Romance Dawn, entah apapun itu artinya tetapi ia mampu menginspirasi dan membuat hidup saya lebih bersemangat. Impian takkan pernah hilang. Hanya manusianya saja yang tetap mempertahankannya atau malah mengacuhkannya. Back to the real world!
"Kamu bangga simulasi mini ekspedisi cuma di gunung yang sedikit lebih tinggi dari Gunung Merapi?"
"Kamu sendiri yang mengajarkanku value dan pemaknaan, kenapa aku harus menjawab? Kamu lebih tau jawabannya.."
Little Conversation
"Perasaan dari kemarin kapan itu tulisanmu, pembicaraanmu, bahkan bacaanmu gunung melulu. Apa kamu engga bosen? Wong yang ngeliat aja bosen kok."
"Karena duniaku saat ini seputar gunung, ya gimana lagi."
"Maksudnya?"
"Ya saat ini aku fokusnya kegiatan di gunung gitu. Mumpung terakhir jadi harus diusahakan sebaik mungkin. Kalau nanti aku fokus ke hal selain gunung pasti tulisanku, pembicaraanku, dan bacaanku pun sudah bukan gunung lagi."
Pertanyaan Mendasar 1
"Ngapain sih naik gunung? Wong cuma dapet capek, ngabisin duit, habis itu juga turun lagi."
"Kalau kata orang sih because it's there."
"Lah terus kalau kamu? Ngerasa bangga bisa muncakin gunung?"
"Yap sedikit banyak ngerasa gitu, karena Never Give Up."
"Maksudnya?"
"Kadang aku pribadi bilang "jangan menyerah, "pantang nyerah", atau "aku pasti bisa" tapi cuman berakhir jadi sebatas kata-kata doang. Aku ngerasa cukup bangga bisa muncakin gunung. Bukan karena prestigenya, tapi bangga karena kata-kata yang kuucapkan sejalan dengan tindakan. Yang penting semangatnya, tindakannya, dan usahanya. Puncak adalah hasil dari semua itu. Semacam bonus."
...Words into Action...
Sungguh. Terlalu banyak hal yang bisa ditulis, namun terlalu sedikit waktu untuk menulis. Vakum demi akademisi, tetapi tetap meninggalkan jejak inspirasi untuk dieksekusi. Sampai jumpa.
Perjalanan Argopuro : Pengamen Pertama
Kami, tim gunung FUD 2013, pun sampai di terminal Probolinggo. Terminal yang tidaklah besar kalau dibandingkan dengan Bungurasih ataupun Giwangan, tetapi cukup informatif dengan jadwal dan tarif yang tertera di papan elektronik yang dipajang di pintu masuk. Diawali dengan angkut-angkut barang di mobil (angkot carteran?), kami berjalan masuk mencari bus tujuan Surabaya. Dapat. Kami langsung naik. Saya pun mencoba untuk tidur.
Meskipun mata terpejam, saya tau kalau bus mulai berjalan. Ada orang yang melewati saya. Ada petikan dawai gitar. Untaian gitar pun mulai didengungkan. Saya perlahan-lahan membuka mata. Ia adalah seorang pria yang berumur 30-40 tahunan dengan badan yang kekar dan warna kulit sawo matang yang tampak legam terbakar matahari setiap harinya. Dengan celana jeans dan kaos polosnya, ia berdiri tegap di tengah bus sambil memeluk gitar hijaunya. Siap beraksi.
Saya kembali terpejam. Tipikal pengamen jalanan, tidak ada hal yang menarik untuk dilihat untuk saya. Ia pun bersalam sapa ala pengamen yang mungkin kami semua hafal gambaran besarnya. Terimakasih untuk sopir dan kondektur lah, menghibur penumpang lah, basa-basi lah, dan lain sebagainya. Usai. Ia bersiap melantunkan sebuah lagu.
Voila! Saya terkejut. Suaranya menggelegar ibarat memecah ombak, namun tetap pada pilihan nada yang tepat. Tidak fals, bahkan ada getarannya. Saya tidak ahli dalam bidang musik ataupun memahami musik. Nol sama sekali. Tapi yang satu ini bisa dibilang enak didengar. Kekuatannya ada pada suara, bukan musiknya karena ia cenderung memainkan gitar secara ritmis bukan melalui petikan melodis. Saya tercengang, masih dalam mode mata terpejam tentunya.
Saya perlahan membuka kelopak mata untuk kedua kalinya. Ia menghayati lagu yang ia bawakan dengan amat sangat. Siapa sangka lelaki yang terlihat cukup seram dengan tatonya ternyata pelantun lagu religi yang apik? Saya memang beberapa kali menyaksikan orang-orang berperawakan seram ataupun sangar membawakan lagu religi di bus namun mereka tidak sepenuhnya menghayati sehingga tidak ngefeel, kalau menggunakan istilah temen saya yang fokus dalam hal musik. Saya tersenyum. Dalam benak saya, lagu religi dinyanyikan oleh para pengamen jalanan untuk membuat penumpang iba dan tersentuh. Apakah saya iba? Apakah saya tersentuh dengan pengamen yang satu ini? Entah.
