"nggra, plis banget ki melu ops yo. ben yandi yo melu dadi ana 2011e."
Malam itu, Jumat 6 Desember, saya membaca pesan dari seorang teman yang kebetulan menjadi PO operasional gunung TC #1 FUD. Tak lama kemudian, datang dua buah pesan yang bernada serupa dengan nomor pengirim yang sama. Yah memang masalah umur, fisik, dan juga izin memang menjadi kendala utama bagi saya ketika ingin mengikuti rangkaian FUD. Tapi tidak hanya itu, kebetulan saya diajak senior dan ketua palapsi untuk menjadi panitia dalam seminar "HOW TO BE A POTENTIAL CANDIDATE". Seminar itu berlangsung dari pagi hingga (hampir) sore hari, sedangkan ops dimulai sejak pagi-pagi sekali. Wah, jelas engga bisa.
Well, lihat entar aja. Alhasil saya mengikuti proses ops sebagaimana yang biasa dilakukan Palapsi. Pre-During-Post. Pre mencakup persiapan-persiapan yang harus dilakukan sebagai "syarat sah" layak tidak seseorang ikut ops. Kalo divisi gunung, pre tersebut meliputi jogging, CT, briefing, penentuan titik, studi peta, dan packing bersama (kalau tidak salah, hehe). Demi "ngayem-ayemi" PO akhirnya saya ikuti proses persiapannya sampai ke briefing dan penentuan masalah bantingan. Hanya saja saya menegaskan ke PO bahwa saya entah bisa ikut atau engga karena ada acara yang bersamaan itu. Tapi saya tau kalo sudah ikut briefing, ikut engga ikut ya harus melaksanakan jobdesc perpos dan membayar bantingan. Yah, resiko tim lama.
Selepas briefing, Yandi juga mengatakan hal senada ke forum. Dia ada praktikum besok jam 12 sampai jam 2 siang. Ikut engganya dia, entah. PO tampak makin ketar-ketir. Akhirnya kadiv memutuskan boleh nyusul aja, karena memang engga memungkinkan. Briefing selesai. Sampai di rumah, mikir lagi. Ikut engga ya?
Keesokan harinya, saya menyelesaikan tugas perpos dan membantu persiapan seminar. Hampir sama sekali tidak bertemu tim gunung, namun pas saya mau pulang tampak Dhika dan Febri. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak ikut ops. Pilihan yang berat, memang. Ketika sudah sampai kamar, sms yang telah saya tuliskan di atas muncul di layar hp. Acuhkan saja. Kemudian datang 2 pesan serupa. Hmm, kasian sih tapi mau gimana lagi. Selang satu jam, ada pesan baru lagi. Yandi. Ia menyarankan saya untuk ikut ops dan nyusul bareng, karena dia males nyusul sendiri dan lupa jalan ke Wanagama. Bimbang jadinya. Entahlah. Saya pun tertidur.
Sabtu pagi, tim seminar harus standby pukul 07.00. Saya bangun, mandi dan bersiap-siap. Seonggok tas karier meringkuk di dekat lemari pakaian. Saya berpikir ulang. Ikut engga ya? Ikut engga ya? Ikut engga ya? Akhirnya saya putuskan untuk ikut ops (karena Yandi pagi itu juga sms lagi -.-), dan packing dadakan dengan sisa-sisa keterampilan yang pernah saya miliki. Voila, jadilah tas karier siap ops! Tapi kalau dibuka, tas itu sangat amburadul. Yah gimana lagi. Saya pamit, dan berangkat ke kampus.
Ternyata anak gunung yang datang belum ada separuhnya. Kebiasaan ngaret kayaknya udah mulai kelewatan ini. Yandi pun datang dengan tas karier Avtech dan pakaian opsnya. "Kamu praktikum pake itu, Yan?"
"Gapapa Nggra, mbaknya bolehin kok," ucapnya sambil mengambil petunjuk praktikum. "Kamu jadinya ikut kan?"
"Ikut, Yan. Ntar bareng ya kita. Aku selesai jam 2an..mungkin."
