Lulu

Lulu
Seorang pengunjung Rumah Sakit Jiwa melihat salah seorang penghuni sedang berayun-ayun maju mundur di atas kursi sambil terus menerus dengan suara lemah penuh kelegaan mengguman, "Lulu, Lulu..."

"Masalah apa yang dihadapi orang ini?" tanyanya kepada dokter.

"Lulu. Ia adalah wanita yang menolak cintanya," jawab dokter.

Ketika mereka meneruskan berkeliling, mereka sampai pada salah satu sel, yang penghuninya memukul-mukulkan kepalanya pada tembok dan menggumam, "Lulu, Lulu..."

"Orang ini juga punya masalah dengan Lulu?" tanya pengunjung itu.

"Ya," kata dokter, "Dialah yang akhirnya menikah dengan Lulu."

Hanya ada dua penderitaan dalam hidup:
tidak memperoleh hal yang mengikatmu
dan memperoleh hal yang mengikatmu.

Dikutip dari "Doa Sang Katak" karya  Anthony de Mello

Berbagi Keindahan?

Berbagi Keindahan?
Di dalam setiap pria, sesungguhnya ada sosok anak kecil yang tidak pernah puas.

Hmm, ini tulisan spontan. Bingung tepatnya mau nulis apaan, tapi atas permintaan seseorang agar aku tetep menulis tiap minggunya mau gamau ada atau ga ada bahan harus tetep posting di blog ini. Dia tidak minta, sebenarnya. Hanya janji kecil kita berdua.

Aku pernah denger kutipan kayak di atas pada satu waktu. Aku lupa kapan dan dimananya, tapi yang jelas aku mengamininya. Seorang anak kecil jarang mau berbagi sesuatu miliknya kepada orang lain (pengalaman waktu kecil dulu sih, bukan secara general), dan hal ini masih terbawa dalam diriku. Bukan, bukan pelit gitu maksudnya. Walaupun emang kadang-kadang aku bisa pelit sih, haha. Aku tidak ingin berbagi sesuatu yang spesial. Tingkat ke"aku"anku tinggi untuk beberapa hal.

Tidak seperti tulisannya yang kadang-kadang menyinggungku bahkan menyebut namaku secara terang-terangan, tulisanku sangat jarang menyebut namanya. Kalaupun iya, aku hanya menyebutnya secara tersirat. Bukannya aku tidak suka menyebut namanya atau ketika dia menyebut namaku dalam tulisan. Aku sungguh senang ketika dia menuliskan namaku ataupun sedikit kode-kode tentangku dalam tulisannya. Hanya saja sosok anak kecil dalam diriku ini tidak rela, tidak kuasa untuk membagikan keindahan yang ia miliki kepada umum.

Dia dan aku memang berbeda. Dia selalu aktif memberi, dermawan (generous). Dan aku yang selalu menutupi, menyembunyikan. Berbeda. Tapi bukan masalah besar. Aku cukup senang dengan perbedaan ini. Dinamika. Aku juga senang membaca kisah tentang diriku dari sudut pandangnya. Well, untuk hal yang satu ini aku egois. Tak ingin membagi keindahanmu.

Buddha dan Penjahat

Buddha dan Penjahat
Pada suatu ketika, Buddha diancam akan dibunuh oleh seorang penjahat yang bernama Angulimal.

"Kalau demikian, saya minta engkau mengabulkan keinginan saya yang terakhir," kata Buddha. "Potonglah dahan pohon itu."

Satu tebasan pedang cukup untuk memotongnya. "Apa lagi?" kata penjahat itu.

"Kembalikan dahan itu ke pohonnya," kata Buddha.

Bandit itu tertawa, "Engkau gila. Kaupikir ada orang dapat melakukan hal itu?"

"Sebaliknya. Engkaulah yang gila. Engkau merasa diri berkuasa karena dapat melukai dan menghancurkan. Itu pekerjaan anak-anak. Orang yang sungguh berkuasa tahu cara menciptakan dan menyembuhkan."

Sebuah alat pelantak dapat menghancurkan tembok;
namun tidak dapat mengembalikan kerusakannya.
Dikutip dari "Doa Sang Katak" karya Anthony de Mello 
Lawu, 30 Desember 2012 

Ditemani oleh bendera Palapsi dan landscape punggungan sabana yang indah..
Puncak Hargo Dumilah.
Puncak pertama pendakian pertama, puncak kelima bersama tim gunung Palapsi, puncak keenamku..

sampai jumpa

Rangkuman Five Factor Model - McCrae & Costa


  Psikologi Teori Kepribadian McCrae - Costa

Meskipun sama-sama mengusung dasar trait, McCrae dan Costa memiliki pemikiran yang berbeda dengan Cattell ataupun Eysenck. McCrae dan Costa menganggap teori-teori terdahulu terlalu bersifat klinis dan pasif. Cattel dengan 16 faktor sifat dan Eysenck dengan 3 sifat utama yang telah ada lebih dahulu tidak menyurutkan niat McCrae dan Costa untuk mengkaji lebih dalam mengenai trait hingga munculah teori yang menghasilkan 5 sifat dasar yang biasa disebut dengan “The Big Five”.