Satu lagu. Ya, hanya satu lagu yang ia bawakan. Saya mungkin agak kecewa, tapi yah begitulah. Ia sudah menghampiri penumpang satu per satu dan menyorongkan bungkus makanan sebagai wadah uang. Ia menghampiri orang-orang dengan tersenyum, mengucapkan terimakasih meskipun orang yang didatangi tersebut menolak untuk memberinya. Salut.
Ia sampai di baris paling belakang, seusai meminta semua penumpang termasuk saya. Bersiap turun melalui pintu yang ada di bus bagian belakang. Bus pun melambat. Ia turun ke jalan berbaur dengan hiruk pikuk jalanan.
Perjalanan Argopuro : Asongan Terakhir
Dan saat itu kami sedang dalam perjalanan pulang dari Surabaya menuju kota tercinta, Yogyakarta (atau Sleman untuk lebih tepatnya?). Perjalanan dari Argopuro sungguh melelahkan, namun juga mengesankan. Perjalanan paling konyol, kocak, dan penuh dengan air mata selama berlangsungnya FUD 2013 ini. Saya duduk di atas bus dengan kaki yang njarem di samping Afiq dan Enop yang mana keduanya sudah tertidur lelap, kecapaian nampaknya. Dua orang yang ada di sebelah saya itu unik. Keduanya hanya bangun ketika bus berhenti. Lebih tepatnya bangun ketika ada penjual makanan yang lewat. Saya yang duduk di paling pinggir pun hanya bisa memandangi mereka nyemil makanan dengan lahap. Bukan karena tidak ada uang. Uang ada, tapi di dalam tas karier. Tasnya ada di dalam bagasi bus. Dan di kantongku hanya ada uang 5 ribu rupiah.
Sampailah kami di Solo, kota yang membuat saya senang karena tidak lama lagi kami bisa segera sampai di Yogyakarta. Bus kami berhenti sebentar kemudian melaju kencang menembus senja. Saat itu ada seorang penjaja asongan yang naik ke atas bus. "Tahu, tahu, tahu asin, tahu asin," ujarnya sambil berjalan ke arah belakang bus. Saya memperhatikan dengan seksama. Nihil. Tidak ada orang yang tertarik untuk membeli dagangannya. Banyaknya penjaja serupa, suasana yang gelap, dan rasa lelah yang memuncak agaknya membuat para penumpang enggan untuk membeli cemilan. Penjaja asongan itu tertunduk lesu ketika berjalan ke arah depan. Dagangannya masih setumpuk padahal hari sudah hampir menjelang malam. Apa yang bisa ia harapkan. Kemudian duduklah ia di bangku baris kedua dari depan yang memang kosong, tepat di depan saya.
Kedua matanya terpejam, nampaknya menghayati perjalanan. Decit kursi. Setir yang diputar ke kanan dan ke kiri. Suara angin yang terbelah. Suara kehidupan. Lamunannya pun buyar ketika ada seorang penumpang yang duduk tepat di seberangnya memegang bahunya. Membeli dagangannya. Segeralah ia bangkit berdiri dan melayani pemecah keheningan yang memompa semangatnya itu. Kebetulan, Afiq dan Enop pun bangun. Tampak Afiq sedang mengutak-atik hpnya. Mengabari para penjemput, sepertinya. Ia kemudian melihat penjaja asongan, dan dengan sigap memesan cemilan tanpa berhenti mengetik pesan. Enop pun demikian, tahu asin 2 buah menjadi santapannya menjelang waktu Isya itu. Saya pun tak kuat menahan lapar yang menderu dinding lambung sehingga terpaksalah saya membeli cemilan dengan sisa-sisa uang yang ada.
Ibarat gelombang yang mengalir hingga ke belakang, penjaja asongan ini mulai laris dagangannya. Ia tampak bersemangat dengan mata berbinar melayani para penumpang hingga ke belakang. Kemudian ia kembali ke depan lagi, kali ini dengan ekspresi yang berbeda dengan kali pertama. Puas dan bersemangat. Dagangannya memang tidak habis, namun tinggal sedikit. Jauh lebih sedikit jika dibandingkan saat ia datang tadi.
Sampai di daerah candi, ia berdiri. Hendak turun. Astaga, saya baru sadar akan satu hal. Kedua tangan penjaja asongan ini tidak normal struktur dan bentuknya. Saya hanya dapat terpana melihatnya. Antara kasihan, iba, dan salut bergolak menjadi satu. Ia pun membuka pintu depan bus dengan nampan dagangan di atas pundak kirinya. Sopir paham, ia memelankan laju bus dan penjaja asongan itu meloncat ke jalan raya. Telanjang kaki. Menghampiri dinginnya aspal. Menghampiri kerasnya terpaan angin. Menghampiri heningnya malam. Menghampiri cahaya lampu yang menjadikan remang-remang.
