Mataku yang sedari tadi terpejam pun akhirnya sedikit demi sedikit terbuka. Alunan shalawat yang menjadi dering alarm hp seseorang terus berdendang. Mengganggu tidur, kalau boleh jujur. Kutengok hp, masih jam 03.00 dini hari. Ngantuk.
Ternyata Afiq yang ada di sebelahku juga ikut terjaga, ia segera beranjak. Aku yang tak bergeming dari posisi tidur pun penasaran dengan apa yang akan ia lakukan kemudian mengambil posisi duduk. Ia berjongkok beberapa meter di depanku, meraih ketel dan menuang air ke dalam gelas.
"Aku siji, bro." Ia tak menjawab, hanya menyodorkan gelas berisikan air putih. Kutenggak sampai habis. Haus.
"Aku mau ngimpekke si Bagus munggah Turgo (Aku tadi mimpi si Bagus naik Turgo)," ucapku.
"Aku ngimpi Dyaning nangis-nangis merga wetenge lara njuk njaluk diterke bali. Neng Padang. Diterke Enop (Aku mimpi Dyaning menangis terus-menerus karena perutnya sakit lalu minta diantar pulang. Ke Padang. Diantar Enop)," balasnya.
Hmm, obrolan yang sangat berkualitas di pagi hari. Segera saja kami berdua mapan dan memejamkan mata.
Alarm yang sama mengalun menghentak kurang lebih dua jam kemudian. Aku segera bangun. Jengkel. Tapi daripada berlama-lama dongkol, aku segera beranjak ke kamar mandi. Urusan perut. Daripada harus mengantri siang nanti (karena kamar mandi hanya satu di basecamp). Lega, aku bergegas ke masjid yang tak jauh dari basecamp. Mengasingkan diri.
Setelah merasa cukup bertemu dengan-Nya pagi itu, aku pun beranjak keluar. Ada Enop yang sedang telponan entah dengan siapa, yang jelas dia 2 bulanan sama pacarnya. "Mas, sendalku ilang," ujarnya. Mataku melirik ke ujung kakinya. "Mely". Kasian, tadinya "Joger" sekarang berganti rupa.
Di dalam basecamp ada beberapa pendaki yang baru datang, anak-anak yang lain pada ngobrol-ngobrol sedangkan aku berkutat dengan perihal makan. Ya, kalau engga makan ya ga pulang-pulang. Akhirnya dengan sedikit nyusu-nyusu, makanan pun datang. Langsung saja saya ajak anak-anak buat makan. Cepat makan, cepat pulang.
Ketika makan, Febri kuminta untuk segera mencari angkutan pulang sambil menunggu tim yang lain pada mengantri di depan kamar mandi. Dapat. 175 sampai Terminal Purbalingga. Tak berselang lama, tim sudah pada kembali. Aku berpamitan dengan pemilik basecamp dan beberapa pendaki yang ada di sana kemudian langsung saja : cabut!
Kami naik pickup dengan stiker rajabalap.com di bagian belakangnya. Benar saja, perjalanan turun ke Purbalingga pun ia mbalap. Sampai Afiq (yang ada di paling belakang) terlempar-lempar. Ia jongkok, pegangan dan bersiap lompat (sambil jongkok) ketika melewati jalanan rusak, namun apa daya usahanya tampak sia-sia. Terlihat dari ekspresinya yang sangat ekspresif.
Sekitar 1 jam dari basecamp kami sampai di Terminal Purbalingga, jam 9 kurang lebih. Usai angkut mengangkut tas, kami masuk mencari tumpangan ke Yogyakarta. Satu kesalahan fatal. Tidak ada bus ekonomi tujuan Yogyakarta dari Terminal Purbalingga. TIDAK ADA. Yang ada hanya bus efisiensi, fyeaah. Akhirnya kami memutuskan untuk ke Terminal Purwokerto saja, mencari bus yang sudi mengantar ke kampung halaman.
Febri (yang emang pos transport) mencari bus ke Purwokerto, namun ternyata ia malah digeret sama kernet bus. Tas gunungnya disunggi si kernet dan langsung ditaruh di atap bus. Buat kamu yang lagi baca ini, pokoknya jangan sekali-sekali menyerahkan barangmu (apapun itu) ke orang asing. Fatal akibatnya. Sungguh. Si kernet emang kernet bus ke Purwokerto. Tapi tindak-tanduknya kok mencurigakan. Sungguh mencurigakan.
