondektur seraya menunjuk tempat duduk di samping sang istri.
"Ora usah, ben nggo bojoku (enggak perlu, biarkan untuk istriku)," balas sang suami.
"Lah niku mawon kosong tur saged dilenggahi kok, Pak (lah itu saja kosong dan bisa ditempati kok Pak)."
"Wegah (tidak mau)."
"Nggih pun, lenggah ten riki mawon (ya sudah, duduk di sini saja)," kondektur mengarahkan sang suami ke tempat duduk beberapa baris di belakang sang istri duduk.
"Ora, aku pengen neng sandinge bojoku. Ben aku ngadeg wae (tidak, saya ingin di samping istriku. aku berdiri saja)."
"Ampun ngeyel ta Pak, niki tasih dangu lho perjalananipun (jangan membantah Pak, ini perjalanannya masih lama)," ujar kondektur berusaha meyakinkan.
"Aku ki mbiyen ngadeg 6 jam numpak bis wes tau, kapan kae malah arep nganti 12 jam (saya dulu pernah naik bus dan berdiri selama 6 jam, kapan itu bahkan hampir berdiri selama 12 jam)."
"Nggih, ning bapak sampun mboten enem malih. Pun gek lenggah ta (Iya, tapi bapak tidak muda lagi sekarang. Sudah, segera duduk saja)."

Setelah perdebatan panjang, sang istri sepertinya terusik dan meminta sang suami untuk duduk di sebelahnya. Ia berujar bahwa dirinya sudah enakan, mungkin treatment yang diberikan oleh kondektur tepat sasaran. Sang suami akhirnya luluh juga, ia duduk di samping sang istri sambil sesekali bergumam. Tentu saja gumamannya tak berarti banyak, tenggelam di balik bisingnya suara kendaraan di malam hari. Sang istri pun membaringkan tubuhnya dan menjadikan paha sang suami sebagai bantal. Istirahat. Saya pun memasang slayer untuk menutup mata saya. Berusaha terlelap.

Tengah malam. Saya tak ingat dengan pasti jam berapa saat itu, yang jelas kami sudah sampai di daerah Surabaya. Pemandangan yang tak asing. Seusai melepas slayer dan memasukkannya ke dalam kantong saya menoleh ke belakang. Sang suami dan istrinya masih terlelap dengan kondisi yang tak jauh berbeda saat saya mulai memejamkan mata. Kami pun sampai di Terminal Bungurasih, para penumpang turun. Kami bertujuh tetap tinggal di atas bus, sesuai instruksi kondektur karena beliau akan mengantar kami ke pool bus ke arah Probolinggo.

Tim gunung Palapsi dengan nyawanya yang masih berusaha dikumpulkan, mengangkut tas carrier masing-masing dan segera pindah ke Bus Restu arah Jombang. Kami terhenti sebentar di pintu bus untuk nego harga bus. "Arep munggah bus we dirapatke, kaya DPR wae opo-opo dirapatke. Gek munggah! (Mau naik bus saja dirapatkan, seperti DPR saja apa-apa dirapatkan. Ayo cepat naik!)" ucap salah satu kondektur ketus. Kami pun menurut saja dan naik ke bus yang sudah penuh itu. Bingung. Bus benar-benar penuh, padahal kami full load alias barang bawaan penuh seabreg dengan tas yang sebesar kulkas. Akhirnya dengan perjuangan keras kami bisa duduk. Tas? Entahlah bagaimana nasibnya, kami pasrah saja. Dhika memangku tas di atas paha dan memeluknya. Afiq Yandi menaruh tas di paling belakang seperti perjalanan biasanya. Febri? Entahlah mungkin ia terselip di belakang. Tas Enop ia duduki di bawah, sedangkan saya duduk sambil memegang tas saya sendiri dan tas Dyaning yang tergeletak di tengah-tengah bus.

Tidak bisa tidur. Sama sekali. Saya stress tiap kali ada orang yang lewat, tas saya atau tas Dyaning pasti jatuh karena tertendang. Mana sebelah saya tampangnya sangat seram dan tidak bersahabat sama sekali, mungkin menganggap saya pengganggu. Apalagi musik dangdut koplo nonstop berdentum mengusik gendang telinga saya. Astagfirullah. Saya hanya bisa berdoa selama di bus itu.

Saya duduk di baris ketiga dari depan. Ternyata sang suami duduk lesehan di samping supir membelakangi arah jalan, tampak mengawasi lajur belakang. Saya pun menoleh. Ohh sang istri ada di belakang, pikir saya. Tampak sang istri sedang beristirahat sambil memangku barang bawaannya dan menjadikannya bantal. Saya kembali melihat ke sang suami, ia meminta rokok dari kondektur yang tak jauh darinya. Satu hembusan, dua hembusan. Dua hembusan pengusir lelah dan kantuk. Tampak keriputnya menandakan usianya yang tak lagi muda. Kedua matanya sesekali terpejam, namun cepat-cepat ia tersadar lagi ketika terkantuk-kantuk dan memperhatikan sang istri. Saya tidak tahu pasti berapa jam ia tidur malam ini, yang saya tahu mestinya ia kelelahan setelah perjalanan dari Jogja. Akan tetapi ia tidak menunjukkan tanda-tanda akan beristirahat, malah tetap terjaga dan pandangannya terfokus pada satu titik.

Menjelang Subuh tim gunung hampir sampai tujuan, Terminal Probolinggo. Kami bersiap-siap turun, sang suami tetap dalam posisi siaganya. Ketika ditawari untuk duduk di tempat duduk, ia menolak dan bersikeras di tempatnya duduk saat ini. Kami pun berpisah dengan sang suami. Sampai jumpa, entah siapapun Anda. Kami tidak tahu nama Anda dan asal Anda, namun terimakasih untuk pelajarannya.

Perjalanan Argopuro : Sopir dan Kondektur Langka

Perjalanan Argopuro : Sopir dan Kondektur Langka
Limbung. Setelah perjalanan 8 jam ke Surabaya dan 3 jam ke Probolinggo, kami turun di terminal dan untung dapat carteran angkot ke arah terminal lama Probolinggo. Trayek ke Bremi memang tidak tersedia di terminal baru. Hanya di terminal lama. Itu pun hanya satu atau dua bus saja. Kami sampai di Probolinggo kurang lebih pukul 05.30, untung saja ada seorang pengemudi angkot yang baik hati jadi kami sampai di terminal lama sebelum jam 06.00 pagi.

Ingatan saya yang tak cukup baik membuat kabur memori waktu itu. Yang jelas, kami dapat tumpangan ke Bremi dan bus mulai jalan tepat jam 06.00 atau 07.00 yang jelas on time tidak molor sedikit pun. Saat itu, di teras terminal lama hanya ada satu bus. Dan satu bus itulah yang akan membawa kami ke Bremi. Angkutan tersebut hanya ada dua kali dalam satu hari, pukul 06.00 atau 07.00 dan pada sore hari. Sedangkan kalau kita berada di Bremi, angkutan ini hanya ada pada 05.30 dan 16.00.

Langka bukan? Di Indonesia yang katanya subur makmur ini, transportasi umum dari Probolinggo ke Bremi hanya ada dua kali sehari. Yah mungkin karena berbagai hal, transportasi umum menjadi kurang diminati. Bisa jadi salah satunya adalah maraknya alat kendaraan pribadi. Bisa jadi.

Kami beristirahat di baris paling belakang bus. Saya kebagian tempat di pojok belakang bersama tas-tas karier yang bertumpuk-tumpuk sehingga kaki saya bisa diselonjorkan. Ternyata penumpang bus ini tidaklah sesedikit bayangan saya. Hampir tiap tempat duduk terisi, tetapi tidak ada satu orang pun yang berdiri. Kondektur melangkah kesana kemari untuk menarik ongkos perjalanan.

Mungkin karena jumlah bus yang beroperasi terbatas, penumpang yang naik beberapa asyik berbincang dengan sang kondektur. Bahkan ada satu toko di pinggir jalan yang memberikan minuman secara cuma-cuma pada sopir dan kondektur bus. Ketika ada penumpang yang akan naik maupun turun membawa barang yang cukup banyak, si kondektur dengan sigap membantu mengangkutnya dengan tulus (kelihatannya sih tulus, hehe). Langka, memang.

Satu kejadian langka. Saat kami melaju di jalan antar kota (atau antar propinsi malah), serangkaian jerigen milik seorang penumpang jatuh ke jalan karena tertiup angin. Maklum, barang itu cuma digantungkan saja di bibir pintu bus jadi karena guncangan dan tiupan angin ia pun jatuh dan mengagetkan kami semua. Sopir pun menghentikan dan menepikan bus, sedangkan sang kondektur segera lari ke belakang untuk mengambil rangkaian jerigen itu meskipun jaraknya lumayan jauh, hampir 500 meter. Ketika kondektur masih berlari, si sopir melihat ke kaca spion memperhatikan kondisi jalanan. Ia pun memutuskan untuk menjalankan bus secara mundur agar kondektur tidak kesusahan dalam mencapai angkutan ini lagi.

Saya pribadi jarang naik angkutan umum di Jogja karena masih punya kendaraan pribadi. Akan tetapi jika dibandingkan dengan sopir dan kondektur di kota-kota besar, kedua orang ini langka. Terbatas dan tidak mudah ditemui.

