Tersebutlah seekor katak yang hidup tak jauh dari sungai. Selama ini ia hanya berdiam diri dalam tempat tertutup nan terlindungi, aman bagi dirinya. Kehidupannya selama ini monoton dan sempit, ibarat peribahasa "Bagai katak dalam tempurung". Ya, benar-benar dalam tempurung. Katak itu tak tahu banyak mengenai dunia luar, mengenai alam di sekitarnya, maupun makhluk hidup selain keluarganya. Berada di dalam rumah mungkin menjadi hobi, bahkan kebiasaannya. Aman dan tenteram, begitu pikirnya.
Meski senang berada di dalam rumah, bukan berarti Katak itu selalu berada di dalam rumah. Ia sekali dua kali keluar rumah apabila ada hal-hal yang penting. Ketika itu, katak hendak mandi. Sudah cukup lama ia tidak mandi. Seminggu terakhir ini ia hampir tak menyentuh air, yang merupakan satu-satunya sahabat baik katak, karena hujan tak turun sehingga membuat kubangan di dekat rumahnya kering.
"Aduh bagaimana caranya aku mandi kalau air di kubangan kering? Padahal aku telah sekian lama bertahan hidup tanpa mandi, karena enggan pergi jauh mencari air. Sudah ditunggu-tunggu tak turun jua," katanya pada diri sendiri.
Pada saat yang hampir bersamaan, ia mendengar suara aliran air. Suara yang asing bagi telinga katak, namun juga familiar. "Sepertinya itu suara air mengalir," ucapnya agak ragu, maklum meskipun tinggal tak jauh dari sungai, namun ia belum pernah mendekati sesuatu yang bernama sungai barang sedikit pun. Semakin banyak ia melompat, semakin jelas suara air dari sungai tersebut. Ia pun makin bersemangat untuk mendekati aliran air demi menuntaskan sebuah kebutuhan dasarnya : mandi.
"Jadi ini yang disebut sungai," ujar Katak kepada diri sendiri. Ia melongok ke kanan dan ke kiri, mengagumi keindahan sungai dari dekat. Berada tepat di bibir sungai memberikan sensasi yang tidak biasa bagi Sang Katak. Percikan air dari sungai menetes membasahi tubuhnya, semakin meningkatkan keinginan Katak untuk berendam.
"Tak jauh berbeda dengan kubangan yang biasa aku gunakan mandi," ucapnya meyakinkan diri. Yah yang ia lihat memang bagian sungai dengan arus yang tenang, atau flat water. "Bedanya, kubangan ini jauh lebih besar dan ada aliran yang kecil. Itu saja," katak semakin berani mengambil tindakan.
Katak meloncat ke dalam sungai. Byurr! Plash! Ia muncul lagi ke permukaan air. "Ahh begini ternyata rasanya mandi di sungai?" Katak mulai berenang di dalam sungai, namun tak jauh dari daratan tempat ia meloncat tadi. Agaknya Katak belum berani meninggalkan "tali pengaman"nya. Pyuk..splash! Katak naik lagi ke daratan. Tubuhnya sudah cukup basah dan segar. Ia melompat kembali ke rumah dengan senyum mengembang. Sesuatu yang baru.
Keesokan harinya, hujan turun pagi-pagi sekali dan berhenti pada saat menjelang siang. Kubangan yang biasa Katak gunakan kembali muncul. Akan tetapi kali ini Katak tak berniat untuk bersantai dalam kubangan. Maka ia melompat keluar, menuju sungai. Bersantai dan bermain di sungai. Mandi kemudian berenang kesana kemari. Kali ini ia berenang sedikit lebih jauh dari daratan tempat ia melompat. Bersantai di atas permukaan sungai sambil menghangatkan diri di bawah terik mentari. Ketika sudah puas, ia berenang ke pinggir dan keluar dari sungai. Begitu terus rutinitas yang ia lakukan selama beberapa waktu, hingga pada akhirnya ia telah berani berenang jauh dari tempat awal melompat namun masih di area flat water.
Saat itu tak jauh berbeda dari biasanya. Sang Katak keluar dari rumah ketika matahari sudah mulai turun, kemudian melompat ke dalam air seperti biasanya. Byurr! Seperti biasanya. Ia berenang, seperti biasanya. Satu hal yang tidak biasa adalah, ia berenang tidak lama. Katak kemudian terlentang menikmati cahaya matahari yang hangat. "Biarlah sesekali aku terbawa arus ini, toh sungai ini sudah menjadi tempat bermainku," ucapnya.
Sang Katak membiarkan dirinya terbawa arus yang pelan itu, sangat pelan. Godaan untuk bersantai makin menjadi-jadi. Katak pun menutup kedua matanya, terpejam terbawa arus. Untuk pertama kali di dalam hidupnya, ia membiarkan tubuhnya terbawa arus sungai. Untuk pertama kali di dalam hidupnya. Hembusan lembut angin melenakan Katak, kantuk menerjang dan menghempaskan Katak dalam kondisi yang mendamaikan. Ia terbawa arus.
