Tampilkan postingan dengan label My Journey. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label My Journey. Tampilkan semua postingan

Padusan Merapi (15-16 Juli 2012) 3 : Tektok, Tiktok

Posting pertama saya di tahun yang baru, berharap mendapatkan pengalaman bertualang lebih sering lagi dari tahun sebelumnya. Happy new year buat kamu dan semoga kesuksesan serta kelancaran dalam setiap aspek hidup selalu mendampingimu. Sejujurnya tulisan ini sudah dirintis sejak Desember 2015, namun berbagai hal terjadi sehingga terbengkalai (lagi) hingga saat ini. Selamat membaca.

* * * * *

Pendakian dimulai. Kami sadar waktu kami tak banyak. Merapi memang gunung yang memungkinkan untuk didaki "tektok", maksudnya mendaki kemudian turun di hari yang sama. Ini pendakian tektok yang tak direncanakan. Kami harus naik dan turun dalam kurun waktu tertentu, lebih cepat sampai bawah lebih baik mengingat cuaca Merapi yang tak menentu dan tak pernah tentu.

Tim melaju dengan cepat. Bahkan sebelum menyentuh pos 1, kami terbagi menjadi dua. Kanji, Gakros, dan saya ada di belakang. Bisa jadi karena isi tas kami yang terlampau penuh, atau juga teman-teman di depan yang berstamina "kewan". Sepertinya alasan pertama hanya berlaku bagi saya saja karena sebutan "kewan" sangat tepat untuk mendeskripsikan ketangguhan mereka dalam kegiatan pendakian sebelum ini.

"Gaak! Gaak!!" suara Toyo sayupsayup memanggil Gakros sebelum kami mencapai pos. Arah suaranya dari samping kiri, tapi tak tampak pergerakan mereka.
"Ngopo? Nengdi we?" balas Kanji cepat, sadar bahwa mereka mengambil jalur yang tidak umum.
"Iki arahe ngendi ya?" suara itu terdengar kembali, kini lebih dekat.
"Tutno suaraku wae!" Gakros yang enggan menyusul tim yang tersesat kemudian mengambil langkah naik, menggunakan jalan yang benar.

"Ngopo Gak?" tak disangka-sangka, muncul satu sosok di balik batu besar yang akan kami lewati. Samcong.
"Lah kok kowe neng kene e Cong?" ujar Kanji, ada sedikit nada terkejut di dalamnya.
"Mau aku ditinggal og, telo. Terus aku asal munggah wae."
"Woi, nengdi do an kih?!"
Srek, srek, srek. Tiga pasang langkah kaki pun mendekati kami. "Kene, Gak," jawab Kombir singkat.
"Kok iso tekan kono e?"
"Ha Toyo ki sing milih dalan ra cetha tenan og," umpat Ibeng.
"Lha ketoke dalane mung kuwi kok."
"Wes, wes gek ayo wae. Selak awan," saya pun angkat suara sembari mengumpulkan tenaga dan nafas.

Pendakian Merapi memang tidak membutuhkan waktu banyak. Rata-rata 2-4 jam, pendaki sudah bisa mencapai Pasar Bubrah setelah melalui jalan menanjak dan berpasir serta berdebu akibat sisa abu vulkanik.

"Jalur Kartini ki Gak?" tanya Kanji.
"Ho o."
"Do sipikan ae dab, aku tak leren. Ra kuat aku," rintih saya di tengah medan super nanjak dengan bebatuan vulkanik yang berfungsi sebagai pijakan.
"Halah sithik meneh iki nanjake mungan," jawab Toyo.
"Iyo, dhisikan ae. Kesel tenan dab," ucap saya dengan gaya rukuk, demi menarik oksigen lebih banyak ke dalam tubuh.
"Yawes leren dhisik wae," Samcong pun iba melihat wajahku yang tak karuan. Merah legam, bercucuran keringat, serta nafas tak beraturan.
"Ngemil sik po?" sahut Ibeng seraya meraih tasnya.
"Ora sah, mlaku wae yo. Ning tak alon-alon ya."

Tanjakan berbatu telah sukses kami lewati hingga kami menemukan jalur landai sebelum Pasar Bubrah. Saya masih ingat betul, spot ini adalah titik penyesalan saya beberapa tahun lalu ketika mendaki Merapi untuk pertama kalinya. Saya menyerah di titik itu karena kelelahan, akhirnya saya dan seorang rekan mendirikan tenda di situ sedangkan yang lain lanjut summit attack. Kali ini  pun saya juga tidak berkesempatan muncak. Pahit.

