Tiap Tulisan Sangat Bermakna

Tiap Tulisan Sangat Bermakna
Buatlah tiap-tiap tulisanmu berharga dan bermakna. Pastikan, periksa, dan perhatikan baik-baik maksud utama dari tulisanmu. Karena kamu tidak tahu, kamu sungguh tidak akan tahu bahwa ada orang lain yang membaca karyamu dengan sepenuh hati. Bahwa tulisanmu mungkin mengaduk perasaannya. Bahwa tulisanmu mampu mengubah kehidupannya. Pastikan hal tersebut mengarah pada hal positif yang baik-baik.

Dalam sebuah kesempatan saya iseng-iseng membaca tulisan dari rekan jauh. Seorang rekan yang kini tak pernah lagi bertatap muka ataupun bertegur sapa. Kenal dekat pun tidak, hanya kenal nama. Secara tidak sengaja saya memperoleh alamat web yang berisikan tulisan hasil karyanya.

Perubahan paradigma. Cara pandang saya terhadap dirinya menjadi berbeda. Di luar dugaan. Ada kerapuhan, ada keterpurukan, ada kebahagiaan, dan ada sebuah inspirasi di dalamnya. Saya yakin, sangat yakin bahwa ia tidak menyangka saya akan membaca tulisan tersebut. Tetapi nyatanya saya membaca dan sebuah pengalaman baru merasuk dalam benak saya. Hati-hatilah dengan tulisan dan perilakumu, kawan.

Bio : "I am Surpassing You"

Bio : "I am Surpassing You"
"I am surpassing you"
Bio twitter yang muncul akibat rasa iri menghujam diri dan menghabiskan banyak waktu hanya untuk merenung.

"Saya sedang mengunggulimu". Ya. Bukan akan, bukan pula telah. Akan menggambarkan awang-awang serta angan-angan yang kemungkinan terjadinya masih fifty-fifty. Telah menyiratkan kepastian yang telah terjadi, fakta yang tak terbantahkan lagi. Bukan akan bukan pula telah, namun sedang. Sedang menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi masa ini. Tidak seperti akan yang membicarakan masa depan yang tak pasti, tidak pula telah yang membahas masa lalu yang selesai terangkai. 

Sedang membuka peluang perubahan sehingga menyangkal kemungkinan tunggal seperti yang telah lakukan. Di sisi lain, sedang memacu kita untuk bergerak saat ini detik ini tidak seperti akan yang terkesan berjangka waktu panjang. Sedang bergerak dengan dinamis, berbeda dengan telah yang sudah pasti statis. Sedang bergerak menggunakan aspek kognisi, afeksi, dan psikomotor berbeda dengan akan yang bergerak dalam benak pikiran saja. Sedang, sedang, sedang. -ing, -ing, -ing.

"Saya sedang mengunggulimu". Ada dua peran dalam kalimat ini. Siapakah "saya"? Tentu saja saya sebagai pemilik twitter, tidak lain tidak bukan adalah ANC. Kemudian siapakah "kamu"? Kamu, iya kamu. Siapakah subjek yang dimaksud "saya" sebagai kamu di halaman media sosialnya? "Kamu" adalah saya. Jangan terjebak dengan paradox. "Kamu" adalah saya. Ya, saya sendiri. Saya sebagai pembaca bio tersebut, saya sebagai orang yang melihat akun saya. Ya, dua orang saya dalam peran yang berbeda.

Ketika itu saya menyesal. Banyak waktu yang tersita untuk sekadar scrolling timeline tiap harinya. Meskipun telah membaca di kesempatan sebelumnya, kadang di kesempatan lain tetap saya lanjutkan menuju tulisan-tulisan yang jelas-jelas sudah dibaca. Pemborosan waktu. Sia-sia. Maka muncullah ide menuliskan kalimat tersebut. Satu harapan terbersit, semangat saya terpacu tiap kali membacanya.

Terpacu? Bagaimana mungkin? Yap. Dengan kalimat itu saya menyesali banyaknya waktu yang terbuang sia-sia. Dengan kalimat itu saya menyadari bahwa banyak hal produktif lain yang bisa saya lakukan.

Ada satu hal lagi. Dengan kalimat itu, saya memahami bahwa saya sedang dalam sebuah kompetisi akbar. Saya di saat ini sedang berkompetisi dengan saya di masa lalu dan saya di masa depan. Sedang vs Telah vs Akan. Saya harus bisa lebih baik daripada saya di masa lalu, maka saya harus berusaha dan memperbaiki diri. Saya harus bisa lebih baik dari saya di masa depan. Bagaimana mungkin, wong kita belum tahu masa depan kita? Memang kamu bisa memastikan keberadaan nyawamu satu detik ke depan? Tidak kan? Maka dari itu, saya harus lebih berusaha dan memperbaiki diri lagi di saat ini agar bisa mengungguli saya di masa depan.

"Saya sedang mengunggulimu." ~ (Cahyo, 2014)

Gonjang-Ganjing Samudera : Wiwitaning Dina

Gonjang-Ganjing Samudera : Wiwitaning Dina
Iki wayahe "Bulan Besar".
Menjelang Sasi Suro, Tahun Saka.
Sementara sang komandan bertengger di pucuk pemerintahan,
Beberapa nayakapraja berlarian kesana-kemari sesuai wangsit yang diterima.

Sasi Besar, Sasi Dzulhijjah kalau di kalender muslim. Matahari telah surut sekian lama dan kini bulan bertengger di langit. Serigala dan anjing bersahutan melolong melengkapi dinginnya angin semilir. Meramaikan kondisi yang semakin hilang pangkal hilir, samudera luas menjadi tujuan yang pasti.

Kini para petinggi wilayah samudera berkumpul membahas seluk beluk daerah besar yang mereka tinggali bersama. Skala makro, skala mikro, mereka menguasai tiap-tiap pokok bahasan. Pantas sudah jika menjadi perwakilan masing-masing area. Berunding di tempat tersembunyi, dengan ajian khusus yang mampu menutup penglihatan makhluk lain. Bahasan terselubung penuh rahasia dibicarakan demi kelangsungan samudera.

Rerumputan samudera, mestinya tinggal dekat area perundingan. Mestinya. Namun ia memutuskan pergi, lari dari area yang sama. Mencari selamat. Entah apakah jika tinggal ia akan selamat atau tidak. Tidak tahu. Entah apakah jika pergi ia akan selamat atau tidak. Tidak tahu. Berlagak tidak tahu, mengejar keinginan personal. Mencari batas samudera yang selama ini tidak pernah ia pikirkan.

Selamat tinggal, Samudera.

You Are What You Wear?

You Are What You Wear?
"Wah ini baju kok masih dipakai ta? Ini baju SD ta?" ujar Ibu ketika saya sedang njemuri pakaian.

Saya tersenyum. Memang, sebagian besar kemeja dan kaos saya adalah barang lama dalam artian belinya pas SD atau SMP. Beneran. Jarang sekali saya beli pakaian selama SMA maupun mahasiswa, paling dikasih atau dibelikan.

"Anggra gendutan ya?" ucap beberapa rekan saya.

Saya pun tersenyum kembali. Bukan gendutan, istilahnya adalah kembali gemuk karena ukuran saya ya segini-segini aja. All thanks to FUD yang telah mampu menurunkan berat badan 13kg dalam waktu 4 bulan saja. Kini saya jarang olahraga sehingga saya kembali pada bentuk tubuh awal. Yah, rindu masa-masa nggunung lah.

Beberapa waktu yang lalu saya membaca artikel mengenai sikap setia pada pendaki gunung, judulnya "Nak, Pacarilah Pendaki Gunung" atau apa, kurang ingat detailnya. Setelah merenung, saya pun mengamininya. 

Setia. Well ada benarnya sih. Saya ingat betul ketika Yandi, mantan kadiv gunung, mendapat kiriman tas carrier dari Padang tempat asalnya tinggal ketika FUD 2012. Dua tahun kemudian, meski tas yang dulu mulus kini sudah robek di sana sini, ia tetap memakai tas kebanggaannya itu ke gunung mana pun yang ingin ia kunjungi. Keadaan tasnya sudah memprihatinkan kalo boleh saya bilang, robeknya kebangetan. Tapi dia masih dengan setia merawat belahan kasih petualangan gunungnya itu.

Tidak hanya tas. Contoh kecil lainnya, baju. Salah satu partner gunung saya, Afiq, baju yang digunakan ketika naik gunung tidak banyak variasinya. Hanya dua seingat saya kaos bertuliskan "Who Are You?" dan "I'm Science Five" berwarna putih dan biru, padahal itu bukan seragam khusus untuk pendakian. Begitu pun Yandi yang meresmikan kemeja merah kotak-kotak sebagai pakaian resmi naik gunungnya. Saya? Kemeja kotak-kotak hitam putih adalah sahabat karib saya. Itu kemeja yang ada di foto background blog ini. Kemeja itu saya miliki sejak SD.

Barang-barang kami untuk berpetualang bukanlah barang yang bermerek mahal ataupun impor. Sekarang kan banyak sekali para pendaki yang menjadikan merek dan harga gear sebagai patokan sah tidaknya seorang pendaki. Tidak masalah jika diimbangi dengan skill dan pengalaman, sayangnya kedua hal tersebut tidak diperhatikan oleh pendaki-pendaki yang seperti ini. Hmm, sepertinya lain waktu akan saya tulis pengalaman mendaki Gede-Pangrango yang terkait dengan hal ini. Saya kenal beberapa petualang yang memiliki gear keren nan mahal, punya kemampuan dan pengalaman yang tinggi, tapi tidak pernah menjadikannya tolok ukur seorang pendaki gunung.

Mengenaskan. Mengenaskan jika kamu termasuk ke dalam kategori yang menilai pendaki dari merek alat yang ia miliki. Saya membayangkan jika ANC dikenal karena memiliki berbagai alat keren nan mahal, lalu ketika saya tidak memiliki alat keren nan mahal apakah saya masih ANC?

Simpel. Logam mulia akan tetap menjadi logam mulia, dengan packaging yang indah ataupun alakadarnya. Sebuah ironi jika logam mulia menjadi batu biasa hanya karena packaging mewah digantikan dengan balutan seadanya.



Saya?
Air susu dibalas dengan air tuba?
Habis manis sepah dibuang? 
Kacang lupa kulitnya?
Bukan.
Hanya katak dalam tempurung yang sadar dunia tak selebar daun kelor.

Seulas Senyum, Senantiasa Semangat


"Petualangan terhebat tidak berada di gua terdalam, jeram terderas, maupun gunung tertinggi.
Petualangan terhebat adalah menyaksikan sepasang mata berbinar penuh semangat meraih asa.
(Quote - entah siapa saya lupa sumbernya)"

Sampai jumpa lagi di saat kita semua sudah sukses, 
teman sekaligus adik-adikku kelas VI SD Widoro.

Orang Hebat! Yeah!

Ambil Kertas dan Alat Tulis

Ambil Kertas dan Alat Tulis
Sekali lagi...
Kamu tidak akan pernah tahu nilai sesuatu sebelum menemukan pembandingnya...

Beberapa waktu yang lalu ada sebuah program yang saya ikuti. Intinya bertemu dengan kakak-kakak senior Psikologi. Tidak hanya saya, ada lebih dari dua puluh orang yang mengikuti diskusi. Kami bermimpi menjelajah negeri. Well, fokus di sini bukan mengenai forum inspirasi.

