Perjalanan Argopuro kemarin memang banyak banget inspirasi dan peristiwa penuh makna. Salah satunya waktu kita uda turun gunung dan turun dari basecamp pas Minggu 9 Juni 2013. Waktu itu saya sedang duduk dan sesekali menguap ketika di atas bus Probolinggo - Surabaya. Saya ga paham betul lagi ada dimana, maklum buta arah dan kemampuan spasial rendah. Saya yang barusan bangun tidur pun menengok ke kanan dan ke kiri. Bus berhenti. Entah di mana.
Seorang berambut panjang nan lembut naik ke bus. "Bismillahir rahman nir rahim," ucapnya. Rambutnya yang lurus dan mengkilap pun terurai layaknya iklan shampoo di televisi. Bukan, bukan wanita cantik kalau kamu mikirnya begitu. Seorang pengamen. Laki-laki. Badannya besar, bahkan sedikit lebih besar daripada saya. Ia mengenakan celana jeans, sandal japit, dan baju kuning bertuliskan "residivis" entah apa artinya. Ia duduk tak jauh di depan saya, hanya terpaut 3 baris kursi bus, dan mengenggam alat musik semacam jimbe, tapi dari paralon, tapi jumlahnya tiga buah, tapi modif ala pengamen. Susah mendefinisikannya, kayaknya ga bakat jadi observer nih saya hahaha.
Oke, dia duduk di depan saya sambil melihat-lihat ke arah sopir bus, tampaknya berharap bus segera berjalan. Gelisah. Ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya kemudian melongok ke depan dan ke samping. Tak lama kemudian, sopir bus yang diharapkan datang pun masuk ke bus dan menyalakan mesin. Si rambut panjang segera memanggil rekannya yang daritadi menyetting dawai-dawai di alat musiknya.
Entah alat musik macam apa lagi itu. Bentuknya semacam gitar, tapi panjang seperti bass. Bagian tengahnya seperti kencrung, namun dawainya enam. Entah apa namanya, yang jelas suaranya bagus dan merdu. "Selamat pagi," ucap keduanya dan memberikan salam-salam ala pengamen. Saya pun mengeluarkan jurus pura-pura tidur yang terbukti ampuh untuk menghalau pedagang asongan, pengemis, maupun pengamen. Tampaknya lagu pertama dimulai. Mata saya yang terpejam nikmat pun mulai mengikuti irama petikan dawai nan membuai. Si rambut panjang nampaknya menggebuk alat musiknya dengan semangat, ngebeatlah istilahnya.
Asik banget. Lumayanlah buat didengerin. Setara lah sama penampilan musik yang biasa diselenggarakan unit kegiatan mahasiswa. Bukan keterampilannya, bukan alatnya. Tapi semangatnya. Mata yang tertutup membayangkan kenikmatan di kampung halaman ini pun lambat laun terbuka hendak menyaksikan penampilan live music di perjalanan. Si pendawai dengan tangan kirinya memetik alat musik, tangan kanannya tak kalah lihai berpindah dari satu fret ke fret yang lain. Si rambut panjang seolah melayang ke dunia yang berbeda dengan kepala yang terangkat melihat ke langit-langit bus, mata terpejam, namun ketukan tetap sesuai irama. Ia menggunakan teknik menabuh yang keren, susah diungkapkan dengan tulisan, sambil mengiringi nyanyian si pendawai. Suara dua mungkin ya istilahnya. Pas dan enak didengarkan.
Saya terbius dengan permainan mereka yang penuh semangat, mengamati dan berusaha mengapresiasi penampilan pengamen dengan skill yang jauh di atas rata-rata. Bahkan kalau boleh jujur, saya hanya sayup-sayup mendengar liriknya karena kalah bersaing dengan musik bus yang menderu kencang dan saya jauh dari tempat mereka berdendang (maklum duduk hampir paling belakang). Kalau mendengar liriknya dengan jelas pun tampaknya saya tetap tidak paham, ga paham lagu apa. Biarlah alunan musik yang saya dengarkan dan saya nikmati. Bahasa bisa jadi lokal, tapi musik tetaplah universal.
Tiga lagu sudah mereka bawakan dengan waktu sekitar 20 menitan. Si rambut panjang pun keliling meminta kebaikan hati para penggemar dadakan, sedangkan si pendawai membawakan sebuah lagu tambahan untuk backsound. Keren. Tidak seperti pengamen kebanyakan yang hanya bermodal berani buat meminta, duo pengamen ini berani bertanggungjawab. Tanggung jawab menghibur para penumpang, meskipun mereka dibayar di akhir. Semangat dan keterampilan mereka itulah yang membuat saya kagum. Sebagai tambahan, mereka bisa dibilang ramah karena tersenyum dan tetap mengucapkan terimakasih meskipun tidak diberi. Caranya meminta pun halus, tidak memaksa dan respect. Mungkin hanya satu atau dua grup pengamen saja yang seperti ini selama perjalanan saya yang kurang lebih memakan waktu 14 jam (28 jam total pulang pergi).
Terimakasih duo pengamen. Mungkin musikmu, lagumu, stylemu, keramahanmu, dan kehadiranmu akan terlupa olehku. Semoga kita bertemu lagi kalau ada waktu di lain hari.
0 Komentar
POST A COMMENT