Paul T. Costa 
Struktur Kepribadian
McCrae dan Costa membuktikan secara empiris sifat-sifat dasar manusia sehingga muncullah Five Factor Model (FFM) yang berisikan sifat neurotik (N), ekstraversi (E), keterbukaan terhadap pengalaman (openness), keramahan (agreeableness), dan kesadaran (conscientiousness) (Schultz & Schultz, 2009).


The Big Five

Neurotik dan ekstraversi didefinisikan tidak jauh berbeda dengan definisi dari Eysenck. Neurotik adalah suatu kecenderungan untuk mengalami emosi yang tidak menyenangkan dengan mudah seperti kemarahan, keccemasan, depresi, atau kerentanan. Ekstraversi adalah sifat aktif seseorang sehingga mengakibatkan seseorang suka berbicara, pecinta kesenangan, dan lain-lain. Sedangkan keterbukaan terhadap pengalaman adalah apresiasi untuk petualangan, seni, emosi, ide-ide yang unik, dan rasa ingin tahu. Keramahan didefinisikan sebagai kecenderungan untuk berbelas kasih dan kooperatif daripada mencurigai ataupun antagonistik terhadap orang lain. Kemudian kesadaran yaitu kecenderungan untuk menunjukkan disiplin diri, bersikap patuh, dan bersifat terencana (tidak spontan) (Feist & Feist, 2010).


Robert R. McCrae
  
Dinamika dan Perkembangan Kepribadian
Menurut McCrae dan Costa, perilaku seseorang dapat diprediksi dengan memahami komponen utama dan komponen sekunder kepribadian. Sedangkan mengenai perkembangan keduanya tidak mencetuskan tahap-tahap spesifik, namun perilaku dan kepribadian seseorang dapat pula berubah karena pengaruh komponen utama maupun komponen sekunder.

Komponen utama kepribadian terdiri atas 3 faktor. Pertama, kecenderungan dasar (basic tendencies) yang bersifat bawaan dan terbentuk oleh pengalaman di usia dini, dimodifikasi oleh penyakit ataupun intervensi psikologis. Kedua, karakteristik adaptasi (characteristic adaptations) yaitu struktur kepribadian yang dipelajari dan berkembang saat manusia berinteraksi dengan lingkungannya. Ketiga, konsep diri yang sebenarnya adalah bagian dari karakteristik adaptasi, namun konsep diri berdiri sendiri karena dianggap sebagai adaptasi yang penting.


Komponen yang Mempengaruhi Kepribadian

Komponen sekunder juga terdiri dari tiga faktor, yang pertama adalah dasar biologis (biological bases) yaitu mekanisme biologis utama (gen, hormon, struktur otak) yang mempengaruhi kecenderungan dasar. Kedua adalah biografi objektif (objective biography) yaitu menekankan apa yang terjadi dalam hidup seseorang daripada pandangan mereka mengenai pengalaman tertentu. Dan terakhir, pengaruh eksternal (external influences) adalah cara kita merespon kesempatan dan tuntutan yang ada.
Pada bagan ini, komponen utama berbentuk persegi dan komponen sekunder berbentuk elips. Komponen –komponen tersebut dihubungkan oleh dynamic processes yang mengindikasikan arah dari pengaruh dari suatu sebab.
  
Psikopatologi
Dalam teori McCrae dan Costa tidak disebutkan secara jelas mengenai penyimpangan perilaku, namun secara implisit dapat diambil kesimpulan bahwa sifat neurotik adalah suatu psikopatologi, khususnya neurotik yang memiliki skor tinggi. Orang dengan neurotik tinggi cenderung mudah gelisah, temperamen, emosional, mudah mengasihani diri, dan mudah stress. Selain itu, neurotik berkorelasi negatif dengan kesehatan emosional sehingga dapat dikatakan bahwa emosinya kurang stabil.

Perubahan Tingkah Laku
Berbagai penelitian mengenai teori kepribadian McCrae dan Costa menunjukkan bahwa kelima sifat dasar ini dapat dikatakan stabil seiring berjalannya waktu. Tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan bagi individu untuk berubah tingkah lakunya, khususnya karena komponen utama dan komponen sekunder yang ikut mempengaruhi.