Ketika itu ada pembicara mengatakan kata-kata mutiara yang sebenarnya biasa saya dengar, “Anda baru akan menyadari pentingnya sesuatu setelah kehilangannya, atau bertemu dengan pembandingnya”.

Bayangkan jika kamu menyukai satu jenis masakan. Tidak pernah ada jenis masakan lain yang pernah kamu coba sebelumnya. Maka hanya ada dua pilihan pemikiran yang muncul, masakan tersebut enak atau tidak enak. Akan tetapi kamu tidak pernah tahu seberapa enak maupun seberapa tidak enak masakan tersebut.

Hingga bertemu dengan suatu kondisi pembanding, misal bertemu jenis masakan lain. Setelah merasakan masakan lain tersebut, besar kemungkinan akan muncul pemikiran yang berbeda 1800 dengan pemikiran awal. Entah berpikir betapa enaknya suatu hal yang dianggap tidak enak, maupun betapa tidak enaknya sesuatu yang dianggap enak. Relatif. Butuh pembanding.

Apakah pembanding selalu dibutuhkan? Tergantung. Bisa iya, bisa tidak. Relatif.
Seseorang disebut cantik atau tampan, apabila ada sosok yang jelek.
Seseorang disebut kaya, apabila ada yang miskin.
Seseorang disebut beruntung, apabila ada yang sial.
Benarkah demikian? Sejak kapan dunia ini bersifat serba biner?

Saya menyadari betapa beruntungnya saya tanpa harus melihat orang sial di sekitar area.
Saya hanya membuat daftar, menuliskannya dalam kertas.
Daftar tentang apapun yang saya miliki, serta daftar potensi yang dapat dikembangkan.
Dan ternyata daftar tersebut tidak pernah selesai saya tuliskan.
"Dia telah bertualang melanglang buana, sedangkan saya masih saja terkungkung pasrah melakukan hal yang tak disuka. Saya ingin segera hengkang dari sini, dari tempat yang memenjarakan pikiranku." anc - 02.04.2014

Gonjang-Ganjing Samudera : Kisahku, Batu Tenggelam

Gonjang-Ganjing Samudera : Kisahku, Batu Tenggelam
Buaian sinar matahari dahulu adalah tempatku, kini aku tinggal di gelapnya samudera malam.

Yah, akulah batu tenggelam. Sesosok makhluk yang gemar digunjingkan oleh para penghuni samudera. Mulai dari rakyat daratan, raja lautan, hingga menteri-menteri samudera acap kali membicarakanku di balik punggungku. Kini aku hanya menyendiri, menyepi dan menepi di suatu sudut samudera. Di tempat yang tak terjangkau oleh sinar mentari, di tempat yang diasingkan oleh para penghuni samudera dengan topeng-topeng kebaikannya. Aku nelangsa, sejujurnya. Aku tersiksa oleh kesendirianku di pojok lautan. Akan tetapi di sini aku aman. Tidak ada makhluk bertopeng tersenyum di depan, namun menusuk punggungku. Di sini aku lebih aman. Aku aman di dalam kesendirianku, dibandingkan dalam hiruk pikuk keramaian yang berlangsung dalam samudera. Aku takut. Tersiksa. Muak.

Dahulu aku adalah batu yang tinggal di pinggiran sungai dekat samudera. Tiap hari yang ada hanyalah kesenangan dan kebahagiaan. Bermandikan sorot cahaya hangat dan dibuai oleh nikmatnya alam. Setiap hari aku dimanjakan oleh tempat tinggalku. Aku menari ditemani rerumputan hijau dengan irama deru arus sungai. Aku dikelilingi oleh bebatuan yang mengagumiku. Aku adalah pusat perhatian. Aku adalah bintangnya!

Bodohnya aku tergoda. Tergoda untuk menceburkan diri dalam sungai. Aku tidak puas hanya bermandikan hangatnya cahaya surya. Aku ingin lebih. Aku ingin lebih! Aku terjun ke dalam sungai yang kemudian dengan kejam menyeretku dalam arusnya. Oh sungguh di luar dugaan. Deru arus sungai yang kerap menjadi irama tarianku kini bergolak menarik tubuh tanpa ampun. Tubuh ini terus terseret arus yang menerjang. Berjuang tanpa harapan. Mata ini hanya bisa nanar memandangi kenangan-kenangan lampau. Tempat aku dipuja, tempat aku menjadi pusat perhatian.

Aku terseret arus sungai, arus waktu. Aliran itu bermuara pada samudera tanpa daratan di permukaan. Menyedihkan. Sungguh menyedihkan. Di sini banyak orang, memang. Tapi aku bukanlah pusat perhatian, bukan poros pergaulan. Oh dapatkah kau bayangkan betapa merananya diriku? Aku haus perhatian, perhatikan aku! Perhatikan aku!

Ini adalah samudera yang kejam. Kala aku ingin orang lain memperhatikanku, yang kudapatkan hanya cemoohan dan hinaan. Semakin aku berusaha tampil menjadi yang paling menonjol, para predator langsung menjeratku. Menarikku untuk tetap tenggelam di samudera. Aku terombang-ambing di tengah lautan, di bawah permukaan. Pyash! Setelah tenggelam sekian lama, aku berhasil muncul di permukaan lagi. Aku menarik nafas, menghirup udara yang dulu adalah hal yang biasa dan tak berharga bagiku. Aku berjuang untuk tetap berada di permukaan. Tempat paling tinggi di samudera, tempat di mana orang lain bisa melihatku, tempat di mana aku bisa memuaskan keinginanku untuk diperhatikan.

Hentakan kakiku mulai melemah. Sudah sekian waktu aku bertahan di permukaan. Menghentakkan tubuh tanpa henti, demi berada di tempat tertinggi. Aku lelah. Sungguh lelah. Hanya ada predator samudera yang menarikku untuk tenggelam. Tak ada teman, mungkin rasa kesepian dan kesendirian adalah teman-teman sejatiku. Kakiku lelah, tubuhku letih. Aku berhenti berjuang. Kubiarkan diriku untuk tenggelam dalam samudera yang kelam. Aku hanya dapat menatap miris sang mentari di balik permukaan air. Perlahan namun pasti, sinar matahari pun mulai samar seiring tubuhku yang terus tenggelam. Dan aku terhempas dalam gelapnya samudera malam.

You Are What You Write

You Are What You Write
"Mas Anclot ki nek nulis pasti dawa-dawa, males macane (Mas Anclot tuh kalau nulis pasti panjang-panjang, malas bacanya)," ucap seorang rekan saya.

Saya hanya bisa tersenyum. Bukannya tidak suka nulis pendek -dalam hal ini yang orisinil dari pemikiran pribadi- saya belum mampu lebih tepatnya. Ya, butuh kemampuan yang sangat luar biasa tinggi (menurut saya) untuk mengekstraksi semua pikiran yang ada di dalam kepala kemudian disintesakan ke dalam beberapa kalimat saja. Belum lagi apabila hati merasa tulisan tersebut masih terlampau panjang sehingga harus dikompres sedemikian rupa agar muncul fokus, intisari, atau pokok pikiran. Susah. eS U eS A Ha.

Bukan tidak mungkin memang bagi saya untuk menulis pendek. Tetapi hasilnya bukanlah suatu tulisan yang padat makna, melainkan tulisan tidak penting bagai angin lalu. Biarlah, namanya juga masih belajar. Pernah saya mendengar pernyataan bahwa style menulis seseorang menggambarkan kepribadiannya. Well hampir sebagian bisa dibuktikan kebenarannya. Ibarat tebak-tebakkan, kemungkinan benarnya setengah. Fifty-fifty.

Saya lebih suka menulis panjang, dan kalau bisa detil. Ibarat labirin, tulisan pendek akan membuat orang yang membaca bingung menentukan pintu masuk labirin, sedangkan tulisan panjang akan membuat orang bingung memilih jalan di dalam labirin. Menyenangkan. Keduanya sama-sama baik dan bagus, tidak ada satu pun yang salah maupun yang benar. Hanya saja, saya saat ini sedang fokus untuk belajar menulis tulisan panjang dan detil.

Biarkan masuk ke dalam labirin, dan sejauh mana mereka mampu berjuang meraih jalan keluar. Mirip seperti alur pikiran dalam otak, jika sensasi (stimulus dari luar) sudah keliru kecil kemungkinan persepsinya tepat, susah mendapatkan "jalan keluar" dari labirin kalau prosesnya tak sesuai. Menyenangkan. Tenggelam dalam labirin sendiri? Tak masalah.

Biarkan mereka tenggelam dahulu. Setelah tenggelam, berikan sedikit udara segar dan tenggelamkan lagi lebih dalam. Begitu seterusnya hingga terasa sangat tersiksa, terutama apabila telah melihat cahaya pencerahan namun sangat sulit menggapainya. Apalagi jika cahaya pencerahan tersebut tak sesuai dengan yang dimaksudkan, hmm entah bagaimana perasaannya. Tapi entah alur pikir seperti ini membuat perasaan bergelora. Alur ini saya dapatkan dari berbagai buku bacaan, novel, komik, game, dan film yang saya senangi.

Ahh, entahlah. Tulisan ini mulai tak karuan. Tetapi ada segelintir orang yang senang jika endingnya tak sesuai dengan dugaan khalayak umum kan? Istilahnya anti-mainstream. Well saat ini anti-mainstream sudah "mainstream", sehingga lebih baik berfokus pada individual differences jika memang benar-benar mau anti-mainstream. Jadi, apa keunikanmu? 

Matahari Senja Mengintip di Balik Pepohonan Youth Center


Jaman lawas, TKA 2012
Ketika kebersamaan masih indah
Ketika kuliah belum susah
Ketika pikiran belum runyam kebanyakan masalah
Ahh, masa lalu memang tak mungkin diulang lagi bukan?

Katak Dalam Tempurung

Katak Dalam Tempurung
Tersebutlah seekor katak yang hidup tak jauh dari sungai. Selama ini ia hanya berdiam diri dalam tempat tertutup nan terlindungi, aman bagi dirinya. Kehidupannya selama ini monoton dan sempit, ibarat peribahasa "Bagai katak dalam tempurung". Ya, benar-benar dalam tempurung. Katak itu tak tahu banyak mengenai dunia luar, mengenai alam di sekitarnya, maupun makhluk hidup selain keluarganya. Berada di dalam rumah mungkin menjadi hobi, bahkan kebiasaannya. Aman dan tenteram, begitu pikirnya.

Meski senang berada di dalam rumah, bukan berarti Katak itu selalu berada di dalam rumah. Ia sekali dua kali keluar rumah apabila ada hal-hal yang penting. Ketika itu, katak hendak mandi. Sudah cukup lama ia tidak mandi. Seminggu terakhir ini ia hampir tak menyentuh air, yang merupakan satu-satunya sahabat baik katak, karena hujan tak turun sehingga membuat kubangan di dekat rumahnya kering.

"Aduh bagaimana caranya aku mandi kalau air di kubangan kering? Padahal aku telah sekian lama bertahan hidup tanpa mandi, karena enggan pergi jauh mencari air. Sudah ditunggu-tunggu tak turun jua," katanya pada diri sendiri.

