Limbung. Setelah perjalanan 8 jam ke Surabaya dan 3 jam ke Probolinggo, kami turun di terminal dan untung dapat carteran angkot ke arah terminal lama Probolinggo. Trayek ke Bremi memang tidak tersedia di terminal baru. Hanya di terminal lama. Itu pun hanya satu atau dua bus saja. Kami sampai di Probolinggo kurang lebih pukul 05.30, untung saja ada seorang pengemudi angkot yang baik hati jadi kami sampai di terminal lama sebelum jam 06.00 pagi.
Ingatan saya yang tak cukup baik membuat kabur memori waktu itu. Yang jelas, kami dapat tumpangan ke Bremi dan bus mulai jalan tepat jam 06.00 atau 07.00 yang jelas on time tidak molor sedikit pun. Saat itu, di teras terminal lama hanya ada satu bus. Dan satu bus itulah yang akan membawa kami ke Bremi. Angkutan tersebut hanya ada dua kali dalam satu hari, pukul 06.00 atau 07.00 dan pada sore hari. Sedangkan kalau kita berada di Bremi, angkutan ini hanya ada pada 05.30 dan 16.00.
Langka bukan? Di Indonesia yang katanya subur makmur ini, transportasi umum dari Probolinggo ke Bremi hanya ada dua kali sehari. Yah mungkin karena berbagai hal, transportasi umum menjadi kurang diminati. Bisa jadi salah satunya adalah maraknya alat kendaraan pribadi. Bisa jadi.
Kami beristirahat di baris paling belakang bus. Saya kebagian tempat di pojok belakang bersama tas-tas karier yang bertumpuk-tumpuk sehingga kaki saya bisa diselonjorkan. Ternyata penumpang bus ini tidaklah sesedikit bayangan saya. Hampir tiap tempat duduk terisi, tetapi tidak ada satu orang pun yang berdiri. Kondektur melangkah kesana kemari untuk menarik ongkos perjalanan.
Mungkin karena jumlah bus yang beroperasi terbatas, penumpang yang naik beberapa asyik berbincang dengan sang kondektur. Bahkan ada satu toko di pinggir jalan yang memberikan minuman secara cuma-cuma pada sopir dan kondektur bus. Ketika ada penumpang yang akan naik maupun turun membawa barang yang cukup banyak, si kondektur dengan sigap membantu mengangkutnya dengan tulus (kelihatannya sih tulus, hehe). Langka, memang.
Satu kejadian langka. Saat kami melaju di jalan antar kota (atau antar propinsi malah), serangkaian jerigen milik seorang penumpang jatuh ke jalan karena tertiup angin. Maklum, barang itu cuma digantungkan saja di bibir pintu bus jadi karena guncangan dan tiupan angin ia pun jatuh dan mengagetkan kami semua. Sopir pun menghentikan dan menepikan bus, sedangkan sang kondektur segera lari ke belakang untuk mengambil rangkaian jerigen itu meskipun jaraknya lumayan jauh, hampir 500 meter. Ketika kondektur masih berlari, si sopir melihat ke kaca spion memperhatikan kondisi jalanan. Ia pun memutuskan untuk menjalankan bus secara mundur agar kondektur tidak kesusahan dalam mencapai angkutan ini lagi.
Saya pribadi jarang naik angkutan umum di Jogja karena masih punya kendaraan pribadi. Akan tetapi jika dibandingkan dengan sopir dan kondektur di kota-kota besar, kedua orang ini langka. Terbatas dan tidak mudah ditemui.
0 Komentar
POST A COMMENT