Daftar Pustaka
Feist, J. & Feist, G. J. (2010). Teori Kepribadian: Buku 2. Jakarta: Salemba Humanika.
Schultz, D. P. & Schultz, S. E. (2009). Theories of Personality. Wadsworh : Cengage Learning.
www.flatworldknowledge.com

Disusun oleh : Fikri Adi Budiman, Selly Agustina, Yusnidar, Anggra
"Dengan suatu kesalahan, kita mengetahui mana yang benar. Saya tidak menyesal, tidak malu. Saya senang. Dengan satu "tamparan" keras, saya paham kesalahan saya. Bukan sekedar tahu. Kita bisa belajar mengetahui kesalahan melalui orang lain. Tapi hanya tahu, tidak paham. Saya tidak menyesal. Saya akan jauh lebih menyesal jika tenggelam dalam kesalahan tanpa pernah tahu kebenaran yang nyata." anc
"Terlalu banyak hal yang tidak aku tahu di dunia ini. Takut? Pasti. Tetapi jika tak dicoba aku selamanya tidak akan tahu. Jatuh? Bisa jadi. Sakit? Mungkin. Tetapi hal yang lebih menyakitkan dari rasa sakit adalah rasa takut akan sakit itu sendiri. Aku memang penakut, tetapi aku tidak mau hidupku dipenuhi rasa takut."
"Never Give Up!"

Berat Bebanku Tak Seberat Milikmu

Berat Bebanku Tak Seberat Milikmu
"Sial, tasnya berat banget," ujar saya saat berjalan menuruni Gunung Lawu lewat jalur Cemara Sewu.
Bagaimana tidak? Carier yang berat kosongnya saja sudah 2 kilo diisi penuh nuh tanpa rongga kosong sehingga kalau digendong ujung atas carier sama tingginya dengan kepala saya. Wah, wah, latihan menjadi porter nih nampaknya.

Semuanya berawal ketika saya dan teman-teman mendaki Gunung Lawu dan masing-masing dari kami membawa 3 botol aqua besar (1,5 liter) untuk bekal pendakian. Lupa benar kalau di sepanjang jalur dan di dekat puncak ada sumber mata air, bahkan ada warung! Dan di sinilah saya, dengan tiga botol air mineral utuh dan berbagai perlengkapan di dalam carier, menuruni Cemara Sewu yang jalurnya seperti tangga batu. Keringat menetes tanpa henti meski cuaca sama sekali tidak panas. Mendung. Kabut setia mendampingi dan tak jarang rintik hujan datang untuk bersilaturahim.

"Pantesan yang depan jauh banget. Tasnya enteng sih," keluhan demi keluhan terlontar saat sadar sudah ditinggal oleh yang lain.
Dengan segenap tenaga saya kembali berdiri dan melangkah pelan-pelan untuk menjaga agar kaki saya tidak keceklik saat menuruni tangga. Kanan. Kiri. Kanan. Kiri. Berhenti. Ambil nafas. Kanan. Kiri. Kanan. Lihat pemandangan. Kabut. Kiri. Kanan. Kiri. Kanan. Saya pun terhipnotis oleh langkah berat kaki saya.

"Nggra, berhenti. Geser. Ada yang dari bawah." Saya pun kembali dari lamunan saya. Terhentak. Yah memang sudah kebiasaan saat menuruni gunung untuk memberi jalan terlebih dahulu untuk rombongan yang hendak mendaki gunung. Selain karena target untuk sampai puncak sudah terpenuhi, tenaga yang digunakan untuk turun jauh lebih sedikit daripada tenaga untuk naik gunung. Maka dari itu kami lebih leluasa untuk mengatur pergerakan. Tapi tetap saja kadang ada perasaan dongkol dalam hati karena harus berhenti.

Kabut perlahan menyibak, sosok para pendaki gunung pun mulai terungkap. Kaget. Saya picingkan mata agar lebih jelas terlihat. Dahi tercenung. Ternyata mereka bukan pendaki gunung. Memang seorang pendaki, tetapi bukan karena hobi maupun gaya hidup. Penjual makanan di warung dekat puncak. Dengan tenggok (alat tradisional untuk menaruh barang; seperti bakul yang dibawa tukang jamu) besar yang diisi penuh dengan minuman, makanan, dan bahan-bahan lainnya mereka melangkah dengan mantap meski peluh mulai jatuh dari kening mereka.

Terhenyak sesaat. "Monggo mas, mang rumiyin (Silahkan duluan, mas)," ucapnya. Etika, saya diam dan mempersilahkan mereka untuk melanjutkan perjalanan terlebih dahulu. Akan tetapi mereka bersikeras agar saya turun duluan. Peluh memang gabisa bohong. Meskipun (tampaknya) mereka telah terbiasa, tetapi keringat mengucur tanda kelelahan yang menghujam menggambarkan rasa capek yang tak biasa. "Nggih, Bu," saya dan rekan-rekan saya pun akhirnya turun terlebih dahulu.