Pada saat yang hampir bersamaan, ia mendengar suara aliran air. Suara yang asing bagi telinga katak, namun juga familiar. "Sepertinya itu suara air mengalir," ucapnya agak ragu, maklum meskipun tinggal tak jauh dari sungai, namun ia belum pernah mendekati sesuatu yang bernama sungai barang sedikit pun. Semakin banyak ia melompat, semakin jelas suara air dari sungai tersebut. Ia pun makin bersemangat untuk mendekati aliran air demi menuntaskan sebuah kebutuhan dasarnya : mandi.

"Jadi ini yang disebut sungai," ujar Katak kepada diri sendiri. Ia melongok ke kanan dan ke kiri, mengagumi keindahan sungai dari dekat. Berada tepat di bibir sungai memberikan sensasi yang tidak biasa bagi Sang Katak. Percikan air dari sungai menetes membasahi tubuhnya, semakin meningkatkan keinginan Katak untuk berendam.

"Tak jauh berbeda dengan kubangan yang biasa aku gunakan mandi," ucapnya meyakinkan diri. Yah yang ia lihat memang bagian sungai dengan arus yang tenang, atau flat water. "Bedanya, kubangan ini jauh lebih besar dan ada aliran yang kecil. Itu saja," katak semakin berani mengambil tindakan.

Katak meloncat ke dalam sungai. Byurr! Plash! Ia muncul lagi ke permukaan air. "Ahh begini ternyata rasanya mandi di sungai?" Katak mulai berenang di dalam sungai, namun tak jauh dari daratan tempat ia meloncat tadi. Agaknya Katak belum berani meninggalkan "tali pengaman"nya. Pyuk..splash! Katak naik lagi ke daratan. Tubuhnya sudah cukup basah dan segar. Ia melompat kembali ke rumah dengan senyum mengembang. Sesuatu yang baru.

Keesokan harinya, hujan turun pagi-pagi sekali dan berhenti pada saat menjelang siang. Kubangan yang biasa Katak gunakan kembali muncul. Akan tetapi kali ini Katak tak berniat untuk bersantai dalam kubangan. Maka ia melompat keluar, menuju sungai. Bersantai dan bermain di sungai. Mandi kemudian berenang kesana kemari. Kali ini ia berenang sedikit lebih jauh dari daratan tempat ia melompat. Bersantai di atas permukaan sungai sambil menghangatkan diri di bawah terik mentari. Ketika sudah puas, ia berenang ke pinggir dan keluar dari sungai. Begitu terus rutinitas yang ia lakukan selama beberapa waktu, hingga pada akhirnya ia telah berani berenang jauh dari tempat awal melompat namun masih di area flat water.

Saat itu tak jauh berbeda dari biasanya. Sang Katak keluar dari rumah ketika matahari sudah mulai turun, kemudian melompat ke dalam air seperti biasanya. Byurr! Seperti biasanya. Ia berenang, seperti biasanya. Satu hal yang tidak biasa adalah, ia berenang tidak lama. Katak kemudian terlentang menikmati cahaya matahari yang hangat. "Biarlah sesekali aku terbawa arus ini, toh sungai ini sudah menjadi tempat bermainku," ucapnya.

Sang Katak membiarkan dirinya terbawa arus yang pelan itu, sangat pelan. Godaan untuk bersantai makin menjadi-jadi. Katak pun menutup kedua matanya, terpejam terbawa arus. Untuk pertama kali di dalam hidupnya, ia membiarkan tubuhnya terbawa arus sungai. Untuk pertama kali di dalam hidupnya. Hembusan lembut angin melenakan Katak, kantuk menerjang dan menghempaskan Katak dalam kondisi yang mendamaikan. Ia terbawa arus.

"Hei ada yang tidak beres," pikir Katak tak lama kemudian. Ia membuka mata. Sungai tersebut ternyata lebih luas daripada tempat awal ia melompat. Akan tetapi di depannya, sungai itu mulai menyempit, menyempit, dan menyempit. Arus sungai yang tadi tenang kini mulai bergejolak, lebih cepat dan lebih cepat. "Sial! Hendak menikmati terbawa arus, malah 'terbawa arus'," jerit Katak dalam hati. Ia membalikkan tubuh. Ia menendangkan kedua kakinya ke belakang, menendang air, menjauhi arus deras. Ia ingin kembali ke area arus tenang yang nyaman dan menyenangkan. Tendangan demi tendangan dilancarkan, namun apa daya seekor katak di tengah derasnya arus sungai yang di luar dugaan.

"Sial, aku tak mampu kembali," pikir katak, "berarti pilihanku hanya mencoba terus maju dan mencari jalan keluar atau malah aku mampu mengarungi sungai ini."

Begitulah, Katak pun terbawa mainstream (arus utama). Bertemu dengan drop, reversal, drop, reversal seakan tak ada habisnya. Ia kelelahan diterjang ganasnya deburan air. "Ada batu besar, mungkin jika aku meraihnya aku akan selamat," pekik Katak. Ia melengkungkan tubuhnya supaya dapat berbelok, dan pada saat tepat di samping batu besar itu ia menendang air, berusaha menggapai batu. Dapat! Ia bertengger di atas batu..untuk beberapa saat saja. Percikan air yang terus menerus menerpa batu tersebut membuatnya licin. Byurr! Untunglah Katak jatuh di belakang batu besar tersebut, sehingga ia terperangkap eddies (arus balik) yang lebih tenang daripada mainstream.

"Hosh, hosh, sial aku terbawa arus. Aku lebih baik kembali ke air tenang tempat awal ku datang," gumam Katak kelelahan karena terbawa arus yang deras. Ia ingin kembali ke air tenang tempat awal ia mengenal sungai. Akan tetapi ia enggan menggunakan jalan di daratan, karena ia berkeinginan untuk menuntaskan apa yang terjadi dengan meniti jalan yang telah ia lalui. Harga diri, pikirnya. Entah harga diri apa yang Katak maksudkan.

Katak melompat ke atas batu. Hupp! Kemudian ia melompat dari batu satu ke batu yang lain menuju ke arah hulu, ke arah air tenang dan nyaman tempat ia dapat bersenang-senang. Batu pertama, berhasil. Batu kedua, berhasil. Katak sedikit demi sedikit mampu mendekati target awalnya. Akan tetapi ketika hampir sampai di awal arus, Katak tergelincir karena batu tempatnya hinggap licin. Byurr, tepat masuk ke arus sungai yang deras. Drop, reversal, drop, reversal, akhirnya ia mampu menyelamatkan diri dengan cara yang persis sama di tempat yang sama pula, belakang batu besar.

"Huff, huff, gagal aku," desah Katak, "baik kalau sekali gagal, coba lagi, dua kali gagal, coba lagi." Ia menaiki batu tersebut dan mengambil ancang-ancang. "Jangan menyerah, coba terus," ucapnya dalam hati.

Hap, hap, hap! Hap, hap! Hap, hap! Byurr! Belum sampai batu tempat ia jatuh, pada percobaan kedua Katak sudah jatuh ke dalam sungai. Untunglah masih ada tenaga tersisa sehingga ia mampu menyelamatkan diri dengan berlindung di belakang batu besar. "Di sinilah aku, titik awal usahaku. Titik di mana aku berada sekarang. Aku berusaha menggapai hulu, namun gagal untuk kedua kalinya. Akankah aku menceburkan diri hingga ke hilir?" tanya Katak dalam hati.

"Tidak, sungai ini tak lagi bersahabat denganku. Lebih baik aku bersegera ke hulu, tempat air tenang itu berada," Katak meyakinkan diri. Maka ia pun mencoba lagi dan lagi. Mengulangi usaha-usahanya, mencermati kesalahannya, dan meningkatkan kemampuan melompat serta berenang. Entah berapa kali Sang Katak gagal dan bangkit untuk mencoba lagi. Akan tetapi tetap saja ia tak berpindah jauh dari titik awal, batu besar penyelamat.

"Habislah tenagaku. Sepertinya aku telah melakukan hal yang sia-sia. Lebih baik aku menggunakan jalan daratan saja sedari tadi. Apalah harga diri, harga diri. Kedengarannya konyol kalau nyawa dan masa depanku yang jadi taruhannya," ucapnya sambil bersungut-sungut melompat meraih daratan.

Hap! Sampailah katak ke daratan. "Apa yang aku dapat sudah cukup, bahkan mungkin tak ada lagi yang bisa aku dapatkan."

Katak melompat kemudian berhenti, mengatur nafas, mengumpulkan tenaga. Sedikit demi sedikit berusaha mencapai rumah. Percikan air masih acap kali menghampiri tubuhnya. Deru aliran air menggema seakan mengajak katak kembali bermain ke sungai dengan arus deras itu. "Tidak, tidak kali ini. Entah suatu saat akan kembali atau tidak. Kini aku sudah terlampau lelah."

"Filosof terkenal dari hutan pernah berkata. Perubahan itu pasti dan hanya ada dua pilihan, lingkungan yang berubah atau aku yang berubah. Kodrat sungai sudah demikian, tak kuasa untuk diubah. Maka artinya, akulah yang harus berubah. Tetapi, sungai yang seperti ini tak mampu aku ikuti. Apabila tak mampu diikuti, tak dapat untuk dinikmati. Apalah artinya jika ragaku di sungai, namun jiwa ini tak menikmatinya?" ratap Sang Katak sembari tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Matahari senja mulai turun, menciptakan bayangan di sisi Katak. Ia mendampingi Sang Katak yang melompat tertatih-tatih menuju rumahnya.

Gonjang-Ganjing Samudera : Kisah Batu Tenggelam

Gonjang-Ganjing Samudera : Kisah Batu Tenggelam
Ini adalah cerita tak berawal dan tanpa akhir. Tak ada plot maupun alur. Sekadar gonjang-ganjing.

Alkisah di samudera luas tinggalah Batu Tenggelam. Batu Tenggelam adalah seorang pendatang baru yang sudah tinggal kurang lebih 6 bulan di samudera. Ianya banyak berkelana, bertualang, dan bercengkrama ketika tinggal di samudera ini. Hingga satu saat ketika Batu Gunung mendengar Batu Tenggelam hendak pergi dari samudera karena sudah tak nyaman ditinggali lagi.

Bukannya Batu Tenggelam mempunyai peran vital di samudera, hanya saja karena seisi samudera telah menganggapnya bagian dari keluarga maka Batu Gunung pun mewartakannya pada rakyat. "Hai saudara-saudara, ananda dengar Batu Tenggelam hendak meninggalkan samudera! Apa yang sebaiknya kita lakukan?" tanya Batu Gunung di tengah khalayak ramai. Beragam jawaban pun muncul.
"Apa? Mengapa Batu Tenggelam hendak meninggalkan samudera? Ada apa gerangan?"
"Benarkah?"
"Kita harus tahu penyebabnya dahulu, kemudian bertindak!"
"Sudahlah, kalau ia ingin pergi biarkan saja."
Berbagai pertanyaan membombardir Batu Gunung, pertanyaan utamanya adalah "Mengapa?" dan "Apa penyebabnya?". Batu Gunung tidak mengerti kondisi Batu Tenggelam sepenuhnya, maka Batu Gunung dan beberapa anggota rakyat berdiskusi membicarakan fenomena yang terjadi ini.