Perjalanan Argopuro : Duo Pengamen

Perjalanan Argopuro : Duo Pengamen
Perjalanan Argopuro kemarin memang banyak banget inspirasi dan peristiwa penuh makna. Salah satunya waktu kita uda turun gunung dan turun dari basecamp pas Minggu 9 Juni 2013. Waktu itu saya sedang duduk dan sesekali menguap ketika di atas bus Probolinggo - Surabaya. Saya ga paham betul lagi ada dimana, maklum buta arah dan kemampuan spasial rendah. Saya yang barusan bangun tidur pun menengok ke kanan dan ke kiri. Bus berhenti. Entah di mana.

Seorang berambut panjang nan lembut naik ke bus. "Bismillahir rahman nir rahim," ucapnya. Rambutnya yang lurus dan mengkilap pun terurai layaknya iklan shampoo di televisi. Bukan, bukan wanita cantik kalau kamu mikirnya begitu. Seorang pengamen. Laki-laki. Badannya besar, bahkan sedikit lebih besar daripada saya. Ia mengenakan celana jeans, sandal japit, dan baju kuning bertuliskan "residivis" entah apa artinya. Ia duduk tak jauh di depan saya, hanya terpaut 3 baris kursi bus, dan mengenggam alat musik semacam jimbe, tapi dari paralon, tapi jumlahnya tiga buah, tapi modif ala pengamen. Susah mendefinisikannya, kayaknya ga bakat jadi observer nih saya hahaha.

Oke, dia duduk di depan saya sambil melihat-lihat ke arah sopir bus, tampaknya berharap bus segera berjalan. Gelisah. Ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya kemudian melongok ke depan dan ke samping. Tak lama kemudian, sopir bus yang diharapkan datang pun masuk ke bus dan menyalakan mesin. Si rambut panjang segera memanggil rekannya yang daritadi menyetting dawai-dawai di alat musiknya.

Entah alat musik macam apa lagi itu. Bentuknya semacam gitar, tapi panjang seperti bass. Bagian tengahnya seperti kencrung, namun dawainya enam. Entah apa namanya, yang jelas suaranya bagus dan merdu. "Selamat pagi," ucap keduanya dan memberikan salam-salam ala pengamen. Saya pun mengeluarkan jurus pura-pura tidur yang terbukti ampuh untuk menghalau pedagang asongan, pengemis, maupun pengamen. Tampaknya lagu pertama dimulai. Mata saya yang terpejam nikmat pun mulai mengikuti irama petikan dawai nan membuai. Si rambut panjang nampaknya menggebuk alat musiknya dengan semangat, ngebeatlah istilahnya.

Asik banget. Lumayanlah buat didengerin. Setara lah sama penampilan musik yang biasa diselenggarakan unit kegiatan mahasiswa. Bukan keterampilannya, bukan alatnya. Tapi semangatnya. Mata yang tertutup membayangkan kenikmatan di kampung halaman ini pun lambat laun terbuka hendak menyaksikan penampilan live music di perjalanan. Si pendawai dengan tangan kirinya memetik alat musik, tangan kanannya tak kalah lihai berpindah dari satu fret ke fret yang lain. Si rambut panjang seolah melayang ke dunia yang berbeda dengan kepala yang terangkat melihat ke langit-langit bus, mata terpejam, namun ketukan tetap sesuai irama. Ia menggunakan teknik menabuh yang keren, susah diungkapkan dengan tulisan, sambil mengiringi nyanyian si pendawai. Suara dua mungkin ya istilahnya. Pas dan enak didengarkan.

Saya terbius dengan permainan mereka yang penuh semangat, mengamati dan berusaha mengapresiasi penampilan pengamen dengan skill yang jauh di atas rata-rata. Bahkan kalau boleh jujur, saya hanya sayup-sayup mendengar liriknya karena kalah bersaing dengan musik bus yang menderu kencang dan saya jauh dari tempat mereka berdendang (maklum duduk hampir paling belakang). Kalau mendengar liriknya dengan jelas pun tampaknya saya tetap tidak paham, ga paham lagu apa. Biarlah alunan musik yang saya dengarkan dan saya nikmati. Bahasa bisa jadi lokal, tapi musik tetaplah universal.

Tiga lagu sudah mereka bawakan dengan waktu sekitar 20 menitan. Si rambut panjang pun keliling meminta kebaikan hati para penggemar dadakan, sedangkan si pendawai membawakan sebuah lagu tambahan untuk backsound. Keren. Tidak seperti pengamen kebanyakan yang hanya bermodal berani buat meminta, duo pengamen ini berani bertanggungjawab. Tanggung jawab menghibur para penumpang, meskipun mereka dibayar di akhir. Semangat dan keterampilan mereka itulah yang membuat saya kagum. Sebagai tambahan, mereka bisa dibilang ramah karena tersenyum dan tetap mengucapkan terimakasih meskipun tidak diberi. Caranya meminta pun halus, tidak memaksa dan respect. Mungkin hanya satu atau dua grup pengamen saja yang seperti ini selama perjalanan saya yang kurang lebih memakan waktu 14 jam (28 jam total pulang pergi).

Terimakasih duo pengamen. Mungkin musikmu, lagumu, stylemu, keramahanmu, dan kehadiranmu akan terlupa olehku. Semoga kita bertemu lagi kalau ada waktu di lain hari.

Sampai Jumpa Lagi, Kamarku

Sampai Jumpa Lagi, Kamarku
"Kamar kok berantakan banget ta, Dik?"

Siklus hidup semester genap selama dua tahun belakangan ini gak terlalu banyak berubah. Senin : kuliah, recovery ; Selasa : kuliah, jogging ; Rabu : kuliah, CT ; Kamis : kuliah, briefing, packing, Jum'at : kuliah, kadang malah uda berangkat operasional ; Sabtu-Minggu : operasional. Begitu terus. Hampir 3 bulan atau bahkan bisa lebih. Well, tiap minggu begitu terus ditambah tuntutan akademik yang terkadang ga punya belas kasihan ternyata melelahkan juga. Sepertinya ini yang terakhir. Besok uda gatau sempat atau engga buat ngluangin waktu kayak sekarang lagi. Membagi waktu untuk imbang di dua hal itu aja keteteran, apalagi untuk urusan lain.

Urusan lain itu salah satunya urusan kamar. Biasanya kamarku penuh dengan buku yang berserakan, lembar-lembar kertas yang tergeletak di sana sini, pakaian yang beberapa tertumpuk rapi (tapi ga pada tempatnya) dan sebagian pakaian yang lain tercecer di hampir semua area kamar. Belum lagi kalau kecapekan karena pulang operasional, perlengkapan operasional seperti tas, sleeping bag, matras, piring, sendok, dan tetek bengek lainnya pun turut menghiasi ruangan personalku itu. Bahkan untuk tidur nyaman pun susah karena begitu berantakan dan males banget buat ngeberesinnya.

Beberapa kali memang ibu menegur, tapi yah ga jauh beda dengan sebelumnya. Hingga FUD taun lalu, operasional Ungaran tepatnya. Saat itu aku merasakan yang namanya takut akan kematian. Yap, kematian. Sepele sih kejadiannya, tapi tetep aja hidup mati orang siapa sih yang tau. Setelah kejadian itu, banyak hal yang kupikirkan. Hal sepele yang mungkin engga penting bagi kalian.

Kamarku, salah satu hal yang kupikirkan. Andai aku nanti pergi jauh, lalu kamarku berantakan begitu hingga bisa bikin orang istigfar, apa engga kasian nanti yang ngeberesin. Uda susah karena kehilangan, masih harus ngerapiin lagi. Haha, pikiran yang random ya. Tapi begitulah. Engga tega aja membayangkannya.

Haha ini tulisan apa sih, ga jelas banget ya. Tapi memang setelah kejadian itu, aku selalu berusaha membuat kamarku serapi mungkin ketika aku akan berangkat operasional, kegiatan yang berisiko tinggi ini. Tiap akan berangkat aku beresin semua buku, kertas-kertas, dan pakaian yang berantakan. Demi diriku, demi keluargaku. Yap kita gatau kapan kita pergi menghadap-Nya. Mungkin 10 tahun lagi, tahun depan, bulan depan, minggu depan, atau bahkan seusai kita mengerjakan aktivitas yang sedang kita kerjakan saat ini. Tidak ada yang tau.

Yah mungkin ada alasan lain sih, kayak biar nanti waktu pulang operasional bisa langsung santai-santai dan lain sebagainya. Dan aku pun masih berharap hidup lama, banyak mimpi yang ingin kuraih dalam hidup ini. Lucu ya, seseorang baru merasa hidup ketika ia telah mengenal kepedihan, ketersiksaan, atau kematian. Memang bisa jadi hanya aku yang merasa demikian dan kamu merasa hal yang berbeda. Engga masalah karena perbedaan itu cukup menyenangkan juga.

Hmm, aku gatau mau nulis apa lagi nih terlalu melebar kemana-mana e. Yang jelas, tulisan ini ditulis sebelum keberangkatanku ke Argopuro. Doakan saja ya. Besok ketika aku pulang insyaAllah ada beberapa tulisan anyar mengenai perjalananku. Sampai jumpa keluargaku, sampai jumpa kamarku.
Sampai jumpa, Kamu :)
Ibarat orang makan.
Orang yang dipaksa makan dalam jumlah besar dengan waktu yang singkat dan harus habis, pasti akan merasa kesal, jengkel, hingga marah-marah karena melewati batas.
Akan tetapi, jumlah yang sama besar namun dengan waktu yang lebih panjang akan membuat orang yang memakannya dapat menikmati makanan tersebut. Dan membuatnya lebih bersyukur.