Anggota tim nggeblas menuju Pasar Bubrah, karena memang areanya sudah dekat. Tinggal melewati satu punggungan saja. Tinggalah saya di belakang menapak perlahan ditemani Kanji. Meski jalur tidak semenanjak tadi, tetap saja fisik yang lemah ini tertatih-tatih. Alhamdulillah saya tidak terlalu banyak membuang waktu tim. Saya pun sampai ke monumen in memoriam. Pasar Bubrah telah terlihat.

"Ayo Pak, wes tekan," ujar Gakros menyemangati. Saya pun mengangguk saja.

Toyo langsung berlari ke arah area landai dan lapang tersebut, diikuti Kombir, dan Samcong. Kami berempat berjalan santai saja, menghemat tenaga. Kisaran pukul 11.30 kami sampai di Pasar Bubrah. Kami langsung menata matras untuk duduk, menyiapkan peralatan masak dan bahan-bahan masakan, serta mengeluarkan cemilan. Kombir dengan sigap menggelar ponco, yang kemudian ia gunakan untuk berbaring. Begitupun Toyo, ia mengeluarkan matras dari karier Gakros demi mendapatkan tempat tidur yang lebih nyaman di atas bebatuan.

"Yo, masak yo."
"Kokine ora kaya biasane wae pa?"
"Sopo?"
"Gakros karo Anggra kae."
"Yowes ngono wae."
Saya hanya bisa menghela nafas ketika mendengar percakapan itu, namun sudahlah toh saya juga senang masak-masak kalau sedang pendakian. Bahan masakan yang tersedia saat itu hanya Indomie, beras, telur, dan sedikit sayur mayur. Sembari kami menyiapkan makanan dan ngemil roti, beberapa anggota memutuskan untuk berfoto-foto di tempat yang dominan warna putih ini.

"Jane sithik meneh wes tekan lho iki. Gari munggah kono wae ta?" ujar Kombir.
"Bahaya Mbir, sesuk meneh wae. Wong Merapi ra nengdi-nengdi," balas Kanji.
"Yo rapopo kok Mbir munggah wae, wes tekan kene lho," sahut Ibeng memanas-manasi.
"Iyo munggaho Mbir, tapi tak tunggu kene wae ya. Aku wes tau kok," Gakros tak mau kalah mengompori.
Sadar dipanas-panasi, Kombir pun mengurungkan niatnya.
"Ah aku tekan kene wae wes seneng kok," ucap Toyo.


"Sholat dhisik po?"
"Ayo wae sih, mie ne wes rampung kok. Gari nunggu endhog wae," jawab saya.
Kemudian Gakros mengambil alih tugas perkokian dan mengeluarkan kemampuannya mengolah telur.

Hening. Sunyi. Tak ada sepatah kata pun yang terucap, tapi ratusan doa kami panjatkan. Demi diri sendiri, demi masa depan, demi keselamatan kami dalam pendakian.

Gakros shalat setelah kami usai dan menggunakan sarung yang dibawa Samcong. Kemudian kami pun menyantap makan siang yang kalau boleh jujur, terasa aneh di lidah dan ada sensasi berbeda akibat eksperimen Gakros ketika kami tinggal beribadah tadi. Meskipun sederhana dan rasanya tidak familiar, tetap saja terasa lezat karena dibumbui dengan kebersamaan dan cerita pengalaman masing-masing di dunia kuliah. Tidak lupa kami mengambil foto tim pendakian kali ini.

"Ayo siap-siap mudhun."
"Mager e, dab. Tak turu-turu sik," jawab Kombir.
"Welha selak kesoren mengko tekan ngisor."
"Mbok santai wae, mumpung wes tekan kene," tambah Toyo.
30 menit kemudian.
"Yo mudhun yo, gek cepak-cepak."
"Sesuk aku bakalane mbalik rene njuk menggapai puncakmu, kok Merapi. Tunggu aku."

Jam 3an kami memutuskan untuk turun agar sampai basecamp sebelum hari gelap. Sudah cukup lama kami bersantai-santai dan bercengkrama serta mengambil berbagai foto di Pasar Bubrah. Perjalanan kami mulai dengan pelan, enggan berpisah dengan pengalaman pendakian kali ini. Sampai di monumen in memoriam, kami melihat pemandangan indah di depan kami. Akhirnya prosesi foto-foto pun tak terelakkan.