Ruang tempat diskusi adalah bangunan sederhana, perwakilan-perwakilan yang tersohor hadir dan menghiasi ruangan. Beberapa orang tak dikenal turut bergabung ke dalamnya. Rakyat pun hadir dengan beragam tujuan, ada yang sekadar ingin tau, ada yang haus informasi akan situasi politik, ada pula yang hadir untuk membunuh kebosanan. Ruangan tersebut penuh sesak namun tetap nyaman karena hembusan angin semilir tiada henti membalut pojok-pojok dinding ruangan. Orang-orang duduk setara satu sama lain melingkari ruangan. Ada yang duduk dua shaf maupun tiga shaf karena ruangan yang tidak mencukupi. Beragam metode duduk mereka gunakan, bersimpuh, sila tumpang, dan lain sebagainya. Lilin-lilin besar dinyalakan di area tengah ruangan yang memang lowong tidak ditempati oleh seorang pun.

"Mengapa ia ingin pergi dari samudera?" pertanyaan pertama terlontar kala diskusi baru saja dibuka. Batu Gunung pun menceritakan alasan yang ia ketahui.
"Apabila demikian," sambung seseorang seusai Batu Gunung selesai bercerita, "terjadinya peristiwa ini adalah kesalahan kita sebagai rakyat samudera. Begitu kan?"
"Tunggu sebentar, kisanak. Bagaimana mungkin ki mengatakan kalau ini semua kesalahan kita? Apa yang telah kita perbuat pada Batu Tenggelam?" balas yang lain.
"Saya pun tidak tahu. Akan tetapi duduk persoalannya adalah "ketidaknyamanan". Berarti kita sebagai penghuni lama gagal membuatnya "nyaman". Itulah kesalahan kita."
"Itulah yang tidak saya pahami. Kenyamanan itu sangatlah subjektif, kisanak. Kalau boleh tau, tindakan konkrit apa yang telah kita perbuat sehingga kisanak mengatakan ini semua murni kesalahan kita?"
"Tunggu sebentar hadirin, ini bukanlah saat yang tepat untuk melihat kesalahan siapa ini sebenarnya. Bukankah begitu? Saya ingin bertanya pada khalayak, adakah orang-orang seperti Batu Tenggelam?"

Semua orang diam, hening. Gemerisik daun dan pepohonan menyumbang suara meramaikan suasana ruangan. Api lilin menggeliat kesana kemari seakan melongok memperhatikan raut muka orang-orang yang hadir. Batu Gunung pun angkat bicara, "Beribu maaf kisanak, saya tidak mengerti apa yang kisanak maksudkan."
"Tentu Batu Gunung," orang tersebut tersenyum simpul seakan telah menebak reaksi hadirin di sekitarnya. "Maksud saya adalah kita sibuk mendiskusikan Batu Tenggelam, jangan-jangan selain dirinya ada pula orang lain yang hendak pergi dari samudera karena tidak nyaman? Itu saja."

Ucapan dari seseorang yang kharismatik tersebut membuat hadirin tertegun. Memang benar. Ibarat berfokus pada ranting yang mati, namun bisa saja malah akarnya yang busuk. "Maaf sebelumnya kisanak, namun berkenankah Saudara memperkenalkan diri? Saya berfirasat kisanak bukan orang biasa."

"Beliau adalah Raja Gunung," ucap Batu Gunung. "Nampaknya Raja Gunung sedang berkelana. Mengapa paduka berkata demikian, apakah ada yang paduka risaukan?"
Raja Gunung tersenyum simpul. "Aah, saya paham," ujar seorang rakyat. "Apakah paduka gundah dan risau dengan Batu Lubang? Maaf beribu maaf paduka, namun saya dengar dari suara akar rumput bahwa paduka pernah menjalin kasih dengan Batu Lubang. Kemudian rumor beredar bahwa dirinya juga hendak meninggalkan samudera."
"Berita itu benar, namun sudah tidak lagi," balas Raja Gunung. "Ya, saya hanya takut kita tidak sadar adanya masalah besar yang siap menerkam dan melumat masing-masing di antara kita jika kita tidak menemukan akar masalahnya. Saya kira tidak hanya Batu Tenggelam yang berkeinginan meninggalkan samudera."

"Bisa jadi, masalah tersebut diakibatkan Penguasa Samudera yang telah uzur," guman seseorang.
"Mungkin saja kisanak, beliau memang dekat dengan rakyat samudera salah satunya Batu Tenggelam. Akan tetapi dirinya kini telah uzur, sangat disayangkan memang. Saya harap penggantinya memiliki kemampuan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan beliau. Rumor beredar beliau hendak menyerahkan kekuasaannya pada salah satu dari tiga orang yang terpilih," sambung orang yang lain.
"Ya, ada tiga calon kuat. Adipati Harta, Raja Rahayat, dan Dewa Gembrit. Ketiganya memiliki karakter yang berbeda-beda."
"Apakah mungkin, gejolak dalam samudera akhir-akhir ini disebabkan oleh hal tersebut. Permisi dan maaf beribu maaf paduka, bagaimana pendapat paduka Raja Gunung?" 
Sosok Raja Gunung yang memang senang bercengkrama setara dengan rakyatnya pun berbagi kabar mengenai sifat-sifat tiga calon dengan khalayak kemudian mengakhiri kisahnya, "Begitulah keadaan petinggi, namun saya pun tidak banyak tahu mengenai kebenaran kabar tersebut, bisa saja Saudara semua lebih tahu daripada saya. Bagaimana pendapat kisanak sekalian?"

"Saya kira memang benar adanya, bahwa Raja Rahayat adalah sosok yang kharismatik dan bertanggung jawab. Beliau diangkat menjadi raja karena pendahulunya lari dari tanggung jawab mengurus kerajaan. Raja Rahayat, yang tidak memiliki silsilah dalam kerajaan tersebut, diangkat berdasarkan kesepakatan rakyatnya. Bukan pilihan yang buruk jika menjadi Penguasa Samudera, bukan?"

"Tidak buruk memang. Tapi Raja Rahayat belum lama memegang tampuk kekuasaan. Kita belum dapat menegaskan kualitasnya jika belum "teruji", benar bukan kisanak sekalian? Saya melihat, Adipati Harta tidak buruk apabila memangku jabatan penguasa tertinggi. Ia seseorang yang berkeinginan keras, memiliki penglihatan jauh, tegas, disiplin, dan bertanggung jawab pula. Akan tetapi," seseorang tersebut menghela nafas, "dirinya belum bisa dikatakan dekat dengan rakyat samudera. Pemimpin yang berkualitas jika didukung dengan rakyatnya akan menjadi pemimpin yang legendaris, menurut saya."

Hening sejenak. Suasana sunyi. Perkataan khalayak mengenai calon-calon telah dirangkum dalam pembicaraan sebelumnya. Kesepakatan pendapat. Kesepahaman. "Kemudian, bagaimana dengan Dewa Gembrit?" seseorang di tepi ruangan angkat suara. Cahaya temaram dari lilin tertiup angin, bergoyang mengaburkan bayangannya di dinding.

"Beliau adalah calon yang paling dekat untuk menjadi penguasa samudera," ucap seorang pemikir yang telah mempertimbangkan perkataannya masak-masak.
"Benar. Saya rasa juga demikian."
"Tidak salah memang. Ia memiliki kedekatan dengan rakyat dan telah teruji. Bukankah beliau adalah Raja Gunung terdahulu? Bagaimana menurut paduka?"
"Kisanak sekalian benar dan tepat. Ia memiliki sifat yang teladan, pemerintahannya dulu pun sangat baik. Kedekatan dan dukungan dari rakyat selalu menyertainya. Hanya saja..," Raja Gunung tidak meneruskan kalimatnya.
"Hanya saja apa, Paduka?" tanya seseorang yang penasaran.
"Bagaimana mengatakannya, ya. Baiklah. Hanya saja saya dengar beliau tidak berkeinginan untuk menjadi penguasa samudera," jawab Raja Gunung ragu-ragu.

"Benarkah demikian? Dewa Gembrit tidak mau memangku jabatan tertinggi?"
"Dari siapa paduka mendapat kabar?"
Orang-orang yang hadir dalam ruangan pun riuh. Berbagai pertanyaan tanpa sadar terlontar. Berbagai pernyataan tanpa diketahui kebenarannya tercetus. Mereka berdiskusi dengan rekan di samping kanan kirinya. Orang-orang yang hampir melaju ke alam mimpi terjaga, kaget dengan individu-individu yang sedari tadi ingin berpendapat. Mengherankan memang. Jarang sekali ada orang yang menolak untuk meraih tonggak pemerintahan samudera.

"Harap tenang saudara-saudara sekalian," seru Batu Gunung berusaha mengendalikan suasana. "Belum ada seorang pun yang tahu kebenaran kabar tersebut, Raja Gunung pun telah menegaskan kabar tersebut belum tentu tepat, saudara sekalian."

"Batu Gunung benar. Belum ada yang dapat memastikan kebenaran kabar tersebut, sekalipun itu saya," ucap seseorang di dekat pintu ruangan yang tertutup. Semua orang bertanya-tanya dalam hati mengenai sosok orang tersebut.
"Pertama-tama saya haturkan maaf yang sebesar-besarnya, namun saya ingin tahu siapakah gerangan kisanak? Seakan kisanak tahu betul dengan apa-apa yang terjadi di Istana Penguasa Samudera."
"Saya? Hmm, saya tidak tahu betul dengan apa yang terjadi di istana. Akan tetapi saya mengerti luar dalam mengenai Dewa Gembrit?"
"Bagaimana mungkin?"
"Saya sendirilah yang kalian sebut dengan Dewa Gembrit," ujar Dewa Gembrit sambil membuka jati diri.

Berbagai pertanyaan terlontar. Suara satu sahut menyahut dengan suara yang lain. Tidak ada yang mau ketinggalan. Tidak ada yang mau kalah. Semuanya ingin tahu kabar mengenai sosok yang kharismatik dari sumbernya sendiri. "Saya pun tidak tahu jika saya menjadi calon, kisanak sekalian," tegas Dewa Gembrit, "apabila benar demikian, saya pun tidak bisa memutuskan. Saya senang berkelana dan mengembara. Akhir-akhir ini memang saya memutuskan untuk bertapa dan mengasah ilmu lebih lanjut serta meninggalkan samudera. Saya bimbang, ditambah lagi dengan kabar penyerahan kekuasaan Penguasa Samudera. Saya tidak tahu, semuanya adalah kehendak Sang Hyang Widhi." Dewa Gembrit kemudian mohon pamit dan berangkat menuju pengembaraan tanpa seorang pun yang mengetahui tujuannya.

Diskusi dalam ruangan tersebut berjalan hingga larut. Hampir semua orang menahan kantuk. Semangat berbicara pun mulai surut. Akan tetapi tak ada satupun yang ingin membubarkan diri di tengah diskusi. Sebelum masalah tuntas, atau paling tidak tercipta kejelasan dan penerangan lebih lanjut akar masalah yang terjadi. Lilin-lilin telah susut. Cahayanya semakin temaram, tak seperti ketika awal disulut. Hembusan angin malam mondar-mandir ingin mendengar kabar baru. Sunyi. Hingga akhirnya seseorang memberanikan diri untuk berbicara.

