Berawal dari perjalanan menuju basecamp Argopuro, saya melihat banyak fenomena yang berkesan. Kami, tim gunung Palapsi FUD 2013 (namanya panjang bener ya? -.-) berangkat ke Terminal Giwangan pada Rabu selepas Maghrib. Saya ketika itu masih kepikiran tugas asesmen seputar building rapport, jadi waktu yang lain sibuk nyari bus saya sibuk nyari orang buat diajak ngobrol sambil direkam.
Seusai "wawancara" saya bergegas ke parkiran bus tujuan Purwokerto. Kami hendak menumpang bus yang langsung ke Probolinggo. Nihil. Penjaja keliling bilang kalau jadwal paling sore jam 17.00. Kami ketinggalan. Tak putus asa, Febri dan Dhika mencari informasi untuk ke Probolinggo tanpa melewati Surabaya dulu. Rumornya, ada bus mengarah ke Banyuwangi yang melewati Probolinggo tapi baru saja meluncur. Never Give Up, kami ambil bus tujuan Solo untuk mengejar bus yang satu itu. Satu persatu tim mulai naik dan memposisikan diri. Saya, Afiq, dan Enop jadi satu. Febri dengan Dhika dan tas carriernya yang seperti roket di sebelah kiri. Dan juga Yandi Dyaning di depan saya.
Perjalanan dari Jogja ke Solo dengan bus kurang lebih selama 3 jam. Saya memasang slayer untuk menutup mata agar sesegera mungkin tertidur. Akan tetapi ekor mata saya menangkap sesuatu yang tak wajar. Ada seorang lelaki yang kira-kira berumur 60 tahun, terlihat dari rambut di bawah pecis putihnya yang semuanya beruban, kerut wajah di sana sini, dan juga perawakan yang tak lagi terlihat muda. Ia bersama seorang perempuan, yang kuduga adalah istrinya. Istrinya tak berbeda jauh dalam hal penampilan, dengan selembar jarik ia tutupi kepala dan memutuskan untuk terlelap. Satu hal yang baru saya sadari, sang suami berdiri di samping istrinya yang tertidur di bangku bus sedari tadi kita berangkat dari Giwangan.
Sesampainya kami di Solo, bus yang dimaksud telah lama berlalu. Terpaksalah kami menumpang bus yang telah kami naiki dari awal ini hingga ke Surabaya. Dhika dan Febri yang mencari-cari transport tampak lesu, kemudian keduanya berusaha beristirahat. Saya pun menyandarkan punggung dan berusaha untuk terlelap.
Saya tak jadi tidur, belum lebih tepatnya. Bukan karena sandaran yang tak nyaman, ini sudah cukup nyaman untuk kami yang lebih sering tidur beralaskan tanah dan kadang kerikil-kerikil kecil mengganggu posisi punggung kami. Jujur saya tertarik dengan sang suami yang sedari tadi berdiri di samping tempat duduk istrinya tersebut. Saya mengintip keadaannya. Sang istri tidur terlentang tapi tampak gelisah karena berguling ke kanan dan ke kiri tanda tak nyaman. Hingga akhirnya ia turun ke atas lantai bus dan bersandar, menjadikan tempat duduknya sebagai bantal. Kemudian ia berputar 180 derajat dan menaruh keningnya ke atas tempat duduk, berusaha untuk terlelap.
Batuk yang tiada henti melanda sang istri, sang suami pun hanya dapat memperhatikan sambil memijit kedua bahu sang istri dengan lembut. Sang istri masih di alas bus dan sang suami pun berjongkok di sebelahnya, berusaha meringankan beban sang istri dalam diam. Kondektur pun mendekat dan menanyakan keadaan sang istri yang sedari tadi mengeluarkan suara seperti orang mau muntah. Entah apa jawaban sang suami, saya sendiri berasumsi sang istri sedang terkena mabuk darat. Kondektur meminta sang istri untuk duduk di tempat duduk kemudian memintanya meletakkan perut di atas paha sehingga seperti posisi rukuk, agar mabuk daratnya segera mendingan. Sang istri hanya menurut saja. Sang suami pun kembali berdiri di samping tempat duduk sang istri.
"Pak mbok lenggah (pak, silahkan duduk saja)," ucap kondektur seraya menunjuk tempat duduk di samping sang istri.
"Ora usah, ben nggo bojoku (enggak perlu, biarkan untuk istriku)," balas sang suami.
