Delesember, 28-29.12.2013

Delesember, operasional terakhir bulan Desember...

Dua minggu sudah saya vakum dari kegiatan FUD 2014 karena adanya sedikit "kecelakaan" dan acara keluarga. Di awal minggu si tua-tua (baca: Yandi Dyaning) sudah ngajak ikut ops minggu ini ke Deles, engga enak kalau nolak. Apalagi saya juga baru sekali main di area Deles. Jogging, CT, naturta, wah saya sudah mulai kewalahan karena lama tidak membiasakan berolahraga. Beruntung bisa kembali ke sekret tanpa tepar atau dipapah orang lain.

PO berjanji akan memberikan pos yang "beda" daripada biasanya, dan keputusannya disampaikan waktu briefing. Ta-da! Saya yang awalnya deg-degan karena mengira akan mendapat pos konsumsi, ternyata diplotkan ke dokumentasi..lagi. Oke deh, santai. Dokumentasi adalah pos yang paling selow, saat pre. Waktu during dan post, haha, saya hanya bisa tertawa getir. Satu hal yang membuat saya geli pada saat packing, pembagian perkap timnya sangat baik hati! Saya hanya membawa tramontina dan pasak, sedangkan yang lain dapat yang berat-berat. Alhamdulillah. 

Sabtu pagi, kami berkumpul di sekret. Seperti biasa upacara keberangkatan kami tidak berbarengan dengan tim lain karena budaya ngaret yang memprihatinkan. Berangkat menuju Deles. Di perjalanan, kami terpisah menjadi dua kloter. Saya ada di kloter belakang. Akhirnya kami memilih jalan berbeda yang sudah jelas tujuannya daripada berspekulasi tim depan hilang lewat jalur mana, toh kloter depan berpengalaman semua. Saya segera mengontak Dyaning dan mengatakan kalo terpisah, ia pun menjawabnya dengan segera. Tahun kemarin, memang kami berdua hampir selalu membonceng sehingga kalo ada kejadian tak terduga selama di jalan kami segera mengontak anak-anak boncengers.

Sesampainya di rumah Mas Darto (kalau tidak salah), basecamper kami, saya melihat anak-anak kloter depan juga sudah sampai. Kami bersalaman dan mengobrol dengan warga yang ada di rumah itu. Sedang panen nampaknya. Pada saat kami akan memasukkan motor ke dalam rumah sayur mayur hasil panen tersebut dipinggirkan agar tidak menghalangi pintu. Saya jadi ingat tahun kemarin Febri dan Mas Darto mengobrol soal pembibitan brambang (bawang merah) dan bawang (bawang putih). Febri (juragan bawang merah) yang engga mengenal istilah ini pun mengobrol ngalor-ngidul cara pembibitan ala Brebes. Begitu dihadapkan bawang, terkuak sudah bahwa pembicaraan keduanya tidak nyambung.

Kami pamit kemudian naik ke area wisata yang banyak digunakan pemuda-pemudi untuk berduaan, meskipun kalau mau jujur pasti mereka sadar kalau mereka tidak sedang "berduaan". Apa boleh buat, mungkin bagi mereka dunia sudah menjadi milik berdua. Pemanasan, orang-orang melihat dengan pandangan penuh tanya. Cuek saja, pemanasan kami selingi mengetes tas karier orang lain bisa berdiri atau tidak. Tas saya aman, ia sedang bersandar di balik pepohonan. Yandi bernostalgia, kami tahun lalu pemanasan tak jauh dari area itu sambil membicarakan ayah Afiq yang makan biji apokat pas waktu muda dulu. Dyaning menambahkan pembicaraan arah utara, karena menurut salah satu teman kami "kalau ada jalan menanjak berarti itu arah utara".

Perjalanan dimulai, kami berjalan perlahan ke arah utara menyusuri sungai di sebelah kiri yang lebih mirip jurang menganga. Leader yang mungkin bosan menapaki jalanan aspal pun belok ke arah kiri, jalur yang biasa dilalui para pencari rumput dan lebih dekat dengan jurang. Belum ada 30 menit berjalan, kami berhenti. Beberapa mengambil nafas, Ghozi dengan hp barunya yang menandingi kemewahan hp Yandi mulai berlaga dengan fitur kameranya. Yandi seakan tak mau kalah, hp harga motor segera dikeluarkan untuk mengambil objek-objek tandingan. Saya sebagai dokumentasi hanya bisa menghela nafas panjang dan memfoto apa saja yang bisa saya foto dengan digicam.