"Saudara sekalian, bukannya saya ingin melarikan diri dari masalah. Peristiwa yang menjadi pokok bahasan kita adalah Batu Tenggelam, bukan? Saya kira Batu Tenggelam, maupun rakyat samudera tidak ada yang bodoh. Artinya apabila seorang rakyat samudera memutuskan untuk bertindak sesuatu, pasti didasari pemikiran yang matang ataupun kepercayaan diri yang tinggi. Apabila tindakan tersebut salah, tentu ia akan sadar dan kembali ke jalan yang benar." Ia menarik nafas panjang yang nampaknya habis ketika mengucap pernyataan sebelumnya, kemudian menghembuskannya perlahan dan meresapinya dalam-dalam.

Ruangan hening, seluruh perhatian terfokus pada satu suara. "Sesuai kata kisanak sekalian, kenyamanan itu sangat subjektif. Berbeda-beda tiap orangnya sehingga sulit untuk dicari jalan keluarnya. Selesai. Masalah para petinggi itu memang menyangkut kita, namun bukankah tadi sudah dibicarakan bahwa tiap-tiap orang memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing? Yang bisa kita lakukan sekarang hanya berusaha dan berdoa, sebaik mungkin. Tentu saja jangan lupa mensyukuri segala hal yang sudah, sedang, dan akan terjadi. Sesungguhnya seseorang tidak menyadari betapa beruntungnya ia, jika belum bertemu dengan kondisi yang lebih buruk daripada kondisi dirinya saat ini."

Semua orang tertegun. Diskusi ditutup dengan senyum mengembang di bibir masing-masing. Menanti diskusi serupa selanjutnya.


Lelaki Pemurung

Lelaki Pemurung
"Kamu sih kebanyakan persona."

Persona. Istilah psikologi yang mendasari terbentuknya kosa kata personality. Persona adalah topeng. Topeng kepribadian. Seorang perempuan perhatian berbicara demikian kepada lelaki pemurung. Yah lelaki pemurung yang membingungkan bagi saya. Gambaran mudahnya adalah, terlalu banyak sifat yang ia miliki sehingga sulit ditebak kepribadian sesungguhnya.

Seringkali apabila kita melihat seseorang, kecenderungan sifat seseorang tersebut dapat muncul ke permukaan. Hukum ini tidak berlaku pada lelaki pemurung. Suatu saat ia sangat defensif, di saat yang lain ia terbuka. Ada kalanya ia menyendiri dan memutuskan hubungan komunikasi, ada kalanya pula ia berinteraksi dengan berapi-api. Terlalu banyak sifat yang berkebalikan dalam diri orang tersebut. Pernah ia berkata, "Jangan-jangan aku ini bipolar ya?" Saya pun pernah curiga ia punya kepribadian ganda. Tapi tidak, anggapan yang salah. Ia sehat secara mental.

Banyak orang, salah satunya saya, bingung dengan kepribadian dirinya. Tak banyak orang yang bisa dekat dengan dirinya, terlalu banyak lapisan kepribadian yang harus ditembus untuk dapat sekadar "mengenal" dirinya. Lelaki pemurung, begitulah saya menyebut sang penyendiri ini, memang tidak banyak peduli dengan keadaan di sekitarnya. Apa yang ia inginkan, harus ia dapatkan. Meskipun banyak ditentang orang lain. Meskipun seminimal mungkin.

Selalu ada pelajaran yang dapat diambil dari orang-orang di sekitar kita.

Tenda adalah Bingkai, Matahari adalah Flash


Aku terjaga...
Ah masih gelap.
Kenyamanan lelapku masih terlampau berharga untuk ditinggalkan
Aih, apa ini?
Ia menggebrak tanpa ampun melewati celah-celah tenda.
"Hei, kau mengganggu saja," pekikku.
Yang diajak bicara tak membalas, malah semakin mengusik.
Kubuka mata, kuraih kamera
Kuambil gambar tanpa banyak pertimbangan
Kulihat hasilnya
Ah ternyata ia hanya ingin mengucapkan "Selamat Pagi".


Siluet Deles di Kala Senja


Kualitas foto? Tidak penting bagi saya.
Makna gambar? Tidak penting bagi saya.
Kepuasan objek dan model? Tidak penting bagi saya.
Pengakuan dan apresiasi hasil? Tidak penting bagi saya.

Yang paling penting bagi saya adalah memori dan kepuasan pribadi. Sebuah jepretan memberi banyak makna bagi diri saya sendiri. Sebuah pengingat yang dapat diandalkan oleh seseorang dengan ingatan jangka panjang yang buruk. Apalah arti sebuah foto? Sebuah foto adalah kenangan. Kenangan adalah harta.
Titik. 

Delesember, 28-29.12.2013

Delesember, 28-29.12.2013
Delesember, operasional terakhir bulan Desember...

Dua minggu sudah saya vakum dari kegiatan FUD 2014 karena adanya sedikit "kecelakaan" dan acara keluarga. Di awal minggu si tua-tua (baca: Yandi Dyaning) sudah ngajak ikut ops minggu ini ke Deles, engga enak kalau nolak. Apalagi saya juga baru sekali main di area Deles. Jogging, CT, naturta, wah saya sudah mulai kewalahan karena lama tidak membiasakan berolahraga. Beruntung bisa kembali ke sekret tanpa tepar atau dipapah orang lain.

PO berjanji akan memberikan pos yang "beda" daripada biasanya, dan keputusannya disampaikan waktu briefing. Ta-da! Saya yang awalnya deg-degan karena mengira akan mendapat pos konsumsi, ternyata diplotkan ke dokumentasi..lagi. Oke deh, santai. Dokumentasi adalah pos yang paling selow, saat pre. Waktu during dan post, haha, saya hanya bisa tertawa getir. Satu hal yang membuat saya geli pada saat packing, pembagian perkap timnya sangat baik hati! Saya hanya membawa tramontina dan pasak, sedangkan yang lain dapat yang berat-berat. Alhamdulillah. 

Sabtu pagi, kami berkumpul di sekret. Seperti biasa upacara keberangkatan kami tidak berbarengan dengan tim lain karena budaya ngaret yang memprihatinkan. Berangkat menuju Deles. Di perjalanan, kami terpisah menjadi dua kloter. Saya ada di kloter belakang. Akhirnya kami memilih jalan berbeda yang sudah jelas tujuannya daripada berspekulasi tim depan hilang lewat jalur mana, toh kloter depan berpengalaman semua. Saya segera mengontak Dyaning dan mengatakan kalo terpisah, ia pun menjawabnya dengan segera. Tahun kemarin, memang kami berdua hampir selalu membonceng sehingga kalo ada kejadian tak terduga selama di jalan kami segera mengontak anak-anak boncengers.

Sesampainya di rumah Mas Darto (kalau tidak salah), basecamper kami, saya melihat anak-anak kloter depan juga sudah sampai. Kami bersalaman dan mengobrol dengan warga yang ada di rumah itu. Sedang panen nampaknya. Pada saat kami akan memasukkan motor ke dalam rumah sayur mayur hasil panen tersebut dipinggirkan agar tidak menghalangi pintu. Saya jadi ingat tahun kemarin Febri dan Mas Darto mengobrol soal pembibitan brambang (bawang merah) dan bawang (bawang putih). Febri (juragan bawang merah) yang engga mengenal istilah ini pun mengobrol ngalor-ngidul cara pembibitan ala Brebes. Begitu dihadapkan bawang, terkuak sudah bahwa pembicaraan keduanya tidak nyambung.

Kami pamit kemudian naik ke area wisata yang banyak digunakan pemuda-pemudi untuk berduaan, meskipun kalau mau jujur pasti mereka sadar kalau mereka tidak sedang "berduaan". Apa boleh buat, mungkin bagi mereka dunia sudah menjadi milik berdua. Pemanasan, orang-orang melihat dengan pandangan penuh tanya. Cuek saja, pemanasan kami selingi mengetes tas karier orang lain bisa berdiri atau tidak. Tas saya aman, ia sedang bersandar di balik pepohonan. Yandi bernostalgia, kami tahun lalu pemanasan tak jauh dari area itu sambil membicarakan ayah Afiq yang makan biji apokat pas waktu muda dulu. Dyaning menambahkan pembicaraan arah utara, karena menurut salah satu teman kami "kalau ada jalan menanjak berarti itu arah utara".

Perjalanan dimulai, kami berjalan perlahan ke arah utara menyusuri sungai di sebelah kiri yang lebih mirip jurang menganga. Leader yang mungkin bosan menapaki jalanan aspal pun belok ke arah kiri, jalur yang biasa dilalui para pencari rumput dan lebih dekat dengan jurang. Belum ada 30 menit berjalan, kami berhenti. Beberapa mengambil nafas, Ghozi dengan hp barunya yang menandingi kemewahan hp Yandi mulai berlaga dengan fitur kameranya. Yandi seakan tak mau kalah, hp harga motor segera dikeluarkan untuk mengambil objek-objek tandingan. Saya sebagai dokumentasi hanya bisa menghela nafas panjang dan memfoto apa saja yang bisa saya foto dengan digicam.

Titik pertama pun ditemukan, ujung punggungan hingga mencapai tikungan jurang, punggungan pun menikung ke arah kanan. Bicara soal tikung-menikung, ada oknum-oknum yang juga bersaing mendapatkan seorang wanita. Oknum tersebut sama-sama ada di tim gunung kala itu. Oknum pertama mendapatkan, namun oknum kedua berbesar hati. Meskipun terkadang oknum pertama jumawa akan kemenangannya dan mencela kesendirian oknum kedua, namun nampaknya hubungan mereka tetap baik. Kami snacking dan sholat di titik itu.

Berlanjut ke titik dua, leader pun berganti. Kami menyeberang ke arah timur kemudian ke utara. Sempat kami bertemu dengan rombongan dari SMA Jogonalan. Diksar katanya. Di telinga saya, kata itu apabila diucapkan oleh organisasi SMA terdengar seperti perpeloncoan. Ah, terserahlah. Tidak terlalu jauh dan medannya cenderung datar ditambah pemandangan pohon pinus yang berjajar rapi di sekeliling kami, sehingga titik dua dapat dicapai kurang dari 2 jam. Di bawah pepohonan teduh kami memarkir tas karier dan menikmati pemandangan di pinggir jurang sembari menunggu leader dan kadiv membaca bentukan. Persaingan antara dua hp mahal pun belum usai, biarkan sajalah. Titik dua benar, tapi kurang naik sedikit kira-kira 25 meter seru kadiv. Akan tetapi hawa yang sejuk membuat kami mager, enggan bergerak lebih jauh.

Titik tiga giliran Mayang dan saya nge-leader. Saat itu kira-kira pukul 14.00. Saya berkonsultasi dengan kadiv dan mantan kadiv, mau disampaikan titiknya hari ini atau besok. Akhirnya diusahakan hari ini dapat meraih titik yang diharapkan. Kami berjalan di depan, menemui lembahan dan berdiri punggungan di sebelah kanan kami. Ormed sebentar, menerka posisi kami berada kemudian merancang jalur yang sekiranya mungkin ditempuh. "Mau mengitari atau trabas aja?" tanya sada pada Mayang.
"Hmm, gimana ya. Bingung aku."
"Lho jangan bingung, tinggal mau mengitari atau trabas saja. Masa berhenti di sini."
"Ya udah, kalo trabas gimana?"
"Ya ambil kanan terus, trabas aja."