"Lah niku mawon kosong tur saged dilenggahi kok, Pak (lah itu saja kosong dan bisa ditempati kok Pak)."
"Wegah (tidak mau)."
"Nggih pun, lenggah ten riki mawon (ya sudah, duduk di sini saja)," kondektur mengarahkan sang suami ke tempat duduk beberapa baris di belakang sang istri duduk.
"Ora, aku pengen neng sandinge bojoku. Ben aku ngadeg wae (tidak, saya ingin di samping istriku. aku berdiri saja)."
"Ampun ngeyel ta Pak, niki tasih dangu lho perjalananipun (jangan membantah Pak, ini perjalanannya masih lama)," ujar kondektur berusaha meyakinkan.
"Aku ki mbiyen ngadeg 6 jam numpak bis wes tau, kapan kae malah arep nganti 12 jam (saya dulu pernah naik bus dan berdiri selama 6 jam, kapan itu bahkan hampir berdiri selama 12 jam)."
"Nggih, ning bapak sampun mboten enem malih. Pun gek lenggah ta (Iya, tapi bapak tidak muda lagi sekarang. Sudah, segera duduk saja)."
Setelah perdebatan panjang, sang istri sepertinya terusik dan meminta sang suami untuk duduk di sebelahnya. Ia berujar bahwa dirinya sudah enakan, mungkin treatment yang diberikan oleh kondektur tepat sasaran. Sang suami akhirnya luluh juga, ia duduk di samping sang istri sambil sesekali bergumam. Tentu saja gumamannya tak berarti banyak, tenggelam di balik bisingnya suara kendaraan di malam hari. Sang istri pun membaringkan tubuhnya dan menjadikan paha sang suami sebagai bantal. Istirahat. Saya pun memasang slayer untuk menutup mata saya. Berusaha terlelap.
Tengah malam. Saya tak ingat dengan pasti jam berapa saat itu, yang jelas kami sudah sampai di daerah Surabaya. Pemandangan yang tak asing. Seusai melepas slayer dan memasukkannya ke dalam kantong saya menoleh ke belakang. Sang suami dan istrinya masih terlelap dengan kondisi yang tak jauh berbeda saat saya mulai memejamkan mata. Kami pun sampai di Terminal Bungurasih, para penumpang turun. Kami bertujuh tetap tinggal di atas bus, sesuai instruksi kondektur karena beliau akan mengantar kami ke pool bus ke arah Probolinggo.
Tim gunung Palapsi dengan nyawanya yang masih berusaha dikumpulkan, mengangkut tas carrier masing-masing dan segera pindah ke Bus Restu arah Jombang. Kami terhenti sebentar di pintu bus untuk nego harga bus. "Arep munggah bus we dirapatke, kaya DPR wae opo-opo dirapatke. Gek munggah! (Mau naik bus saja dirapatkan, seperti DPR saja apa-apa dirapatkan. Ayo cepat naik!)" ucap salah satu kondektur ketus. Kami pun menurut saja dan naik ke bus yang sudah penuh itu. Bingung. Bus benar-benar penuh, padahal kami full load alias barang bawaan penuh seabreg dengan tas yang sebesar kulkas. Akhirnya dengan perjuangan keras kami bisa duduk. Tas? Entahlah bagaimana nasibnya, kami pasrah saja. Dhika memangku tas di atas paha dan memeluknya. Afiq Yandi menaruh tas di paling belakang seperti perjalanan biasanya. Febri? Entahlah mungkin ia terselip di belakang. Tas Enop ia duduki di bawah, sedangkan saya duduk sambil memegang tas saya sendiri dan tas Dyaning yang tergeletak di tengah-tengah bus.
Tidak bisa tidur. Sama sekali. Saya stress tiap kali ada orang yang lewat, tas saya atau tas Dyaning pasti jatuh karena tertendang. Mana sebelah saya tampangnya sangat seram dan tidak bersahabat sama sekali, mungkin menganggap saya pengganggu. Apalagi musik dangdut koplo nonstop berdentum mengusik gendang telinga saya. Astagfirullah. Saya hanya bisa berdoa selama di bus itu.