"Yo. Kalo kamu ga ikut, ntar Dhika yang aku suruh tinggal di sini." Yandi pergi ke laboratorium, begitupun tim seminar yang mulai bergegas ke UC.
**skip <-> lagi seminar chuy**
Tepat pukul 13.00, seminar usai. Beberes bersih-bersih dan foto-foto, akhirnya jam 2 siang acara tersebut tuntas. Kami balik ke sekret Palapsi, saya bersiap-siap berangkat dan packing ulang. Makanan dus yang diberikan untuk panitia saya masukkan ke dalam tas, belum sempat menyantap makanan. Yandi datang, tampaknya skoring praktikumnya juga sudah selesai. Kami bersiap berangkat.
"Nggra, dapet sms dari PO engga?"
"Belum ngecek hp Yan. Ada apa emang?"
"Brimob sama Dyaning kecelakaan, tapi gapapa kok. Detilnya belum tau sih, haha."
"Seriusan?"
Ternyata anak gunung ada yang kecelakaan pas perjalanan menuju tempat ops. Wah bahaya nih. Jujur saya lebih takut di perjalanan ke tempat ops (terutama pakai motor) daripada opsnya sendiri. Pengalaman pribadi. Kami berdua pun berangkat bersamaan dengan redanya hujan yang deras menerpa. Beberapa anak sekret kaget dengan keberangkatatan kami. Kurang kerjaan, mungkin begitu yang ada dalam pikiran mereka. Keberangkatan diawali dengan kebingungan mencari motor Novi, kami berdua sama-sama tidak tahu apa motornya. Petunjuknya adalah kunci motor Honda, dan plat Bali (Novi asalnya dari Bali). Alhasil Yandi mencoba memasukkan kunci ke motor yang disangka-sangka. Dapatlah Vario merah motor Novi, padahal tebakan saya Honda Beat. Berangkat!
Perjalanan biasa-biasa saja, kami sudah dapet ancer-ancer Wanagama dari Febri. Yandi dengan skill motornya yang tinggi, ngebut sejak awal keberangkatan. Akan tetapi begitu melewati Bukit Bintang, ia melambat.
"Kenapa Yan?"
"Kalo ada rumah makan padang, berhenti bentar ya Nggra. Laper aku."
Kami berdua pun bagi tugas, Yandi lihat kiri dan saya lihat kanan. Nihil, tidak ada rumah makan padang yang buka sepanjang perjalanan. Bagi yang mau buka bisnis masakan padang, kayaknya bisa jadi peluang nih. Yandi pun menyerah, dia ngebut lagi. Tapi dia mendadak ambil kanan, menyeberang. Ohh, ada ayam goreng kali ini. Sepertinya rangkaian ususnya menyeruak minta jatah secepatnya.
"Ga jadi rumah makan padang nih?"
"Engga, seadanya aja deh."
Yandi turun. Saya menunggu di luar, males parkir. Biarlah dia makan sendiri, biar cepet hehe. Akan tetapi, belum ada 10 menit Yandi sudah keluar dari rumah makan tersebut sambil menenteng plastik putih.
"Lho, engga jadi Yan?"
"Di sana aja deh."
Entah apa yang membuat anak ini berubah pikiran sebegitu cepat. Saya pun tidak bisa menyimpulkan. Hanya mampu menerka, mungkin karena Dyaning, mungkin karena hari beranjak senja, atau mungkin rumah makannya tidak nyaman.
Kami sempat bingung dengan tempat parkir motor. Tahun kemarin, kami menitipkannya di sebuah pos jaga Wanagama. Kali ini, kami lihat tidak ada motor anak Palapsi yang parkir di pos jaga. Akhirnya berputar-putarlah kita mencari motor yang tersembunyi. "Wisma Murbei" begitu petunjuk yang diberikan PO melalui sms siang tadi. Murbei apanya! Kami menemukan motor terparkir rapi di Wisma Cendana!
"Yan, engga makan dulu kamu?" tanya saya mengingat betapa melas mukanya ketika mencari rumah makan padang.
"Engga, di sana aja. Keburu malem juga."