Titik pertama pun ditemukan, ujung punggungan hingga mencapai tikungan jurang, punggungan pun menikung ke arah kanan. Bicara soal tikung-menikung, ada oknum-oknum yang juga bersaing mendapatkan seorang wanita. Oknum tersebut sama-sama ada di tim gunung kala itu. Oknum pertama mendapatkan, namun oknum kedua berbesar hati. Meskipun terkadang oknum pertama jumawa akan kemenangannya dan mencela kesendirian oknum kedua, namun nampaknya hubungan mereka tetap baik. Kami snacking dan sholat di titik itu.

Berlanjut ke titik dua, leader pun berganti. Kami menyeberang ke arah timur kemudian ke utara. Sempat kami bertemu dengan rombongan dari SMA Jogonalan. Diksar katanya. Di telinga saya, kata itu apabila diucapkan oleh organisasi SMA terdengar seperti perpeloncoan. Ah, terserahlah. Tidak terlalu jauh dan medannya cenderung datar ditambah pemandangan pohon pinus yang berjajar rapi di sekeliling kami, sehingga titik dua dapat dicapai kurang dari 2 jam. Di bawah pepohonan teduh kami memarkir tas karier dan menikmati pemandangan di pinggir jurang sembari menunggu leader dan kadiv membaca bentukan. Persaingan antara dua hp mahal pun belum usai, biarkan sajalah. Titik dua benar, tapi kurang naik sedikit kira-kira 25 meter seru kadiv. Akan tetapi hawa yang sejuk membuat kami mager, enggan bergerak lebih jauh.

Titik tiga giliran Mayang dan saya nge-leader. Saat itu kira-kira pukul 14.00. Saya berkonsultasi dengan kadiv dan mantan kadiv, mau disampaikan titiknya hari ini atau besok. Akhirnya diusahakan hari ini dapat meraih titik yang diharapkan. Kami berjalan di depan, menemui lembahan dan berdiri punggungan di sebelah kanan kami. Ormed sebentar, menerka posisi kami berada kemudian merancang jalur yang sekiranya mungkin ditempuh. "Mau mengitari atau trabas aja?" tanya sada pada Mayang.
"Hmm, gimana ya. Bingung aku."
"Lho jangan bingung, tinggal mau mengitari atau trabas saja. Masa berhenti di sini."
"Ya udah, kalo trabas gimana?"
"Ya ambil kanan terus, trabas aja."

Kami pun segera mengambil rute garis lurus ke arah kanan, cukup terjal memang. Pada saat mendaki punggungan ini, kemiringan sekitar 60-75 derajat sehingga perlu meraih tanaman-tanaman yang menjulur di sekitar tangan. Sampai di atas punggungan, beberapa memerlukan bantuan arahan agar dapat menginjak jalur di atas. Tangan-tangan siap menarik terjulur demi keselamatan tim dan pahala. Ketika sudah di jalur punggungan, kami pun turun lagi ke arah timur. Cukup terjal..lagi. Punggungan yang kami lalui tadi adalah punggungan sempit dan hampir simetris, artinya kalo turun kemiringannya hampir sama dengan kemiringan pada saat naik. Tidak ada jalur turun, terpaksalah menyibak jalur. Saya cukup kaget dengan ilalang/rumput gajah yang tingginya hampir se-manusia ini. Beberapa kali saya harus berjongkok untuk mengecek pijakan saat menuruni punggungan tersebut.