Saya mempercepat laju kaki saya. Cih segini saja udah ngeluh, padahal ada yang lebih berat. Mendaki, kemudian mengerem untuk memberi jalan itu melelahkan. Menguras tenaga. Saya tahu karena saya pernah merasakannya. Tetapi para penggendong bakul itu tampak tak keberatan ketika memberikan jalan pada kami. Malu. Benar-benar malu.

Sebuah peristiwa yang ironis memang. Seorang pendaki, penikmat alam, yang rela membawa beban berat sekali dua kali tapi mengeluh kesana kemari, mejeng dengan keren. Ada pula ibu-ibu penjual makanan yang rela membawa beban berat setiap hari tanpa mengeluh, tetapi tidak dianggap keren oleh masyarakat. Ironis. Sungguh saya ingin menggambarkan semua peristiwa itu dalam sebuah frame foto. Tetapi tak tega. Tak mampu saya mengambil foto ibu-ibu itu, seakan mengolok-olok (dalam sudut pandang saya). Banyak fotografer yang mampu mengungkap itu dan dijadikan karya yang indah untuk memperjuangkan sudut pandang para penjual itu. Lah saya? Paling cuma jadi bahan tulisan ga jelas, dan akhirnya file foto itu berdiam diri dalam folder.

Jangan kebanyakan ngeluh, kata saya untuk diri saya sendiri ketika memacu kecepatan turun saat itu. Kamu udah termasuk beruntung
Merapi, Agustus 2010 sebelum UTS.
Pagi hari di kala matahari datang, berlatarkan Gunung Merbabu.


Kedua kalinya aku mengalami "gagal muncak".
Semoga aku masih diberi waktu untuk bertemu dengan puncakmu, Merapi.

Akankah Ku Dapat Membuatmu Tersenyum?

Akankah Ku Dapat Membuatmu Tersenyum?
Huahh, tidur yang nyaman setelah semalam menonton pertandingan basket di GOR UNY. DBL. Well sebenernya aku datang karena pengen ketemu temen-temen SMA dulu sih, bukan untuk nonton pertandingan tim tertentu. Memang, SMAku kemarin bertanding melawan SMA 4. Kalah sih, tapi overall lumayan menarik. Good fight. Tapi, tulisanku ini bukan membahas tentang jalannya pertandingan kemarin, karena aku yakin ada yang jauh lebih kompeten untuk mengemas laga yang panas itu.

Saat itu aku berjalan di tribun atas GOR UNY. Bersalaman dengan teman-teman yang telah lama tak kujumpai. Tugas kuliah yang menyerang setiap saat dari segala penjuru seakan membatasi waktuku untuk berinteraksi sosial. Setelah semua tangan temanku selesai kusentuh, aku pun duduk di tribun atas tak jauh dari rombongan suporter SMA 6. Waah, tempat yang sama. Sudut tribun yang sama seperti ketika pertama kali aku menonton DBL, tahun 2009, yah meskipun engga sama persis sih cuman mirip-mirip aja.

Kusandarkan punggung, aih teringat setahun yang lalu. Ya, setahun yang lalu aku juga menonton pertandingan SMA 6. Hanya saja saat itu aku datang terlalu awal bersama teman-teman. Tidak seperti saat ini, terlalu telat. Ingatanku pun melayang. Saat itu, saat awal-awal kuliah. Semester dua. Kami masih seperti anak SMA saja. Nostalgia.

Saat kami bercengkrama setahun yang lalu, pertandingan SMA 6 belum dimulai, pandangan saya sempat terusik dengan sepasang suami-istri yang telah separuh baya. Bukan hal yang aneh memang, untuk duduk berdampingan melihat pertandingan. Hanya saja DBL dipenuhi dengan penonton yang rata-rata anak SMA yang alay-alay dan anak kuliahan yang gaul-gaul. Sedikit nyentrik jika keduanya menggunakan setelan batik dan kaos polo semi-formal di antara kerumunan anak muda.

Sang istri melihat pertandingan yang sedang berlangsung dengan antusias, tak pernah aku melihatnya berkedip ketika menyaksikan laga yang masih di kuarter ketiga itu. Tas jinjing berwarna coklat tua ia pangku dan ia dekap, mengencang ketika ada yang memasukkan bola ke dalam ring. Lekuk-lekuk wajahnya yang telah uzur akibat zaman tampak ekspresif sesuai dengan irama pertandingan. Sedangkan sang suami nampak bersantai dengan menopangkan kedua tangannya di kedua sisi tubuhnya dengan menyilangkan kaki di atas mata kaki.

"Pak, pak anakmu kae pak!" sang istri menepuk-menepuk bahu sang suami, membagi pandangan antara suaminya dan laga itu. Ohh, anak suami-istri ini lagi tanding. Pantesan. Sang suami pun hanya tersenyum mengiyakan.

"Dek, ayo dek tambah lagi poinnya!" teriak yang istri lagi, menyemangati putranya. Tak akan terdengar hingga ke lapangan, pasti. Riuhnya GOR menelan suara nyaring sang istri. Tapi beliau tak mempermasalahkannya. Euforia.

