Ini adalah cerita tak berawal dan tanpa akhir. Tak ada plot maupun alur. Sekadar gonjang-ganjing.
Alkisah di samudera luas tinggalah Batu Tenggelam. Batu Tenggelam adalah seorang pendatang baru yang sudah tinggal kurang lebih 6 bulan di samudera. Ianya banyak berkelana, bertualang, dan bercengkrama ketika tinggal di samudera ini. Hingga satu saat ketika Batu Gunung mendengar Batu Tenggelam hendak pergi dari samudera karena sudah tak nyaman ditinggali lagi.
Bukannya Batu Tenggelam mempunyai peran vital di samudera, hanya saja karena seisi samudera telah menganggapnya bagian dari keluarga maka Batu Gunung pun mewartakannya pada rakyat. "Hai saudara-saudara, ananda dengar Batu Tenggelam hendak meninggalkan samudera! Apa yang sebaiknya kita lakukan?" tanya Batu Gunung di tengah khalayak ramai. Beragam jawaban pun muncul.
"Apa? Mengapa Batu Tenggelam hendak meninggalkan samudera? Ada apa gerangan?"
"Benarkah?"
"Kita harus tahu penyebabnya dahulu, kemudian bertindak!"
"Sudahlah, kalau ia ingin pergi biarkan saja."
Berbagai pertanyaan membombardir Batu Gunung, pertanyaan utamanya adalah "Mengapa?" dan "Apa penyebabnya?". Batu Gunung tidak mengerti kondisi Batu Tenggelam sepenuhnya, maka Batu Gunung dan beberapa anggota rakyat berdiskusi membicarakan fenomena yang terjadi ini.
Ruang tempat diskusi adalah bangunan sederhana, perwakilan-perwakilan yang tersohor hadir dan menghiasi ruangan. Beberapa orang tak dikenal turut bergabung ke dalamnya. Rakyat pun hadir dengan beragam tujuan, ada yang sekadar ingin tau, ada yang haus informasi akan situasi politik, ada pula yang hadir untuk membunuh kebosanan. Ruangan tersebut penuh sesak namun tetap nyaman karena hembusan angin semilir tiada henti membalut pojok-pojok dinding ruangan. Orang-orang duduk setara satu sama lain melingkari ruangan. Ada yang duduk dua shaf maupun tiga shaf karena ruangan yang tidak mencukupi. Beragam metode duduk mereka gunakan, bersimpuh, sila tumpang, dan lain sebagainya. Lilin-lilin besar dinyalakan di area tengah ruangan yang memang lowong tidak ditempati oleh seorang pun.
"Mengapa ia ingin pergi dari samudera?" pertanyaan pertama terlontar kala diskusi baru saja dibuka. Batu Gunung pun menceritakan alasan yang ia ketahui.
"Apabila demikian," sambung seseorang seusai Batu Gunung selesai bercerita, "terjadinya peristiwa ini adalah kesalahan kita sebagai rakyat samudera. Begitu kan?"
"Tunggu sebentar, kisanak. Bagaimana mungkin ki mengatakan kalau ini semua kesalahan kita? Apa yang telah kita perbuat pada Batu Tenggelam?" balas yang lain.
"Saya pun tidak tahu. Akan tetapi duduk persoalannya adalah "ketidaknyamanan". Berarti kita sebagai penghuni lama gagal membuatnya "nyaman". Itulah kesalahan kita."
"Itulah yang tidak saya pahami. Kenyamanan itu sangatlah subjektif, kisanak. Kalau boleh tau, tindakan konkrit apa yang telah kita perbuat sehingga kisanak mengatakan ini semua murni kesalahan kita?"
"Tunggu sebentar hadirin, ini bukanlah saat yang tepat untuk melihat kesalahan siapa ini sebenarnya. Bukankah begitu? Saya ingin bertanya pada khalayak, adakah orang-orang seperti Batu Tenggelam?"
Semua orang diam, hening. Gemerisik daun dan pepohonan menyumbang suara meramaikan suasana ruangan. Api lilin menggeliat kesana kemari seakan melongok memperhatikan raut muka orang-orang yang hadir. Batu Gunung pun angkat bicara, "Beribu maaf kisanak, saya tidak mengerti apa yang kisanak maksudkan."
"Tentu Batu Gunung," orang tersebut tersenyum simpul seakan telah menebak reaksi hadirin di sekitarnya. "Maksud saya adalah kita sibuk mendiskusikan Batu Tenggelam, jangan-jangan selain dirinya ada pula orang lain yang hendak pergi dari samudera karena tidak nyaman? Itu saja."
Ucapan dari seseorang yang kharismatik tersebut membuat hadirin tertegun. Memang benar. Ibarat berfokus pada ranting yang mati, namun bisa saja malah akarnya yang busuk. "Maaf sebelumnya kisanak, namun berkenankah Saudara memperkenalkan diri? Saya berfirasat kisanak bukan orang biasa."