"Hati-hati, ntar jatuh ke jurang kayak Afiq," seru Yandi dari atas.
Memori saya melaju pada peristiwa setahun yang lalu. Di area yang serupa, kami menjelajahi rimba lereng Merapi ini. Waktu itu kami konturing, mengitari punggungan untuk mencapai titik di sebelah timur kami. Tidak seperti saat ini yang mengambil opsi trabas, tahun lalu kami "main aman" dengan mengitari area. Saat itu pertama kalinya kami di Deles dan tidak ada "senior" yang menemani. Hingga satu insiden, rekan kami tergelincir saat sedang konturing di tebing yang penuh dengan semak-semak. Wajar, jalan yang kami tempuh adalah jalan setapak yang sempit jadi harus senantiasa berpegangan tanaman yang ada di sebelah kiri kami. Rekan saya terpeleset, terduduk kemudian mengguling ke kanan. Beruntung dia sempat meraih tanaman. Yandi ada di depannya, dan saya berada di belakangnya tapi agak jauh.
"Hahaha, hahahaha," Yandi tertawa tanpa henti waktu itu.
"Tulung, tulung," teriak rekan saya yang jatuh sambil meronta minta pertolongan.
"Wah, wah, lumayanlah. 8.5 dari 10 poin!" ucap saya, memang saat itu menilai style jatuh sangat umum kami lakukan.
"Eeh, kasian. Tolongin lah," Dyaning yang ada di depan Yandi pun ikut menanggapi, agaknya kasihan seniornya meronta-ronta berusaha bangkit.
"Hahahaha, hahahaha," tawa Yandi, melihat usaha rekannya seperti cacing menggeliat kepanasan, seraya mendongak ke atas dan memejamkan mata.
"Coy, tenanan iki. Tulung, tulung, coy," iba rekan saya yang nampaknya sudah kelelahan  menggantung.

Rekan saya yang satu itu jempolan dalam segala hal, salah satunya kepecintaalaman. Skill dan tekniknya tinggi, kemampuan memanjat tebingnya setara kadiv saat itu. Aneh juga melihat dia pasrah menggantung di tempat itu, meskipun beberapa kali ia telah berusaha naik tapi gagal. Malah membuatnya lebih lucu. Kami pun menariknya ke jalur, aman. Tidak ada masalah. Belakangan baru kami tahu kalau di bawah adalah tebing tanah yang curam. Kalau saya yang terpleset pasti sulit naik lagi, malah mungkin sudah jatuh ke bawah. Kembali ke saat ini, saya pun hanya tertawa kecil mengingat peristiwa itu. Saya sampai di dasar lembahan.

Mayang tidak menggunakan jalur saya, ia menggunakan jalur berbeda. Ia juga sampai di bawah, diikuti dengan yang lain. Kami melanjutkan perjalanan. Start punggungan, satu lembahan, punggungan kecil, satu lembahan, punggungan terjal lagi. Kami mendaki punggungan ini, sedikit lebih terjal dibandingkan punggungan yang kami trabas pertama tadi. Well done! Sampailah kami di atas punggungan ini. Familiar. Ya, tahun kemarin kami mendirikan tenda di punggungan ini. Inikah titik yang dimaksud? Saya awalnya yakin.

"Bukan, titiknya masih di seberang sana lagi," ucap mantan kadiv.
"Lah kok bisa? Terus ini di punggungan mana?" tanya saya, enggan melangkah lagi jika salah titik.
"Ini kan ada punggungan sempit banget," ucapnya sambil menggariskan ranting kecil ke atas peta, "titiknya masih ke timur lagi nglewatin lembahan."
Lemas sudah. Argumennya memang benar mengingat sempitnya jalur yang sedang kami singgahi. Ini punggungan sempit. Bentukan peta pun tepat. Waktu sudah menunjukkan pukul 14.55, hampir waktunya ngecamp. Tapi mau ngecamp pun tak ada tempat mengingat sempitnya area ini. Lanjut.

Saya berjalan di depan Mayang, takut juga kalau nanti dia kurang hati-hati menentukan pijakan apalagi kedua tangannya lebih sering dilipat daripada meraih tanaman untuk memperkuat pegangan. Jalan turun tidak separah punggungan sebelumnya maupun jalur naik tadi. Hanya saja, kami harus berhati-hati menentukan tempat turun mengingat curamnya tebing di bawah yang sempat kami lihat tadi. Salah-salah malah terjun bebas. Meskipun tidak terlampau tinggi, mungkin hanya 1,5-3 meter saja, namun tetap saja. Berhasil sampai bawah setelah "ngaspal" jalur, kemudian diikuti yang lain. Aad nampaknya uji nyali dengan berdiri bersandar pada batang pohon di pinggir tebing. Saya yang ada di bawah bergidik ngeri. Tampaknya ia juga merasa ngeri kemudian memutuskan untuk segera turun. Gantian Yandi uji nyali, ia berlari kecil dari atas kemudian bergelantung di dahan pohon. Salah perhitungan! Tidak ada pijakan yang bisa membuat ia terhenti, badan bagian bawah Yandi pun terlempar ke arah depan, di bawahnya tebing berketinggian 2 meter lebih. Beruntung kedua tangannya masih kuat mencengkeram sehingga pada saat tubuhnya mengayun ke belakang, ia menemukan pijakan kembali. Kita semua menghela nafas lega.