"Pilihan adalah yang terbaik di antara yang baik-baik. Kalau konteksnya begini, saya yakin dengan pilihan saya. Ibarat daripada naga yang terbang dengan menawan di atas langit tapi hanya bisa mejeng, mending jadi semut yang meskipun tidak dihiraukan dan  lingkupnya kecil tapi bisa action."
Gatau dapet inspirasi dari mana nih, bisa jadi cuma quotation yang aku lupa sumbernya, atau aku modif. Atau apalah, terserah saja.
Yang penting curcol.

Terkadang

Terkadang
Terkadang kita kesal karena suatu hal yang tidak terduga terjadi. Terkadang kita sebal karena tidak mendapatkan hal yang sesuai harapan.
Terkadang kita jengkel karena menunggu suatu hal yang tidak pasti.
Terkadang kita hanya tidak tahu.
Karena hidup ini pun juga hanya kadang-kadang.
Karena "Never Give Up!" bukan hanya sekedar rangkaian kata-kata pemanis saja. Bukan hanya soal operasional saja. Bukan hanya  seputar skill fisik saja. Tapi juga masalah perasaan.

Slamet, Akhirnya Menyentuh Jogja 12.05.2013

Slamet, Akhirnya Menyentuh Jogja 12.05.2013
Mataku yang sedari tadi terpejam pun akhirnya sedikit demi sedikit terbuka. Alunan shalawat yang menjadi dering alarm hp seseorang terus berdendang. Mengganggu tidur, kalau boleh jujur. Kutengok hp, masih jam 03.00 dini hari. Ngantuk.

Ternyata Afiq yang ada di sebelahku juga ikut terjaga, ia segera beranjak. Aku yang tak bergeming dari posisi tidur pun penasaran dengan apa yang akan ia lakukan kemudian mengambil posisi duduk. Ia berjongkok beberapa meter di depanku, meraih ketel dan menuang air ke dalam gelas.

"Aku siji, bro." Ia tak menjawab, hanya menyodorkan gelas berisikan air putih. Kutenggak sampai habis. Haus.
"Aku mau ngimpekke si Bagus munggah Turgo (Aku tadi mimpi si Bagus naik Turgo)," ucapku.
"Aku ngimpi Dyaning nangis-nangis merga wetenge lara njuk njaluk diterke bali. Neng Padang. Diterke Enop (Aku mimpi Dyaning menangis terus-menerus karena perutnya sakit lalu minta diantar pulang. Ke Padang. Diantar Enop)," balasnya.
Hmm, obrolan yang sangat berkualitas di pagi hari. Segera saja kami berdua mapan dan memejamkan mata.

Alarm yang sama mengalun menghentak kurang lebih dua jam kemudian. Aku segera bangun. Jengkel. Tapi daripada berlama-lama dongkol, aku segera beranjak ke kamar mandi. Urusan perut. Daripada harus mengantri siang nanti (karena kamar mandi hanya satu di basecamp). Lega, aku bergegas ke masjid yang tak jauh dari basecamp. Mengasingkan diri.

Setelah merasa cukup bertemu dengan-Nya pagi itu, aku pun beranjak keluar. Ada Enop yang sedang telponan entah dengan siapa, yang jelas dia 2 bulanan sama pacarnya. "Mas, sendalku ilang," ujarnya. Mataku melirik ke ujung kakinya. "Mely". Kasian, tadinya "Joger" sekarang berganti rupa.

Di dalam basecamp ada beberapa pendaki yang baru datang, anak-anak yang lain pada ngobrol-ngobrol sedangkan aku berkutat dengan perihal makan. Ya, kalau engga makan ya ga pulang-pulang. Akhirnya dengan sedikit nyusu-nyusu, makanan pun datang. Langsung saja saya ajak anak-anak buat makan. Cepat makan, cepat pulang.

Ketika makan, Febri kuminta untuk segera mencari angkutan pulang sambil menunggu tim yang lain pada mengantri di depan kamar mandi. Dapat. 175 sampai Terminal Purbalingga. Tak berselang lama, tim sudah pada kembali. Aku berpamitan dengan pemilik basecamp dan beberapa pendaki yang ada di sana kemudian langsung saja : cabut!

Kami naik pickup dengan stiker rajabalap.com di bagian belakangnya. Benar saja, perjalanan turun ke Purbalingga pun ia mbalap. Sampai Afiq (yang ada di paling belakang) terlempar-lempar. Ia jongkok, pegangan dan bersiap lompat (sambil jongkok) ketika melewati jalanan rusak, namun apa daya usahanya tampak sia-sia. Terlihat dari ekspresinya yang sangat ekspresif.

Sekitar 1 jam dari basecamp kami sampai di Terminal Purbalingga, jam 9 kurang lebih. Usai angkut mengangkut tas, kami masuk mencari tumpangan ke Yogyakarta. Satu kesalahan fatal. Tidak ada bus ekonomi tujuan Yogyakarta dari Terminal Purbalingga. TIDAK ADA. Yang ada hanya bus efisiensi, fyeaah. Akhirnya kami memutuskan untuk ke Terminal Purwokerto saja, mencari bus yang sudi mengantar ke kampung halaman.

Febri (yang emang pos transport) mencari bus ke Purwokerto, namun ternyata ia malah digeret sama kernet bus. Tas gunungnya disunggi si kernet dan langsung ditaruh di atap bus. Buat kamu yang lagi baca ini, pokoknya jangan sekali-sekali menyerahkan barangmu (apapun itu) ke orang asing. Fatal akibatnya. Sungguh. Si kernet emang kernet bus ke Purwokerto. Tapi tindak-tanduknya kok mencurigakan. Sungguh mencurigakan.

Aku tanya ke Febri kok ngambil bus yang ini dan menyampaikan asumsiku terhadap gelagat si kernet. Dia pasrah saja. Yaudahlah, gimana lagi. Aku pun ikut pasrah. Ternyata kuliah selama hampir 4 semester di Psikologi tidak sia-sia, asumsiku dan beberapa rekan yang lain tepat. Sangat tepat. Saat bus uda jalan, si kernet narikin ongkos. Febri langsung saja memberi 40ribu. Maklum saja, ongkos Purwokerto Purbalingga itu kisaran 6000. Paling mahal 7000 (uda termasuk tas gunung). Tapi si kernet minta 15000, per orang! Sontak saja aku emosi dan kami berdua berdebat dengan si kernet itu. Usai berdebat cukup panjang (aku uda males nanggepin jadi aku serahin Febri), kami membayar 10000 per orang. Tentu saja dengan berbagai pisuhan dan kutukan terlebih dahulu.

Ternyata oh ternyata, bukan hanya kami yang dikemplang (dikenai harga yang tidak wajar, umumnya jauh lebih mahal). Semua yang ada di bus itu pun kena. Wah, wah rejeki yang tidak barokah ini namanya. Parah. Aku yang sedari tadi getem-getem hanya bisa meminta maaf pada Tuhan dengan memainkan butiran gelang. Tapi ada dua orang yang menarik perhatianku. Dua mbak-mbak alay dengan jeans dan atasan yang tabrak warna serta corak bermacam-macam. Dengan rambut yang di cat warna emas dan helm berkualitas yang ditenteng, keduanya mengobrol dengan seru. Satu hal yang menggelitik, keduanya enggan terdengar ngapak dan menggunakan bahasa gaul. Kami yang sudah empat hari bergelut dengan ngapakers dan sudah biasa, jadi merasa asing mendengar keduanya berbicara. Tapi ya namanya logat bawaan, di dalam bahasa gaul yang mereka gunakan secara engga sadar logat ngapaknya muncul. Usaha yang keras.

Sampai juga kami di Terminal Purwokerto, saat itu pukul 09.45. Segera saja kami mencari bus. Dapat. Yah meskipun harus menunggu sekitar 45 menit sih, gapapa yang penting pulang. Kurang lebih 10.30 kami meluncur dari Purwokerto menuju Jogja. Ya, Yogyakarta.

Empat hari aku berpisah dengan Jogja, hal yang berat. Berpisah dengan orangtua, teman-teman, internet, komik, dan lain sebagainya ternyata berat juga. Aku yang sudah tidak sabar melihat suasana kota yang hangat menghabiskan waktu di bus dengan ngemil, baca koran, dan pastinya tidur. Memimpikan Jogja.

Jam 15.45 kami sampai di Terminal Giwangan, Yogyakarta! Yap kami tinggal menunggu jemputan dari senior Palapsi, Mas Indra, terus culat dilanjutkan eva dan berakhirlah operasional ini. Operasional Sluman Slumun Slamet yang sarat pengalaman baru telah mencapai bagian post during, hampir ending. Masing-masing dari tim gunung punya pengalaman menarik yang tentu beda satu sama lain. Bukan masalah besar bagiku, yang menjadi PO (pimpinan operasional) kali ini, karena pengalaman itu bisa dishare. Satu hal yang utama, akhirnya kami menyentuh Jogja!