Aku sedikit terhenyak. Orangtua anak itu begitu energik menyemangati anaknya. Tersenyum lepas, bahagia. Bangga dengan putranya tercinta. Aku malu. Sungguh, bagai ditampar di depan umum. Saat itu aku sudah 19 tahun, tapi belum pernah aku merasa membuat kedua orangtuaku bahagia. Sungguh, sekalipun tak ada pencapaian dalam hidupku yang tampak membanggakan orangtuaku.

Sekali saja, aku ingin paling tidak sekali saja, bisa membuat kedua orangtuaku bahagia layaknya pasangan suami-istri paruh baya yang kutemui saat itu. Tersenyum lepas. Bangga dengan anaknya, darah daging yang telah diperjuangkan sejak masih berada dalam kandungan. Sekali saja. Sungguh, sekali saja aku ingin mendengar kedua orangtuaku berseru "Itu anakku! Itu anakku!" dengan bangga, dengan jumawa. Atau paling tidak aku mendengar dengan telingaku sendiri, "Bapak bangga, Nak" atau "Ibu bangga, Dek" dan keduanya tersenyum lepas, bahagia. Sekali saja. Paling tidak sekali saja.

Tapi akankah waktu itu tiba? Aku sudah menghabiskan masa hidupku selama lebih dari 20 tahun hingga detik ini, tapi belum pernah aku merasa telah membuat beliau bahagia. Aku takut aku tak dapat membuat kedua orangtuaku bahagia hingga bertahun-tahun mendatang. Aku tak tahu bagaimana caranya membuat kedua orangtuaku bangga. Semoga Tuhan memberikan jalan untukku. Semoga Ia memberi waktu agar ku dapat melaksanakannya. Satu pertanyaanku, akankah?

sebagian ditulis pada 17.03.2013 di kala pagi, tetapi tak kuasa dilanjutkan 
"Insya Allah, Tuhan sudah memberikan yang terbaik untukku. Akan tetapi entah Ia akan terus meridhoi atau menarik berkah tersebut untuk memodifikasi, semua itu tergantung kehendak-Nya. Manusia hanya bisa berharap, berusaha, dan berdoa." anc, 17032013.

Merbabu, Puncak yang Tertunda

Merbabu, Puncak yang Tertunda
"Nggra, masih ada air engga di tasmu?" tanya rekan pendakian saya waktu itu.
"Engga. Engga sama sekali. Cuma tetesan uap air yang muncul karena panas matahari."

Pendakian perdanaku! Merbabu, yeey. Aku bersorak sorai kegirangan dalam hati di dalam truk sepanjang perjalanan menuju basecamp Wekas. Yah memang tidak mulus, karena sempat saling lempar argumen dengan orang tua. Wajar sih, anak kelas 1 SMA pasti belum dipercaya penuh apalagi kalo dilepas di gunung. Alhasil aku pun ngepack barang untuk mendaki dan menyimpannya di sekolah, sehari sebelumnya. Jadi aku pamit pagi tadi sebelum berangkat ke sekolah. Bandel memang, tapi ga bandel-bandel banget kok. Maklum, anak SMA.

Perjalanan yang memakan waktu sekitar 3 jam pun berlalu dengan cepat karena euforia yang saya rasakan. Event pendakian yang diselenggarakan oleh MWHC (Muda Wijaya Hiking and Mountaineering Club) ini diikuti oleh lebih dari 40 orang siswa dan alumni. Aku hanya penumpang yang ingin nyoba hal baru makanya ikut event ini. Kami pun sampai di basecamp sekitar jam 19.00. Basecamp Wekas adalah rumah warga yang letaknya lumayan jauh dari tempat kami turun truk yang sudah tak kuasa mengangkut kami sampai di atas. Jalan berbatu yang tersusun rapi dan menanjak menjadi arena pemanasan tubuh. Kami sempat beristirahat sejenak di depan masjid. Wah, baru mau ke basecamp aja kayak gini. Apalagi pendakian? Aku mulai ragu, tapi untung saja sudah sampai basecamp.

Sepi, karena sudah dibooking mungkin ya. Ada dua ruangan besar di rumah itu yang diperuntukkan bagi pendaki. Satu ruangan besar yang menjadi tempat parkir, tempat tidur, dan tempat makan. Sedangkan yang satunya berukuran sedang sebagai dapur, tempat makan, dan kamar mandi.

Kami start pendakian jam 21.00, menunggu kedatangan alumni agak lama. Mereka yang tau jalannya. Pendakian agak "macet" karena menggunakan sistem berbaris berurutan sehingga tidak peduli keadaan fisik yang penting urut. Aku yang termasuk kloter belakang pun terkena imbasnya, ngerem terus saat jalan menanjak.