"Beliau adalah Raja Gunung," ucap Batu Gunung. "Nampaknya Raja Gunung sedang berkelana. Mengapa paduka berkata demikian, apakah ada yang paduka risaukan?"
Raja Gunung tersenyum simpul. "Aah, saya paham," ujar seorang rakyat. "Apakah paduka gundah dan risau dengan Batu Lubang? Maaf beribu maaf paduka, namun saya dengar dari suara akar rumput bahwa paduka pernah menjalin kasih dengan Batu Lubang. Kemudian rumor beredar bahwa dirinya juga hendak meninggalkan samudera."
"Berita itu benar, namun sudah tidak lagi," balas Raja Gunung. "Ya, saya hanya takut kita tidak sadar adanya masalah besar yang siap menerkam dan melumat masing-masing di antara kita jika kita tidak menemukan akar masalahnya. Saya kira tidak hanya Batu Tenggelam yang berkeinginan meninggalkan samudera."
"Bisa jadi, masalah tersebut diakibatkan Penguasa Samudera yang telah uzur," guman seseorang.
"Mungkin saja kisanak, beliau memang dekat dengan rakyat samudera salah satunya Batu Tenggelam. Akan tetapi dirinya kini telah uzur, sangat disayangkan memang. Saya harap penggantinya memiliki kemampuan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan beliau. Rumor beredar beliau hendak menyerahkan kekuasaannya pada salah satu dari tiga orang yang terpilih," sambung orang yang lain.
"Ya, ada tiga calon kuat. Adipati Harta, Raja Rahayat, dan Dewa Gembrit. Ketiganya memiliki karakter yang berbeda-beda."
"Apakah mungkin, gejolak dalam samudera akhir-akhir ini disebabkan oleh hal tersebut. Permisi dan maaf beribu maaf paduka, bagaimana pendapat paduka Raja Gunung?"
Sosok Raja Gunung yang memang senang bercengkrama setara dengan rakyatnya pun berbagi kabar mengenai sifat-sifat tiga calon dengan khalayak kemudian mengakhiri kisahnya, "Begitulah keadaan petinggi, namun saya pun tidak banyak tahu mengenai kebenaran kabar tersebut, bisa saja Saudara semua lebih tahu daripada saya. Bagaimana pendapat kisanak sekalian?"
"Saya kira memang benar adanya, bahwa Raja Rahayat adalah sosok yang kharismatik dan bertanggung jawab. Beliau diangkat menjadi raja karena pendahulunya lari dari tanggung jawab mengurus kerajaan. Raja Rahayat, yang tidak memiliki silsilah dalam kerajaan tersebut, diangkat berdasarkan kesepakatan rakyatnya. Bukan pilihan yang buruk jika menjadi Penguasa Samudera, bukan?"
"Tidak buruk memang. Tapi Raja Rahayat belum lama memegang tampuk kekuasaan. Kita belum dapat menegaskan kualitasnya jika belum "teruji", benar bukan kisanak sekalian? Saya melihat, Adipati Harta tidak buruk apabila memangku jabatan penguasa tertinggi. Ia seseorang yang berkeinginan keras, memiliki penglihatan jauh, tegas, disiplin, dan bertanggung jawab pula. Akan tetapi," seseorang tersebut menghela nafas, "dirinya belum bisa dikatakan dekat dengan rakyat samudera. Pemimpin yang berkualitas jika didukung dengan rakyatnya akan menjadi pemimpin yang legendaris, menurut saya."
Hening sejenak. Suasana sunyi. Perkataan khalayak mengenai calon-calon telah dirangkum dalam pembicaraan sebelumnya. Kesepakatan pendapat. Kesepahaman. "Kemudian, bagaimana dengan Dewa Gembrit?" seseorang di tepi ruangan angkat suara. Cahaya temaram dari lilin tertiup angin, bergoyang mengaburkan bayangannya di dinding.
"Beliau adalah calon yang paling dekat untuk menjadi penguasa samudera," ucap seorang pemikir yang telah mempertimbangkan perkataannya masak-masak.
"Benar. Saya rasa juga demikian."
"Tidak salah memang. Ia memiliki kedekatan dengan rakyat dan telah teruji. Bukankah beliau adalah Raja Gunung terdahulu? Bagaimana menurut paduka?"
"Kisanak sekalian benar dan tepat. Ia memiliki sifat yang teladan, pemerintahannya dulu pun sangat baik. Kedekatan dan dukungan dari rakyat selalu menyertainya. Hanya saja..," Raja Gunung tidak meneruskan kalimatnya.
"Hanya saja apa, Paduka?" tanya seseorang yang penasaran.
"Bagaimana mengatakannya, ya. Baiklah. Hanya saja saya dengar beliau tidak berkeinginan untuk menjadi penguasa samudera," jawab Raja Gunung ragu-ragu.
"Benarkah demikian? Dewa Gembrit tidak mau memangku jabatan tertinggi?"
"Dari siapa paduka mendapat kabar?"
