Operasional pertamaku! Yeah, setelah diajak dan dibujuk oleh beberapa teman akhirnya aku luluh juga. Awalnya aku berpendirian teguh untuk menjauhi segala aktivitas kepecintaalaman, kulampiaskan dengan berkegiatan di kesenian. Tetapi saat itu bagian kesenian sedang dalam masa rehat, seusai penampilan teater "AA II UU". Aku yang uda terlanjur nyaman dengan ritme kegiatan akhirnya mencari hal lain, pendidikan lanjut Pecinta Alam Psikologi.
Ayo ikutan FUD, Nggra. Aku ingat betul bagaimana kakak tingkatku mengajak yang kemudian kutolak. Walaupun akhirnya aku ikut juga. Setelah roleplay dan pre operasional, akhirnya aku merasakan bagaimana kegiatan divisi gunung. Ya, Balerante adalah destinasi pertamaku!
Berawal dari kampus tercinta, kami upacara dulu bersama dengan divisi-divisi lainnya. Ritual sebelum berangkat operasional. Seperti woro-woro bahwa kami akan pergi. Seusai menceritakan detail masing-masing operasional, menyanyikan hymne Palapsi, dan menyatukan tangan untuk ber Never Give Up, tim Para Pencari Nikmat meluncur ke Utara. Aku dan Moni bertengger di atas Revo hitamku.
Sampai di basecamp, para kakak tingkat ngobrol-ngobrol dengan yang punya rumah. Aku menyibukkan diri dengan tas carrier (yang saat itu masih pinjam) memodifikasi packingan, namun apa daya bentuknya tetep mleok (bahasa kekinian letoy kali ya) dan jatuh-jatuh terus, gabisa berdiri. Oiya, saat itu kami beranggotakan El, Jerry, Hanif, Moni, Wahyu, Gerry, Wulan, Gaby, Afiq, Yandi, Isti, Deddy, dan aku sendiri.
Kalau diingat-ingat, sifat kami berempat saat itu (Afiq, Yandi, Isti, aku) berbeda sekali dengan saat sekarang. Afiq masih pendiam, sibuk dengan mie dan tas kariernya yang gabisa berdiri juga gabisa ditutup, aneh. Yandi yang sering sibuk sendiri dan dengan apes tas pinjeman dari toko persewaan alat runtuh, bagian cangklongannya putus. Isti yang Palapsi banget dan ngobrol kesana-kemari dengan semua kakak tingkat. Dan aku sendiri duduk diam dengan pendiamnya (sifat menetap hingga sekarang) mengutak-atik tas carrier. Kalau Wulan dan Gaby kayaknya ga terlalu banyak berubah, Wulan yang ramah ngobrol nimbrung dengan Isti dan Wahyu, sedangkan Gaby yang unik sibuk dengan kameranya mengabadikan momen-momen operasional pertama itu.
Jam 11an, kami pun pemanasan di teras rumah. Meskipun saat itu hari sedang panas-panasnya. Alhasil belum apa-apa tapi keringat sudah menyelip disana-sini. Tas Yandi sudah di rescue oleh Jerry yang nampaknya memang ahli menjahit. Kami berjalan. Aku mendapat amanah untuk mencari titik pertama. Ya, dalam operasional tiap-tiap orang mendapat tanggung jawab untuk mencari sebuah titik dalam peta. Aku giliran pertama. Padahal tidak seperti yang lain, aku benar-benar buta masalah peta, gunung, dan hutan. Bahkan jalur pendakian di mana pun aku tak tahu.
Aku pun bergegas ke rumah warga di daerah Balerante itu, bertanya ke mana arah untuk naik. Beliau berbaik hati dan menunjukkan jalan. Beberapa kakak tingkat tertawa. Masa bodoh lah. Walaupun cukup konyol juga karena jalannya uda ketok melok-melok (keliatan jelas). Aku menaiki trek yang masih landai. Sesekali kami berhenti untuk belajar orientasi medan. Aku yang saat itu dipandu Moni hanya bisa mengangguk-angguk tak paham ketika ia menjelaskan. Maklum, prosesorku gampang ngelag.