Perjalanan Argopuro : Sang Suami
Berawal dari perjalanan menuju basecamp Argopuro, saya melihat banyak fenomena yang berkesan. Kami, tim gunung Palapsi FUD 2013 (namanya panjang bener ya? -.-) berangkat ke Terminal Giwangan pada Rabu selepas Maghrib. Saya ketika itu masih kepikiran tugas asesmen seputar building rapport, jadi waktu yang lain sibuk nyari bus saya sibuk nyari orang buat diajak ngobrol sambil direkam.
Seusai "wawancara" saya bergegas ke parkiran bus tujuan Purwokerto. Kami hendak menumpang bus yang langsung ke Probolinggo. Nihil. Penjaja keliling bilang kalau jadwal paling sore jam 17.00. Kami ketinggalan. Tak putus asa, Febri dan Dhika mencari informasi untuk ke Probolinggo tanpa melewati Surabaya dulu. Rumornya, ada bus mengarah ke Banyuwangi yang melewati Probolinggo tapi baru saja meluncur. Never Give Up, kami ambil bus tujuan Solo untuk mengejar bus yang satu itu. Satu persatu tim mulai naik dan memposisikan diri. Saya, Afiq, dan Enop jadi satu. Febri dengan Dhika dan tas carriernya yang seperti roket di sebelah kiri. Dan juga Yandi Dyaning di depan saya.
Perjalanan dari Jogja ke Solo dengan bus kurang lebih selama 3 jam. Saya memasang slayer untuk menutup mata agar sesegera mungkin tertidur. Akan tetapi ekor mata saya menangkap sesuatu yang tak wajar. Ada seorang lelaki yang kira-kira berumur 60 tahun, terlihat dari rambut di bawah pecis putihnya yang semuanya beruban, kerut wajah di sana sini, dan juga perawakan yang tak lagi terlihat muda. Ia bersama seorang perempuan, yang kuduga adalah istrinya. Istrinya tak berbeda jauh dalam hal penampilan, dengan selembar jarik ia tutupi kepala dan memutuskan untuk terlelap. Satu hal yang baru saya sadari, sang suami berdiri di samping istrinya yang tertidur di bangku bus sedari tadi kita berangkat dari Giwangan.
Sesampainya kami di Solo, bus yang dimaksud telah lama berlalu. Terpaksalah kami menumpang bus yang telah kami naiki dari awal ini hingga ke Surabaya. Dhika dan Febri yang mencari-cari transport tampak lesu, kemudian keduanya berusaha beristirahat. Saya pun menyandarkan punggung dan berusaha untuk terlelap.
Saya tak jadi tidur, belum lebih tepatnya. Bukan karena sandaran yang tak nyaman, ini sudah cukup nyaman untuk kami yang lebih sering tidur beralaskan tanah dan kadang kerikil-kerikil kecil mengganggu posisi punggung kami. Jujur saya tertarik dengan sang suami yang sedari tadi berdiri di samping tempat duduk istrinya tersebut. Saya mengintip keadaannya. Sang istri tidur terlentang tapi tampak gelisah karena berguling ke kanan dan ke kiri tanda tak nyaman. Hingga akhirnya ia turun ke atas lantai bus dan bersandar, menjadikan tempat duduknya sebagai bantal. Kemudian ia berputar 180 derajat dan menaruh keningnya ke atas tempat duduk, berusaha untuk terlelap.
Batuk yang tiada henti melanda sang istri, sang suami pun hanya dapat memperhatikan sambil memijit kedua bahu sang istri dengan lembut. Sang istri masih di alas bus dan sang suami pun berjongkok di sebelahnya, berusaha meringankan beban sang istri dalam diam. Kondektur pun mendekat dan menanyakan keadaan sang istri yang sedari tadi mengeluarkan suara seperti orang mau muntah. Entah apa jawaban sang suami, saya sendiri berasumsi sang istri sedang terkena mabuk darat. Kondektur meminta sang istri untuk duduk di tempat duduk kemudian memintanya meletakkan perut di atas paha sehingga seperti posisi rukuk, agar mabuk daratnya segera mendingan. Sang istri hanya menurut saja. Sang suami pun kembali berdiri di samping tempat duduk sang istri.
"Pak mbok lenggah (pak, silahkan duduk saja)," ucap kondektur seraya menunjuk tempat duduk di samping sang istri.
"Ora usah, ben nggo bojoku (enggak perlu, biarkan untuk istriku)," balas sang suami.
"Lah niku mawon kosong tur saged dilenggahi kok, Pak (lah itu saja kosong dan bisa ditempati kok Pak)."
"Wegah (tidak mau)."
"Nggih pun, lenggah ten riki mawon (ya sudah, duduk di sini saja)," kondektur mengarahkan sang suami ke tempat duduk beberapa baris di belakang sang istri duduk.
"Ora, aku pengen neng sandinge bojoku. Ben aku ngadeg wae (tidak, saya ingin di samping istriku. aku berdiri saja)."
"Ampun ngeyel ta Pak, niki tasih dangu lho perjalananipun (jangan membantah Pak, ini perjalanannya masih lama)," ujar kondektur berusaha meyakinkan.