Sepanjang Humaniora 04.10.11

Sepanjang Humaniora 04.10.11
Iseng iseng baca, ternyata ada tulisan-tulisan lawas. Yah mumpung lagi ga ada inspirasi nulis, mending dicopas aja. Haha.

Ufuk timur menyambutku di atas sampan
Cahaya terang menerjang menyilaukan mata
Helaian angin membelai menyejukkan jasad
Gemericik air bersenandung lembut, membuai
Terbayang di langit, senyummu yang kusuka
Kenangan itu takkan pernah karam tercelup
Perjalanan singkat yang indah bersama
Memori terburai dan kini mulai mengental
Sajak demi sajak terangkai untuk dirimu
Ku ingin merengkuhmu di bawah bintang yang mengerlip
Sungguh ku bahagia meski hanya ilusi
Kabut pekat datang menghampiri kami, dingin
Terik matahari yang sedari tadi menghitamkan kulit kami pun berganti peran dengan Sang Kabut
Asap hasil kerja kawah yang membumbung tinggi
Menambah pesonanya yang garang tetapi elegan, keras namun juga lembut
Di atas bebatuan berpasir yang labil kami berpijak
Ditambah pepohonan menghijau nun jauh di sana
Dunia yang asing

Area Selatan Merapi, Turgo, 05.05.2013
Pernahkah kamu melihat sesuatu yang indah dan garang pada saat yang bersamaan?
Yang membuat adrenalin aktif sehingga jantung berdegup kencang,
namun juga tenang akibat terbuai pesonanya.
Pernahkah?

Deles,  28.04.2013

Yang Sabar Yaa - Pesan Buat Kamu

Yang Sabar Yaa - Pesan Buat Kamu
Setelah kuingat-ingat, ternyata aku sudah tidak menulis selama hampir 2 minggu berturut-turut. Haha. Ya sudahlah, kemarin memang lagi banyak pikiran kok. Tapi kali ini sudah terlepas dari semuanya. Memang sudah bawaan ga suka diatur dan dikekang kali ya, jadi sering malas untuk melakukan hal yang ribet-ribet. Begitu megang hal yang ribet jadi gabisa mikir yang lain. Hedeh, urip kok digawe susah.

Oke, sebagai "pembalasan" mungkin aku akan ngepost beberapa tulisan yang satu dua di antaranya merupakan kewajibanku dalam pos dokumentasi saat ops gunung di FUD 2013. Tapi tidak menutup kemungkinan juga untuk menuliskan hal yang lain. Well buat kamu yang lagi baca tulisan ini, yah sabar ya karena mungkin aku akan "menyiksa"mu dengan berbagai tulisanku.

Boleh kan? Boleh kan?

Sebenarnya pertanyaan itu ga perlu, wong kamu bisa lari dari "siksaan" ini kok dengan tidak membaca sama sekali. Tapi kalo kamu emang suka di"siksa" dengan tulisanku yah itu kan pilihan yang uda kamu ambil.

Thanks, anyway.

Slamet, Sebuah Pemberangkatan 09.05.2013

Slamet, Sebuah Pemberangkatan 09.05.2013
Wuah, sudah pagi! Aku pun bergegas mandi dan mempersiapkan beberapa barang yang hendak kubawa hari ini. Gunung Slamet. Ya. Sebuah perjalanan yang gagal kulakukan karena ada suatu insiden yang tak mengenakkan tahun lalu, ketika FUD 2012 tepatnya. Kali ini harus bisa. Harus mampu! Gunung Slamet.

Sebenarnya tim tahun lalu, kecuali aku, sudah pada muncak semua. Mungkin karena itulah Afiq, Yandi, dan senior gunung lainnya lebih memilih Gunung Sumbing untuk dijadikan tempat latihan pada awalnya. Tetapi karena satu hal dan yang lain, akhirnya Gunung Slamet menjadi ajang pendakian dalam FUD 2013. Konsekuensinya, aku harus jadi PO (Project Officer) alias ketua pelaksana operasional. Fyeaah.

Seperti biasa sesuai ritme Palapsi, selalu ada persiapan berupa latihan fisik dan briefing mengenai ops kali ini. Dan ketika briefing, aku menginstruksikan untuk kumpul di sekret jam 07.00. Sekarang pukul 06.45, dan aku masih menunggu batere kamera agar segera penuh. Ayo penuh, ayo penuh, harapku sambil agak cemas. 06.55, sontak saja aku cabut kabel charger, berpamitan dengan keluarga, terus siap-siap berangkat. 

Aku hanya membawa tas selempang kecil yang berisikan bekal makanan untuk perjalanan. Tas carrier sudah berada di sekret, males ribet di hari keberangkatan. Ibu membawakan roti ater-ater (roti yang didapat dari hajatan), untuk perjalanan, ucap beliau. Segera saja aku memacu revo hitamku secepat mungkin (padahal kecepatan maksimalnya cuma 55-60 km/jam). Nasib tak dapat diubah, takdir tak dapat ditolak. Aku terlambat.

Aku datang dan sekret sudah ramai. Secara umum terbagi atas dua tim. Tim gunung dan tim pengantar. Tim gunung meminta tolong kepada orang-orang yang selo untuk mengantar kami ke terminal. Tidak enak hati kalau dipikir-pikir, kita minta tolong eh malah bikin nunggu. Untunglah ada kue dari Ibu, langsung saja aku suguhkan pada para pengantar biar mengobati sedikit rasa tidak nyaman ketika menunggu saya. Hehehe.

Checklist dan checking barang-barang, aku memutuskan untuk packing ulang agar bentuknya lebih padat dan cantik. Bawaan tim dengan harga diri yang tinggi kali ya, begitu bentuk tasnya ga cantik langsung packing ulang. Cuma Afiq yang kuat mental dihina karena tasnya kotak, benar-benar kotak sempurna. Setelah prosesi persiapan selesai, upacara pun dilangsungkan dengan menjelaskan perjalanan dan menyanyikan Hymne Palapsi. Seremoni yang sakral dilanjutkan dengan berpamitan. Saking seringnya melakukan prosesi ini, kami kadang gojek dengan mengucap "Tiya, tiya. Titiyaa. (Intinya: hati-hati yaa)".

Pos transport dengan cekatan membagi kami berpasang-pasang: tim gunung dan tim pengantar. Gerry dengan Febri, Wahyu-Enop, Dhika-Yandi, Brain-Afiq, Fauzi-Dyaning, dan aku berboncengan dengan Faris. Jerry dan Awang pun turut menyertai perjalanan kami menuju terminal. Hanif, Ghozi, dan Uki harus berlapang dada karena tidak kebagian kewajiban mengantar (entah lega atau kecewa).

Perjalanan berlangsung cukup lama karena sang leader memutuskan untuk mengambil jalan memutar lewat ringroad. Yah padahal bisa saja lewat jalur dalam, tapi ya sudahlah dinikmati saja. Aku mengajak Faris untuk bercengkrama sambil membunuh kebosanan. Entah gimana asal-usulnya, Brain dan Afiq menghilang dari pandangan. Hilang. Mungkin ditelan bumi, mungkin nyasar, mungkin. Usut punya usut, ternyata motor milik Brain bannya gembos. Mungkin keberatan beban kali ya. Atau doa Pak Haji yang satu ini kurang kuat untuk menahan ban dari serangan jalanan yang beringas. Bisa jadi.

Sesampainya di terminal, segera saja kami mengantri bus. Yah menunggu setengah jam deh. Tetapi alhamdulillah kami dapat transport sampai ke terminal Purwokerto. Di jalan kita hanya tidur-tiduran dan leyeh-leyeh saja. Sambil melihat kiri-kanan panorama alam yang begitu asing bagiku yang belum pernah melewati kawasan ini. Asing namun indah.

Lima setengah jam yang tak membosankan pun diakhiri dengan turunnya kami di terminal purwokerto. Segera saja kami mencari bus menuju ke daerah Bobotsari sebelum dirubung oleh para kenek bus yang sedang mencari rezeki. Dapat. Tas ditumpuk di belakang dan kami pun memposisikan diri senyaman mungkin di bus dengan sopir yang asoy abis, nyetirnya luar biasa bikin speechless. Ugal-ugalan tapi aman nan berseni. Asik banget. Enop yang notabene asing dengan bus macem beginian mukanya pucat pasi, berkebalikan dengan tim yang nampaknya menikmati.

Perjalanan kami dibumbui oleh tragedi jatuhnya rangkaian kursi dari mobil pick-up di depan kami. Untung saja hanya kursi lipat yang kecil, coba kalau rangkaian besi atau kayu-kayu. Jadi final destination deh ntar. Awalnya sebuah kursi melorot dari atas, kemudian satu demi satu pun jatuh dan banyak kursi yang mengikuti. Alhamdulillah ga ada korban kursi yang terlindas.

Pertigaan Serayu. Sekitar 60 menit dari awal perjalanan kami. Tas langsung kami turunkan dan bergegas mencari angkutan untuk ke basecamp sebelum habis. Dapat. Berhubung kami cuman berenam, tarif yang dikenakan pun cukup mahal. Dua puluh ribu per orang. Fyeaah. Tak apa-apa, yang penting sampai di basecamp.

