Minggu pagi yang cerah. Aku duduk duduk santai di teras sambil membaca koran, menikmati hidup. Perhatianku tertuju pada headline koran yang ditulis besar-besar "Sekian (ditulis dalam angka, ga hapal e..) orang tewas akibat peristiwa xxx (lupa juga)". Hmmm.
Tak jarang kita, aku pada khususnya, melihat berbagai berita yang hampir serupa. Di koran, di TV, di internet, seringkali kujumpai statement serupa. Gempa bumi di dekat reaktor nuklir Iran, 30 orang tewas. Puluhan orang meninggal akibat virus baru. Belasan anak terguling-guling akibat euforia naik odong-odong. Yang terakhir itu ga benar-benar terjadi sih.
Kematian seseorang dapat mengubah orang lain dengan drastis. Aku betul-betul kehilangan sosok kakek ketika beliau telah tiada. Saat itu aku, yang berusia 9-10 tahun atau kelas 4 SD, sedang bermain bola di pekarangan rumah simbah yang cukup luas. Jedug, jedug, jedarr. Aku bermain bola sendiri, menendang kemudian mengejar bola begitu seterusnya. Ternyata di saat yang sama beliau sedang mengalami sakaratul maut. Aku tidak tahu.
Hilang. Sungguh kosong. Aku ingat sekali, aku hampir selalu menghindar dari kakek ketika beliau mendekatiku untuk bercengkrama. Aku pasti menjauh. Pasti. Kecuali kalau ada orangtuaku. Aku tidak bisa bicara Bahasa Jawa yang halus, hanya bisa yang kasar. Hal ini membuatku minder dan merasa tak sopan untuk berbicara dengan beliau. Makanya kalau simbah mendekat dan tidak ada orangtuaku, aku menjauh. Beliau mendekat, aku menjauh. Hampir tidak berkomunikasi sama sekali.
Entah apa yang beliau rasakan saat itu. Bagaimana perasaanmu ketika kamu mendekati cucu yang sungguh ingin kau rengkuh tapi ia malah menjauh? Aku tak paham, karena belum pernah menjadi seorang kakek. Mungkin sakit. Mungkin sedih. Mungkin. Satu hal yang pasti, aku seorang cucu yang tak berguna.
Setelah kakek meninggal, aku hanya bisa melihat beliau terbaring kaku di peti mati. Beliau nampak tersenyum. Aku tidak. Aku menangis. Menyesal.
Sejak saat itu, aku berusaha keras agar dapat berbicara Bahasa Jawa yang halus. Bukan yang kasar. Sedikit demi sedikit aku belajar, hanya untuk memahaminya. Saat ini aku lumayan mampu untuk berbicara Bahasa Jawa halus, ya ga bisa banget-banget sih tapi lebih mending daripada saat itu. Tapi siapa yang ingin kuajak bicara? Keluarga? Pasti. Kakek? Ya, aku sungguh ingin bisa bercengkrama dengan beliau bahkan hingga saat ini pun aku masih berharap. Getun tiba mburi (penyesalan selalu datang terakhir). Beliau telah terlanjur tiada.
Entah ada hubungannya atau tidak, sejak saat itu pula aku enggan bermain bola. Banyak ajakan teman-teman untuk bermain sepakbola yang aku tolak. Bukan benci, hanya tidak ingin saja. Padahal aku senang bermain bola, meskipun gabisa. Tapi... Gatau ah, mungkin aku yang terlalu menghubung-hubungkannya.
Sebuah kematian dapat mengubah orang lain secara drastis. Sekarang jika puluhan orang tiada, bayangkan berapa orang yang merasa kehilangan. Berapa orang yang mau tidak mau mengubah rutinitas kehidupannya. Jangan bicara angka melulu. Kuantifikasi dapat mengakibatkan generalisasi. Apabila kita terlalu sering dicekoki dengan angka-angka kematian, kita menjadi terbiasa dengan berita tersebut. Meremehkan dinamika psikologis yang terjadi pada orang-orang yang kehilangan.
At least, jangan sampai kita menyepelekan berita dengan angka kematian yang "hanya" satu digit. Ah yang mati cuman segini tha. Berita kecil untuk kita, sepele. Tapi bagi orang-orang hidup yang kehilangan, itu berita besar. Sangat besar. Terlampau besar. Kehidupan mau tidak mau berubah seiring munculnya kematian, pasti.
Harga sebuah kehidupan.
0 Komentar
POST A COMMENT