Saya duduk di baris ketiga dari depan. Ternyata sang suami duduk lesehan di samping supir membelakangi arah jalan, tampak mengawasi lajur belakang. Saya pun menoleh. Ohh sang istri ada di belakang, pikir saya. Tampak sang istri sedang beristirahat sambil memangku barang bawaannya dan menjadikannya bantal. Saya kembali melihat ke sang suami, ia meminta rokok dari kondektur yang tak jauh darinya. Satu hembusan, dua hembusan. Dua hembusan pengusir lelah dan kantuk. Tampak keriputnya menandakan usianya yang tak lagi muda. Kedua matanya sesekali terpejam, namun cepat-cepat ia tersadar lagi ketika terkantuk-kantuk dan memperhatikan sang istri. Saya tidak tahu pasti berapa jam ia tidur malam ini, yang saya tahu mestinya ia kelelahan setelah perjalanan dari Jogja. Akan tetapi ia tidak menunjukkan tanda-tanda akan beristirahat, malah tetap terjaga dan pandangannya terfokus pada satu titik.
Menjelang Subuh tim gunung hampir sampai tujuan, Terminal Probolinggo. Kami bersiap-siap turun, sang suami tetap dalam posisi siaganya. Ketika ditawari untuk duduk di tempat duduk, ia menolak dan bersikeras di tempatnya duduk saat ini. Kami pun berpisah dengan sang suami. Sampai jumpa, entah siapapun Anda. Kami tidak tahu nama Anda dan asal Anda, namun terimakasih untuk pelajarannya.
Saya tak jadi tidur, belum lebih tepatnya. Bukan karena sandaran yang tak nyaman, ini sudah cukup nyaman untuk kami yang lebih sering tidur beralaskan tanah dan kadang kerikil-kerikil kecil mengganggu posisi punggung kami. Jujur saya tertarik dengan sang suami yang sedari tadi berdiri di samping tempat duduk istrinya tersebut. Saya mengintip keadaannya. Sang istri tidur terlentang tapi tampak gelisah karena berguling ke kanan dan ke kiri tanda tak nyaman. Hingga akhirnya ia turun ke atas lantai bus dan bersandar, menjadikan tempat duduknya sebagai bantal. Kemudian ia berputar 180 derajat dan menaruh keningnya ke atas tempat duduk, berusaha untuk terlelap.
Batuk yang tiada henti melanda sang istri, sang suami pun hanya dapat memperhatikan sambil memijit kedua bahu sang istri dengan lembut. Sang istri masih di alas bus dan sang suami pun berjongkok di sebelahnya, berusaha meringankan beban sang istri dalam diam. Kondektur pun mendekat dan menanyakan keadaan sang istri yang sedari tadi mengeluarkan suara seperti orang mau muntah. Entah apa jawaban sang suami, saya sendiri berasumsi sang istri sedang terkena mabuk darat. Kondektur meminta sang istri untuk duduk di tempat duduk kemudian memintanya meletakkan perut di atas paha sehingga seperti posisi rukuk, agar mabuk daratnya segera mendingan. Sang istri hanya menurut saja. Sang suami pun kembali berdiri di samping tempat duduk sang istri.
"Pak mbok lenggah (pak, silahkan duduk saja)," ucap kondektur seraya menunjuk tempat duduk di samping sang istri.
"Ora usah, ben nggo bojoku (enggak perlu, biarkan untuk istriku)," balas sang suami.
"Lah niku mawon kosong tur saged dilenggahi kok, Pak (lah itu saja kosong dan bisa ditempati kok Pak)."
"Wegah (tidak mau)."
"Nggih pun, lenggah ten riki mawon (ya sudah, duduk di sini saja)," kondektur mengarahkan sang suami ke tempat duduk beberapa baris di belakang sang istri duduk.
"Ora, aku pengen neng sandinge bojoku. Ben aku ngadeg wae (tidak, saya ingin di samping istriku. aku berdiri saja)."
"Ampun ngeyel ta Pak, niki tasih dangu lho perjalananipun (jangan membantah Pak, ini perjalanannya masih lama)," ujar kondektur berusaha meyakinkan.
"Aku ki mbiyen ngadeg 6 jam numpak bis wes tau, kapan kae malah arep nganti 12 jam (saya dulu pernah naik bus dan berdiri selama 6 jam, kapan itu bahkan hampir berdiri selama 12 jam)."
"Nggih, ning bapak sampun mboten enem malih. Pun gek lenggah ta (Iya, tapi bapak tidak muda lagi sekarang. Sudah, segera duduk saja)."