Punggungan berikutnya, titik ditemukan. Well, jalur paling berkesan karena terabasannya cukup mantap. Jam telah menunjukkan pukul 15.45. Diputuskanlah untuk mencari tempat camp. Ormed dan lihat peta, tidak nampak adanya area untuk camping 10 orang. Dhika menyarankan camp di tempat lapang nan indah yang ditemui tahun kemarin. Letaknya di awal punggungan, dan cukup jauh. Afiq dan saya tidak ke area itu karena kami ada skoring di Kebumen tahun lalu. Akhirnya Diska dan Ghozi leader dan bergegas menuruni punggungan. Kami turun secepat yang kami mampu, sudah senja.

Jatuh? Biasa. Apalagi saat tergesa-gesa seperti ini. Di depan saya ada Yandi, kemudian Dyaning, belakang saya ada Vivi, Mayang, Dhika, Aad, Febri. Yandi menegaskan bahwa jatuh itu menurunkan harga diri tim gunung. Tidak lama kemudian, ia terjatuh ke dalam lubang hingga tubuhnya tak kelihatan. "Memang jalur ini harus jatuh dulu, oi!" kilahnya. Tapi memang demikian, jalur itu menuruni dahan pohon. Pijakan tanah berselisih lebih dari 1 meter. Jalan lagi. Berhenti sejenak.
"Kok berhenti, Je," ucap saya pada Dyaning.
"Bentar, nungguin depan."
"Hati-hati jatuh," kata Yandi.
"Kalau jatuh bilang ya, Je," ujar saya agar dapat mengabadikan momen saat ada yang jatuh.
"Iya, iya."
"Kalau jatuh bilang ya," sambung Yandi, "entar aku bilang hati-hati."
"Iya, ah." Dyaning pun berbalik, dan jatuh. "Aduh!" pekiknya.
"Yah kan aku bilang, kalo jatuh bilang-bilang, Je," ucapku sambil menahan tawa.
"Iya nih, jatuh. Huhuhu."
"Hati-hati ya," ucap Yandi memenuhi janjinya.

Kami turun lagi, kali ini jalur turun sudah tidak terjal seperti tadi lagi sehingga memungkinkan untuk dituruni dengan berlari kecil. Wuss, wuss, wuss. Lari turun. Tim LTMJ memang top ketika turun gunung, namun entah dengan tim yang ini. Brukk! Aad terpeleset ketika berlari turun, ia memeluk batang pohon di dekatnya yang entah ia tabrak atau malah menyelamatkan nyawanya. Dyaning pun tertawa lepas, melihat ekspresi Aad yang masih kosong. Shock nampaknya. Sambil menunggu Aad pulih, Yandi memplester sepatunya didampingi Dhika. Turun, tak lama kemudian kami menemui tanah lapang yang indah mirip sabana.

Kami bermalas-malasan sembari bersenda-gurau. Dhika dengan pose tidurnya. Vivi dengan botol ajaib dan gaya fotogeniknya. Dan duo-hp-mahal dengan senjatanya masing-masing. PO dan kadiv sibuk mencari tempat camp. Sekembalinya mereka berdua, timbul perdebatan mengenai tempat camp. Akhirnya sepakat untuk melihat tempat yang ditentukan oleh PO, nyaman juga. Kami pun mendirikan tenda dan jemuran di area itu.