"Ojo nganti kepisah lho ya, iki jalure beda karo sing mau." Kami berjalan turun menggunakan jalur alternatif, menghindari jalur biasa (Jalur Kartini) yang memiliki tanjakan terjal. Jauh lebih berdebu memang, tapi lebih landai dan yang penting bisa gaspol. Kami pun sampai di bangunan mirip pendopo sebelum Maghrib. Di sana kami bersantai, beradu hinaan dan meneguk air yang tersisa.

Kami sampai di New Selo jam 6 lebih. Hari sudah gelap, badan sudah lelah, namun kami bahagia. Rasa kecewa tak dapat mendaki kemarin terbayarkan, rasa rindu akan pendakian bersama sahabat pun terpuaskan.

Padusan Merapi (15-16 Juli 2012) 2 : Entah Kudu Seneng Apa Mangkel

Tulisan part 2 dan part 3 adalah lanjutan dari kisah pendakian di tahun 2012, yang ditulis kembali oleh penulis di tahun 2016. Selamat menikmati.

* * * * *

Mentari pagi mulai menggeliat naik ketika kami tersadar dari tidur nyaman kami. Udara dingin dan cuaca yang cerah pada 16 Juli 2012 seakan mendukung kami untuk mengeratkan sleeping bag kemudian kembali pada mimpi indah. Saya pun enggan beranjak, namun hati yang tak tenang karena tidak ada kepastian ijin pendakian membuat saya tak mampu tidur dengan tenang. Entah dengan yang lain. Sepertinya mereka nyaman-nyaman saja dengan tidurnya.
Merbabu

"He, kae pemandangane apik lho," ujar Kanji yang baru saja dari luar. Si Boss Ketua OSIS ini nampaknya memang tidak punya syaraf rasa dingin, sepagi itu ia telah jalan-jalan keluar hanya bermodalkan kaos dan celana training.

"Tenane, Nji?" balas dua orang pemburu foto profil pemandangan, Toyo dan Kombir. Sontak keduanya langsung keluar, tentu setelah memakai sweater dan kaos kaki. Samcong pun ikut mencari panorama.

"Pie, dab? Munggah ora penake?" sahut Gakros dari dalam sleeping bagnya.
"Manut. Munggah ndi emang?" balas saya tak bersemangat sembari njingkrung seperti kepompong.
Tak membalas, Gakros beranjak mencari basecamper untuk meminta masukan. Enggan bermalas-malasan, saya mencari peralatan masak dan mulai membuat minuman hangat.

"Ra wani ngeculke dab," Gakros menerangkan bahwa warga tidak berani memberi ijin kami untuk naik, "kene tak gawekke wae, kowe masak."
"Berarti Merbabu?" saya sungguh ragu untuk mendaki jalur yang saya tak pernah lalui tanpa persiapan matang.
"Manut cah-cah," jawabnya, meskipun sebenarnya itu bukan jawaban juga.

Teman-teman yang ada di luar nampaknya kembali masuk karena tahu ada minuman hangat yang telah tersaji. Tetapi tak lama, karena mereka keluar lagi dengan tampilan yang sudah dipermak untuk mendapatkan foto-foto bagus.Saya bergegas meracik bumbu untuk masakan. Nasi dan tempe adalah bahan sarapan kami, "Ah yang penting makan, masalah rasa belakangan," ucap saya pada diri sendiri.
Hunting foto

"Pie penake?" tanya Gakros pada tim.
"Merbabu wae mbangane ra pasti," kata Toyo tak sabar.
"Emang Merbabu mesti oleh?" balas Ibeng.
"Emang ana sing paham Merbabu, ojo nekat lho Beng," Kombir menimpali dengan nada khawatir.
"Ho o lho, ngko malah rasido seneng-seneng," Samcong pun mengamini.
Kami pun hening. Rencana untuk hepi-hepi berujung ketidakpastian. Mungkin diberi harapan palsu oleh perempuan jauh lebih pasti daripada nasib kami. "Ngene ae Gak, coba tok kontak kancamu meneh. Takok Merbabu kaya pie detile," Kanji pun angkat suara.
"Angger Gakros wani aku sih wani wae, karo madang ki," ujarku seraya mengoper jatah makanan.
Berunding

