"Sial, tasnya berat banget," ujar saya saat berjalan menuruni Gunung Lawu lewat jalur Cemara Sewu.
Bagaimana tidak? Carier yang berat kosongnya saja sudah 2 kilo diisi penuh nuh tanpa rongga kosong sehingga kalau digendong ujung atas carier sama tingginya dengan kepala saya. Wah, wah, latihan menjadi porter nih nampaknya.
Semuanya berawal ketika saya dan teman-teman mendaki Gunung Lawu dan masing-masing dari kami membawa 3 botol aqua besar (1,5 liter) untuk bekal pendakian. Lupa benar kalau di sepanjang jalur dan di dekat puncak ada sumber mata air, bahkan ada warung! Dan di sinilah saya, dengan tiga botol air mineral utuh dan berbagai perlengkapan di dalam carier, menuruni Cemara Sewu yang jalurnya seperti tangga batu. Keringat menetes tanpa henti meski cuaca sama sekali tidak panas. Mendung. Kabut setia mendampingi dan tak jarang rintik hujan datang untuk bersilaturahim.
"Pantesan yang depan jauh banget. Tasnya enteng sih," keluhan demi keluhan terlontar saat sadar sudah ditinggal oleh yang lain.
Dengan segenap tenaga saya kembali berdiri dan melangkah pelan-pelan untuk menjaga agar kaki saya tidak keceklik saat menuruni tangga. Kanan. Kiri. Kanan. Kiri. Berhenti. Ambil nafas. Kanan. Kiri. Kanan. Lihat pemandangan. Kabut. Kiri. Kanan. Kiri. Kanan. Saya pun terhipnotis oleh langkah berat kaki saya.
"Nggra, berhenti. Geser. Ada yang dari bawah." Saya pun kembali dari lamunan saya. Terhentak. Yah memang sudah kebiasaan saat menuruni gunung untuk memberi jalan terlebih dahulu untuk rombongan yang hendak mendaki gunung. Selain karena target untuk sampai puncak sudah terpenuhi, tenaga yang digunakan untuk turun jauh lebih sedikit daripada tenaga untuk naik gunung. Maka dari itu kami lebih leluasa untuk mengatur pergerakan. Tapi tetap saja kadang ada perasaan dongkol dalam hati karena harus berhenti.
Kabut perlahan menyibak, sosok para pendaki gunung pun mulai terungkap. Kaget. Saya picingkan mata agar lebih jelas terlihat. Dahi tercenung. Ternyata mereka bukan pendaki gunung. Memang seorang pendaki, tetapi bukan karena hobi maupun gaya hidup. Penjual makanan di warung dekat puncak. Dengan tenggok (alat tradisional untuk menaruh barang; seperti bakul yang dibawa tukang jamu) besar yang diisi penuh dengan minuman, makanan, dan bahan-bahan lainnya mereka melangkah dengan mantap meski peluh mulai jatuh dari kening mereka.
Terhenyak sesaat. "Monggo mas, mang rumiyin (Silahkan duluan, mas)," ucapnya. Etika, saya diam dan mempersilahkan mereka untuk melanjutkan perjalanan terlebih dahulu. Akan tetapi mereka bersikeras agar saya turun duluan. Peluh memang gabisa bohong. Meskipun (tampaknya) mereka telah terbiasa, tetapi keringat mengucur tanda kelelahan yang menghujam menggambarkan rasa capek yang tak biasa. "Nggih, Bu," saya dan rekan-rekan saya pun akhirnya turun terlebih dahulu.
Saya mempercepat laju kaki saya. Cih segini saja udah ngeluh, padahal ada yang lebih berat. Mendaki, kemudian mengerem untuk memberi jalan itu melelahkan. Menguras tenaga. Saya tahu karena saya pernah merasakannya. Tetapi para penggendong bakul itu tampak tak keberatan ketika memberikan jalan pada kami. Malu. Benar-benar malu.
Sebuah peristiwa yang ironis memang. Seorang pendaki, penikmat alam, yang rela membawa beban berat sekali dua kali tapi mengeluh kesana kemari, mejeng dengan keren. Ada pula ibu-ibu penjual makanan yang rela membawa beban berat setiap hari tanpa mengeluh, tetapi tidak dianggap keren oleh masyarakat. Ironis. Sungguh saya ingin menggambarkan semua peristiwa itu dalam sebuah frame foto. Tetapi tak tega. Tak mampu saya mengambil foto ibu-ibu itu, seakan mengolok-olok (dalam sudut pandang saya). Banyak fotografer yang mampu mengungkap itu dan dijadikan karya yang indah untuk memperjuangkan sudut pandang para penjual itu. Lah saya? Paling cuma jadi bahan tulisan ga jelas, dan akhirnya file foto itu berdiam diri dalam folder.
Jangan kebanyakan ngeluh, kata saya untuk diri saya sendiri ketika memacu kecepatan turun saat itu. Kamu udah termasuk beruntung.
Saya mempercepat laju kaki saya. Cih segini saja udah ngeluh, padahal ada yang lebih berat. Mendaki, kemudian mengerem untuk memberi jalan itu melelahkan. Menguras tenaga. Saya tahu karena saya pernah merasakannya. Tetapi para penggendong bakul itu tampak tak keberatan ketika memberikan jalan pada kami. Malu. Benar-benar malu.
Sebuah peristiwa yang ironis memang. Seorang pendaki, penikmat alam, yang rela membawa beban berat sekali dua kali tapi mengeluh kesana kemari, mejeng dengan keren. Ada pula ibu-ibu penjual makanan yang rela membawa beban berat setiap hari tanpa mengeluh, tetapi tidak dianggap keren oleh masyarakat. Ironis. Sungguh saya ingin menggambarkan semua peristiwa itu dalam sebuah frame foto. Tetapi tak tega. Tak mampu saya mengambil foto ibu-ibu itu, seakan mengolok-olok (dalam sudut pandang saya). Banyak fotografer yang mampu mengungkap itu dan dijadikan karya yang indah untuk memperjuangkan sudut pandang para penjual itu. Lah saya? Paling cuma jadi bahan tulisan ga jelas, dan akhirnya file foto itu berdiam diri dalam folder.
Jangan kebanyakan ngeluh, kata saya untuk diri saya sendiri ketika memacu kecepatan turun saat itu. Kamu udah termasuk beruntung.
0 Komentar
POST A COMMENT