Fisik kami tidak siap, saya akui itu. Terbukti beberapa teman saya ada yang terkilir maupun kram. Ada pula yang nafasnya ngos-ngosan dan juga ada yang asmanya hampir kumat, untung dia bawa obatnya. Perjalanan yang melelahkan itu tak sebanding dengan bekal yang kami bawa. Di dalam tas hanya ada air minum 1,5lt, camilan, mie instan 2 bungkus, senter, cemilan, dan pakaian yang menempel di tubuh. Nekat.

Rute jalan dan keadaannya tidak dapat kuingat secara rinci. Selain kecapekan yang mendera tiap sendi tubuh, jangka waktu 4 tahun agaknya mampu mengaburkan ingatanku. Aku ingat saat itu aku kelelahan bahkan nyaris kehabisan tenaga sehingga berada di kloter paling belakang, kloter sweeper. Kami menamai grup ini PKS (Partai Kakean Sambat). Bagaimana tidak? Sedikit sedikit kami ngeluh, capek. Ketemu tempat landai berhenti. Lama.

Pelan tapi pasti, sedikit demi sedikit mempersempit jarak antara kami dan pos 2. Entah pos berapa pun itu yang pasti tempat di mana akan didirikan camp. Aku berjalan menyusuri jalan tanah dengan semak-semak di kanan kiri dan terkadang ada pohon tumbang yang menghiasi perjalanan gelap ini. Setelah beberapa saat berjalan, tampak kelap-kelip cahaya senter dari atas. Aah, itu pasti yang lain. Aku pun menambah kecepatan berjalan agar cepat sampai. Cepat istirahat. Apes, ternyata masih turun bukit dulu sebelum sampai di sana.

Pos yang dinanti-nanti pun sudah tercapai. Seperti sabana karena cukup datar dan luas dan dikelilingi pepohonan lebat serta bukit. Aku tak banyak berpikir. Lelah. Aku pun ambruk setelah memposisikan diriku di dalam tenda. Tidur.

Tak yakin benar jam berapa waktu itu. Maklum, ga terbiasa bawa jam. Yang jelas, matahari sudah datang dan menyinari tendaku. Aku pun keluar tenda. Ternyata beberapa rekan pendakianku tidur beratapkan langit dan beralaskan bumi dibalut sleeping bag yang nampak cukup tebal. Nekat.

Sarapan biskuit dan mie, kemudian kami melanjutkan perjalanan. Ada beberapa yang memilih untuk tinggal di sana. Mulai mendaki. Kok capek ya? Tanyaku dalam hati. Kami pun tiba di pertigaan kalo ke kiri ke arah helipad. Kami ambil jalan ke kanan. Trek lumayan datar. Entah ini yang dinamakan jembatan setan atau igir-igir sapi, aku tak tahu. Yang penting jalan.

Setelah melewatinya, kami pun dihadapkan pada tanjakan yang lumayan curam. Harus sedikit akrobat untuk melewatinya. Tapi pas uda berada di atas, ternyata jalan menurun kemudian menanjak lagi. Istilahnya puncak bayangan. Air minum yang ada di tasku pun perlahan-lahan terkuras hingga akhirnya habis. Sial.

Tanpa adanya air yang menemani, aku pun mulai terseok-seok dalam menghadapi trek pendakian. Beberapa temanku pun tumbang dan mengurungkan niat untuk melanjutkan pendakian karena masalah air dan fisik. Tak lama berselang, aku bertemu dengan dua seniorku yang berhenti dan salah satunya mengalami maag. Seniorku yang sehat, memberikan aku tanggung jawab untuk menunggui dan dia sendiri pun hendak muncak. Ya udahlah.

Seniorku itu sebenernya uda tertidur pulas di bawah bivak darurat yang sebelumnya kami (aku dan senior yang sehat) buat. Aku pun ragu-ragu antara melanjutkan pendakian agar bisa muncak di pendakian pertama atau stay di situ, nungguin orang tidur. Pada akhirnya karena perasaan lelah dan takut antara senior-junior, aku pun memilih tinggal di situ. Merelakan puncak.

Matahari memancarkan sinarnya seakan-akan menunjukkan superioritas terhadap manusia. Kebetulan daerah tempatku berpijak tidak ada pohon yang rimbun atau bentukan yang bisa dijadikan tempat berteduh. Hanya sebuah bivak yang cukup untuk melindungi satu orang saja. Haus yang menyerangku sedari tadi minta untuk dipuaskan. Tidak bisa. Tidak ada air tersisa di dekatku. Desperatedly, aku pun menjemur beberapa botol kosong untuk mendapatkan uap air agar bisa menjadi air, meski hanya beberapa tetes.