Agaknya keresahan kami sedikit terobati seiring karbohidrat dan protein mengaliri kebutuhan nutrisi. Ditambah lagi adanya pendaki lain yang hendak naik Merapi namun urung dan mengganti tujuan. "Yawes Merbabu wae. Yuk packing, cepak-cepak sik," tegas Gakros setelah bimbang sekian lama. Kami pun membagi tugas, Samcong dan saya cuci-cuci peralatan masak; Toyo, Kombir, Ibeng, dan Gakros menyusun peralatan serta menyiapkan kendaraan; sedangkan Kanji foto-foto (engga ada yang berani memberi perintah pada bos yang satu ini).
Mengisi perut, mengurangi keresahan
Sungguh. Satu pembelajaran penting yang saya dapat ketika di sini adalah, memasaklah dengan minyak atau margarin kalau pakai nesting. Jika tidak, sisa-sisa nasi banyak yang mengeras di pinggir-pinggirnya hingga jadi intip. Mau digosok-gosok seperti apa, tidak mau lepas jua dari nesting. Merk sabun cuci apapun agaknya kalah ampuh. Hanya kesabaran yang mampu menaklukannya.

"Wes ah, Nggra. Mangkel aku. Iki liyane tak angkut mlebu ya," ujar Samcong, jengah dengan cobaan hidup yang satu ini. Saya tak patah arang, tak sudi diperdaya oleh nasi kering di pinggiran nesting.

"Yo, wes siap iki!" Toyo memanggil kami untuk berkumpul. Tas sudah rapi, alat sudah bersih, kendaraan sudah siap. Bahkan mungkin sudah dipanasi 15 menit lebih. Terlihat Pak Basecamper (engga tau siapa namanya) berjalan-jalan keluar dari rumah. Kami acuh saja, cukup menyapa kemudian melanjutkan siap-siap, bingung mau menanggapi bagaimana.

"Pie, sidane Merbabu?" tanya Kombir sembari metingkring di atas motor.
"Lha pie meneh," balas Ibeng.
"Yoweslah."

Tujuh orang lelaki yang dirundung keraguan, kini telah bersatu padu menemukan semangat baru untuk mendaki gunung tetangga, Merbabu. Berdasarkan prakiraan, kita akan sampai di puncak sore hari. Apabila memungkinkan kami kebut pulang malam ini juga, namun rencana cadangan kami adalah pulang esok hari ketika stamina telah prima. Karier kami angkut, barang-barang kami tenteng, helm sudah kami pasang rapi, tinggal nangkring di atas kendaraan dan melanjutkan perjalanan. Merbabu, kami akan mengunjungimu. Berilah kami sambutan terhangat.

"Pak, badhe pamit riyin nggih. Matur nuwun," ucap Gakros penuh unggah-ungguh berpamitan dengan pemilik rumah.
"Oh, nggih. Lha badhe teng pundi niki? Balik Jogja?"
"Mboten pak, badhe Merbabu. Lha tanggung pun tebih-tebih mriki."
Sang empunya rumah terdiam sejenak. Mengernyitkan dahi. "Nggih mpun mas nek badhe minggah Merapi monggo mawon, ning ngantos Pasar Bubrah mawon nggih."

Kami terhenyak. Terkaget-kaget. "Saestu niki. Menawi jenengan minggah malih jelas mboten aman wong niki pun siaga." Gakros memandang tim satu per satu seraya menunjukkan ekspresi "pie iki??". "Iya pak, terimakasih," sahut Kanji segera, sebelum beliau berubah pikiran.

"Ngopo?" tanya Kombir pada saya.
"Bapake ngolehke munggah Merapi, ning mung tekan Bubrah," jawab saya.
"Lha asem, ngopo ra ket mau," balas Ibeng.
Iya juga sih. Kami sudah terjaga sedari Subuh tadi dan beliau sebenarnya juga tahu. Ada banyak kesempatan baginya untuk memberi kami ijin. Ketika hunting foto, ketika membuat kopi, ketika memasak, ketika makan, ataupun ketika bersiap-siap. Kenapa ia harus memilih momen paling buruk? Momen di saat kami sudah teguh pendirian hendak berpindah ke lain hati. Momen ketika kami telah yakin tak mampu bersua dengan orang yang tadinya diharapkan. Momen di mana orang yang pernah kita sukai memberi sinyal cinta, namun waktunya sudah tak tepat lagi. Entah harus senang apakah dongkol.