Kami pun segera mengambil rute garis lurus ke arah kanan, cukup terjal memang. Pada saat mendaki punggungan ini, kemiringan sekitar 60-75 derajat sehingga perlu meraih tanaman-tanaman yang menjulur di sekitar tangan. Sampai di atas punggungan, beberapa memerlukan bantuan arahan agar dapat menginjak jalur di atas. Tangan-tangan siap menarik terjulur demi keselamatan tim dan pahala. Ketika sudah di jalur punggungan, kami pun turun lagi ke arah timur. Cukup terjal..lagi. Punggungan yang kami lalui tadi adalah punggungan sempit dan hampir simetris, artinya kalo turun kemiringannya hampir sama dengan kemiringan pada saat naik. Tidak ada jalur turun, terpaksalah menyibak jalur. Saya cukup kaget dengan ilalang/rumput gajah yang tingginya hampir se-manusia ini. Beberapa kali saya harus berjongkok untuk mengecek pijakan saat menuruni punggungan tersebut.

"Hati-hati, ntar jatuh ke jurang kayak Afiq," seru Yandi dari atas.
Memori saya melaju pada peristiwa setahun yang lalu. Di area yang serupa, kami menjelajahi rimba lereng Merapi ini. Waktu itu kami konturing, mengitari punggungan untuk mencapai titik di sebelah timur kami. Tidak seperti saat ini yang mengambil opsi trabas, tahun lalu kami "main aman" dengan mengitari area. Saat itu pertama kalinya kami di Deles dan tidak ada "senior" yang menemani. Hingga satu insiden, rekan kami tergelincir saat sedang konturing di tebing yang penuh dengan semak-semak. Wajar, jalan yang kami tempuh adalah jalan setapak yang sempit jadi harus senantiasa berpegangan tanaman yang ada di sebelah kiri kami. Rekan saya terpeleset, terduduk kemudian mengguling ke kanan. Beruntung dia sempat meraih tanaman. Yandi ada di depannya, dan saya berada di belakangnya tapi agak jauh.
"Hahaha, hahahaha," Yandi tertawa tanpa henti waktu itu.
"Tulung, tulung," teriak rekan saya yang jatuh sambil meronta minta pertolongan.
"Wah, wah, lumayanlah. 8.5 dari 10 poin!" ucap saya, memang saat itu menilai style jatuh sangat umum kami lakukan.
"Eeh, kasian. Tolongin lah," Dyaning yang ada di depan Yandi pun ikut menanggapi, agaknya kasihan seniornya meronta-ronta berusaha bangkit.
"Hahahaha, hahahaha," tawa Yandi, melihat usaha rekannya seperti cacing menggeliat kepanasan, seraya mendongak ke atas dan memejamkan mata.
"Coy, tenanan iki. Tulung, tulung, coy," iba rekan saya yang nampaknya sudah kelelahan  menggantung.

Rekan saya yang satu itu jempolan dalam segala hal, salah satunya kepecintaalaman. Skill dan tekniknya tinggi, kemampuan memanjat tebingnya setara kadiv saat itu. Aneh juga melihat dia pasrah menggantung di tempat itu, meskipun beberapa kali ia telah berusaha naik tapi gagal. Malah membuatnya lebih lucu. Kami pun menariknya ke jalur, aman. Tidak ada masalah. Belakangan baru kami tahu kalau di bawah adalah tebing tanah yang curam. Kalau saya yang terpleset pasti sulit naik lagi, malah mungkin sudah jatuh ke bawah. Kembali ke saat ini, saya pun hanya tertawa kecil mengingat peristiwa itu. Saya sampai di dasar lembahan.

Mayang tidak menggunakan jalur saya, ia menggunakan jalur berbeda. Ia juga sampai di bawah, diikuti dengan yang lain. Kami melanjutkan perjalanan. Start punggungan, satu lembahan, punggungan kecil, satu lembahan, punggungan terjal lagi. Kami mendaki punggungan ini, sedikit lebih terjal dibandingkan punggungan yang kami trabas pertama tadi. Well done! Sampailah kami di atas punggungan ini. Familiar. Ya, tahun kemarin kami mendirikan tenda di punggungan ini. Inikah titik yang dimaksud? Saya awalnya yakin.

"Bukan, titiknya masih di seberang sana lagi," ucap mantan kadiv.
"Lah kok bisa? Terus ini di punggungan mana?" tanya saya, enggan melangkah lagi jika salah titik.
"Ini kan ada punggungan sempit banget," ucapnya sambil menggariskan ranting kecil ke atas peta, "titiknya masih ke timur lagi nglewatin lembahan."
Lemas sudah. Argumennya memang benar mengingat sempitnya jalur yang sedang kami singgahi. Ini punggungan sempit. Bentukan peta pun tepat. Waktu sudah menunjukkan pukul 14.55, hampir waktunya ngecamp. Tapi mau ngecamp pun tak ada tempat mengingat sempitnya area ini. Lanjut.

Saya berjalan di depan Mayang, takut juga kalau nanti dia kurang hati-hati menentukan pijakan apalagi kedua tangannya lebih sering dilipat daripada meraih tanaman untuk memperkuat pegangan. Jalan turun tidak separah punggungan sebelumnya maupun jalur naik tadi. Hanya saja, kami harus berhati-hati menentukan tempat turun mengingat curamnya tebing di bawah yang sempat kami lihat tadi. Salah-salah malah terjun bebas. Meskipun tidak terlampau tinggi, mungkin hanya 1,5-3 meter saja, namun tetap saja. Berhasil sampai bawah setelah "ngaspal" jalur, kemudian diikuti yang lain. Aad nampaknya uji nyali dengan berdiri bersandar pada batang pohon di pinggir tebing. Saya yang ada di bawah bergidik ngeri. Tampaknya ia juga merasa ngeri kemudian memutuskan untuk segera turun. Gantian Yandi uji nyali, ia berlari kecil dari atas kemudian bergelantung di dahan pohon. Salah perhitungan! Tidak ada pijakan yang bisa membuat ia terhenti, badan bagian bawah Yandi pun terlempar ke arah depan, di bawahnya tebing berketinggian 2 meter lebih. Beruntung kedua tangannya masih kuat mencengkeram sehingga pada saat tubuhnya mengayun ke belakang, ia menemukan pijakan kembali. Kita semua menghela nafas lega.

Punggungan berikutnya, titik ditemukan. Well, jalur paling berkesan karena terabasannya cukup mantap. Jam telah menunjukkan pukul 15.45. Diputuskanlah untuk mencari tempat camp. Ormed dan lihat peta, tidak nampak adanya area untuk camping 10 orang. Dhika menyarankan camp di tempat lapang nan indah yang ditemui tahun kemarin. Letaknya di awal punggungan, dan cukup jauh. Afiq dan saya tidak ke area itu karena kami ada skoring di Kebumen tahun lalu. Akhirnya Diska dan Ghozi leader dan bergegas menuruni punggungan. Kami turun secepat yang kami mampu, sudah senja.

Jatuh? Biasa. Apalagi saat tergesa-gesa seperti ini. Di depan saya ada Yandi, kemudian Dyaning, belakang saya ada Vivi, Mayang, Dhika, Aad, Febri. Yandi menegaskan bahwa jatuh itu menurunkan harga diri tim gunung. Tidak lama kemudian, ia terjatuh ke dalam lubang hingga tubuhnya tak kelihatan. "Memang jalur ini harus jatuh dulu, oi!" kilahnya. Tapi memang demikian, jalur itu menuruni dahan pohon. Pijakan tanah berselisih lebih dari 1 meter. Jalan lagi. Berhenti sejenak.
"Kok berhenti, Je," ucap saya pada Dyaning.
"Bentar, nungguin depan."
"Hati-hati jatuh," kata Yandi.
"Kalau jatuh bilang ya, Je," ujar saya agar dapat mengabadikan momen saat ada yang jatuh.
"Iya, iya."
"Kalau jatuh bilang ya," sambung Yandi, "entar aku bilang hati-hati."
"Iya, ah." Dyaning pun berbalik, dan jatuh. "Aduh!" pekiknya.
"Yah kan aku bilang, kalo jatuh bilang-bilang, Je," ucapku sambil menahan tawa.
"Iya nih, jatuh. Huhuhu."
"Hati-hati ya," ucap Yandi memenuhi janjinya.

Kami turun lagi, kali ini jalur turun sudah tidak terjal seperti tadi lagi sehingga memungkinkan untuk dituruni dengan berlari kecil. Wuss, wuss, wuss. Lari turun. Tim LTMJ memang top ketika turun gunung, namun entah dengan tim yang ini. Brukk! Aad terpeleset ketika berlari turun, ia memeluk batang pohon di dekatnya yang entah ia tabrak atau malah menyelamatkan nyawanya. Dyaning pun tertawa lepas, melihat ekspresi Aad yang masih kosong. Shock nampaknya. Sambil menunggu Aad pulih, Yandi memplester sepatunya didampingi Dhika. Turun, tak lama kemudian kami menemui tanah lapang yang indah mirip sabana.

Kami bermalas-malasan sembari bersenda-gurau. Dhika dengan pose tidurnya. Vivi dengan botol ajaib dan gaya fotogeniknya. Dan duo-hp-mahal dengan senjatanya masing-masing. PO dan kadiv sibuk mencari tempat camp. Sekembalinya mereka berdua, timbul perdebatan mengenai tempat camp. Akhirnya sepakat untuk melihat tempat yang ditentukan oleh PO, nyaman juga. Kami pun mendirikan tenda dan jemuran di area itu.

Tenda sudah berdiri, peralatan masak dikumpulkan menjadi satu, bahan makanan telah dipisah, dan pembagian tidur sudah ditentukan. Saya kebagian Consina bersama Yandi, Ghozi, Vivi, Mayang, dan Dyaning. Sholat, masak malam! Masak dimulai lebih cepat, kira-kira pukul 18.00. Kami menyempatkan Maghrib dahulu sebelum menyantap makanan. Makanan jadi pukul 19.15an, makan! Mungkin karena kelelahan, Vivi dan Mayang tepar seusai makan. Aad, Febri, Dhika, dan Yandi mencari kayu, daun, dan biji cemara kering untuk membuat api unggun sederhana. Kami melalui malam dengan menyusun teka-teki, tebak-tebakan, dan cerita-cerita. Tertawa lepas hingga malam menjelang. Tengah malam, kami beristirahat di tenda masing-masing.

Pagi itu masih pukul 03.00 dini hari, saya tahu betul karena jam tangan disisi kiri saya. Suara teriakan dan bentakan pria maupun wanita membahana di area camp. Perintah-perintah seperti "Baris yang rapi!" "Jongkok!" dan lain sebagainya pun berkumandang. Ada satu dua bahkan menyelipkan kata-kata makian. Suara kayu yang dipukulkan ke pohon pun menambah gaduhnya suasana. Tak terdefinisikan dengan kata-kata. Oh "diksar", pikir saya sembari tersenyum getir, kemudian berusaha meraih alam mimpi lagi.

Bangun pukul 05.00 sholat, mapan tiduran lagi hingga matahari menjelang dan makanan hampir siap. Yah insiden ketinggalan bumbu masak pun sukses diakalin boss Dyaning. Alhamdulillah bisa makan lumayan enak. Kami pun makan di pinggir tebing, menikmati indahnya bentangan alam. Berberes, eh Vivi kembali ber-fotogenik-ria. Satu foto lagi. Pemanasan, jalan. Kami sempat bertemu dengan rombongan "diksar", bertegur sapalah kami. Kami beristirahat, para leader sedang cek jalur. Tebak-tebakan semalam pun muncul lagi.