"Aku ki mbiyen ngadeg 6 jam numpak bis wes tau, kapan kae malah arep nganti 12 jam (saya dulu pernah naik bus dan berdiri selama 6 jam, kapan itu bahkan hampir berdiri selama 12 jam)."
"Nggih, ning bapak sampun mboten enem malih. Pun gek lenggah ta (Iya, tapi bapak tidak muda lagi sekarang. Sudah, segera duduk saja)."
Setelah perdebatan panjang, sang istri sepertinya terusik dan meminta sang suami untuk duduk di sebelahnya. Ia berujar bahwa dirinya sudah enakan, mungkin treatment yang diberikan oleh kondektur tepat sasaran. Sang suami akhirnya luluh juga, ia duduk di samping sang istri sambil sesekali bergumam. Tentu saja gumamannya tak berarti banyak, tenggelam di balik bisingnya suara kendaraan di malam hari. Sang istri pun membaringkan tubuhnya dan menjadikan paha sang suami sebagai bantal. Istirahat. Saya pun memasang slayer untuk menutup mata saya. Berusaha terlelap.
Tengah malam. Saya tak ingat dengan pasti jam berapa saat itu, yang jelas kami sudah sampai di daerah Surabaya. Pemandangan yang tak asing. Seusai melepas slayer dan memasukkannya ke dalam kantong saya menoleh ke belakang. Sang suami dan istrinya masih terlelap dengan kondisi yang tak jauh berbeda saat saya mulai memejamkan mata. Kami pun sampai di Terminal Bungurasih, para penumpang turun. Kami bertujuh tetap tinggal di atas bus, sesuai instruksi kondektur karena beliau akan mengantar kami ke pool bus ke arah Probolinggo.
Tim gunung Palapsi dengan nyawanya yang masih berusaha dikumpulkan, mengangkut tas carrier masing-masing dan segera pindah ke Bus Restu arah Jombang. Kami terhenti sebentar di pintu bus untuk nego harga bus. "Arep munggah bus we dirapatke, kaya DPR wae opo-opo dirapatke. Gek munggah! (Mau naik bus saja dirapatkan, seperti DPR saja apa-apa dirapatkan. Ayo cepat naik!)" ucap salah satu kondektur ketus. Kami pun menurut saja dan naik ke bus yang sudah penuh itu. Bingung. Bus benar-benar penuh, padahal kami full load alias barang bawaan penuh seabreg dengan tas yang sebesar kulkas. Akhirnya dengan perjuangan keras kami bisa duduk. Tas? Entahlah bagaimana nasibnya, kami pasrah saja. Dhika memangku tas di atas paha dan memeluknya. Afiq Yandi menaruh tas di paling belakang seperti perjalanan biasanya. Febri? Entahlah mungkin ia terselip di belakang. Tas Enop ia duduki di bawah, sedangkan saya duduk sambil memegang tas saya sendiri dan tas Dyaning yang tergeletak di tengah-tengah bus.
Tidak bisa tidur. Sama sekali. Saya stress tiap kali ada orang yang lewat, tas saya atau tas Dyaning pasti jatuh karena tertendang. Mana sebelah saya tampangnya sangat seram dan tidak bersahabat sama sekali, mungkin menganggap saya pengganggu. Apalagi musik dangdut koplo nonstop berdentum mengusik gendang telinga saya. Astagfirullah. Saya hanya bisa berdoa selama di bus itu.
Saya duduk di baris ketiga dari depan. Ternyata sang suami duduk lesehan di samping supir membelakangi arah jalan, tampak mengawasi lajur belakang. Saya pun menoleh. Ohh sang istri ada di belakang, pikir saya. Tampak sang istri sedang beristirahat sambil memangku barang bawaannya dan menjadikannya bantal. Saya kembali melihat ke sang suami, ia meminta rokok dari kondektur yang tak jauh darinya. Satu hembusan, dua hembusan. Dua hembusan pengusir lelah dan kantuk. Tampak keriputnya menandakan usianya yang tak lagi muda. Kedua matanya sesekali terpejam, namun cepat-cepat ia tersadar lagi ketika terkantuk-kantuk dan memperhatikan sang istri. Saya tidak tahu pasti berapa jam ia tidur malam ini, yang saya tahu mestinya ia kelelahan setelah perjalanan dari Jogja. Akan tetapi ia tidak menunjukkan tanda-tanda akan beristirahat, malah tetap terjaga dan pandangannya terfokus pada satu titik.
Menjelang Subuh tim gunung hampir sampai tujuan, Terminal Probolinggo. Kami bersiap-siap turun, sang suami tetap dalam posisi siaganya. Ketika ditawari untuk duduk di tempat duduk, ia menolak dan bersikeras di tempatnya duduk saat ini. Kami pun berpisah dengan sang suami. Sampai jumpa, entah siapapun Anda. Kami tidak tahu nama Anda dan asal Anda, namun terimakasih untuk pelajarannya.