Gakros pun berjalan kembali ke arah tim seraya bertanya, "Pie iki? Merbabu puncak apa Merapi Bubrah?"
"Merapi puncak ra oleh Gak?"
"Jo ngawur Nji, wong lagi siaga jare kok," sanggah Toyo. Ada benarnya juga, mengingat hujan abu semalam.
"Aku yo mung takon kok, Toy. Hmm, yawes manut ae. Merapi yo rapopo wong niate munggah kene kok."
"Aku ra masalah endi wae, sing penting seneng-seneng kok," Toyo menambahkan.
"Aku yo ho o."
"Melu-melu e Beng!"
"Ha kok nyenthe e Cong, lahloh ae."
"Yowes nek do ora ono sing keberatan, Merapi wae ngko sore mudhun. Pie?" ujar Gakros menyimpulkan.

Tentu saja tak ada yang keberatan. Orang-orang ini semua pernah mendaki dan memuncaki Merbabu, meskipun melalui jalur Wekas. Bagi mereka, pilihan Merbabu Selo ataupun Merapi Pasar Bubrah adalah perkara mudah. Bagi saya yang gagal memuncaki kedua gunung ini, mendaki Merapi namun hanya Pasar Bubrah merupakan pil pahit ibarat tradisi yang terulang. Ah, sudahlah. Toh niat saya bersenang-senang bersama teman-teman SMA setelah jemu berkutat dengan penatnya proses perkuliahan.
Mbuh pie carane, bongkar!
"Gek uwes, Nda!"
Entah dari mana istilah "Nda" ini, apakah nama orang ataukah dari film, saya juga lupa. Akan tetapi setahu saya, fungsinya menggantikan sebutan panggilan orang lain.
"Kosek, Nda. Ewangi nata motor ki lho."
Motor yang tadinya telah siaga dengan gagah di pekarangan, diparkir kembali. Tas yang sudah terpacking rapi, diudal-udal tanpa ampun. Barang-barang yang tak diperlukan, dikumpulkan jadi satu di pojok ruangan.

"Gak, tenda pie?"
"Guwang ae."
"Tenane?"
"Iyo, ngko Anggra ben dadi pawang udan, mbuh pie carane."

Saya terkekeh mendengar percakapan tersebut. Jujur saya khawatir juga. Tenda tak dibawa. Alat masak hanya seperlunya. Sleeping bag pun ditinggal. Muatan yang tadinya 3 karier dan 4 ransel dipress menjadi 2 karier dan 3 ransel plus satu tas selempang. Peralatan tim dan konsumsi kemudian dibagi rata ke karier Gakros dan saya serta ransel Ibeng, Samcong, dan Kanji. Saya mengingatkan untuk tetap membawa mantel atau ponco demi alasan safety. Saya pun diam-diam mengangkut sleeping bag dan peralatan rescue ke dalam karier. Setelah berbulan-bulan dibiasakan, rasanya tak tenang kalau mendaki tanpa prosedur safety yang sesuai.
Bersiap berangkat
"Kanji nggowo banyu, konsum karo peralatan kamera. Samcong nggowo banyu karo ponco. Ibeng nggowo banyu karo cemilan lengkap. Lah kowe nggowo opo e, Toy?" sindir Kombir yang melihat Toyo hanya membawa sebuah tas selempang yang entah apa isinya itu.
"Menengo su. Ngoco!!" balas Toyo. Yah Kombir memang tidak membawa apapun kecuali pakaian yang menempel dan sweater yang dikalungkan ke lehernya.

"Pemanasan sik Gak!" perintah Kanji ketika kami hendak berjalan naik. Tak berani membantah dan demi alasan keselamatan, kami pun pemanasan dan peregangan meski hanya sebentar. Maklum saja, niatan awal kami adalah camp di gunung dan bermalam di atas. Wajar saja kalau kami tak sabar mengejar impian yang sudah pasti tak mungkin terealisasi.

Usai pemanasan, kami berdoa memohon keselamatan dan kelancaran pendakian. Mendaki di tengah Merapi sedang siaga memang nekat, namun kami tetap berusaha menyadari batas-batas kemampuan kami tanpa menantang maut. "Yo munggahe alon wae, ojo ninggali. Ngko nek ana sing kesel gawa tas ben Toyo karo Kombir genteni."
"Wegah aku."
"Su e Toy!" balas Ibeng.