Aku pun berjalan, bahkan hampir berlari hanya karena ingin sesegera mungkin mendapatkan titik. Yang penting penderitaan ini segera berakhir, pikirku saat itu. Keringatku mengucur deras. Awalnya menetes dari dahi perlahan-lahan, kemudian merembes dari berbagai sudut bahkan lenganku pun basah oleh keringat. Saat kami berjalan, ada rombongan motorcross yang menaiki medan itu. Aih geberan motornya yang membahana, tak lupa meninggalkan jejak berupa asap berwarna putih. Jejak tersebut mengepung kami dan dengan perlahan menembus pertahanan tubuh sehingga dengan leluasa menelusup ke dalam tubuh kami. Sesak. Apes, meski sudah keren-keren dengan motor itu ada beberapa yang kepleset tak jauh dari tempat kami berdiri. Rasain tuh.
Sekitar pukul 13.00 kami sudah sampai di titikku. Kami harus mengecek yang meyakinkan kakak tingkat bahwa tempat ini benar sesuai dengan yang ada di peta. Yap, berhasil! Akhirnya siksaan tanggung jawab usai sudah. Kami snacking dulu. Ternyata tim gunung jarang sekali makan siang karena menghabiskan banyak waktu, ribet, dan mendinginkan tubuh yang telah beradaptasi.
Tak lama setelah itu, kami bergegas menuju titik dua, Isti dan Wahyu. Enaknya kalo uda dapet titik tu ya cuman ngikut dengan leader aja. Selow gitu lho. Aku tak ingat betul gimana Isti dapet titiknya karena kami nyasar mulu. Kurang lebih pukul 16.00 Isti sudah nemu titiknya berdua dengan Wahyu sedangkan Gaby, Yandi, dan aku malah bercengkrama di pinggir punggungan. Dirasa sudah sore, Moni sebagai PO pun memutuskan untuk mengakhiri pencarian titik hari itu dan kami pun mendirikan tenda tak jauh dari titik Isti.
Kami mendirikan 3 buah tenda yang ukurannya masing-masing (harusnya) 5 orang, 4 orang, dan 6 orang. Yah, jadi agak mepet-mepet karena ditambah tas carrier di dalamnya. Acara malam diisi dengan masak-masak dan bercengkrama. Ada maksud untuk membuat api unggun. Tapi karena takut api nanti melalap tidak hanya kayu bakar, dengan cekatan Afiq mematikan api yang baru dibuat itu. Dengan air minum. Dengan merk Nestle.
Air adalah komoditas langka di gunung, terutama gunung Pulau Jawa karena jarang ditemui sumber air di area tersebut. Salah satu perencanaan yang paling penting dalam pendakian adalah perencanaan air. Maka dari itu penggunaannya dihemat dan digunakan dengan sebagaimana mestinya. Bukan untuk mematikan api. Yah paling engga liat-liat merknya gitu lho -___-
Hari sudah malam, kami pun tidur.
Suara motor menderu-deru membangunkan kami dari lelapnya mimpi. Ternyata kami berkemah tepat di tepi "jalan raya" sehingga mau tidak mau kami menanggapi sapaan warga ketika ada yang melewati jalan itu. Seusai masak dan packing, kami pun berangkat lagi. Titik Yandi.
Titik Yandi cukup rumit karena berada di bentukan yang rapat. Kami sempat melewati sungai yang kering, naik ke punggungan satu, turun di punggungan yang lain, begitu seterusnya. Ketika sudah yakin bahwa punggungan yang dimaksud adalah yang kami pijak, dengan mantap kami melangkah. Mendaki.
Panjang. Perjalanan cukup melelahkan karena kontur yang terus menanjak dan belum ada jalurnya. Beberapa kali kami beristirahat untuk mengembalikan tenaga. Mau tidak mau, Mas El turun tangan membukakan jalur untuk kami semua. Imbasnya, tim belakang harus menggotong tas karier Mas El. Kabut perlahan turun. Aku dan beberapa anak baru tertinggal di belakang. Sunyi. Tidak ada satu pun dari kami yang punya kemampuan untuk mencari jalan pulang. Tim belakang pun nampaknya telah tertinggal jauh. Kami hanya bisa melangkah. Terus melangkah. Berdoa agar tim depan tetap berada di punggungan ini.