Jalan yang ditempuh cukup ekstrim dengan tanjakan-tanjakan yang luar biasa mencekam (bagi saya). Tegakan-tegakan yang seperti dinding di depan mata sudah cukup untuk menggetarkan nyali. Pemandangan yang didominasi oleh area ladang seakan memanjakanku yang memang kangen dengan nuansa pedesaan. Satu hal lagi, garangnya Gunung Slamet. Ia tampak menjulang kokoh dan tegap seakan tak akan mampu dibuat bergeming. Adrenalinku terpacu. Hanya dengan melihatnya saja aku merasa degup jantungku semakin cepat. Wahai Gunung Slamet, bolehlah aku mengunjungimu kali ini.

Satu jam sudah saya kependeng (terhimpit) oleh tumpukan tas gunung di bagian belakang angkutan ini. Ia pun berhenti. Alhamdulillah. Sampai di basecamp. Kami menginap semalam dulu di basecamp milik Mas Didin sambil leyeh-leyeh dan santai-santai. 

Beberapa pendaki sempat bercengkrama dengan kami, menambah kenalan. Memang hampir selalu demikian. Ketika mendaki, minimal kita tahu dari mana asal pendaki lain. Kalau sempat dan mampu, perbincangan pun bisa berlanjut ke hal-hal lain seperti umur, pekerjaan, bahkan status percintaan. Akan tetapi tak lama kemudian ada rombongan dari Jakarta datang dalam skala besar. Mungkin 50an orang, pendakian massal nampaknya. Aku yang memang tidak terlalu suka dengan keramaian pun sedikit mangkel. Tapi apa daya, wong tempat umum kok. Akhirnya aku pun memutuskan untuk memejamkan mata, beristirahat untuk pendakian esok hari. Sampai jumpa lagi, dunia.


Karena bebas tak selamanya hanya berarti fisik    
Tetapi juga mental    
Bahkan lebih utama bebas secara mental    

(dari kanan) : Wahyu, Afiq, Yandi, Isti, Moni, Diyan, Hanif, Gerry, Anggra
Lembah Mandalawangi, Pangrango, 2012


Balerantheodora 20-21 April, FUD 2013

Balerantheodora 20-21 April, FUD 2013
Tempat operasional pertamaku, FUD 2012...

Entah gimana awal mulanya, judul ops ini macem begitu. Yah saya sebagai pengikut sih manut-manut aja. Konsep yang dibangun Dyaning sebagai PO mungkin ada hubungannya dengan pasangan hot yang sedang naik daun akhir-akhir ini. Saya tidak tahu.

Awangers, begitu sebutan kami di ops kali ini, memulai awal ops dengan jogging dan CT. Anehnya, di kedua hal itu kita ga ada yang jebol larinya alias masuk hitungan semua. Rekor baru buat saya yang hampir ga pernah ga jebol. Ahaha. Akan tetapi Yandi sebagai kadiv terlihat tidak puas karena ga ada yang jebol, alhasil naturta gedung K dipakai sekalian mengganti naturta GSP karena hujan yang turun tanpa kompromi. Saya pun jebol.

During day! Kali ini tim kami ketambahan satu personil baru, Erdiska. Yah sebagai orang yang baru ikut ops satu kali dia uda membaur dengan baik, sangat baik malah kalo saya bilang. Saya gabisa seperti itu. Di lain pihak, Afiq yang biasanya ops kali ini ijin gabisa ikut. Ulang tahun. Entah apa alasannya kenapa ga ikut. Family time kali ya.

Kumpul di kampus jam 7.15 begitu kata PO. Saya datang jam 7 tepat, maklum belum sempat packing perkap tim. Masukin ini, masukin itu. Set set set, selesai. Saya melihat ke jam dan uda 7.25. Belum ada yang datang kecuali saya. Tim gunung sendirian. Jangan-jangan uda pada berangkat semua ya? Terus saya ditinggal? Pikiran-pikiran negatif terus berkecamuk dalam benak saya. Maklum, uda dari dulu dibiasakan tepat waktu. Jadi semenit aja nunggu tu gabisa. Gabisa sama sekali, kalau tanpa alasan yang jelas. Biasanya mood langsung jelek dan semua orang bisa kena.

7.45, tim uda pada ngumpul. Akhirnya kita berangkat jam 8 lebih sedikit. Perjalanan kami melewati jalan hancur karena jalur itu didominasi oleh truk pasir yang notabene beratnya berton-ton. Yah, skill pembawa stang motor diuji di sini. Saya ga bakal bisa lulus. Untungnya mbonceng. Usai menghantam jalur tiada maaf tersebut, kami sampai di basecamp jam 10an. Pak Suro, ialah yang punya rumah. Baik dan welcome. Kadang malah membuat saya pekewuh kalo lagi main ke sini. 

Ops dimulai! Kami berjalan santai menuju titik pertama, dengan leader Febri dan Diska. Awalnya sih kita ngerjain Diska dengan nyasar-nyasarin dan engga memberi tau jalan naiknya. Tapi mungkin temen-temen pada iba, akhirnya disupport juga deh. Kami sempat melewati Kali Woro yang isinya pasir-pasir vulkanik dan jalur air. Sungguh lebar, sungguh besar. Mungkin selebar Jalan Humaniora, dikalikan dua atau malah tiga kali. Setelah menyebrang, kami naik dan langsung belajar untuk navigasi darat.

Firasat. Seperti ada bisikan, saya mendapat wangsit bahwa tak lama lagi hujan akan turun. Hujan deras. Makanya saya langsung minta leader buat bergegas ngejar titik. Sekitaran jam 11 kami sampai. Seusai menyelamati para leader, saya dan Dyaning langsung balik ke sebrangan Kali Woro. Kita berdua leader titik dua.

Benar saja, tepat sebelum menyebrang Kali Woro hujan turun ga tanggung-tanggung. Ibarat ditumpahkan dari langit tanpa ampun. Untung udah sampai sini. Ponco kami kenakan dan langsung saja menyebrang mumpung belum ada aliran lahar dingin. Hujan yang begitu derasnya membuat jarak pandang menjadi pendek. Tanpa terasa, Diska kecer dan tak tau ia ada di mana.

"Je, nungguin Diska apa tembus aja?" tanya saya ke Dyaning saat itu.
"Ya kita duluan aja."
Well tiap saat memang kita diminta untuk membuat keputusan, dan tiap keputusan pasti ada konsekuensinya. Tim kita bagi dua, saya berduet dengan Dyaning kejar target dan yang lain nunggu kedatangan Diska. Kami berdua berjalan by compass saja karena memang uda ada jalur yang jelas. Hujan tak henti-hentinya menerjang langkah berat kami. Rembesan air mulai mengalir di seluruh tubuh. Mungkin tempat yang kering hanya tas yang sedari tadi saya gendong.

Untunglah, jam 12.30an hujan mereda dan tak lama kemudian titik dua pun berhasil diraih meskipun dengan lepas karier karena jalur yang tidak memungkinkan. Waktunya kami snacking. Kali ini snacking disponsori oleh ibunda Dhika dengan arem-arem jumbo yang luar biasa nikmatnya. Hmmm.

Pernahkah Anda mendirikan ibadah di tempat yang "baru" bagi Anda? Mungkin itu pertanyaan pertama yang terpikir dalam benak Diska. Ini pertama kalinya ia shalat di ops gunung. Agak bingung, agak canggung. Untuk melepas kecanggungan, Dhika meminta sahabatnya ini untuk adzan. Kebiasaannya gitu, kata Dhika. Padahal semua itu murni keusilan dari anak yang satu ini. Entah polos atau gimana, Diska pun mau-mau aja. Saya sempet rekam sedikit kok, barangkali ada yang minat melihat personil baru yang bulliable ini.

Jam 14.00, kami mulai jalan lagi. Cukup cepat karena kami menuruni punggungan. Tim sempat terpencar karena pisau Febri yang ternyata ketinggalan di tempat snacking. Beruntung tidak lama kemudian kami saling bertemu. Perjalanan dilanjutkan menuju titik Enop dan Mas Hanif. Kali ini kami menyebrangi dua sungai. Ya, dua sungai. Hanya saja tidak selebar Kali Woro, makanya ga terlalu waswas. Bingung mau nulis apa di proses titik tiga ini karena lancar-lancar aja.

Camping sekitar jam 16.00, kami sempat bingung mau mendirikan tenda di mana karena dimana-mana ada ladang orang atau pohon yang baru ditanam. Akhirnya setelah perjuangan keras yang menguras tenaga, kami menemukan tempat lapang. Doming lancar-lancar aja, paling cuman pembagian tenda (tempat tidur) yang agak kontroversial. Diska engga dapet bagian (dikerjain juga sih) dan Dhika diusir dari Consina karena matrasnya yang luar biasa penuh dengan lumpur kering.

Masak, saya tinggal tiduran karena jatah saya besok pagi hari. Makanan tersaji, makan udah deh setelah ngobrol-ngobrol ga jelas (batu tenggelam) kami pun tidur untuk mempersiapkan tenaga untuk esok hari (ada beberapa cerita random sih..haha).