"Wah foto sik iki penake," ucap Kanji lirih, mungkin pengingat untuk dirinya sendiri. Akan tetapi setiap perkataannya bak komando, titah yang tak terpatahkan.
Akhirnya....

Padusan Merapi (15-16 Juli 2012) 1 : #PrayFor33

Percaya tidak percaya, ini adalah tulisan yang sebenarnya hendak saya publikasikan di tahun 2012. Akan tetapi berhubung ceritanya panjang, saya pun tak sempat melanjutkan tulisan. Akhir tahun 2016, saya mereview ulang blog dan kemudian menemukan tulisan ini. Belum tuntas, hanya setengah jadi saja. Oleh karena itu, tulisan ini akan saya lanjutkan namun dibagi menjadi 3 chapter. Kenapa harus 3 chapter? Tidak ada alasan spesifik, hanya soal kenyamanan saja. Saya yakin pembaca dan diri saya sendiri tidak terlalu suka tulisan yang terlalu panjang dan ngalor ngidul. Maka dari itu, ngalor ngidulnya tidak saya jadikan satu, melainkan tiga.

* * * * *

"Pak, ayo munggah merapi." sms dari Mada, yang biasanya dipanggil Gakroso, hinggap di nokia 101 ku. Lho kok dipanggil 'Pak' sih? Ya itu semacam cara manggil aja di angkatanku SMA, istilahnya kayak pake kata 'Bro' dan sebagainya gitu.

Hmmm, iya ya uda lama juga aku ga mendaki bareng anak-anak SMA. Sebenernya mereka sering ngadain pendakian gitu tapi karena kesibukanku sebagai akademisi di kampus yauda aku biasanya nitip salam aja. Wah tapi uda sebulan lebih ga nggerakin badan nih, gimana ya? Well, setelah 'Menuju Puncak Kenikmatan Nan Barokah Di Negeri Pasundan' (FUD), aku 'balas dendam' dengan males-malesan dan nyantai-nyantai. Tapi ajakan ini akhirnya kuiyakan mengingat aku belum pernah muncak Merapi.
Gakros
Singkat cerita, 14 Juli terkumpullah lima orang lainnya yaitu Yoga  (Kanji), Ridhwan (Ibeng), Tito (Toyo), Mahfudz (Samcong), dan Yodha (Kombir). Pendakian ini tadinya nyaris ga jadi, setelah Gakroso kesleo dirumahnya. Tapi karena lemahnya alibi dan engga ada saksi, alasan itu gabisa diterima yang lainnya.
Kanji

Pendakian Merapi ini semacam nostalgia, sebelumnya dua tahun lalu kami pernah berkunjung ke Merapi dengan personil yang berbeda. Saat itu adalah pendakian pertamaku, tapi karena keterbatasan stamina aku gagal muncak. Bagi Gakroso sendiri, pendakian Merapi ibarat padusan atau ritual membersihkan diri yang biasa dilakukan sebelum memasuki bulan Ramadhan. Dan aku nulis ini bukan sebagai catatan perjalanan yang ditujukan buat 'membantu' penikmat alam lainnya, tapi cuma untuk pengingat momen-momenku saat di Merapi aja.
Ibeng