Saya tak jadi tidur, belum lebih tepatnya. Bukan karena sandaran yang tak nyaman, ini sudah cukup nyaman untuk kami yang lebih sering tidur beralaskan tanah dan kadang kerikil-kerikil kecil mengganggu posisi punggung kami. Jujur saya tertarik dengan sang suami yang sedari tadi berdiri di samping tempat duduk istrinya tersebut. Saya mengintip keadaannya. Sang istri tidur terlentang tapi tampak gelisah karena berguling ke kanan dan ke kiri tanda tak nyaman. Hingga akhirnya ia turun ke atas lantai bus dan bersandar, menjadikan tempat duduknya sebagai bantal. Kemudian ia berputar 180 derajat dan menaruh keningnya ke atas tempat duduk, berusaha untuk terlelap.
Batuk yang tiada henti melanda sang istri, sang suami pun hanya dapat memperhatikan sambil memijit kedua bahu sang istri dengan lembut. Sang istri masih di alas bus dan sang suami pun berjongkok di sebelahnya, berusaha meringankan beban sang istri dalam diam. Kondektur pun mendekat dan menanyakan keadaan sang istri yang sedari tadi mengeluarkan suara seperti orang mau muntah. Entah apa jawaban sang suami, saya sendiri berasumsi sang istri sedang terkena mabuk darat. Kondektur meminta sang istri untuk duduk di tempat duduk kemudian memintanya meletakkan perut di atas paha sehingga seperti posisi rukuk, agar mabuk daratnya segera mendingan. Sang istri hanya menurut saja. Sang suami pun kembali berdiri di samping tempat duduk sang istri.
"Pak mbok lenggah (pak, silahkan duduk saja)," ucap kondektur seraya menunjuk tempat duduk di samping sang istri.
"Ora usah, ben nggo bojoku (enggak perlu, biarkan untuk istriku)," balas sang suami.
"Lah niku mawon kosong tur saged dilenggahi kok, Pak (lah itu saja kosong dan bisa ditempati kok Pak)."
"Wegah (tidak mau)."
"Nggih pun, lenggah ten riki mawon (ya sudah, duduk di sini saja)," kondektur mengarahkan sang suami ke tempat duduk beberapa baris di belakang sang istri duduk.
"Ora, aku pengen neng sandinge bojoku. Ben aku ngadeg wae (tidak, saya ingin di samping istriku. aku berdiri saja)."
"Ampun ngeyel ta Pak, niki tasih dangu lho perjalananipun (jangan membantah Pak, ini perjalanannya masih lama)," ujar kondektur berusaha meyakinkan.
"Aku ki mbiyen ngadeg 6 jam numpak bis wes tau, kapan kae malah arep nganti 12 jam (saya dulu pernah naik bus dan berdiri selama 6 jam, kapan itu bahkan hampir berdiri selama 12 jam)."
"Nggih, ning bapak sampun mboten enem malih. Pun gek lenggah ta (Iya, tapi bapak tidak muda lagi sekarang. Sudah, segera duduk saja)."
Setelah perdebatan panjang, sang istri sepertinya terusik dan meminta sang suami untuk duduk di sebelahnya. Ia berujar bahwa dirinya sudah enakan, mungkin treatment yang diberikan oleh kondektur tepat sasaran. Sang suami akhirnya luluh juga, ia duduk di samping sang istri sambil sesekali bergumam. Tentu saja gumamannya tak berarti banyak, tenggelam di balik bisingnya suara kendaraan di malam hari. Sang istri pun membaringkan tubuhnya dan menjadikan paha sang suami sebagai bantal. Istirahat. Saya pun memasang slayer untuk menutup mata saya. Berusaha terlelap.
Tengah malam. Saya tak ingat dengan pasti jam berapa saat itu, yang jelas kami sudah sampai di daerah Surabaya. Pemandangan yang tak asing. Seusai melepas slayer dan memasukkannya ke dalam kantong saya menoleh ke belakang. Sang suami dan istrinya masih terlelap dengan kondisi yang tak jauh berbeda saat saya mulai memejamkan mata. Kami pun sampai di Terminal Bungurasih, para penumpang turun. Kami bertujuh tetap tinggal di atas bus, sesuai instruksi kondektur karena beliau akan mengantar kami ke pool bus ke arah Probolinggo.
Tim gunung Palapsi dengan nyawanya yang masih berusaha dikumpulkan, mengangkut tas carrier masing-masing dan segera pindah ke Bus Restu arah Jombang. Kami terhenti sebentar di pintu bus untuk nego harga bus. "Arep munggah bus we dirapatke, kaya DPR wae opo-opo dirapatke. Gek munggah! (Mau naik bus saja dirapatkan, seperti DPR saja apa-apa dirapatkan. Ayo cepat naik!)" ucap salah satu kondektur ketus. Kami pun menurut saja dan naik ke bus yang sudah penuh itu. Bingung. Bus benar-benar penuh, padahal kami full load alias barang bawaan penuh seabreg dengan tas yang sebesar kulkas. Akhirnya dengan perjuangan keras kami bisa duduk. Tas? Entahlah bagaimana nasibnya, kami pasrah saja. Dhika memangku tas di atas paha dan memeluknya. Afiq Yandi menaruh tas di paling belakang seperti perjalanan biasanya. Febri? Entahlah mungkin ia terselip di belakang. Tas Enop ia duduki di bawah, sedangkan saya duduk sambil memegang tas saya sendiri dan tas Dyaning yang tergeletak di tengah-tengah bus.