Aku tanya ke Febri kok ngambil bus yang ini dan menyampaikan asumsiku terhadap gelagat si kernet. Dia pasrah saja. Yaudahlah, gimana lagi. Aku pun ikut pasrah. Ternyata kuliah selama hampir 4 semester di Psikologi tidak sia-sia, asumsiku dan beberapa rekan yang lain tepat. Sangat tepat. Saat bus uda jalan, si kernet narikin ongkos. Febri langsung saja memberi 40ribu. Maklum saja, ongkos Purwokerto Purbalingga itu kisaran 6000. Paling mahal 7000 (uda termasuk tas gunung). Tapi si kernet minta 15000, per orang! Sontak saja aku emosi dan kami berdua berdebat dengan si kernet itu. Usai berdebat cukup panjang (aku uda males nanggepin jadi aku serahin Febri), kami membayar 10000 per orang. Tentu saja dengan berbagai pisuhan dan kutukan terlebih dahulu.
Ternyata oh ternyata, bukan hanya kami yang dikemplang (dikenai harga yang tidak wajar, umumnya jauh lebih mahal). Semua yang ada di bus itu pun kena. Wah, wah rejeki yang tidak barokah ini namanya. Parah. Aku yang sedari tadi getem-getem hanya bisa meminta maaf pada Tuhan dengan memainkan butiran gelang. Tapi ada dua orang yang menarik perhatianku. Dua mbak-mbak alay dengan jeans dan atasan yang tabrak warna serta corak bermacam-macam. Dengan rambut yang di cat warna emas dan helm berkualitas yang ditenteng, keduanya mengobrol dengan seru. Satu hal yang menggelitik, keduanya enggan terdengar ngapak dan menggunakan bahasa gaul. Kami yang sudah empat hari bergelut dengan ngapakers dan sudah biasa, jadi merasa asing mendengar keduanya berbicara. Tapi ya namanya logat bawaan, di dalam bahasa gaul yang mereka gunakan secara engga sadar logat ngapaknya muncul. Usaha yang keras.
Sampai juga kami di Terminal Purwokerto, saat itu pukul 09.45. Segera saja kami mencari bus. Dapat. Yah meskipun harus menunggu sekitar 45 menit sih, gapapa yang penting pulang. Kurang lebih 10.30 kami meluncur dari Purwokerto menuju Jogja. Ya, Yogyakarta.
Empat hari aku berpisah dengan Jogja, hal yang berat. Berpisah dengan orangtua, teman-teman, internet, komik, dan lain sebagainya ternyata berat juga. Aku yang sudah tidak sabar melihat suasana kota yang hangat menghabiskan waktu di bus dengan ngemil, baca koran, dan pastinya tidur. Memimpikan Jogja.
Jam 15.45 kami sampai di Terminal Giwangan, Yogyakarta! Yap kami tinggal menunggu jemputan dari senior Palapsi, Mas Indra, terus culat dilanjutkan eva dan berakhirlah operasional ini. Operasional Sluman Slumun Slamet yang sarat pengalaman baru telah mencapai bagian post during, hampir ending. Masing-masing dari tim gunung punya pengalaman menarik yang tentu beda satu sama lain. Bukan masalah besar bagiku, yang menjadi PO (pimpinan operasional) kali ini, karena pengalaman itu bisa dishare. Satu hal yang utama, akhirnya kami menyentuh Jogja!
Setelah merasa cukup bertemu dengan-Nya pagi itu, aku pun beranjak keluar. Ada Enop yang sedang telponan entah dengan siapa, yang jelas dia 2 bulanan sama pacarnya. "Mas, sendalku ilang," ujarnya. Mataku melirik ke ujung kakinya. "Mely". Kasian, tadinya "Joger" sekarang berganti rupa.
Di dalam basecamp ada beberapa pendaki yang baru datang, anak-anak yang lain pada ngobrol-ngobrol sedangkan aku berkutat dengan perihal makan. Ya, kalau engga makan ya ga pulang-pulang. Akhirnya dengan sedikit nyusu-nyusu, makanan pun datang. Langsung saja saya ajak anak-anak buat makan. Cepat makan, cepat pulang.
Ketika makan, Febri kuminta untuk segera mencari angkutan pulang sambil menunggu tim yang lain pada mengantri di depan kamar mandi. Dapat. 175 sampai Terminal Purbalingga. Tak berselang lama, tim sudah pada kembali. Aku berpamitan dengan pemilik basecamp dan beberapa pendaki yang ada di sana kemudian langsung saja : cabut!
Kami naik pickup dengan stiker rajabalap.com di bagian belakangnya. Benar saja, perjalanan turun ke Purbalingga pun ia mbalap. Sampai Afiq (yang ada di paling belakang) terlempar-lempar. Ia jongkok, pegangan dan bersiap lompat (sambil jongkok) ketika melewati jalanan rusak, namun apa daya usahanya tampak sia-sia. Terlihat dari ekspresinya yang sangat ekspresif.