15 Juli, kami janjian kumpul di Angkringan UII di Jl. Kahar Muzakir. Ibeng yang rumahnya gak jauh dari rumahku berniat datang tepat waktu, jam 10. Yah sekalian aja aku nebeng. Waktu SMA dulu, ada istilah Waktu Indonesia Bagian Namche, yang maksudnya anak Namche itu punya 'jam'nya sendiri yang akibatnya molor ga tanggung-tanggung. Aku dan Ibeng jelas datang paling awal karena tepat waktu, disusul Kanji jam 11.00, Gakroso dan Kombir yang aku gatau jam berapa mereka datang karena aku lagi belanja bekal, serta Toyo yang datang jam 14.00...hanya dengan pakaian, motor, dan tas slempang isi rokok.
Toyo
Setelah menyiapkan berbagai bekal dan nyewa peralatan, kami berangkat tepat setelah sholat Ashar. Perjalanan menuju Selo yang panjang dan berkelok-kelok seakan tak terasa karena dihibur dengan pemandangan indah yang disajiikan oleh Merapi dan alam di sekitarnya. Kami sempat mampir makan di warung pinggir jalan karena dorongan cairan lambung yang menggerus keyakinan kami untuk makan di basecamp Selo.
Samcong
Perjalanan pun berlanjut. Sebelum basecamp, trek menanjak lurus menghadang kami. Aku yang saat itu berboncengan dengan Gakros di atas motor Ibeng pun mulai was-was karena muncul tanda-tanda engga kuat. Benar saja, beberapa meter sebelum basecamp aku harus melompat dari motor karena tidak kuat menarik beban kita berdua. Haha. Kami pun sampai di basecamp sebelum Maghrib.
Kombir
Apes. Itulah yang dapat aku katakan. Saat itu warga sekitar melihat asap hitam mengepul dari arah Gunung Merapi dan mereka pun berkumpul di sepanjang jalan dekat basecamp untuk mengamati keadaan Merapi. Mereka belum yakin apakah itu awan panas atau apa. Parahnya di saat yang sama ada pendaki yang mengalami kecelakaan di atas sana. Rumornya adalah terjatuh di tempat yang kurang nyaman sehingga mengalami luka-luka. Tapi dia masih bisa jalan kok ,walaupun pelan. Tetap saja kejadian itu sudah cukup membuat suasana mencekam. Meskipun awan tadi dipastikan hasil dari guguran lava, para warga tidak ingin kami mengambil resiko untuk melanjutkan perjalanan. Walhasil, kami pun beristirahat di basecamp hingga waktu yang belum ditentukan.
Saya


Salah satu prosedur keamanan yang wajib kami lakukan sebelum pendakian adalah memberi kabar kepada rekan-rekan kami di basecamp atau di jogja. Meskipun kami tidak mengharap celaka, namun pencegahan selalu lebih baik bukan? Begitu pun saat itu, banyak rekan yang tahu bahwa kami melakukan pendakian ke Gunung Merapi. Ternyata di berbagai berita muncul kabar terkait kondisi Gunung Merapi yang menampakkan aktivitas dapur magmanya.

Kondisi kami saat itu membuat khawatir teman-teman di Jogja. Berhubung saat itu media sosial paling tenar adalah Twitter, sontak saja twit dengan hashtag #PrayFor33 bertebaran di timeline kami. Angka 33 yang menunjukkan angkatan sispala kami, meski tak semuanya anak pecinta alam, menjadi viral di berbagai angkatan.

Ada kakak kelas yang mencoba menghubungi kami via telepon namun gagal. Ada adik kelas yang mengontak basecamp Gunung Merapi namun tak dapat terhubung. Ada pula senior kami yang menyiagakan tim penyelamatan apabila skenario terburuk terjadi. Di saat bersamaan, kami, yang tak tahu kekhawatiran rekan-rekan di Jogja karena keterbatasan sinyal, sedang menikmati cemilan yang dibawa masing-masing dan asik bermain kartu remi.
Rekan-rekan di Jogja sedang panik
Kami yang sampai di basecamp kurang lebih pukul 18.00, telah menghabiskan 4 jam foto-foto di basecamp, ngemil, dan main kartu. Lama kelamaan bosan juga karena Samcong hampir selalu kalah, Toyo hampir selalu menang, dan Gakros hampir selalu tak kelihatan batang hidungnya, entah hilang ke mana. Dirundung kebosanan yang menjemukan, muncul wacana untuk mendaki Gunung Merbabu. Masalahnya tak ada satu pun dari kami yang berpengalaman via jalur Selo, bahkan basecampnya dimana saja kami tak tahu (bahkan itu adalah kali pertama saya tahu bahwa Merbabu bisa dicapai via Selo). Gakros pun mencoba menghubungi rekan-rekannya yang sebagian besar adalah juru kunci gunung ataupun pendaki veteran.

Tengah malam tiba, namun ijin untuk mendaki tak kunjung didapat. Kecewa, pasti. Akhirnya kami memutuskan untuk mendaki Gunung Merbabu keesokan hari meskipun tak ada yang tahu jalur. Sudahlah yang penting kita bersama, hambatan menghadang hadapi penuh kesabaran. Kami pun memutuskan untuk segera tidur.