Satu jam lebih berlalu. Rekan-rekan pendakian pun sudah turun dari puncak. Mereka bertanya tentang hal yang sudah pasti, air. Tidak ada. Aku pun meminta air untuk menopang dahaga yang melanda. Tidak ada. Aku pun tanya apakah teman yang lain ada yang membawa air. Tidak ada juga jawabnya. Seniorku yang sudah lumayan sehat pun segera bergegas turun, tanpa merapikan bivak yang telah melindunginya dari terpaan terik matahari.

Segera setelah melipat mantel, aku melaju turun. Mengejar air. Trek yang naik turun dengan berat hati aku tembus. Raga yang sedari tadi diistirahatkan ternyata tak berdampak banyak. Pada satu puncakan aku berhenti karena kelelahan. Ternyata Agritama dan Axel Eka juga sudah kelelahan, mereka tampak duduk dengan terengah-engah ketika aku tiba.

Kami bertiga terduduk di sana karena satu alasan yang sama. Lelah butuh air. Agritama kemudian sadar kalo ada botol kecil berisikan air berwarna kuning muda yang tergeletak tak jauh dari kami duduk. Kira-kira 300cc. Awalnya kami ragu-ragu, takutnya air yang bukan bukan (baca: air seni) hingga akhirnya Axel memberanikan diri untuk mencicipinya. "Dudu kok bro," ucapnya saat itu. Sontak saja kami meneguk air untuk menopang dahaga yang telah membuat kami seperti orang linglung.

"Ooi, ada air engga?" teriak teman yang berada di belakang, kencang-kencang. Kami bertiga sudah jauh meninggalkan tempat saat kami minum air ajaib itu. "Ooi, depan ada air engga?" suara Yoga yang tampak tertekan itu terus mencari respon. Kami bertiga pun berhenti di ujung igir-igir sapi, menanti. Tampak rombongan 5 orang yang salah satunya adalah Yoga berjalan kelelahan ke arah kami dan segera terduduk di samping kami dengan terengah-engah.

Haus dan lelah mendominasi tubuhku hingga rasanya tak ingin melanjutkan perjalanan. Saat itu kami melihat ada pipa air di dekat kami. Air! Bisa jadi di dalamnya ada air! Yoga pun mencari retakan. Setelah menyusurinya teryata hanya pipa kering, sudah lama kering. Tak ada waktu untuk kecewa. Haus ini gabisa menunggu. Akhirnya kami segera melanjutkan perjalanan turun yang mestinya sudah tidak terlalu jauh lagi.

"Hati-hati, Dit," sahut temanku. Adit tampak kelelahan hingga jalannya terseok-seok. Tiap beberapa langkah sekali ia terjatuh terjerembab. Oleng ke kanan, oleng ke kiri. Aku pun menasehatinya agar berhenti sebentar untuk mengumpulkan tenaga. Tak lama setelah aku selesai bicara teman yang ada di depan, Ian, berteriak kencang, "Aaaiirrr!!" Kontan saja Adit berlari, aku pun segera mengikutinya.

Aku tak peduli lagi walau terjatuh-jatuh, demi air yang dijanjikan temanku di depan. Aku tersandung. Gapapa, ada air. Jatuh terjerembab. Gapapa, air. Jatuh terperosok. Gapapa, air. Oleng ke kanan lalu jatuh terguling. Gapapa, air. Jatuh bangun di antara semak-semak, jalan terseok-seok, kerongkongan kering hingga tak bisa bersuara, gapapa air! Air, air, air!

Akhirnya kulihat Mas Faudzan duduk di sebuah batu di pinggir jalur dengan beberapa botol air yang telah ia isi di tempat camp. Tanpa banyak basa-basi segera kuraih sebotol besar air dan kuminum seperti orang kalap. Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah. Badanku masih bermandi peluh, tetapi pikiran dan nafasku mulai tenang. Aku sadar betapa pentingnya air bagi hidupku. Alhamdullillah. Tempat camp tak jauh lagi, aku pun berjalan pelan tapi pasti mengingat sore tak lama lagi datang.

Di camp sudah ada senior yang membuatkan kami mie. Langsung saja kulahap untuk mengembalikan stamina yang tadi terkuras. Beberapa rekan yang tadi ga ikut muncak rupanya sudah turun duluan untuk mempersiapkan basecamp dan kendaraan pulang. Setelah beberapa teman yang lain datang, kami pun bersiap turun. Pukul 15.00 kami berjalan turun.

Perjalanan turun memang sangat menyenangkan, tenagaku tersimpan dan tidak terengah-engah. Hanya saja karena kami tidak boleh saling mendahului, kami pun ngerem-ngerem. Hingga gelap datang, kami masih berada di gunung. Penerangan yang minim menghambat kami, aku saat itu juga hanya menggunakan senter handphone. Untunglah tidak ada hal buruk yang terjadi, akhirnya kami menyentuh basecamp sekitar jam 19.00.