Sekitar 1 jam dari basecamp kami sampai di Terminal Purbalingga, jam 9 kurang lebih. Usai angkut mengangkut tas, kami masuk mencari tumpangan ke Yogyakarta. Satu kesalahan fatal. Tidak ada bus ekonomi tujuan Yogyakarta dari Terminal Purbalingga. TIDAK ADA. Yang ada hanya bus efisiensi, fyeaah. Akhirnya kami memutuskan untuk ke Terminal Purwokerto saja, mencari bus yang sudi mengantar ke kampung halaman.
Febri (yang emang pos transport) mencari bus ke Purwokerto, namun ternyata ia malah digeret sama kernet bus. Tas gunungnya disunggi si kernet dan langsung ditaruh di atap bus. Buat kamu yang lagi baca ini, pokoknya jangan sekali-sekali menyerahkan barangmu (apapun itu) ke orang asing. Fatal akibatnya. Sungguh. Si kernet emang kernet bus ke Purwokerto. Tapi tindak-tanduknya kok mencurigakan. Sungguh mencurigakan.
Aku tanya ke Febri kok ngambil bus yang ini dan menyampaikan asumsiku terhadap gelagat si kernet. Dia pasrah saja. Yaudahlah, gimana lagi. Aku pun ikut pasrah. Ternyata kuliah selama hampir 4 semester di Psikologi tidak sia-sia, asumsiku dan beberapa rekan yang lain tepat. Sangat tepat. Saat bus uda jalan, si kernet narikin ongkos. Febri langsung saja memberi 40ribu. Maklum saja, ongkos Purwokerto Purbalingga itu kisaran 6000. Paling mahal 7000 (uda termasuk tas gunung). Tapi si kernet minta 15000, per orang! Sontak saja aku emosi dan kami berdua berdebat dengan si kernet itu. Usai berdebat cukup panjang (aku uda males nanggepin jadi aku serahin Febri), kami membayar 10000 per orang. Tentu saja dengan berbagai pisuhan dan kutukan terlebih dahulu.
Ternyata oh ternyata, bukan hanya kami yang dikemplang (dikenai harga yang tidak wajar, umumnya jauh lebih mahal). Semua yang ada di bus itu pun kena. Wah, wah rejeki yang tidak barokah ini namanya. Parah. Aku yang sedari tadi getem-getem hanya bisa meminta maaf pada Tuhan dengan memainkan butiran gelang. Tapi ada dua orang yang menarik perhatianku. Dua mbak-mbak alay dengan jeans dan atasan yang tabrak warna serta corak bermacam-macam. Dengan rambut yang di cat warna emas dan helm berkualitas yang ditenteng, keduanya mengobrol dengan seru. Satu hal yang menggelitik, keduanya enggan terdengar ngapak dan menggunakan bahasa gaul. Kami yang sudah empat hari bergelut dengan ngapakers dan sudah biasa, jadi merasa asing mendengar keduanya berbicara. Tapi ya namanya logat bawaan, di dalam bahasa gaul yang mereka gunakan secara engga sadar logat ngapaknya muncul. Usaha yang keras.
Sampai juga kami di Terminal Purwokerto, saat itu pukul 09.45. Segera saja kami mencari bus. Dapat. Yah meskipun harus menunggu sekitar 45 menit sih, gapapa yang penting pulang. Kurang lebih 10.30 kami meluncur dari Purwokerto menuju Jogja. Ya, Yogyakarta.
Empat hari aku berpisah dengan Jogja, hal yang berat. Berpisah dengan orangtua, teman-teman, internet, komik, dan lain sebagainya ternyata berat juga. Aku yang sudah tidak sabar melihat suasana kota yang hangat menghabiskan waktu di bus dengan ngemil, baca koran, dan pastinya tidur. Memimpikan Jogja.
Jam 15.45 kami sampai di Terminal Giwangan, Yogyakarta! Yap kami tinggal menunggu jemputan dari senior Palapsi, Mas Indra, terus culat dilanjutkan eva dan berakhirlah operasional ini. Operasional Sluman Slumun Slamet yang sarat pengalaman baru telah mencapai bagian post during, hampir ending. Masing-masing dari tim gunung punya pengalaman menarik yang tentu beda satu sama lain. Bukan masalah besar bagiku, yang menjadi PO (pimpinan operasional) kali ini, karena pengalaman itu bisa dishare. Satu hal yang utama, akhirnya kami menyentuh Jogja!
4 Komentar
aku telponan sama ibukku maaaaas yaampun u,u penting banget 2 bulananku pake ditulis di sini juga :"
Balaswah penting itu, namanya juga catatan perjalanan kok. hahaha.
BalasYah, lumayan...
BalasSemoga jadi ke cartenz ya...
no comment deh, haha.
Balassemoga di generasi penerus saja.
POST A COMMENT