Orang-orang yang hadir dalam ruangan pun riuh. Berbagai pertanyaan tanpa sadar terlontar. Berbagai pernyataan tanpa diketahui kebenarannya tercetus. Mereka berdiskusi dengan rekan di samping kanan kirinya. Orang-orang yang hampir melaju ke alam mimpi terjaga, kaget dengan individu-individu yang sedari tadi ingin berpendapat. Mengherankan memang. Jarang sekali ada orang yang menolak untuk meraih tonggak pemerintahan samudera.
"Harap tenang saudara-saudara sekalian," seru Batu Gunung berusaha mengendalikan suasana. "Belum ada seorang pun yang tahu kebenaran kabar tersebut, Raja Gunung pun telah menegaskan kabar tersebut belum tentu tepat, saudara sekalian."
"Batu Gunung benar. Belum ada yang dapat memastikan kebenaran kabar tersebut, sekalipun itu saya," ucap seseorang di dekat pintu ruangan yang tertutup. Semua orang bertanya-tanya dalam hati mengenai sosok orang tersebut.
"Pertama-tama saya haturkan maaf yang sebesar-besarnya, namun saya ingin tahu siapakah gerangan kisanak? Seakan kisanak tahu betul dengan apa-apa yang terjadi di Istana Penguasa Samudera."
"Saya? Hmm, saya tidak tahu betul dengan apa yang terjadi di istana. Akan tetapi saya mengerti luar dalam mengenai Dewa Gembrit?"
"Bagaimana mungkin?"
"Saya sendirilah yang kalian sebut dengan Dewa Gembrit," ujar Dewa Gembrit sambil membuka jati diri.
Berbagai pertanyaan terlontar. Suara satu sahut menyahut dengan suara yang lain. Tidak ada yang mau ketinggalan. Tidak ada yang mau kalah. Semuanya ingin tahu kabar mengenai sosok yang kharismatik dari sumbernya sendiri. "Saya pun tidak tahu jika saya menjadi calon, kisanak sekalian," tegas Dewa Gembrit, "apabila benar demikian, saya pun tidak bisa memutuskan. Saya senang berkelana dan mengembara. Akhir-akhir ini memang saya memutuskan untuk bertapa dan mengasah ilmu lebih lanjut serta meninggalkan samudera. Saya bimbang, ditambah lagi dengan kabar penyerahan kekuasaan Penguasa Samudera. Saya tidak tahu, semuanya adalah kehendak Sang Hyang Widhi." Dewa Gembrit kemudian mohon pamit dan berangkat menuju pengembaraan tanpa seorang pun yang mengetahui tujuannya.
Diskusi dalam ruangan tersebut berjalan hingga larut. Hampir semua orang menahan kantuk. Semangat berbicara pun mulai surut. Akan tetapi tak ada satupun yang ingin membubarkan diri di tengah diskusi. Sebelum masalah tuntas, atau paling tidak tercipta kejelasan dan penerangan lebih lanjut akar masalah yang terjadi. Lilin-lilin telah susut. Cahayanya semakin temaram, tak seperti ketika awal disulut. Hembusan angin malam mondar-mandir ingin mendengar kabar baru. Sunyi. Hingga akhirnya seseorang memberanikan diri untuk berbicara.
"Saudara sekalian, bukannya saya ingin melarikan diri dari masalah. Peristiwa yang menjadi pokok bahasan kita adalah Batu Tenggelam, bukan? Saya kira Batu Tenggelam, maupun rakyat samudera tidak ada yang bodoh. Artinya apabila seorang rakyat samudera memutuskan untuk bertindak sesuatu, pasti didasari pemikiran yang matang ataupun kepercayaan diri yang tinggi. Apabila tindakan tersebut salah, tentu ia akan sadar dan kembali ke jalan yang benar." Ia menarik nafas panjang yang nampaknya habis ketika mengucap pernyataan sebelumnya, kemudian menghembuskannya perlahan dan meresapinya dalam-dalam.
Ruangan hening, seluruh perhatian terfokus pada satu suara. "Sesuai kata kisanak sekalian, kenyamanan itu sangat subjektif. Berbeda-beda tiap orangnya sehingga sulit untuk dicari jalan keluarnya. Selesai. Masalah para petinggi itu memang menyangkut kita, namun bukankah tadi sudah dibicarakan bahwa tiap-tiap orang memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing? Yang bisa kita lakukan sekarang hanya berusaha dan berdoa, sebaik mungkin. Tentu saja jangan lupa mensyukuri segala hal yang sudah, sedang, dan akan terjadi. Sesungguhnya seseorang tidak menyadari betapa beruntungnya ia, jika belum bertemu dengan kondisi yang lebih buruk daripada kondisi dirinya saat ini."
Semua orang tertegun. Diskusi ditutup dengan senyum mengembang di bibir masing-masing. Menanti diskusi serupa selanjutnya.
0 Komentar
POST A COMMENT