KKN-PPM Gadjah Mada - Dandang Gula by Pak Podo

KKN-PPM Gadjah Mada - Dandang Gula by Pak Podo
Kang sinanggit sekar dandang gendis
Mung kinarya njumbuhake rasa
Rasa ing sanubarine
Riharas jroning kalbu
Manunggaling ati pakarti
Lathi pan jangkepira
Kang kinarya laku
Lakuning pakarti tama
Nora ngetang akehing budi utami
Pasrah maring kang kwasa

Wulan pasa tahunipun alip
Mangsa siji windune sangara
Kuruwelut nggih wukune
Sangalas papat pitu
Tanggal siji ing tahun jawi
Mahasiswa Gadjah Mada
Lumebet ing dusun
Dusun Puthon Girimulya
Cacah sapta kakung putri ingkang prapta
Nyawiji mring kawula

Kang sawiji putri Sala Vivi
Kang kapindo Wedar Purwakerta
Dene ingkang katelune
Ing Sukaharja Pramu
Kaping papat Adit lan Rani
Kekalih saking Yogya
Kalima puniku
Anggara Ngayogyakarta
Kang pungkasan Achda Jaten kang winarni
Sadaya mahasiswa

Pamintaku mring sira puniki
Wigatosna aywa ngantikemba
Mring sira kang disik dewe
Den bakuh ing pikukuh
Sregep srawung ja nganti lali
Asih maring sasama
Apan iku baku
Lamun benjang wus makarya
Ngati ati manah jujur sing taberi
Muga slamet slaminya

As You Walk On By, Will You Call My Name?

Hidup ini ibarat sebuah perjalanan. Begitulah kata banyak orang. Yap, perjalanan. Bisa jadi panjang ibarat berkunjung ke Argopuro via Baderan atau mungkin pendek seperti memuncaki Gunung Purba Nglanggeran, tiada yang tahu. Sebenarnya analogi tersebut engga selamanya pas juga sih, mengingat tujuan utama seorang petualang bukanlah mencapai puncak. Entah apapun "puncak" yang dimaksud itu, puncak gunung, akhir jeram, nge"top" tebing, atau apapun. Bukan "puncak" yang itu, tujuan utamanya adalah pulang. Pulang sampai ke rumah dengan selamat.

Perjalanan mencapai "puncak" itu pun tak ada yang tau waktu sesungguhnya. Ada yang mencapai "puncak" pendek namun membutuhkan waktu panjang, begitu pun sebaliknya. Dan terkadang setelah pulang pun ada perjalanan-perjalanan lain yang kita tak pernah tahu sebelumnya. Tak ada yang tahu bagaimana perjalanan itu sesungguhnya, mungkin berhenti di tengah jalan setelah ataupun sebelum mencapai "puncak".

Tak ada perjalanan yang dapat kita pahami kisahnya sebelum dilaksanakan. Kita hanya bisa merancang rencana berdasarkan berbagai gambaran yang ada. Persiapan dalam berbagai aspek pun tak jauh dari apa yang kita tahu sebelumnya. Tak ada yang tahu, tak ada yang pasti.

Perjalanan yang kita tempuh pun belum tentu perjalanan seorang diri. Pasti ada teman. Setidaknya ada rekan lain beda tim yang akan berjumpa dengan kita. Mungkin saja. Kemungkinan untuk keasyikan berinteraksi pun tidak tertutup. Kita nyaman dan bahagia dengan mereka. Tetapi sebuah perjalanan tetaplah perjalanan. Persimpangan jalan ataupun perbedaan "puncak" bisa memisahkan hubungan dinamika yang apik.

Hidup penuh dengan kemungkinan, begitu juga dengan perjalanan. Jika dalam perjalanan ini saya bertemu lagi denganmu apa yang akan terjadi? Tak ada yang tahu. Mungkin engkau telah bersama rekan lain, mungkin saya akan mengharapkanmu, mungkin kita ibarat orang tak kenal sama sekali, terlalu banyak kemungkinan.

Ketika pertemuan itu, seiring kaki kita melangkah semakin mendekat perlahan akankah engkau mau memanggil nama itu? Akankah kau melakukannya saat kita baru sebatas berpandangan? Ataukah ketika ketika jarak kita sepanjang lengan? Atau waktu wajah kita berpapasan? Atau mungkin kau tidak akan pernah memanggil, melewati diri ini sambil lalu tanpa menghiraukannya sedikit pun.

As you walk on by, will you call my name?
Tidak, saya tidak pernah tahu engkau akan memanggilnya atau tidak. 
As you walk on bywill you call my name?
Jika engkau panggil, pertemuan itu akan memiliki kisah yang bermakna dan mungkin berujung pada kebahagiaan.
As you walk on bywill you call my name?
Kalaupun tidak, saya harap kita tetap bahagia dalam jalan yang berbeda.