Setelah perdebatan panjang, sang istri sepertinya terusik dan meminta sang suami untuk duduk di sebelahnya. Ia berujar bahwa dirinya sudah enakan, mungkin treatment yang diberikan oleh kondektur tepat sasaran. Sang suami akhirnya luluh juga, ia duduk di samping sang istri sambil sesekali bergumam. Tentu saja gumamannya tak berarti banyak, tenggelam di balik bisingnya suara kendaraan di malam hari. Sang istri pun membaringkan tubuhnya dan menjadikan paha sang suami sebagai bantal. Istirahat. Saya pun memasang slayer untuk menutup mata saya. Berusaha terlelap.
Tengah malam. Saya tak ingat dengan pasti jam berapa saat itu, yang jelas kami sudah sampai di daerah Surabaya. Pemandangan yang tak asing. Seusai melepas slayer dan memasukkannya ke dalam kantong saya menoleh ke belakang. Sang suami dan istrinya masih terlelap dengan kondisi yang tak jauh berbeda saat saya mulai memejamkan mata. Kami pun sampai di Terminal Bungurasih, para penumpang turun. Kami bertujuh tetap tinggal di atas bus, sesuai instruksi kondektur karena beliau akan mengantar kami ke pool bus ke arah Probolinggo.
Tim gunung Palapsi dengan nyawanya yang masih berusaha dikumpulkan, mengangkut tas carrier masing-masing dan segera pindah ke Bus Restu arah Jombang. Kami terhenti sebentar di pintu bus untuk nego harga bus. "Arep munggah bus we dirapatke, kaya DPR wae opo-opo dirapatke. Gek munggah! (Mau naik bus saja dirapatkan, seperti DPR saja apa-apa dirapatkan. Ayo cepat naik!)" ucap salah satu kondektur ketus. Kami pun menurut saja dan naik ke bus yang sudah penuh itu. Bingung. Bus benar-benar penuh, padahal kami full load alias barang bawaan penuh seabreg dengan tas yang sebesar kulkas. Akhirnya dengan perjuangan keras kami bisa duduk. Tas? Entahlah bagaimana nasibnya, kami pasrah saja. Dhika memangku tas di atas paha dan memeluknya. Afiq Yandi menaruh tas di paling belakang seperti perjalanan biasanya. Febri? Entahlah mungkin ia terselip di belakang. Tas Enop ia duduki di bawah, sedangkan saya duduk sambil memegang tas saya sendiri dan tas Dyaning yang tergeletak di tengah-tengah bus.
Tidak bisa tidur. Sama sekali. Saya stress tiap kali ada orang yang lewat, tas saya atau tas Dyaning pasti jatuh karena tertendang. Mana sebelah saya tampangnya sangat seram dan tidak bersahabat sama sekali, mungkin menganggap saya pengganggu. Apalagi musik dangdut koplo nonstop berdentum mengusik gendang telinga saya. Astagfirullah. Saya hanya bisa berdoa selama di bus itu.
Saya duduk di baris ketiga dari depan. Ternyata sang suami duduk lesehan di samping supir membelakangi arah jalan, tampak mengawasi lajur belakang. Saya pun menoleh. Ohh sang istri ada di belakang, pikir saya. Tampak sang istri sedang beristirahat sambil memangku barang bawaannya dan menjadikannya bantal. Saya kembali melihat ke sang suami, ia meminta rokok dari kondektur yang tak jauh darinya. Satu hembusan, dua hembusan. Dua hembusan pengusir lelah dan kantuk. Tampak keriputnya menandakan usianya yang tak lagi muda. Kedua matanya sesekali terpejam, namun cepat-cepat ia tersadar lagi ketika terkantuk-kantuk dan memperhatikan sang istri. Saya tidak tahu pasti berapa jam ia tidur malam ini, yang saya tahu mestinya ia kelelahan setelah perjalanan dari Jogja. Akan tetapi ia tidak menunjukkan tanda-tanda akan beristirahat, malah tetap terjaga dan pandangannya terfokus pada satu titik.
Menjelang Subuh tim gunung hampir sampai tujuan, Terminal Probolinggo. Kami bersiap-siap turun, sang suami tetap dalam posisi siaganya. Ketika ditawari untuk duduk di tempat duduk, ia menolak dan bersikeras di tempatnya duduk saat ini. Kami pun berpisah dengan sang suami. Sampai jumpa, entah siapapun Anda. Kami tidak tahu nama Anda dan asal Anda, namun terimakasih untuk pelajarannya.
0 Komentar
POST A COMMENT