Alarm berdering, katanya. Karena saya memang ga ngeset alarm kalo engga lagi jadi PO. Disuruh bangun ya saya manut-manut aja. Saat itu jam 05.30, molor setengah jam, begitu kata PO. Tapi setelah crew masak bangun dianya tidur lagi. Yaelaah. Entah apes atau cerdas bagian pagi ada Dhika, Febri, Enop, dan saya. Kita tim masak malam hari ketika di Wanagama. Kita adalah experiman experiwoman yang suka membuat masakan jadi "aneh" karena serba "coba-coba". Yah meskipun ada yang gosong, kemanisan, lupa dikasi bumbu dan sebagainya, at least masakan kami bisa dinikmati kok :)

Persiapan jalan sempat diawali dengan kepanikan Enop yang kehilangan kompas. Ternyata hanya ketlingsut di dalam tasnya. Satu hal yang unik, kompas itu engga ada di tempat itu (katanya) tetapi ada di sana begitu Diska menyuruh Enop untuk mengecek bagian itu. Entah apa yang sebenarnya terjadi.

Titik empat, dipimpin oleh Dhika dan Yandi. Titik empat ini adalah titik Yandi tahun lalu yang paling ribet, paling rumit di antara temen-temen 2011 saat itu karena modal skill Yandi yang tinggi. Kami sempat salah punggungan, masuk di punggungan sempit yang mungkin mirip dengan "Jembatan Setan"nya Merbabu via Wekas. Malah kalau boleh saya bilang, jalur ini jauh lebih ngeri karena lebarnya mungkin hanya 2 tegel, kira-kira 60cm lah. Terus kanan kirinya jurang curam yang begitu dalam. Belum lagi tidak adanya "jalur" dan trek yang terus menanjak. Awalnya saya sih fine fine aja ya tetapi lama kelamaan punggungannya menyempit hingga jalur tersebut hanya sepanjang penggaris 30 cm saja, begitu ungkap Dhika yang berjalan paling depan seraya mengilustrasikan dengan kedua tangannya. "Nek arep akrobat apa sirkus yo ayo," ujarnya.

Kami kembali ke awal punggungan. Saya berlari. Kaki saya terlanjur tremor akibat jalur tadi jadi mending sekalian banter. Maklum, takut ketinggian. Di atas tadi, kita sempat orientasi medan dan menyimpulkan bahwa punggungan yang dimaksud ada di sebelah barat kami. Langsung saja begitu di start punggungan kami sasak saja meski ga ada jalur. Ternyata ada, cuman jalan agak jauh karena konturing (mengitari punggungan). Hedehh. Begitu merasa yakin inilah punggungan yang dimaksud kami trabas jalur, jalan terus.

Setahun yang lalu, FUD 2012, tim gunung juga pasang titik di punggungan ini. Jalur saat itu benar-benar rapat dan terjal. Semacam f**k yeah. Untung saat itu dibuka dengan sungguh-sungguh oleh Mas El dan Moni. Ditambah lagi para pengaspal macam saya, Wulan, Gaby, Mas Hanif dan Afiq (dengan tas gunung Mas El) serta trio sumatera 2009 (Wahyu, Gerry Deddy dengan karier Moni). Hasilnya bisa dipetik saat ini. Jalur bukaannya uda keliatan cuma perlu buka jalur seperlunya, kata Dhika. Meskipun demikian saya salut dengan skill buka jalur Dhika. The bacoker (sebutan untuk pembuka jalur).

Hari ini kami snacking tepat waktu. Yah molor sekian menit sih karena tadi pas jam snacking kami masih di area yang tertutup vegetasi, sehingga Mas Hanif dan saya menyarankan untuk naik lagi di tempat yang lapang dan terbuka. Snack yang ada hampir semuanya remuk, efek dari packingan tas saya yang padat. Akhirnya seksi konsum memutuskan untuk bebas beradab saja. Bebas biadab hasilnya.

Perjalanan pun dilanjutkan, masih dengan Dhika sebagai firstliner (pembuka jalur paling depan untuk "membuka" jalur) dan Yandi sebagai secondliner (pembuka jalur kedua untuk "merapikan" jalur). Febri, saya, dan Mas Hanif cukup jadi sweeper. Trek makin nanjak dan ga jelas karena tertutup rumput gajah. Sudah dekat ini, pikir saya. Benar saja, jam 13.35 kami sampai di titik empat. Yeah!

Kita berdelapan beristirahat untuk recover tenaga. Dhika, Febri, dan saya menjalankan tugas dokumentasi. Kami sempat membuat video untuk rekan tercinta, Afiq. Saya tanya Diska, ternyata dia kelelahan. Pusing, begitu keluhnya. Enop dengan kaki kesleonya pun selonjoran pasrah. Dyaning sebagai PO hanya tercenung saja di samping kekasihnya, kelelahan.

Waktu belum sempat mampir ke angka 14.00, kami turun untuk mengejar titik lima dekat basecamp. Diawali oleh Febri dan saya kemudian disusul Mas Hanif, kita bertiga bertugas sebagai leader. Jalur yang tadi cukup lama ditempuh, kami lalui dengan singkat. Ditambah bonus tari-tarian turun gunung tentunya. Jatuh kanan, jatuh kiri, oleng, ngglimpang, sampai njlungup. Beruntung kami baik-baik saja, engga ada yang cedera. Kita sempet istirahat di sabana (cuman mirip aja sih) sambil melihat panorama yang eksotis. Sungguh saya bersyukur dikaruniai mata yang masih bisa melihat indahnya alam, karena kamera-kamera yang kami bawa pun tak dapat mengabadikan momen secantik ini sebagaimana mata pemberian Tuhan.

Aneh, ketika saya nge-lead pada ops kali ini pasti ada aja yang kecer (ketinggalan). Kali ini Enop dan Dyaning. Bukan salah leader kalau saya bilang (agak defense sih) karena tugas utama leader adalah menentukan jalur dan nge-attack tempat camp (saat pendakian). Kalau ada yang kecer, itu masuk fungsi sweeper yang biasanya saya dan Mas Hanif berada pada posisi ini pada FUD 2013. Menjadi sweeper itu cuman butuh sabar aja sebenernya, untuk skill navigasi, baca peta, pilih jalur ya itu tambahan aja. Saya juga sedang berlatih untuk menjadi sweeper yang bisa diandalkan, karena memang tim FUD kali ini hampir semuanya bermental leader. Yah mau gak mau sih.

Tim yang sempet kecer itu akhirnya bertemu di titik perbatasan Jateng-DIY, sesuai kesepakatan yang kami buat saat di atas. Lanjut. Entah salah jalur atau gimana, kami malah sampai di Gardu Pandang Balerante. Ternyata kami masih terlalu Barat, potong kompas deh ke arah Timur. Apesnya, potong kompas ini sesekali melewati rumah warga yang biasa dijaga oleh satu dua anjing. Alhasil anjing sekompleks menggeram dan melolong karena kedatangan kami. Diska lari njrantal (lari terbirit-birit) karena ketakutan oleh anjing. Konyol.

Kami sampai di rumah Pak Suro. Disambut bak tamu kerajaan karena langsung dipersilakan masuk dan disuguh minum dan camilan. Saya sibuk packing ulang dan berganti pakaian, begitu juga dengan teman-teman yang lain. Hingga akhirnya setelah dipersilakan berkali-kali, kami pun masuk dengan wangi khas kami. Keringat. Saya masih kesulitan menggambarkan detail yang terjadi saat itu karena masih agak terharu. Sungguh Pak Suro dan keluarga sangat welcome dan baik pada kami. Kami tidak memberi apapun, sungguh tak ada satu hal pun yang kami berikan pada mereka. Tetapi semua makan-minum yang ada di rumah seperti dikeluarkan, disuguhkan untuk kami. Besok saya buat tulisan baru saja lah ya.

17.00, kami pulang. Jalur yang berbeda karena kapok dengan jalan rusak kemarin. Dhika dan saya yang satu motor sempat kecer, untung skill navigasi kami mumpuni meski gatau medan (bejo-bejoan sih). Akhirnya kami sampai di sekret Palapsi, alhamdulillah. Di akhir ops biasanya kami culat lalu dilanjutkan evaluasi. Cuman karena divisi lain pada culat dan lama, akhirnya kami eva dulu baru culat. Dyaning sudah mencak-mencak karena molor. Yah pengalaman yang seru.

Sampai jumpa lagi, Balerante...

Surat Balasan untuk Robin Wijaya

Surat Balasan untuk Robin Wijaya
Iseng nulis aja pas ada postingan di fb. Haha. Puisi yang diprosakan. Banyak dipakai oleh temen-temenku, tapi jarang aku coba. Ga pandai bersajak.

Selamat pagi wahai sang penulis surat,

Rasa? Entitas asing apakah itu? Sesuatu yang abstrak dan tidak kumengerti, nampaknya.

Pakaian terbaikku hanya kemeja flanel kotak-kotak lengan panjang yang melindungiku dari duri tajam dan teriknya siang.
Tak lupa dengan celana kargo panjang yang menghangatkanku ketika dingin menyerang.
Sepatu terbaikku adalah sepasang sepatu gunung yang melindungi kontur-kontur kakiku meskipun ia telah usang.
Dan seseorang itu..selalu terlintas dalam benak tiap langkah berat ini berusaha menggapai sang puncak.

Orang itu, ada. Tetapi ia tak butuh pakaian terbaik ataupun riasan terbaik untukku.
Rasa. Ya mungkin aku sedikit bisa memahami apa maksudmu di balik istilah itu.
Gejolak asa dalam jiwa.