Perjalanan berikutnya sempat terbagi menjadi dua kloter karena ketidakjelasan rute dan tujuan. Vivi, Yandi, Dyaning, dan saya satu kloter. Kami berada di atas punggungan, padahal kloter satunya berada di bawah punggungan. Kami pun menikmati pemandangan sambil mengamati kelakuan anak-anak di bawah. Ternyata titiknya benar berada di bawah, ya sudah kami turun, melepas tas karier dan menuju titik yang tak jauh dari tempat itu. Penjelasan titik pun diwarnai dengan tebak-tebakan. Emang dasarnya Aad terlalu sopan, sebelum mengejek Yandi dia minta izin dulu kemudian minta maaf. Haha. Usai sudah, kami pulang. Karena mengambil jalur lurus ke selatan, yang kami temui adalah komplek perumahan. Basecamp kami ada di sebelah barat lagi, maka kami lewat jalan komplek dan persawahan tersebut. Finally, basecamp!

Istirahat sambil ngeteh dan makan rambak (seperti kerupuk panjang), mengobrol dengan basecamper panjang lebar. Kami pun pulang ke arah sekret, namun mampir ke masjid dulu untuk menunaikan sholat. Teka-teki Palapsi muncul lagi sehingga kami betah berlama-lama di masjid. Pulang, kami mampir makan soto di daerah Jakal. Pilihan yang kurang tepat, tapi apa daya karena sudah terlanjur berhenti dan memesan. Kami hanya bisa menikmati santapan ini sebelum melanjutkan perjalanan pulang.

Deles, area yang masih belum banyak tereksplor. Menarik. Salah satu area yang akan selalu saya kenang. Tempat berubah, waktu berlalu, namun kenangan mampu bertahan lama. Kami berjalan pulang, deru kendaraan mewarnai perjalanan. Beruntung tidak turun hujan. Aih, mungkin ini yang terakhir kali saya ke Deles. Saya menoleh ke samping, mengamati kendaraan yang lalu lalang. Mata terpejam kemudian menarik nafas panjang, dan menghembuskannya dengan penuh penerimaan. Operasional terakhir di tahun ini, atau operasional terakhir bagi saya?

Orientasi Medan Wanagama, 7-8.12.2013

Orientasi Medan Wanagama, 7-8.12.2013
"nggra, plis banget ki melu ops yo. ben yandi yo melu dadi ana 2011e."

Malam itu, Jumat 6 Desember, saya membaca pesan dari seorang teman yang kebetulan menjadi PO operasional gunung TC #1 FUD. Tak lama kemudian, datang dua buah pesan yang bernada serupa dengan nomor pengirim yang sama. Yah memang masalah umur, fisik, dan juga izin memang menjadi kendala utama bagi saya ketika ingin mengikuti rangkaian FUD. Tapi tidak hanya itu, kebetulan saya diajak senior dan ketua palapsi untuk menjadi panitia dalam seminar "HOW TO BE A POTENTIAL CANDIDATE". Seminar itu berlangsung dari pagi hingga (hampir) sore hari, sedangkan ops dimulai sejak pagi-pagi sekali. Wah, jelas engga bisa.

Well, lihat entar aja. Alhasil saya mengikuti proses ops sebagaimana yang biasa dilakukan Palapsi. Pre-During-Post. Pre mencakup persiapan-persiapan yang harus dilakukan sebagai "syarat sah" layak tidak seseorang ikut ops. Kalo divisi gunung, pre tersebut meliputi jogging, CT, briefing, penentuan titik, studi peta, dan packing bersama (kalau tidak salah, hehe). Demi "ngayem-ayemi" PO akhirnya saya ikuti proses persiapannya sampai ke briefing dan penentuan masalah bantingan. Hanya saja saya menegaskan ke PO bahwa saya entah bisa ikut atau engga karena ada acara yang bersamaan itu. Tapi saya tau kalo sudah ikut briefing, ikut engga ikut ya harus melaksanakan jobdesc perpos dan membayar bantingan. Yah, resiko tim lama.

Selepas briefing, Yandi juga mengatakan hal senada ke forum. Dia ada praktikum besok jam 12 sampai jam 2 siang. Ikut engganya dia, entah. PO tampak makin ketar-ketir. Akhirnya kadiv memutuskan boleh nyusul aja, karena memang engga memungkinkan. Briefing selesai. Sampai di rumah, mikir lagi. Ikut engga ya?

Keesokan harinya, saya menyelesaikan tugas perpos dan membantu persiapan seminar. Hampir sama sekali tidak bertemu tim gunung, namun pas saya mau pulang tampak Dhika dan Febri. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak ikut ops. Pilihan yang berat, memang. Ketika sudah sampai kamar, sms yang telah saya tuliskan di atas muncul di layar hp. Acuhkan saja. Kemudian datang 2 pesan serupa. Hmm, kasian sih tapi mau gimana lagi. Selang satu jam, ada pesan baru lagi. Yandi. Ia menyarankan saya untuk ikut ops dan nyusul bareng, karena dia males nyusul sendiri dan lupa jalan ke Wanagama. Bimbang jadinya. Entahlah. Saya pun tertidur.

Sabtu pagi, tim seminar harus standby pukul 07.00. Saya bangun, mandi dan bersiap-siap. Seonggok tas karier meringkuk di dekat lemari pakaian. Saya berpikir ulang. Ikut engga ya? Ikut engga ya? Ikut engga ya? Akhirnya saya putuskan untuk ikut ops (karena Yandi pagi itu juga sms lagi -.-), dan packing dadakan dengan sisa-sisa keterampilan yang pernah saya miliki. Voila, jadilah tas karier siap ops! Tapi kalau dibuka, tas itu sangat amburadul. Yah gimana lagi. Saya pamit, dan berangkat ke kampus.

Ternyata anak gunung yang datang belum ada separuhnya. Kebiasaan ngaret kayaknya udah mulai kelewatan ini. Yandi pun datang dengan tas karier Avtech dan pakaian opsnya. "Kamu praktikum pake itu, Yan?" 
"Gapapa Nggra, mbaknya bolehin kok," ucapnya sambil mengambil petunjuk praktikum. "Kamu jadinya ikut kan?"
"Ikut, Yan. Ntar bareng ya kita. Aku selesai jam 2an..mungkin."
"Yo. Kalo kamu ga ikut, ntar Dhika yang aku suruh tinggal di sini." Yandi pergi ke laboratorium, begitupun tim seminar yang mulai bergegas ke UC.

**skip <-> lagi seminar chuy**

Tepat pukul 13.00, seminar usai. Beberes bersih-bersih dan foto-foto, akhirnya jam 2 siang acara tersebut tuntas. Kami balik ke sekret Palapsi, saya bersiap-siap berangkat dan packing ulang. Makanan dus yang diberikan untuk panitia saya masukkan ke dalam tas, belum sempat menyantap makanan. Yandi datang, tampaknya skoring praktikumnya juga sudah selesai. Kami bersiap berangkat.
"Nggra, dapet sms dari PO engga?"
"Belum ngecek hp Yan. Ada apa emang?"
"Brimob sama Dyaning kecelakaan, tapi gapapa kok. Detilnya belum tau sih, haha."
"Seriusan?"

Ternyata anak gunung ada yang kecelakaan pas perjalanan menuju tempat ops. Wah bahaya nih. Jujur saya lebih takut di perjalanan ke tempat ops (terutama pakai motor) daripada opsnya sendiri. Pengalaman pribadi. Kami berdua pun berangkat bersamaan dengan redanya hujan yang deras menerpa. Beberapa anak sekret kaget dengan keberangkatatan kami. Kurang kerjaan, mungkin begitu yang ada dalam pikiran mereka. Keberangkatan diawali dengan kebingungan mencari motor Novi, kami berdua sama-sama tidak tahu apa motornya. Petunjuknya adalah kunci motor Honda, dan plat Bali (Novi asalnya dari Bali). Alhasil Yandi mencoba memasukkan kunci ke motor yang disangka-sangka. Dapatlah Vario merah motor Novi, padahal tebakan saya Honda Beat. Berangkat!

Perjalanan biasa-biasa saja, kami sudah dapet ancer-ancer Wanagama dari Febri. Yandi dengan skill motornya yang tinggi, ngebut sejak awal keberangkatan. Akan tetapi begitu melewati Bukit Bintang, ia melambat.
"Kenapa Yan?"
"Kalo ada rumah makan padang, berhenti bentar ya Nggra. Laper aku."
Kami berdua pun bagi tugas, Yandi lihat kiri dan saya lihat kanan. Nihil, tidak ada rumah makan padang yang buka sepanjang perjalanan. Bagi yang mau buka bisnis masakan padang, kayaknya bisa jadi peluang nih. Yandi pun menyerah, dia ngebut lagi. Tapi dia mendadak ambil kanan, menyeberang. Ohh, ada ayam goreng kali ini. Sepertinya rangkaian ususnya menyeruak minta jatah secepatnya.
"Ga jadi rumah makan padang nih?"
"Engga, seadanya aja deh."

Yandi turun. Saya menunggu di luar, males parkir. Biarlah dia makan sendiri, biar cepet hehe. Akan tetapi, belum ada 10 menit Yandi sudah keluar dari rumah makan tersebut sambil menenteng plastik putih.
"Lho, engga jadi Yan?"
"Di sana aja deh."
Entah apa yang membuat anak ini berubah pikiran sebegitu cepat. Saya pun tidak bisa menyimpulkan. Hanya mampu menerka, mungkin karena Dyaning, mungkin karena hari beranjak senja, atau mungkin rumah makannya tidak nyaman.

Kami sempat bingung dengan tempat parkir motor. Tahun kemarin, kami menitipkannya di sebuah pos jaga Wanagama. Kali ini, kami lihat tidak ada motor anak Palapsi yang parkir di pos jaga. Akhirnya berputar-putarlah kita mencari motor yang tersembunyi. "Wisma Murbei" begitu petunjuk yang diberikan PO melalui sms siang tadi. Murbei apanya! Kami menemukan motor terparkir rapi di Wisma Cendana!

"Yan, engga makan dulu kamu?" tanya saya mengingat betapa melas mukanya ketika mencari rumah makan padang.
"Engga, di sana aja. Keburu malem juga."
Hmm, memang ops kali ini modal nekat bagi kami berdua. Tidak ada sesi studi peta. Tidak membawa GPS. Tidak ada gambaran jalur yang akan ditempuh. Tidak tahu informasi terkini keberadaan tim yang berangkat sebelumnya. Tidak ada tenda. Hanya ada petunjuk "Camp di sekitar titik Dhika tahun kemarin". Sebagai antisipasi, kami berdua telah membawa perlengkapan survival sederhana untuk mendirikan shelter dan bermalam. Dan juga makanan eksklusif masing-masing tentunya, haha. Saya salut dengan semangat Yandi untuk menemani tim FUD ini sampai menerjang resiko-resiko di atas. Well, tanggungjawab mantan kadiv. Saya sih hanya menemani, dan hura-hura.