Tenda sudah berdiri, peralatan masak dikumpulkan menjadi satu, bahan makanan telah dipisah, dan pembagian tidur sudah ditentukan. Saya kebagian Consina bersama Yandi, Ghozi, Vivi, Mayang, dan Dyaning. Sholat, masak malam! Masak dimulai lebih cepat, kira-kira pukul 18.00. Kami menyempatkan Maghrib dahulu sebelum menyantap makanan. Makanan jadi pukul 19.15an, makan! Mungkin karena kelelahan, Vivi dan Mayang tepar seusai makan. Aad, Febri, Dhika, dan Yandi mencari kayu, daun, dan biji cemara kering untuk membuat api unggun sederhana. Kami melalui malam dengan menyusun teka-teki, tebak-tebakan, dan cerita-cerita. Tertawa lepas hingga malam menjelang. Tengah malam, kami beristirahat di tenda masing-masing.

Pagi itu masih pukul 03.00 dini hari, saya tahu betul karena jam tangan disisi kiri saya. Suara teriakan dan bentakan pria maupun wanita membahana di area camp. Perintah-perintah seperti "Baris yang rapi!" "Jongkok!" dan lain sebagainya pun berkumandang. Ada satu dua bahkan menyelipkan kata-kata makian. Suara kayu yang dipukulkan ke pohon pun menambah gaduhnya suasana. Tak terdefinisikan dengan kata-kata. Oh "diksar", pikir saya sembari tersenyum getir, kemudian berusaha meraih alam mimpi lagi.

Bangun pukul 05.00 sholat, mapan tiduran lagi hingga matahari menjelang dan makanan hampir siap. Yah insiden ketinggalan bumbu masak pun sukses diakalin boss Dyaning. Alhamdulillah bisa makan lumayan enak. Kami pun makan di pinggir tebing, menikmati indahnya bentangan alam. Berberes, eh Vivi kembali ber-fotogenik-ria. Satu foto lagi. Pemanasan, jalan. Kami sempat bertemu dengan rombongan "diksar", bertegur sapalah kami. Kami beristirahat, para leader sedang cek jalur. Tebak-tebakan semalam pun muncul lagi.

Perjalanan berikutnya sempat terbagi menjadi dua kloter karena ketidakjelasan rute dan tujuan. Vivi, Yandi, Dyaning, dan saya satu kloter. Kami berada di atas punggungan, padahal kloter satunya berada di bawah punggungan. Kami pun menikmati pemandangan sambil mengamati kelakuan anak-anak di bawah. Ternyata titiknya benar berada di bawah, ya sudah kami turun, melepas tas karier dan menuju titik yang tak jauh dari tempat itu. Penjelasan titik pun diwarnai dengan tebak-tebakan. Emang dasarnya Aad terlalu sopan, sebelum mengejek Yandi dia minta izin dulu kemudian minta maaf. Haha. Usai sudah, kami pulang. Karena mengambil jalur lurus ke selatan, yang kami temui adalah komplek perumahan. Basecamp kami ada di sebelah barat lagi, maka kami lewat jalan komplek dan persawahan tersebut. Finally, basecamp!

Istirahat sambil ngeteh dan makan rambak (seperti kerupuk panjang), mengobrol dengan basecamper panjang lebar. Kami pun pulang ke arah sekret, namun mampir ke masjid dulu untuk menunaikan sholat. Teka-teki Palapsi muncul lagi sehingga kami betah berlama-lama di masjid. Pulang, kami mampir makan soto di daerah Jakal. Pilihan yang kurang tepat, tapi apa daya karena sudah terlanjur berhenti dan memesan. Kami hanya bisa menikmati santapan ini sebelum melanjutkan perjalanan pulang.

Deles, area yang masih belum banyak tereksplor. Menarik. Salah satu area yang akan selalu saya kenang. Tempat berubah, waktu berlalu, namun kenangan mampu bertahan lama. Kami berjalan pulang, deru kendaraan mewarnai perjalanan. Beruntung tidak turun hujan. Aih, mungkin ini yang terakhir kali saya ke Deles. Saya menoleh ke samping, mengamati kendaraan yang lalu lalang. Mata terpejam kemudian menarik nafas panjang, dan menghembuskannya dengan penuh penerimaan. Operasional terakhir di tahun ini, atau operasional terakhir bagi saya?
Previous
Next Post »
1 Komentar

POST A COMMENT