Tidak bisa tidur. Sama sekali. Saya stress tiap kali ada orang yang lewat, tas saya atau tas Dyaning pasti jatuh karena tertendang. Mana sebelah saya tampangnya sangat seram dan tidak bersahabat sama sekali, mungkin menganggap saya pengganggu. Apalagi musik dangdut koplo nonstop berdentum mengusik gendang telinga saya. Astagfirullah. Saya hanya bisa berdoa selama di bus itu.
Saya duduk di baris ketiga dari depan. Ternyata sang suami duduk lesehan di samping supir membelakangi arah jalan, tampak mengawasi lajur belakang. Saya pun menoleh. Ohh sang istri ada di belakang, pikir saya. Tampak sang istri sedang beristirahat sambil memangku barang bawaannya dan menjadikannya bantal. Saya kembali melihat ke sang suami, ia meminta rokok dari kondektur yang tak jauh darinya. Satu hembusan, dua hembusan. Dua hembusan pengusir lelah dan kantuk. Tampak keriputnya menandakan usianya yang tak lagi muda. Kedua matanya sesekali terpejam, namun cepat-cepat ia tersadar lagi ketika terkantuk-kantuk dan memperhatikan sang istri. Saya tidak tahu pasti berapa jam ia tidur malam ini, yang saya tahu mestinya ia kelelahan setelah perjalanan dari Jogja. Akan tetapi ia tidak menunjukkan tanda-tanda akan beristirahat, malah tetap terjaga dan pandangannya terfokus pada satu titik.
Menjelang Subuh tim gunung hampir sampai tujuan, Terminal Probolinggo. Kami bersiap-siap turun, sang suami tetap dalam posisi siaganya. Ketika ditawari untuk duduk di tempat duduk, ia menolak dan bersikeras di tempatnya duduk saat ini. Kami pun berpisah dengan sang suami. Sampai jumpa, entah siapapun Anda. Kami tidak tahu nama Anda dan asal Anda, namun terimakasih untuk pelajarannya.
Perjalanan Argopuro : Sopir dan Kondektur Langka
Limbung. Setelah perjalanan 8 jam ke Surabaya dan 3 jam ke Probolinggo, kami turun di terminal dan untung dapat carteran angkot ke arah terminal lama Probolinggo. Trayek ke Bremi memang tidak tersedia di terminal baru. Hanya di terminal lama. Itu pun hanya satu atau dua bus saja. Kami sampai di Probolinggo kurang lebih pukul 05.30, untung saja ada seorang pengemudi angkot yang baik hati jadi kami sampai di terminal lama sebelum jam 06.00 pagi.
Ingatan saya yang tak cukup baik membuat kabur memori waktu itu. Yang jelas, kami dapat tumpangan ke Bremi dan bus mulai jalan tepat jam 06.00 atau 07.00 yang jelas on time tidak molor sedikit pun. Saat itu, di teras terminal lama hanya ada satu bus. Dan satu bus itulah yang akan membawa kami ke Bremi. Angkutan tersebut hanya ada dua kali dalam satu hari, pukul 06.00 atau 07.00 dan pada sore hari. Sedangkan kalau kita berada di Bremi, angkutan ini hanya ada pada 05.30 dan 16.00.
Langka bukan? Di Indonesia yang katanya subur makmur ini, transportasi umum dari Probolinggo ke Bremi hanya ada dua kali sehari. Yah mungkin karena berbagai hal, transportasi umum menjadi kurang diminati. Bisa jadi salah satunya adalah maraknya alat kendaraan pribadi. Bisa jadi.
Kami beristirahat di baris paling belakang bus. Saya kebagian tempat di pojok belakang bersama tas-tas karier yang bertumpuk-tumpuk sehingga kaki saya bisa diselonjorkan. Ternyata penumpang bus ini tidaklah sesedikit bayangan saya. Hampir tiap tempat duduk terisi, tetapi tidak ada satu orang pun yang berdiri. Kondektur melangkah kesana kemari untuk menarik ongkos perjalanan.
Mungkin karena jumlah bus yang beroperasi terbatas, penumpang yang naik beberapa asyik berbincang dengan sang kondektur. Bahkan ada satu toko di pinggir jalan yang memberikan minuman secara cuma-cuma pada sopir dan kondektur bus. Ketika ada penumpang yang akan naik maupun turun membawa barang yang cukup banyak, si kondektur dengan sigap membantu mengangkutnya dengan tulus (kelihatannya sih tulus, hehe). Langka, memang.
