Perjalanan Argopuro : Asongan Terakhir

Dan saat itu kami sedang dalam perjalanan pulang dari Surabaya menuju kota tercinta, Yogyakarta (atau Sleman untuk lebih tepatnya?). Perjalanan dari Argopuro sungguh melelahkan, namun juga mengesankan. Perjalanan paling konyol, kocak, dan penuh dengan air mata selama berlangsungnya FUD 2013 ini. Saya duduk di atas bus dengan kaki yang njarem di samping Afiq dan Enop yang mana keduanya sudah tertidur lelap, kecapaian nampaknya. Dua orang yang ada di sebelah saya itu unik. Keduanya hanya bangun ketika bus berhenti. Lebih tepatnya bangun ketika ada penjual makanan yang lewat. Saya yang duduk di paling pinggir pun hanya bisa memandangi mereka nyemil makanan dengan lahap. Bukan karena tidak ada uang. Uang ada, tapi di dalam tas karier. Tasnya ada di dalam bagasi bus. Dan di kantongku hanya ada uang 5 ribu rupiah.

Sampailah kami di Solo, kota yang membuat saya senang karena tidak lama lagi kami bisa segera sampai di Yogyakarta. Bus kami berhenti sebentar kemudian melaju kencang menembus senja. Saat itu ada seorang penjaja asongan yang naik ke atas bus. "Tahu, tahu, tahu asin, tahu asin," ujarnya sambil berjalan ke arah belakang bus. Saya memperhatikan dengan seksama. Nihil. Tidak ada orang yang tertarik untuk membeli dagangannya. Banyaknya penjaja serupa, suasana yang gelap, dan rasa lelah yang memuncak agaknya membuat para penumpang enggan untuk membeli cemilan. Penjaja asongan itu tertunduk lesu ketika berjalan ke arah depan. Dagangannya masih setumpuk padahal hari sudah hampir menjelang malam. Apa yang bisa ia harapkan. Kemudian duduklah ia di bangku baris kedua dari depan yang memang kosong, tepat di depan saya.

Kedua matanya terpejam, nampaknya menghayati perjalanan. Decit kursi. Setir yang diputar ke kanan dan ke kiri. Suara angin yang terbelah. Suara kehidupan. Lamunannya pun buyar ketika ada seorang penumpang yang duduk tepat di seberangnya memegang bahunya. Membeli dagangannya. Segeralah ia bangkit berdiri dan melayani pemecah keheningan yang memompa semangatnya itu. Kebetulan, Afiq dan Enop pun bangun. Tampak Afiq sedang mengutak-atik hpnya. Mengabari para penjemput, sepertinya. Ia kemudian melihat penjaja asongan, dan dengan sigap memesan cemilan tanpa berhenti mengetik pesan. Enop pun demikian, tahu asin 2 buah menjadi santapannya menjelang waktu Isya itu. Saya pun tak kuat menahan lapar yang menderu dinding lambung sehingga terpaksalah saya membeli cemilan dengan sisa-sisa uang yang ada.

Ibarat gelombang yang mengalir hingga ke belakang, penjaja asongan ini mulai laris dagangannya. Ia tampak bersemangat dengan mata berbinar melayani para penumpang hingga ke belakang. Kemudian ia kembali ke depan lagi, kali ini dengan ekspresi yang berbeda dengan kali pertama. Puas dan bersemangat. Dagangannya memang tidak habis, namun tinggal sedikit. Jauh lebih sedikit jika dibandingkan saat ia datang tadi. 

Sampai di daerah candi, ia berdiri. Hendak turun. Astaga, saya baru sadar akan satu hal. Kedua tangan penjaja asongan ini tidak normal struktur dan bentuknya. Saya hanya dapat terpana melihatnya. Antara kasihan, iba, dan salut bergolak menjadi satu. Ia pun membuka pintu depan bus dengan nampan dagangan di atas pundak kirinya. Sopir paham, ia memelankan laju bus dan penjaja asongan itu meloncat ke jalan raya. Telanjang kaki. Menghampiri dinginnya aspal. Menghampiri kerasnya terpaan angin. Menghampiri heningnya malam. Menghampiri cahaya lampu yang menjadikan remang-remang. 
Previous
Next Post »
0 Komentar

POST A COMMENT