Hmm, memang ops kali ini modal nekat bagi kami berdua. Tidak ada sesi studi peta. Tidak membawa GPS. Tidak ada gambaran jalur yang akan ditempuh. Tidak tahu informasi terkini keberadaan tim yang berangkat sebelumnya. Tidak ada tenda. Hanya ada petunjuk "Camp di sekitar titik Dhika tahun kemarin". Sebagai antisipasi, kami berdua telah membawa perlengkapan survival sederhana untuk mendirikan shelter dan bermalam. Dan juga makanan eksklusif masing-masing tentunya, haha. Saya salut dengan semangat Yandi untuk menemani tim FUD ini sampai menerjang resiko-resiko di atas. Well, tanggungjawab mantan kadiv. Saya sih hanya menemani, dan hura-hura.
Kami bersiap-siap. Bisa jadi karena terdesak, persiapan tersebut menjadi begitu singkat. Tas, ponco, pakaian ops, sepatu, dan snack. Tepat pukul 15.30 kita berjalan menyusuri jalan, menyusuri ingatan setaun yang lalu di Wanagama. Kami menandai Wisma Cendana dan titik Dhika (tahun kemarin) di peta, mempelajari rute dan bentukan alamnya. Peta kami simpan dalam tas. Belum begitu berguna saat ini, nanti ketika nyasar saja. Kita berjalan menelusuri jalan (aspal dan paving) dengan ritme normal, sekalian pemanasan. Yandi yakin nanti kita akan bertemu dengan gubuk dekat tikungan sungai. Ya, ingatan saya pun demikian.
Sepanjang perjalanan kami mengobrol tentang kehidupan masing-masing. Meskipun hampir 3 tahun satu tim, saya tidak banyak tahu tentang dua rekan saya, Yandi dan Afiq. Tak terasa, kami sudah sampai gubuk dan menyusuri jalan setapak menuju tikungan sungai. Tahun lalu, kami beristirahat di titik ini setelah beberapa jam menelusuri hutan Wanagama melalui jalur yang berbeda. Titik Enop, begitu kami sebut tempat ini. Tanpa beristirahat, kita melanjutkan perjalanan menyusuri jalan setapak di pinggir sungai sambil mempercepat ritme. Saya berjalan di depan.
Jam di tangan menunjukkan angka 15.50. Wah cukup ngebut juga kita. Nafas saya mulai tak beraturan. "Wah punggungku basah nih," ucap Yandi, mengeluhkan keadaan fisiknya yang belum "jadi".
"Mending kamu basah Yan, aku mandi," ujar saya sambil menoleh. Keringat bercucuran dari kening membasahi muka saya, punggung basah. Tak karuan. Yandi tertawa sambil mendongakkan kepala, khas dirinya.
"Titik Dhika mana sih, Nggra? Bener ini pa?" Yandi memecah keheningan yang belum lama datang.
"Halah, yang Afiq sama Dyaning nyariin titik Dhika itu lho gara-gara engga belok kiri. Kan kita di sini santai-santai pas dua orang itu cari jalur. Eh tau-tau titik Dhika uda di depan."
"Ohh, yang itu. Aku engga santai-santai yo, ngebantuin mereka tau. Berarti udah deket dong. Peluit, Nggra."
Saya kemudian meniup peluit yang menggantung di bahu kiri, tiga kali panjang. Nihil. "Terus jalan aja," Yandi mengkomando. Saya berjalan mengikuti jalur. Belok kiri, konturing. Peluit lagi. Ada jawaban! Seperti mendapat lentera dalam gelapnya gua, kami terkejut. Bahagia. Kami berjalan lagi, menerka arah suara. "Duluan Yan, capek aku." Yandi melangkah di depan, sambil mendongak ke kanan dan ke kiri. Melihat tanda kehidupan. "Peluit," ucapnya singkat. Ada balasan! Entah dari arah mana, kami bingung. Yandi memutuskan berhenti di tanah lapang yang ada di depan, sadel antara dua puncak bukit.
"Berhenti aja dulu, Nggra. Peluit lagi," ucapnya setelah sampai di tempat yang kami tuju.