Kurang lebih pukul 14.30, akhirnya kami mendapatkan titik yang dimaksud. Alhamdulillah. Yandi memang punya skill yang tinggi, jauh jika dibandingkan denganku saat itu maupun saat ini. Kami beristirahat sejenak. Setelah tenaga terkumpul, kami turun punggungan dan bermaksud menuju titik Afiq dan Wulan. Kami mencoba secepat mungkin, sebelum matahari turun.
17.00, kami sampai di titik Afiq dan Wulan (nampaknya kalau tidak salah ingat). Karena hari sudah hampir gelap, titik Gaby pun dicancel dan kami bergegas menuju basecamp. Ritme jalan kami cukup cepat untuk mengejar tempat itu sebelum senja berakhir. Rintik hujan seakan tidak rela kami pergi. Ia menyelimuti kami dari waktu ke waktu pada saat perjalanan pulang ini. Entah karena stamina yang terkuras atau hujan yang menderu, Deddy dan Gaby terpisah dari rombongan kami di tim depan.
Kami berputar-putar mencari mereka. Tak ketemu. Kami kode dengan peluit. Tak ada jawaban. Memang tim belakang juga cukup jauh, jadi kami berharap agar mereka bertemu dengan tim belakang. Kami melanjutkan perjalanan pulang. Tiba di basecamp, rupanya belum ada tanda-tanda kehidupan dari mereka. Akhirnya Hanif, Gerry, dan aku kembali naik. Mencari.
Gerry dengan sepenuh tenaga naik dan berusaha membabat habis tempat-tempat yang bisa jadi kemungkinan untuk nyasar. Aku yang sudah kehabisan tenaga akhirnya mengusulkan ide untuk menelepon saja. Ia masih bersikeras, usulku ditolak. Tetapi karena alasan logis dan didukung Hanif, akhirnya kami berhenti untuk menelepon.
Satu demi satu kami kontak namun nihil, tak ada jawaban. Untungnya handphone Mas El aktif, dan mujurnya lagi dua orang itu uda ada satu rombongan dengan tim. Kami menarik nafas lega dan bergegas turun menuju basecamp. Tak lama kemudian, rombongan tim yang lain pun menyusul. Rupanya dua orang yang kami kira nyasar itu, memang nyasar beneran. Beruntung tim yang lain bertemu dengan mereka.
Lelah. Stamina terkuras. Seakan berperan sebagai dewa penyelamat, mas yang punya rumah pun menawarkan makanan untuk kami. Kontan saja kami terima dan dengan lahap kami menyantap makanan lezat yang dimasak menggunakan tungku. Kami makan bersama tim PPM yang saat itu didampingi oleh Diyan dan Wikan.
Aku kurang ingat jam berapa kami pulang, mungkin sekitaran jam 8 - jam 9, yang kuingat hanya gelapnya malam dan rasa kantuk yang terus menyerang. Hujan yang tadi sempat berhenti lama kemudian datang lagi, mengantarkan kepulangan kami. Kali ini jauh lebih deras. Di bawah hujan yang menderu, aku mengimpikan nikmatnya tempat tidur yang empuk dan minuman hangat.
Air adalah komoditas langka di gunung, terutama gunung Pulau Jawa karena jarang ditemui sumber air di area tersebut. Salah satu perencanaan yang paling penting dalam pendakian adalah perencanaan air. Maka dari itu penggunaannya dihemat dan digunakan dengan sebagaimana mestinya. Bukan untuk mematikan api. Yah paling engga liat-liat merknya gitu lho -___-
Hari sudah malam, kami pun tidur.
Suara motor menderu-deru membangunkan kami dari lelapnya mimpi. Ternyata kami berkemah tepat di tepi "jalan raya" sehingga mau tidak mau kami menanggapi sapaan warga ketika ada yang melewati jalan itu. Seusai masak dan packing, kami pun berangkat lagi. Titik Yandi.