"Hei ada yang tidak beres," pikir Katak tak lama kemudian. Ia membuka mata. Sungai tersebut ternyata lebih luas daripada tempat awal ia melompat. Akan tetapi di depannya, sungai itu mulai menyempit, menyempit, dan menyempit. Arus sungai yang tadi tenang kini mulai bergejolak, lebih cepat dan lebih cepat. "Sial! Hendak menikmati terbawa arus, malah 'terbawa arus'," jerit Katak dalam hati. Ia membalikkan tubuh. Ia menendangkan kedua kakinya ke belakang, menendang air, menjauhi arus deras. Ia ingin kembali ke area arus tenang yang nyaman dan menyenangkan. Tendangan demi tendangan dilancarkan, namun apa daya seekor katak di tengah derasnya arus sungai yang di luar dugaan.
"Sial, aku tak mampu kembali," pikir katak, "berarti pilihanku hanya mencoba terus maju dan mencari jalan keluar atau malah aku mampu mengarungi sungai ini."
Begitulah, Katak pun terbawa mainstream (arus utama). Bertemu dengan drop, reversal, drop, reversal seakan tak ada habisnya. Ia kelelahan diterjang ganasnya deburan air. "Ada batu besar, mungkin jika aku meraihnya aku akan selamat," pekik Katak. Ia melengkungkan tubuhnya supaya dapat berbelok, dan pada saat tepat di samping batu besar itu ia menendang air, berusaha menggapai batu. Dapat! Ia bertengger di atas batu..untuk beberapa saat saja. Percikan air yang terus menerus menerpa batu tersebut membuatnya licin. Byurr! Untunglah Katak jatuh di belakang batu besar tersebut, sehingga ia terperangkap eddies (arus balik) yang lebih tenang daripada mainstream.
"Hosh, hosh, sial aku terbawa arus. Aku lebih baik kembali ke air tenang tempat awal ku datang," gumam Katak kelelahan karena terbawa arus yang deras. Ia ingin kembali ke air tenang tempat awal ia mengenal sungai. Akan tetapi ia enggan menggunakan jalan di daratan, karena ia berkeinginan untuk menuntaskan apa yang terjadi dengan meniti jalan yang telah ia lalui. Harga diri, pikirnya. Entah harga diri apa yang Katak maksudkan.
Katak melompat ke atas batu. Hupp! Kemudian ia melompat dari batu satu ke batu yang lain menuju ke arah hulu, ke arah air tenang dan nyaman tempat ia dapat bersenang-senang. Batu pertama, berhasil. Batu kedua, berhasil. Katak sedikit demi sedikit mampu mendekati target awalnya. Akan tetapi ketika hampir sampai di awal arus, Katak tergelincir karena batu tempatnya hinggap licin. Byurr, tepat masuk ke arus sungai yang deras. Drop, reversal, drop, reversal, akhirnya ia mampu menyelamatkan diri dengan cara yang persis sama di tempat yang sama pula, belakang batu besar.
"Huff, huff, gagal aku," desah Katak, "baik kalau sekali gagal, coba lagi, dua kali gagal, coba lagi." Ia menaiki batu tersebut dan mengambil ancang-ancang. "Jangan menyerah, coba terus," ucapnya dalam hati.
Hap, hap, hap! Hap, hap! Hap, hap! Byurr! Belum sampai batu tempat ia jatuh, pada percobaan kedua Katak sudah jatuh ke dalam sungai. Untunglah masih ada tenaga tersisa sehingga ia mampu menyelamatkan diri dengan berlindung di belakang batu besar. "Di sinilah aku, titik awal usahaku. Titik di mana aku berada sekarang. Aku berusaha menggapai hulu, namun gagal untuk kedua kalinya. Akankah aku menceburkan diri hingga ke hilir?" tanya Katak dalam hati.
"Tidak, sungai ini tak lagi bersahabat denganku. Lebih baik aku bersegera ke hulu, tempat air tenang itu berada," Katak meyakinkan diri. Maka ia pun mencoba lagi dan lagi. Mengulangi usaha-usahanya, mencermati kesalahannya, dan meningkatkan kemampuan melompat serta berenang. Entah berapa kali Sang Katak gagal dan bangkit untuk mencoba lagi. Akan tetapi tetap saja ia tak berpindah jauh dari titik awal, batu besar penyelamat.
"Habislah tenagaku. Sepertinya aku telah melakukan hal yang sia-sia. Lebih baik aku menggunakan jalan daratan saja sedari tadi. Apalah harga diri, harga diri. Kedengarannya konyol kalau nyawa dan masa depanku yang jadi taruhannya," ucapnya sambil bersungut-sungut melompat meraih daratan.
Hap! Sampailah katak ke daratan. "Apa yang aku dapat sudah cukup, bahkan mungkin tak ada lagi yang bisa aku dapatkan."