"Seingatku titik Dhika ini, Yan," seraya menunjuk puncak bukit yang ada di utara saya. Peluit saya bunyikan.
Ada balasan! "Lah itu mereka!" seru Yandi menujuk puncak bukit di selatan kami. Sejak kapan titik Dhika pindah ke sana? Biarlah. Yang penting ketemu.
Kami berdua mendaki bukit dan menemui anggota tim yang sedang foto-foto, sebagian nampak kelelahan. 16.00. 30 menit yang menegangkan dan melelahkan, saya mengambil posisi tidur berbantalkan tas karier. Yandi, dengan hp baru seharga motor, mengambil panorama senja yang indah..bersama pasangannya. PO datang dan bertanya, "Mulai jalan jam berapa e?"
Yandi menjawab, "Setengah empat."
"Engga mungkin," balasnya sambil menggelengkan kepala tanda tak percaya.
"Serius cuy, emang kalian jalan jam berapa?"
"Dua, gara-gara ada kecelakaan tadi."
Saya teringat dengan rumor kecelakaan itu dan menanyakan detilnya. Ternyata betulan, Aad, Febri, dan Dyaning menceritakannya dengan berapi-api. Brimob menyendiri membelakangi kami, trauma nampaknya. 16.30, kami mencari titik camp berhubung sudah sore. Tempat campnya, tanah lapang tempat saya dan Yandi berhenti sejenak sebelum mendaki bukit. Sial. Penempatan dome berdasar undian. Semua laki-laki tim lama yaitu Yandi, Febri, Dhika, dan saya tidur di Lafuma. Entah kebetulan, entah rekayasa. Saya kebagian masak malam, alhamdulillah. Makanan sudah jadi, makan makanan "eksklusif" kemudian kami membuat api unggun sederhana sambil ToT (truth or truth) alias media curhat ala anak Palapsi. Kami memposisikan diri senyaman mungkin, sambil menikmati taburan cahaya bintang yang menghiasi angkasa ditambah cahaya yang datang dari kota.
Tak terasa sudah pukul 23.55. Beberapa di antara kami sudah tepar, ada yang terlentang maupun tengkurap. Angin malam berhembus menggelayut manja membuat mata kami terlena. PO pun memutuskan untuk menghentikan acara meskipun salah satu dari kami sedang bercerita dengan semangat membara, demi kondisi fisik yang fit esok hari.
Saya bangun ketika matahari pagi sudah menggedor pintu tenda dengan kasar. 05.45. Wah sudah siang. Kami shalat dan mulai masak pagi. Yandi dan saya menjemur pakaian kami berdua, yang lain pun ikut-ikutan. Makanan jadi, menyantap masakan dengan nasi yang melimpah. Alhamdulillah saja lah. Packing dan siap jalan lagi, ternyata saya yang cari titik bersama Novi. Peta pun dibuka, saya kopi tanda-tanda titik yang hendak dituju. Wah daya jelajahnya kecil sekali, pikir saya setelah melihat rute "sesungguhnya". Titik Novi terletak tidak jauh dari tempat kami camp. Sekitar 10-15 menit cukup apabila kemampuan orientasi medan ketika diklat digunakan.
Berhubung Novi tidak ikut diklat tahun 2013, jadi saya minta kadiv dan mantan kadiv menjelaskan dengan singkat. Maklum, saya juga engga bisa. Haha. Alhasil, Novi dengan kemampuan belajarnya yang cepat segera paham dengan bentukan alam. 20 menit berlalu, sebenarnya titik sudah tepat dengan "argumen" yang cukup kuat. Kadiv pun sudah mengiyakan dengan ekspresi nonverbal. Masa 20 menit langsung udah? Novi dan saya kemudian mengecek jalur serta bentukan alam, jadi turun ke lembahan juga naik ke bukit. Setelah melihat dengan cara pandang berbeda, argumen yang dilontarkan Novi pun semakin jelas dan kuat. Well, langsung saja kami selamati keberhasilannya.