Titik Yandi cukup rumit karena berada di bentukan yang rapat. Kami sempat melewati sungai yang kering, naik ke punggungan satu, turun di punggungan yang lain, begitu seterusnya. Ketika sudah yakin bahwa punggungan yang dimaksud adalah yang kami pijak, dengan mantap kami melangkah. Mendaki.
Panjang. Perjalanan cukup melelahkan karena kontur yang terus menanjak dan belum ada jalurnya. Beberapa kali kami beristirahat untuk mengembalikan tenaga. Mau tidak mau, Mas El turun tangan membukakan jalur untuk kami semua. Imbasnya, tim belakang harus menggotong tas karier Mas El. Kabut perlahan turun. Aku dan beberapa anak baru tertinggal di belakang. Sunyi. Tidak ada satu pun dari kami yang punya kemampuan untuk mencari jalan pulang. Tim belakang pun nampaknya telah tertinggal jauh. Kami hanya bisa melangkah. Terus melangkah. Berdoa agar tim depan tetap berada di punggungan ini.
Kurang lebih pukul 14.30, akhirnya kami mendapatkan titik yang dimaksud. Alhamdulillah. Yandi memang punya skill yang tinggi, jauh jika dibandingkan denganku saat itu maupun saat ini. Kami beristirahat sejenak. Setelah tenaga terkumpul, kami turun punggungan dan bermaksud menuju titik Afiq dan Wulan. Kami mencoba secepat mungkin, sebelum matahari turun.
17.00, kami sampai di titik Afiq dan Wulan (nampaknya kalau tidak salah ingat). Karena hari sudah hampir gelap, titik Gaby pun dicancel dan kami bergegas menuju basecamp. Ritme jalan kami cukup cepat untuk mengejar tempat itu sebelum senja berakhir. Rintik hujan seakan tidak rela kami pergi. Ia menyelimuti kami dari waktu ke waktu pada saat perjalanan pulang ini. Entah karena stamina yang terkuras atau hujan yang menderu, Deddy dan Gaby terpisah dari rombongan kami di tim depan.
Kami berputar-putar mencari mereka. Tak ketemu. Kami kode dengan peluit. Tak ada jawaban. Memang tim belakang juga cukup jauh, jadi kami berharap agar mereka bertemu dengan tim belakang. Kami melanjutkan perjalanan pulang. Tiba di basecamp, rupanya belum ada tanda-tanda kehidupan dari mereka. Akhirnya Hanif, Gerry, dan aku kembali naik. Mencari.
Gerry dengan sepenuh tenaga naik dan berusaha membabat habis tempat-tempat yang bisa jadi kemungkinan untuk nyasar. Aku yang sudah kehabisan tenaga akhirnya mengusulkan ide untuk menelepon saja. Ia masih bersikeras, usulku ditolak. Tetapi karena alasan logis dan didukung Hanif, akhirnya kami berhenti untuk menelepon.
Satu demi satu kami kontak namun nihil, tak ada jawaban. Untungnya handphone Mas El aktif, dan mujurnya lagi dua orang itu uda ada satu rombongan dengan tim. Kami menarik nafas lega dan bergegas turun menuju basecamp. Tak lama kemudian, rombongan tim yang lain pun menyusul. Rupanya dua orang yang kami kira nyasar itu, memang nyasar beneran. Beruntung tim yang lain bertemu dengan mereka.
Lelah. Stamina terkuras. Seakan berperan sebagai dewa penyelamat, mas yang punya rumah pun menawarkan makanan untuk kami. Kontan saja kami terima dan dengan lahap kami menyantap makanan lezat yang dimasak menggunakan tungku. Kami makan bersama tim PPM yang saat itu didampingi oleh Diyan dan Wikan.
Aku kurang ingat jam berapa kami pulang, mungkin sekitaran jam 8 - jam 9, yang kuingat hanya gelapnya malam dan rasa kantuk yang terus menyerang. Hujan yang tadi sempat berhenti lama kemudian datang lagi, mengantarkan kepulangan kami. Kali ini jauh lebih deras. Di bawah hujan yang menderu, aku mengimpikan nikmatnya tempat tidur yang empuk dan minuman hangat.
0 Komentar
POST A COMMENT