Katak melompat kemudian berhenti, mengatur nafas, mengumpulkan tenaga. Sedikit demi sedikit berusaha mencapai rumah. Percikan air masih acap kali menghampiri tubuhnya. Deru aliran air menggema seakan mengajak katak kembali bermain ke sungai dengan arus deras itu. "Tidak, tidak kali ini. Entah suatu saat akan kembali atau tidak. Kini aku sudah terlampau lelah."
"Filosof terkenal dari hutan pernah berkata. Perubahan itu pasti dan hanya ada dua pilihan, lingkungan yang berubah atau aku yang berubah. Kodrat sungai sudah demikian, tak kuasa untuk diubah. Maka artinya, akulah yang harus berubah. Tetapi, sungai yang seperti ini tak mampu aku ikuti. Apabila tak mampu diikuti, tak dapat untuk dinikmati. Apalah artinya jika ragaku di sungai, namun jiwa ini tak menikmatinya?" ratap Sang Katak sembari tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Matahari senja mulai turun, menciptakan bayangan di sisi Katak. Ia mendampingi Sang Katak yang melompat tertatih-tatih menuju rumahnya.
Katak melompat ke atas batu. Hupp! Kemudian ia melompat dari batu satu ke batu yang lain menuju ke arah hulu, ke arah air tenang dan nyaman tempat ia dapat bersenang-senang. Batu pertama, berhasil. Batu kedua, berhasil. Katak sedikit demi sedikit mampu mendekati target awalnya. Akan tetapi ketika hampir sampai di awal arus, Katak tergelincir karena batu tempatnya hinggap licin. Byurr, tepat masuk ke arus sungai yang deras. Drop, reversal, drop, reversal, akhirnya ia mampu menyelamatkan diri dengan cara yang persis sama di tempat yang sama pula, belakang batu besar.
"Huff, huff, gagal aku," desah Katak, "baik kalau sekali gagal, coba lagi, dua kali gagal, coba lagi." Ia menaiki batu tersebut dan mengambil ancang-ancang. "Jangan menyerah, coba terus," ucapnya dalam hati.
Hap, hap, hap! Hap, hap! Hap, hap! Byurr! Belum sampai batu tempat ia jatuh, pada percobaan kedua Katak sudah jatuh ke dalam sungai. Untunglah masih ada tenaga tersisa sehingga ia mampu menyelamatkan diri dengan berlindung di belakang batu besar. "Di sinilah aku, titik awal usahaku. Titik di mana aku berada sekarang. Aku berusaha menggapai hulu, namun gagal untuk kedua kalinya. Akankah aku menceburkan diri hingga ke hilir?" tanya Katak dalam hati.
"Tidak, sungai ini tak lagi bersahabat denganku. Lebih baik aku bersegera ke hulu, tempat air tenang itu berada," Katak meyakinkan diri. Maka ia pun mencoba lagi dan lagi. Mengulangi usaha-usahanya, mencermati kesalahannya, dan meningkatkan kemampuan melompat serta berenang. Entah berapa kali Sang Katak gagal dan bangkit untuk mencoba lagi. Akan tetapi tetap saja ia tak berpindah jauh dari titik awal, batu besar penyelamat.
"Habislah tenagaku. Sepertinya aku telah melakukan hal yang sia-sia. Lebih baik aku menggunakan jalan daratan saja sedari tadi. Apalah harga diri, harga diri. Kedengarannya konyol kalau nyawa dan masa depanku yang jadi taruhannya," ucapnya sambil bersungut-sungut melompat meraih daratan.
Hap! Sampailah katak ke daratan. "Apa yang aku dapat sudah cukup, bahkan mungkin tak ada lagi yang bisa aku dapatkan."
Katak melompat kemudian berhenti, mengatur nafas, mengumpulkan tenaga. Sedikit demi sedikit berusaha mencapai rumah. Percikan air masih acap kali menghampiri tubuhnya. Deru aliran air menggema seakan mengajak katak kembali bermain ke sungai dengan arus deras itu. "Tidak, tidak kali ini. Entah suatu saat akan kembali atau tidak. Kini aku sudah terlampau lelah."
"Filosof terkenal dari hutan pernah berkata. Perubahan itu pasti dan hanya ada dua pilihan, lingkungan yang berubah atau aku yang berubah. Kodrat sungai sudah demikian, tak kuasa untuk diubah. Maka artinya, akulah yang harus berubah. Tetapi, sungai yang seperti ini tak mampu aku ikuti. Apabila tak mampu diikuti, tak dapat untuk dinikmati. Apalah artinya jika ragaku di sungai, namun jiwa ini tak menikmatinya?" ratap Sang Katak sembari tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Matahari senja mulai turun, menciptakan bayangan di sisi Katak. Ia mendampingi Sang Katak yang melompat tertatih-tatih menuju rumahnya.
0 Komentar
POST A COMMENT