Kami bersiap-siap. Bisa jadi karena terdesak, persiapan tersebut menjadi begitu singkat. Tas, ponco, pakaian ops, sepatu, dan snack. Tepat pukul 15.30 kita berjalan menyusuri jalan, menyusuri ingatan setaun yang lalu di Wanagama. Kami menandai Wisma Cendana dan titik Dhika (tahun kemarin) di peta, mempelajari rute dan bentukan alamnya. Peta kami simpan dalam tas. Belum begitu berguna saat ini, nanti ketika nyasar saja. Kita berjalan menelusuri jalan (aspal dan paving) dengan ritme normal, sekalian pemanasan. Yandi yakin nanti kita akan bertemu dengan gubuk dekat tikungan sungai. Ya, ingatan saya pun demikian.

Sepanjang perjalanan kami mengobrol tentang kehidupan masing-masing. Meskipun hampir 3 tahun satu tim, saya tidak banyak tahu tentang dua rekan saya, Yandi dan Afiq. Tak terasa, kami sudah sampai gubuk dan menyusuri jalan setapak menuju tikungan sungai. Tahun lalu, kami beristirahat di titik ini setelah beberapa jam menelusuri hutan Wanagama melalui jalur yang berbeda. Titik Enop, begitu kami sebut tempat ini. Tanpa beristirahat, kita melanjutkan perjalanan menyusuri jalan setapak di pinggir sungai sambil mempercepat ritme. Saya berjalan di depan.

Jam di tangan menunjukkan angka 15.50. Wah cukup ngebut juga kita. Nafas saya mulai tak beraturan. "Wah punggungku basah nih," ucap Yandi, mengeluhkan keadaan fisiknya yang belum "jadi".
"Mending kamu basah Yan, aku mandi," ujar saya sambil menoleh. Keringat bercucuran dari kening membasahi muka saya, punggung basah. Tak karuan. Yandi tertawa sambil mendongakkan kepala, khas dirinya.
"Titik Dhika mana sih, Nggra? Bener ini pa?" Yandi memecah keheningan yang belum lama datang.
"Halah, yang Afiq sama Dyaning nyariin titik Dhika itu lho gara-gara engga belok kiri. Kan kita di sini santai-santai pas dua orang itu cari jalur. Eh tau-tau titik Dhika uda di depan."
"Ohh, yang itu. Aku engga santai-santai yo, ngebantuin mereka tau. Berarti udah deket dong. Peluit, Nggra."

Saya kemudian meniup peluit yang menggantung di bahu kiri, tiga kali panjang. Nihil. "Terus jalan aja," Yandi mengkomando. Saya berjalan mengikuti jalur. Belok kiri, konturing. Peluit lagi. Ada jawaban! Seperti mendapat lentera dalam gelapnya gua, kami terkejut. Bahagia. Kami berjalan lagi, menerka arah suara. "Duluan Yan, capek aku." Yandi melangkah di depan, sambil mendongak ke kanan dan ke kiri. Melihat tanda kehidupan. "Peluit," ucapnya singkat. Ada balasan! Entah dari arah mana, kami bingung. Yandi memutuskan berhenti di tanah lapang yang ada di depan, sadel antara dua puncak bukit.

"Berhenti aja dulu, Nggra. Peluit lagi," ucapnya setelah sampai di tempat yang kami tuju.
"Seingatku titik Dhika ini, Yan," seraya menunjuk puncak bukit yang ada di utara saya. Peluit saya bunyikan.
Ada balasan! "Lah itu mereka!" seru Yandi menujuk puncak bukit di selatan kami. Sejak kapan titik Dhika pindah ke sana? Biarlah. Yang penting ketemu.

Kami berdua mendaki bukit dan menemui anggota tim yang sedang foto-foto, sebagian nampak kelelahan. 16.00. 30 menit yang menegangkan dan melelahkan, saya mengambil posisi tidur berbantalkan tas karier. Yandi, dengan hp baru seharga motor, mengambil panorama senja yang indah..bersama pasangannya. PO datang dan bertanya, "Mulai jalan jam berapa e?" 
Yandi menjawab, "Setengah empat."
"Engga mungkin," balasnya sambil menggelengkan kepala tanda tak percaya.
"Serius cuy, emang kalian jalan jam berapa?"
"Dua, gara-gara ada kecelakaan tadi."

Saya teringat dengan rumor kecelakaan itu dan menanyakan detilnya. Ternyata betulan, Aad, Febri, dan Dyaning menceritakannya dengan berapi-api. Brimob menyendiri membelakangi kami, trauma nampaknya. 16.30, kami mencari titik camp berhubung sudah sore. Tempat campnya, tanah lapang tempat saya dan Yandi berhenti sejenak sebelum mendaki bukit. Sial. Penempatan dome berdasar undian. Semua laki-laki tim lama yaitu Yandi, Febri, Dhika, dan saya tidur di Lafuma. Entah kebetulan, entah rekayasa. Saya kebagian masak malam, alhamdulillah. Makanan sudah jadi, makan makanan "eksklusif" kemudian kami membuat api unggun sederhana sambil ToT (truth or truth) alias media curhat ala anak Palapsi. Kami memposisikan diri senyaman mungkin, sambil menikmati taburan cahaya bintang yang menghiasi angkasa ditambah cahaya yang datang dari kota.

Tak terasa sudah pukul 23.55. Beberapa di antara kami sudah tepar, ada yang terlentang maupun tengkurap. Angin malam berhembus menggelayut manja membuat mata kami terlena. PO pun memutuskan untuk menghentikan acara meskipun salah satu dari kami sedang bercerita dengan semangat membara, demi kondisi fisik yang fit esok hari.

Saya bangun ketika matahari pagi sudah menggedor pintu tenda dengan kasar. 05.45. Wah sudah siang. Kami shalat dan mulai masak pagi. Yandi dan saya menjemur pakaian kami berdua, yang lain pun ikut-ikutan. Makanan jadi, menyantap masakan dengan nasi yang melimpah. Alhamdulillah saja lah. Packing dan siap jalan lagi, ternyata saya yang cari titik bersama Novi. Peta pun dibuka, saya kopi tanda-tanda titik yang hendak dituju. Wah daya jelajahnya kecil sekali, pikir saya setelah melihat rute "sesungguhnya". Titik Novi terletak tidak jauh dari tempat kami camp. Sekitar 10-15 menit cukup apabila kemampuan orientasi medan ketika diklat digunakan.

Berhubung Novi tidak ikut diklat tahun 2013, jadi saya minta kadiv dan mantan kadiv menjelaskan dengan singkat. Maklum, saya juga engga bisa. Haha. Alhasil, Novi dengan kemampuan belajarnya yang cepat segera paham dengan bentukan alam. 20 menit berlalu, sebenarnya titik sudah tepat dengan "argumen" yang cukup kuat. Kadiv pun sudah mengiyakan dengan ekspresi nonverbal. Masa 20 menit langsung udah? Novi dan saya kemudian mengecek jalur serta bentukan alam, jadi turun ke lembahan juga naik ke bukit. Setelah melihat dengan cara pandang berbeda, argumen yang dilontarkan Novi pun semakin jelas dan kuat. Well, langsung saja kami selamati keberhasilannya.

Titik berikutnya berlangsung dengan cepat, saya bahkan tidak merasakan sensasinya karena letaknya di pinggir jalan. Kami hanya perlu menyusuri paving dan sampailah di tujuan. Titik terakhir, adalah titik yang sama dengan titik terakhir Dhika Febri tahun kemarin. Hanya saja rute yang kami tempuh berbeda. Tahun kemarin melalui jalur selatan, kali ini utara. Hmm, sama-sama terjal sih. Cuma, kali ini lebih rungkut (lebat) jadi tramontina sempat keluar. Tapi tak banyak gunanya selain hiasan.

Saya melihat ada jalur terbuka apabila ambil lurus tapi Brimob, Aad, Mayang, dan Vivi belok ke arah kiri. Sama-sama lebat, tapi saya liat lurus lebih berprospek. Alhasil jalur lurus itu cukup saya sibak saja. Meskipun lebih terjal, tapi memang berprospek! Saya menemukan jalur hasil bukaan warga setempat (sepertinya), kemudian mengitari melalui kiri. Eeaa, ada Yandi dari bawah muncul tiba-tiba. Dia bilang, jalur yang ditempuh enak dan terbuka. Tapi startnya lebih ke timur lagi dari start tim yang lain. Wah wah, pengalaman memang tidak bisa diremehkan. Mantan kadiv yang satu ini emang punya insting luar biasa, mirip teman kami yang pindah tim demi meraih mimpi ke luar negeri, seperti (sebut saja) Sang Fenomenal.

Baru Yandi dan saya yang sampai puncakan, lima menit kemudian baru menyusul Febri, Dhika, dan Dyaning. Anak-anak lainnya pun sampai tak lama kemudian. Terhambat lebatnya jalur, ungkap mereka. Sama seperti tahun kemarin, puncak yang panas dan matahari yang menyengat, serta upacara. Yap, upacara untuk merayakan tuntasnya semua titik. Cukup jarang, memang. Kami menyanyikan Hymne Palapsi ditemani garangnya cahaya matahari dan terpaan angin. Kami pun turun ke bawah.

Berhubung kecepatan turun kami tidak sama, tim terbagi menjadi 3 kelompok. Saya ada di kelompok tengah. Kami terpencar. PO, yang juga berada di tim tengah, berhenti dan meniup peluit tanda untuk berkumpul. Selang 15 menit kemudian, kelompok depan datang dan kelompok belakang juga hadir. Setelah menyusun formasi jalan, kami menuju Wisma Cendana tempat motor kami terparkir. Satu jam kemudian, kami sampai. Tidak seperti tahun kemarin, kami tidak mampir ke air terjun kali ini. Surut. Air terjun kering, minim air. Saya kecewa. Mantan tim LTMJ pasti kecewa. Yah, takdir alam.

Kami beristirahat di depan Wisma Cendana, tidur-tiduran di jalan raya. Mengabadikan momen dengan kamera dan hape harga motor. Beruntunglah kami, Aad membawa apel untuk bekal. Dyaning membaginya dengan rata, meski sedikit tapi segarnya buah setelah ops sangat melegakan. Kemudian kami sholat di wisma, dan bersiap untuk pulang. PO mengeluh tertusuk duri dan minta tolong agar cewe-cewe membantunya mengeluarkan dari ujung jarinya. Para perempuan lugu pun "terjebak", beberapa menghampiri untuk membantunya. PO tersenyum-senyum aneh. Sepertinya tertusuk duri hanya alasan untuk meraih perhatian saja. Astaga.

Kami pulang. Saya dan Yandi berada di paling belakang. Membicarakan impresi pertama tim gunung ketika FUD ini. Membicarakan proses. Membicarakan kebiasaan tim gunung sebelum-sebelumnya. Membicarakan perbedaan. Membicarakan intrik. Membicarakan alasan dan argumen. Membicarakan keadaan tim. Membicarakan hal interpersonal. Membicarakan Palapsi. Membicarakan tim lama, tim LTMJ. Saya pun merindukan proses dan segala hal yang berkaitan dengan tim LTMJ. Merindukannya. Dengan. Sangat. Hujan rintik-rintik pun turun mengiringi perjalanan pulang seakan membasuh kerinduan akan peristiwa yang tak mungkin terulang lagi.