Satu kejadian langka. Saat kami melaju di jalan antar kota (atau antar propinsi malah), serangkaian jerigen milik seorang penumpang jatuh ke jalan karena tertiup angin. Maklum, barang itu cuma digantungkan saja di bibir pintu bus jadi karena guncangan dan tiupan angin ia pun jatuh dan mengagetkan kami semua. Sopir pun menghentikan dan menepikan bus, sedangkan sang kondektur segera lari ke belakang untuk mengambil rangkaian jerigen itu meskipun jaraknya lumayan jauh, hampir 500 meter. Ketika kondektur masih berlari, si sopir melihat ke kaca spion memperhatikan kondisi jalanan. Ia pun memutuskan untuk menjalankan bus secara mundur agar kondektur tidak kesusahan dalam mencapai angkutan ini lagi.
Saya pribadi jarang naik angkutan umum di Jogja karena masih punya kendaraan pribadi. Akan tetapi jika dibandingkan dengan sopir dan kondektur di kota-kota besar, kedua orang ini langka. Terbatas dan tidak mudah ditemui.
Perjalanan Argopuro : Duo Pengamen
Perjalanan Argopuro kemarin memang banyak banget inspirasi dan peristiwa penuh makna. Salah satunya waktu kita uda turun gunung dan turun dari basecamp pas Minggu 9 Juni 2013. Waktu itu saya sedang duduk dan sesekali menguap ketika di atas bus Probolinggo - Surabaya. Saya ga paham betul lagi ada dimana, maklum buta arah dan kemampuan spasial rendah. Saya yang barusan bangun tidur pun menengok ke kanan dan ke kiri. Bus berhenti. Entah di mana.
Seorang berambut panjang nan lembut naik ke bus. "Bismillahir rahman nir rahim," ucapnya. Rambutnya yang lurus dan mengkilap pun terurai layaknya iklan shampoo di televisi. Bukan, bukan wanita cantik kalau kamu mikirnya begitu. Seorang pengamen. Laki-laki. Badannya besar, bahkan sedikit lebih besar daripada saya. Ia mengenakan celana jeans, sandal japit, dan baju kuning bertuliskan "residivis" entah apa artinya. Ia duduk tak jauh di depan saya, hanya terpaut 3 baris kursi bus, dan mengenggam alat musik semacam jimbe, tapi dari paralon, tapi jumlahnya tiga buah, tapi modif ala pengamen. Susah mendefinisikannya, kayaknya ga bakat jadi observer nih saya hahaha.
Oke, dia duduk di depan saya sambil melihat-lihat ke arah sopir bus, tampaknya berharap bus segera berjalan. Gelisah. Ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya kemudian melongok ke depan dan ke samping. Tak lama kemudian, sopir bus yang diharapkan datang pun masuk ke bus dan menyalakan mesin. Si rambut panjang segera memanggil rekannya yang daritadi menyetting dawai-dawai di alat musiknya.
Entah alat musik macam apa lagi itu. Bentuknya semacam gitar, tapi panjang seperti bass. Bagian tengahnya seperti kencrung, namun dawainya enam. Entah apa namanya, yang jelas suaranya bagus dan merdu. "Selamat pagi," ucap keduanya dan memberikan salam-salam ala pengamen. Saya pun mengeluarkan jurus pura-pura tidur yang terbukti ampuh untuk menghalau pedagang asongan, pengemis, maupun pengamen. Tampaknya lagu pertama dimulai. Mata saya yang terpejam nikmat pun mulai mengikuti irama petikan dawai nan membuai. Si rambut panjang nampaknya menggebuk alat musiknya dengan semangat, ngebeatlah istilahnya.
Asik banget. Lumayanlah buat didengerin. Setara lah sama penampilan musik yang biasa diselenggarakan unit kegiatan mahasiswa. Bukan keterampilannya, bukan alatnya. Tapi semangatnya. Mata yang tertutup membayangkan kenikmatan di kampung halaman ini pun lambat laun terbuka hendak menyaksikan penampilan live music di perjalanan. Si pendawai dengan tangan kirinya memetik alat musik, tangan kanannya tak kalah lihai berpindah dari satu fret ke fret yang lain. Si rambut panjang seolah melayang ke dunia yang berbeda dengan kepala yang terangkat melihat ke langit-langit bus, mata terpejam, namun ketukan tetap sesuai irama. Ia menggunakan teknik menabuh yang keren, susah diungkapkan dengan tulisan, sambil mengiringi nyanyian si pendawai. Suara dua mungkin ya istilahnya. Pas dan enak didengarkan.
Saya terbius dengan permainan mereka yang penuh semangat, mengamati dan berusaha mengapresiasi penampilan pengamen dengan skill yang jauh di atas rata-rata. Bahkan kalau boleh jujur, saya hanya sayup-sayup mendengar liriknya karena kalah bersaing dengan musik bus yang menderu kencang dan saya jauh dari tempat mereka berdendang (maklum duduk hampir paling belakang). Kalau mendengar liriknya dengan jelas pun tampaknya saya tetap tidak paham, ga paham lagu apa. Biarlah alunan musik yang saya dengarkan dan saya nikmati. Bahasa bisa jadi lokal, tapi musik tetaplah universal.