Aku dengan dirinya, ibarat bunga edelweis yang menantikan pelukan hangat sinar mentari.
Sapaan yang membuatku menggeliat dari mimpi dan semangat untuk menjalani hari.
Dan jikalau bunga edelweis masih terlampau elegan untuk mengibaratkan diriku, biarlah aku menjadi semak-semak.
Semak-semak yang tak dihiraukan bahkan seringkali diinjak-injak oleh puluhan, ratusan bahkan ribuan pendaki.
Biarlah, karena aku masih bahagia untuk melihat sang surya meskipun terjerat bumi.

Robin,
Aku dan kamu tak saling mengenal ataupun bertatap muka.
Kita berdua memiliki dunia yang berbeda.
Akan tetapi ada satu yang menjembatani kita, rasa.

Dan biarlah aku duduk bersandar bersama tas ranselku.
Duduk di tengah sunyi malam di atas punggungan pegunungan.
Menikmati gelapnya langit, menikmati indahnya ufuk timur.
Menunggu datangnya pelukan hangat sang mentari.
Menunggu surat balasanmu yang selalu ku nanti.

Anclot, 19.04.2013

Amarah

Amarah
16.04.2013

Saya dihina sehina-hinanya oleh seseorang yang memang saya tidak sukai.
Saya marah, saya ingin mengamuk.
Tetapi hanya saya biarkan di pikiran saja.
Karena sejatinya tiap-tiap orang itu pasti menuju kesuksesan, maka tidak boleh saya dzalim padanya.
Saya tidak boleh marah.
Tidak.
Tetapi tidak ada kesempatan kedua.
Biarkan ia meledak sejadi-jadinya ketika hal yang sama terulang.

Kematian, Fenomena Pengubah Kehidupan

Kematian, Fenomena Pengubah Kehidupan
Minggu pagi yang cerah. Aku duduk duduk santai di teras sambil membaca koran, menikmati hidup. Perhatianku tertuju pada headline koran yang ditulis besar-besar "Sekian (ditulis dalam angka, ga hapal e..) orang tewas akibat peristiwa xxx (lupa juga)". Hmmm.

Tak jarang kita, aku pada khususnya, melihat berbagai berita yang hampir serupa. Di koran, di TV, di internet, seringkali kujumpai statement serupa. Gempa bumi di dekat reaktor nuklir Iran, 30 orang tewas. Puluhan orang meninggal akibat virus baru. Belasan anak terguling-guling akibat euforia naik odong-odong. Yang terakhir itu ga benar-benar terjadi sih.

Kematian seseorang dapat mengubah orang lain dengan drastis. Aku betul-betul kehilangan sosok kakek ketika beliau telah tiada. Saat itu aku, yang berusia 9-10 tahun atau kelas 4 SD, sedang bermain bola di pekarangan rumah simbah yang cukup luas. Jedug, jedug, jedarr. Aku bermain bola sendiri, menendang kemudian mengejar bola begitu seterusnya. Ternyata di saat yang sama beliau sedang mengalami sakaratul maut. Aku tidak tahu.

Hilang. Sungguh kosong. Aku ingat sekali, aku hampir selalu menghindar dari kakek ketika beliau mendekatiku untuk bercengkrama. Aku pasti menjauh. Pasti. Kecuali kalau ada orangtuaku. Aku tidak bisa bicara Bahasa Jawa yang halus, hanya bisa yang kasar. Hal ini membuatku minder dan merasa tak sopan untuk berbicara dengan beliau. Makanya kalau simbah mendekat dan tidak ada orangtuaku, aku menjauh. Beliau mendekat, aku menjauh. Hampir tidak berkomunikasi sama sekali.

Entah apa yang beliau rasakan saat itu. Bagaimana perasaanmu ketika kamu mendekati cucu yang sungguh ingin kau rengkuh tapi ia malah menjauh? Aku tak paham, karena belum pernah menjadi seorang kakek. Mungkin sakit. Mungkin sedih. Mungkin. Satu hal yang pasti, aku seorang cucu yang tak berguna.

Setelah kakek meninggal, aku hanya bisa melihat beliau terbaring kaku di peti mati. Beliau nampak tersenyum. Aku tidak. Aku menangis. Menyesal.

Sejak saat itu, aku berusaha keras agar dapat berbicara Bahasa Jawa yang halus. Bukan yang kasar. Sedikit demi sedikit aku belajar, hanya untuk memahaminya. Saat ini aku lumayan mampu untuk berbicara Bahasa Jawa halus, ya ga bisa banget-banget sih tapi lebih mending daripada saat itu. Tapi siapa yang ingin kuajak bicara? Keluarga? Pasti. Kakek? Ya, aku sungguh ingin bisa bercengkrama dengan beliau bahkan hingga saat ini pun aku masih berharap. Getun tiba mburi (penyesalan selalu datang terakhir). Beliau telah terlanjur tiada.

Entah ada hubungannya atau tidak, sejak saat itu pula aku enggan bermain bola. Banyak ajakan teman-teman untuk bermain sepakbola yang aku tolak. Bukan benci, hanya tidak ingin saja. Padahal aku senang bermain bola, meskipun gabisa. Tapi... Gatau ah, mungkin aku yang terlalu menghubung-hubungkannya.

Sebuah kematian dapat mengubah orang lain secara drastis. Sekarang jika puluhan orang tiada, bayangkan berapa orang yang merasa kehilangan. Berapa orang yang mau tidak mau mengubah rutinitas kehidupannya. Jangan bicara angka melulu. Kuantifikasi dapat mengakibatkan generalisasi. Apabila kita terlalu sering dicekoki dengan angka-angka kematian, kita menjadi terbiasa dengan berita tersebut. Meremehkan dinamika psikologis yang terjadi pada orang-orang yang kehilangan. 

At least, jangan sampai kita menyepelekan berita dengan angka kematian yang "hanya" satu digit. Ah yang mati cuman segini tha. Berita kecil untuk kita, sepele. Tapi bagi orang-orang hidup yang kehilangan, itu berita besar. Sangat besar. Terlampau besar. Kehidupan mau tidak mau berubah seiring munculnya kematian, pasti.

Harga sebuah kehidupan.

Budak dalam Badai

Budak dalam Badai
Seorang Maharaja pergi ke laut dan ketika itu badai pun tiba. Salah seorang hamba di perahu mulai berteriak-teriak dan meraung ketakutan, karena ia belum pernah naik perahu. Teriakannya begitu keras dan panjang sehingga semua orang di atas perahu itu mulai terganggu dan Maharaja bermaksud untuk membuang orang itu ke laut.

Akan tetapi, Penasihat Utama yang adalah seorang bijaksana berkata, "Jangan. Biarlah orang itu saya urusi. Saya kira saya dapat menyembuhkannya."

Maka ia menyuruh beberapa orang awak kapal untuk melemparkan orang itu ke laut. Ketika tercebur ke dalam laut hamba itu mulai berteriak dan memberontak ketakutan. Beberapa saat kemudian, sang bijak menyuruh agar hamba itu diangkat kembali ke kapal.

Sesudah berada di kapal, hamba itu terbaring tenang di suatu sudut. Ketika Maharaja menanyakan alasan kepada penasihatnya, dijawab, "Kita tidak pernah menyadari betapa kita beruntung sampai keadaan kita menjadi lebih buruk."

dikutip dari karya Anthony de Mello, "Doa Sang Katak"

First Ascend, Balerante FUD 2012

First Ascend, Balerante FUD 2012

Operasional pertamaku! Yeah, setelah diajak dan dibujuk oleh beberapa teman akhirnya aku luluh juga. Awalnya aku berpendirian teguh untuk menjauhi segala aktivitas kepecintaalaman, kulampiaskan dengan berkegiatan di kesenian. Tetapi saat itu bagian kesenian sedang dalam masa rehat, seusai penampilan teater "AA II UU". Aku yang uda terlanjur nyaman dengan ritme kegiatan akhirnya mencari hal lain, pendidikan lanjut Pecinta Alam Psikologi.

Ayo ikutan FUD, Nggra. Aku ingat betul bagaimana kakak tingkatku mengajak yang kemudian kutolak. Walaupun akhirnya aku ikut juga. Setelah roleplay dan pre operasional, akhirnya aku merasakan bagaimana kegiatan divisi gunung. Ya, Balerante adalah destinasi pertamaku!

Berawal dari kampus tercinta, kami upacara dulu bersama dengan divisi-divisi lainnya. Ritual sebelum berangkat operasional. Seperti woro-woro bahwa kami akan pergi. Seusai menceritakan detail masing-masing operasional, menyanyikan hymne Palapsi, dan menyatukan tangan untuk ber Never Give Up, tim Para Pencari Nikmat meluncur ke Utara. Aku dan Moni bertengger di atas Revo hitamku.

Sampai di basecamp, para kakak tingkat ngobrol-ngobrol dengan yang punya rumah. Aku menyibukkan diri dengan tas carrier (yang saat itu masih pinjam) memodifikasi packingan, namun apa daya bentuknya tetep mleok (bahasa kekinian letoy kali ya) dan jatuh-jatuh terus, gabisa berdiri. Oiya, saat itu kami beranggotakan El, Jerry, Hanif, Moni, Wahyu, Gerry, Wulan, Gaby, Afiq, Yandi, Isti, Deddy, dan aku sendiri.