Titik berikutnya berlangsung dengan cepat, saya bahkan tidak merasakan sensasinya karena letaknya di pinggir jalan. Kami hanya perlu menyusuri paving dan sampailah di tujuan. Titik terakhir, adalah titik yang sama dengan titik terakhir Dhika Febri tahun kemarin. Hanya saja rute yang kami tempuh berbeda. Tahun kemarin melalui jalur selatan, kali ini utara. Hmm, sama-sama terjal sih. Cuma, kali ini lebih rungkut (lebat) jadi tramontina sempat keluar. Tapi tak banyak gunanya selain hiasan.
Saya melihat ada jalur terbuka apabila ambil lurus tapi Brimob, Aad, Mayang, dan Vivi belok ke arah kiri. Sama-sama lebat, tapi saya liat lurus lebih berprospek. Alhasil jalur lurus itu cukup saya sibak saja. Meskipun lebih terjal, tapi memang berprospek! Saya menemukan jalur hasil bukaan warga setempat (sepertinya), kemudian mengitari melalui kiri. Eeaa, ada Yandi dari bawah muncul tiba-tiba. Dia bilang, jalur yang ditempuh enak dan terbuka. Tapi startnya lebih ke timur lagi dari start tim yang lain. Wah wah, pengalaman memang tidak bisa diremehkan. Mantan kadiv yang satu ini emang punya insting luar biasa, mirip teman kami yang pindah tim demi meraih mimpi ke luar negeri, seperti (sebut saja) Sang Fenomenal.
Baru Yandi dan saya yang sampai puncakan, lima menit kemudian baru menyusul Febri, Dhika, dan Dyaning. Anak-anak lainnya pun sampai tak lama kemudian. Terhambat lebatnya jalur, ungkap mereka. Sama seperti tahun kemarin, puncak yang panas dan matahari yang menyengat, serta upacara. Yap, upacara untuk merayakan tuntasnya semua titik. Cukup jarang, memang. Kami menyanyikan Hymne Palapsi ditemani garangnya cahaya matahari dan terpaan angin. Kami pun turun ke bawah.
Berhubung kecepatan turun kami tidak sama, tim terbagi menjadi 3 kelompok. Saya ada di kelompok tengah. Kami terpencar. PO, yang juga berada di tim tengah, berhenti dan meniup peluit tanda untuk berkumpul. Selang 15 menit kemudian, kelompok depan datang dan kelompok belakang juga hadir. Setelah menyusun formasi jalan, kami menuju Wisma Cendana tempat motor kami terparkir. Satu jam kemudian, kami sampai. Tidak seperti tahun kemarin, kami tidak mampir ke air terjun kali ini. Surut. Air terjun kering, minim air. Saya kecewa. Mantan tim LTMJ pasti kecewa. Yah, takdir alam.
Kami beristirahat di depan Wisma Cendana, tidur-tiduran di jalan raya. Mengabadikan momen dengan kamera dan hape harga motor. Beruntunglah kami, Aad membawa apel untuk bekal. Dyaning membaginya dengan rata, meski sedikit tapi segarnya buah setelah ops sangat melegakan. Kemudian kami sholat di wisma, dan bersiap untuk pulang. PO mengeluh tertusuk duri dan minta tolong agar cewe-cewe membantunya mengeluarkan dari ujung jarinya. Para perempuan lugu pun "terjebak", beberapa menghampiri untuk membantunya. PO tersenyum-senyum aneh. Sepertinya tertusuk duri hanya alasan untuk meraih perhatian saja. Astaga.
Kami pulang. Saya dan Yandi berada di paling belakang. Membicarakan impresi pertama tim gunung ketika FUD ini. Membicarakan proses. Membicarakan kebiasaan tim gunung sebelum-sebelumnya. Membicarakan perbedaan. Membicarakan intrik. Membicarakan alasan dan argumen. Membicarakan keadaan tim. Membicarakan hal interpersonal. Membicarakan Palapsi. Membicarakan tim lama, tim LTMJ. Saya pun merindukan proses dan segala hal yang berkaitan dengan tim LTMJ. Merindukannya. Dengan. Sangat. Hujan rintik-rintik pun turun mengiringi perjalanan pulang seakan membasuh kerinduan akan peristiwa yang tak mungkin terulang lagi.