Tiga lagu sudah mereka bawakan dengan waktu sekitar 20 menitan. Si rambut panjang pun keliling meminta kebaikan hati para penggemar dadakan, sedangkan si pendawai membawakan sebuah lagu tambahan untuk backsound. Keren. Tidak seperti pengamen kebanyakan yang hanya bermodal berani buat meminta, duo pengamen ini berani bertanggungjawab. Tanggung jawab menghibur para penumpang, meskipun mereka dibayar di akhir. Semangat dan keterampilan mereka itulah yang membuat saya kagum. Sebagai tambahan, mereka bisa dibilang ramah karena tersenyum dan tetap mengucapkan terimakasih meskipun tidak diberi. Caranya meminta pun halus, tidak memaksa dan respect. Mungkin hanya satu atau dua grup pengamen saja yang seperti ini selama perjalanan saya yang kurang lebih memakan waktu 14 jam (28 jam total pulang pergi).
Terimakasih duo pengamen. Mungkin musikmu, lagumu, stylemu, keramahanmu, dan kehadiranmu akan terlupa olehku. Semoga kita bertemu lagi kalau ada waktu di lain hari.
Sampai Jumpa Lagi, Kamarku
"Kamar kok berantakan banget ta, Dik?"
Siklus hidup semester genap selama dua tahun belakangan ini gak terlalu banyak berubah. Senin : kuliah, recovery ; Selasa : kuliah, jogging ; Rabu : kuliah, CT ; Kamis : kuliah, briefing, packing, Jum'at : kuliah, kadang malah uda berangkat operasional ; Sabtu-Minggu : operasional. Begitu terus. Hampir 3 bulan atau bahkan bisa lebih. Well, tiap minggu begitu terus ditambah tuntutan akademik yang terkadang ga punya belas kasihan ternyata melelahkan juga. Sepertinya ini yang terakhir. Besok uda gatau sempat atau engga buat ngluangin waktu kayak sekarang lagi. Membagi waktu untuk imbang di dua hal itu aja keteteran, apalagi untuk urusan lain.
Urusan lain itu salah satunya urusan kamar. Biasanya kamarku penuh dengan buku yang berserakan, lembar-lembar kertas yang tergeletak di sana sini, pakaian yang beberapa tertumpuk rapi (tapi ga pada tempatnya) dan sebagian pakaian yang lain tercecer di hampir semua area kamar. Belum lagi kalau kecapekan karena pulang operasional, perlengkapan operasional seperti tas, sleeping bag, matras, piring, sendok, dan tetek bengek lainnya pun turut menghiasi ruangan personalku itu. Bahkan untuk tidur nyaman pun susah karena begitu berantakan dan males banget buat ngeberesinnya.
Beberapa kali memang ibu menegur, tapi yah ga jauh beda dengan sebelumnya. Hingga FUD taun lalu, operasional Ungaran tepatnya. Saat itu aku merasakan yang namanya takut akan kematian. Yap, kematian. Sepele sih kejadiannya, tapi tetep aja hidup mati orang siapa sih yang tau. Setelah kejadian itu, banyak hal yang kupikirkan. Hal sepele yang mungkin engga penting bagi kalian.
Kamarku, salah satu hal yang kupikirkan. Andai aku nanti pergi jauh, lalu kamarku berantakan begitu hingga bisa bikin orang istigfar, apa engga kasian nanti yang ngeberesin. Uda susah karena kehilangan, masih harus ngerapiin lagi. Haha, pikiran yang random ya. Tapi begitulah. Engga tega aja membayangkannya.
Haha ini tulisan apa sih, ga jelas banget ya. Tapi memang setelah kejadian itu, aku selalu berusaha membuat kamarku serapi mungkin ketika aku akan berangkat operasional, kegiatan yang berisiko tinggi ini. Tiap akan berangkat aku beresin semua buku, kertas-kertas, dan pakaian yang berantakan. Demi diriku, demi keluargaku. Yap kita gatau kapan kita pergi menghadap-Nya. Mungkin 10 tahun lagi, tahun depan, bulan depan, minggu depan, atau bahkan seusai kita mengerjakan aktivitas yang sedang kita kerjakan saat ini. Tidak ada yang tau.
Yah mungkin ada alasan lain sih, kayak biar nanti waktu pulang operasional bisa langsung santai-santai dan lain sebagainya. Dan aku pun masih berharap hidup lama, banyak mimpi yang ingin kuraih dalam hidup ini. Lucu ya, seseorang baru merasa hidup ketika ia telah mengenal kepedihan, ketersiksaan, atau kematian. Memang bisa jadi hanya aku yang merasa demikian dan kamu merasa hal yang berbeda. Engga masalah karena perbedaan itu cukup menyenangkan juga.
Hmm, aku gatau mau nulis apa lagi nih terlalu melebar kemana-mana e. Yang jelas, tulisan ini ditulis sebelum keberangkatanku ke Argopuro. Doakan saja ya. Besok ketika aku pulang insyaAllah ada beberapa tulisan anyar mengenai perjalananku. Sampai jumpa keluargaku, sampai jumpa kamarku.
Sampai jumpa, Kamu :)
Langganan:
Postingan (Atom)