Kalau diingat-ingat, sifat kami berempat saat itu (Afiq, Yandi, Isti, aku) berbeda sekali dengan saat sekarang. Afiq masih pendiam, sibuk dengan mie dan tas kariernya yang gabisa berdiri juga gabisa ditutup, aneh. Yandi yang sering sibuk sendiri dan dengan apes tas pinjeman dari toko persewaan alat runtuh, bagian cangklongannya putus. Isti yang Palapsi banget dan ngobrol kesana-kemari dengan semua kakak tingkat. Dan aku sendiri duduk diam dengan pendiamnya (sifat menetap hingga sekarang) mengutak-atik tas carrier. Kalau Wulan dan Gaby kayaknya ga terlalu banyak berubah, Wulan yang ramah ngobrol nimbrung dengan Isti dan Wahyu, sedangkan Gaby yang unik sibuk dengan kameranya mengabadikan momen-momen operasional pertama itu.

Jam 11an, kami pun pemanasan di teras rumah. Meskipun saat itu hari sedang panas-panasnya. Alhasil belum apa-apa tapi keringat sudah menyelip disana-sini. Tas Yandi sudah di rescue oleh Jerry yang nampaknya memang ahli menjahit. Kami berjalan. Aku mendapat amanah untuk mencari titik pertama. Ya, dalam operasional tiap-tiap orang mendapat tanggung jawab untuk mencari sebuah titik dalam peta. Aku giliran pertama. Padahal tidak seperti yang lain, aku benar-benar buta masalah peta, gunung, dan hutan. Bahkan jalur pendakian di mana pun aku tak tahu.

Aku pun bergegas ke rumah warga di daerah Balerante itu, bertanya ke mana arah untuk naik. Beliau berbaik hati dan menunjukkan jalan. Beberapa kakak tingkat tertawa. Masa bodoh lah. Walaupun cukup konyol juga karena jalannya uda ketok melok-melok (keliatan jelas). Aku menaiki trek yang masih landai. Sesekali kami berhenti untuk belajar orientasi medan. Aku yang saat itu dipandu Moni hanya bisa mengangguk-angguk tak paham ketika ia menjelaskan. Maklum, prosesorku gampang ngelag.

Aku pun berjalan, bahkan hampir berlari hanya karena ingin sesegera mungkin mendapatkan titik. Yang penting penderitaan ini segera berakhir, pikirku saat itu. Keringatku mengucur deras. Awalnya menetes dari dahi perlahan-lahan, kemudian merembes dari berbagai sudut bahkan lenganku pun basah oleh keringat. Saat kami berjalan, ada rombongan motorcross yang menaiki medan itu. Aih geberan motornya yang membahana, tak lupa meninggalkan jejak berupa asap berwarna putih. Jejak tersebut mengepung kami dan dengan perlahan menembus pertahanan tubuh sehingga dengan leluasa menelusup ke dalam tubuh kami. Sesak. Apes, meski sudah keren-keren dengan motor itu ada beberapa yang kepleset tak jauh dari tempat kami berdiri. Rasain tuh.

Sekitar pukul 13.00 kami sudah sampai di titikku. Kami harus mengecek yang meyakinkan kakak tingkat bahwa tempat ini benar sesuai dengan yang ada di peta. Yap, berhasil! Akhirnya siksaan tanggung jawab usai sudah. Kami snacking dulu. Ternyata tim gunung jarang sekali makan siang karena menghabiskan banyak waktu, ribet, dan mendinginkan tubuh yang telah beradaptasi.

Tak lama setelah itu, kami bergegas menuju titik dua, Isti dan Wahyu. Enaknya kalo uda dapet titik tu ya cuman ngikut dengan leader aja. Selow gitu lho. Aku tak ingat betul gimana Isti dapet titiknya karena kami nyasar mulu. Kurang lebih pukul 16.00 Isti sudah nemu titiknya berdua dengan Wahyu sedangkan Gaby, Yandi, dan aku malah bercengkrama di pinggir punggungan. Dirasa sudah sore, Moni sebagai PO pun memutuskan untuk mengakhiri pencarian titik hari itu dan kami pun mendirikan tenda tak jauh dari titik Isti.

Kami mendirikan 3 buah tenda yang ukurannya masing-masing (harusnya) 5 orang, 4 orang, dan 6 orang. Yah, jadi agak mepet-mepet karena ditambah tas carrier di dalamnya. Acara malam diisi dengan masak-masak dan bercengkrama. Ada maksud untuk membuat api unggun. Tapi karena takut api nanti melalap tidak hanya kayu bakar, dengan cekatan Afiq mematikan api yang baru dibuat itu. Dengan air minum. Dengan merk Nestle.

Air adalah komoditas langka di gunung, terutama gunung Pulau Jawa karena jarang ditemui sumber air di area tersebut. Salah satu perencanaan yang paling penting dalam pendakian adalah perencanaan air. Maka dari itu penggunaannya dihemat dan digunakan dengan sebagaimana mestinya. Bukan untuk mematikan api. Yah paling engga liat-liat merknya gitu lho -___-

Hari sudah malam, kami pun tidur.

Suara motor menderu-deru membangunkan kami dari lelapnya mimpi. Ternyata kami berkemah tepat di tepi "jalan raya" sehingga mau tidak mau kami menanggapi sapaan warga ketika ada yang melewati jalan itu. Seusai masak dan packing, kami pun berangkat lagi. Titik Yandi.

Titik Yandi cukup rumit karena berada di bentukan yang rapat. Kami sempat melewati sungai yang kering, naik ke punggungan satu, turun di punggungan yang lain, begitu seterusnya. Ketika sudah yakin bahwa punggungan yang dimaksud adalah yang kami pijak, dengan mantap kami melangkah. Mendaki.

Panjang. Perjalanan cukup melelahkan karena kontur yang terus menanjak dan belum ada jalurnya. Beberapa kali kami beristirahat untuk mengembalikan tenaga. Mau tidak mau, Mas El turun tangan membukakan jalur untuk kami semua. Imbasnya, tim belakang harus menggotong tas karier Mas El. Kabut perlahan turun. Aku dan beberapa anak baru tertinggal di belakang. Sunyi. Tidak ada satu pun dari kami yang punya kemampuan untuk mencari jalan pulang. Tim belakang pun nampaknya telah tertinggal jauh. Kami hanya bisa melangkah. Terus melangkah. Berdoa agar tim depan tetap berada di punggungan ini.

Kurang lebih pukul 14.30, akhirnya kami mendapatkan titik yang dimaksud. Alhamdulillah. Yandi memang punya skill yang tinggi, jauh jika dibandingkan denganku saat itu maupun saat ini. Kami beristirahat sejenak. Setelah tenaga terkumpul, kami turun punggungan dan bermaksud menuju titik Afiq dan Wulan. Kami mencoba secepat mungkin, sebelum matahari turun.

17.00, kami sampai di titik Afiq dan Wulan (nampaknya kalau tidak salah ingat). Karena hari sudah hampir gelap, titik Gaby pun dicancel dan kami bergegas menuju basecamp. Ritme jalan kami cukup cepat untuk mengejar tempat itu sebelum senja berakhir. Rintik hujan seakan tidak rela kami pergi. Ia menyelimuti kami dari waktu ke waktu pada saat perjalanan pulang ini. Entah karena stamina yang terkuras atau hujan yang menderu, Deddy dan Gaby terpisah dari rombongan kami di tim depan.

Kami berputar-putar mencari mereka. Tak ketemu. Kami kode dengan peluit. Tak ada jawaban. Memang tim belakang juga cukup jauh, jadi kami berharap agar mereka bertemu dengan tim belakang. Kami melanjutkan perjalanan pulang. Tiba di basecamp, rupanya belum ada tanda-tanda kehidupan dari mereka. Akhirnya Hanif, Gerry, dan aku kembali naik. Mencari.

Gerry dengan sepenuh tenaga naik dan berusaha membabat habis tempat-tempat yang bisa jadi kemungkinan untuk nyasar. Aku yang sudah kehabisan tenaga akhirnya mengusulkan ide untuk menelepon saja. Ia masih bersikeras, usulku ditolak. Tetapi karena alasan logis dan didukung Hanif, akhirnya kami berhenti untuk menelepon.

Satu demi satu kami kontak namun nihil, tak ada jawaban. Untungnya handphone Mas El aktif, dan mujurnya lagi dua orang itu uda ada satu rombongan dengan tim. Kami menarik nafas lega dan bergegas turun menuju basecamp. Tak lama kemudian, rombongan tim yang lain pun menyusul. Rupanya dua orang yang kami kira nyasar itu, memang nyasar beneran. Beruntung tim yang lain bertemu dengan mereka.

Lelah. Stamina terkuras. Seakan berperan sebagai dewa penyelamat, mas yang punya rumah pun menawarkan makanan untuk kami. Kontan saja kami terima dan dengan lahap kami menyantap makanan lezat yang dimasak menggunakan tungku. Kami makan bersama tim PPM yang saat itu didampingi oleh Diyan dan Wikan.

Aku kurang ingat jam berapa kami pulang, mungkin sekitaran jam 8 - jam 9, yang kuingat hanya gelapnya malam dan rasa kantuk yang terus menyerang. Hujan yang tadi sempat berhenti lama kemudian datang lagi, mengantarkan kepulangan kami. Kali ini jauh lebih deras. Di bawah hujan yang menderu, aku mengimpikan nikmatnya tempat tidur yang empuk dan minuman hangat.