Setelah beristirahat, kami tinggal menunggu teman-teman yang masih di atas. Aku sempat makan dan minum di basecamp dengan santai selama waktu luang itu. Ternyata ada teman kami yang begitu kelelahan di atas sehingga harus digendong turun dari puncak. Engga digendong terus sih, hanya waktu kelelahan aja. Alhasil, kami semua baru lengkap pukul 23.00. Segera saja kami masuk truk. Truk melaju dengan sangat kencang seperti kesetanan. Akhirnya kami sampai di Jogja pukul 01.00 dini hari. Beruntunglah ada teman yang mau mengantarku. Aku tak bisa membayangkan betapa khawatirnya keluargaku saat itu. Yang penting aku masih hidup, pikirku.
Aih, padahal besok pagi-pagi sekali harus kumpul untuk perkemahan selama empat hari...

Suatu Ketika di Surya Kencana

Menuju Puncak Kenikmatan Nan Barokah Di Negeri Pasundan

Terjemahan : "Logo Psikologi" P A L A P S I "Logo Psikologi"

(ki-ka) : Wahyu, Anggra, Hanif, Diyan, Moni, Isti, Afiq, Yandi, Gerry
Surya Kencana, Gunung Gede...
Kenangan manis..

"Bahagia Itu Sederhana"

"Bahagia Itu Sederhana"
Sebuah tulisan...

Bahagia itu sederhana, begitulah yang selalu dia katakan. Quote yang sama dalam waktu yang berbeda, event yang berbeda, orang-orang yang berbeda. Sangat berkesan. Hingga ia memasang kata-kata itu sebagai penampang di blognya. "Bahagia Itu Sederhana".

Bagiku quote-quote ataupun kata-kata bijak "hanya" spesial saat pertama kali mendengarnya, begitu pula quote yang sangat dia kagumi. Hingga pada satu waktu. Saat itu, siang yang terik menghinggapi langit Jogja. Aku menyempatkan waktu untuk pulang meski ada kuliah lagi sore nantinya. Dengan Revo hitam aku pun melaju ke arah utara, arah rumahku. Sampailah aku di perempatan Condong Catur, lampu merah.

Aah, lampu baru saja berubah menjadi merah. Menunggu lebih lama. Aku pun memutar kunci motorku ke kiri, mati, kemudian menyilangkan kedua tanganku sambil melengkukkan punggung. Di kiri jalan, trotoar, ada sepasang lelaki dan juga seekor monyet yang beratraksi. Topeng monyet. Selalu ada di kala terang, berharap sesuap nasi dari orang-orang yang lalu lalang. Seperti biasa, aku pun hanya memandang. Tak ada niat untuk merogoh saku, memberi uang.

Pandanganku pun hinggap pada dua orang paruh baya yang sedang duduk di atas sepeda motor tua. Pasangan suami-istri. Keduanya memperhatikan pertunjukkan topeng monyet dengan seksama. Di tengah kerut-kerut yang terpampang di bawah terik matahari, seulas senyum tersungging dari bibir mereka. Awalnya. Hingga pada satu waktu keduanya tertawa, lepas, meski hanyut dalam bising kendaraan yang ramai di siang hari.

Aku pun tersenyum. Bukan karena atraksi monyet itu. Hanya saja tak terpikirkan bahwa sesuatu yang telah biasa aku lihat ternyata dapat membuat orang lain bahagia. Aku tersenyum karena mereka tersenyum. Bahagia itu menular. Bahagia itu sederhana. Bahagia itu sederhana. Ya, sesederhana itu. Seperti memelankan laju motorku ketika dia dengan asyiknya memandangi jalan-jalan yang belum pernah ia lalui. Sesederhana berlindung dari hujan deras yang melanda dengan satu mantol yang sama. Sesederhana terlintasnya kenangan tentang dia ketika tersiksa di belantara.

Dan kali ini, tanpa seijin dia aku pun mengutip, "Bahagia Itu Sederhana".

Penyesalan yang Selalu Terulang

Penyesalan yang Selalu Terulang
Dan disinilah aku...menapaki hutan, lagi.
Merbabu, lagi. Gunung yang pernah ku naiki beberapa tahun lalu, namun tidak sampai ke puncak karena satu dan lain hal. Puncak Utang, sebutku. Naik gunung memang tidak melulu karena puncak. Tetapi naik gunung tanpa muncak itu kurang lengkap. Yah bagi aku pribadi, target sejati saat pendakian adalah pulang ke rumah bertemu keluarga. Ya, pergi untuk kembali.

Puncak. Perjalanan menuju puncak selalu melelahkan. Selalu. Seingatku, tidak pernah aku tidak menyesal ketika sedang melakukan pendakian. Ngapain sih kok aku mendaki? Kenapa to aku mau capek-capek gini? Banyak pertanyaan memenuhi benak dan kalbu ketika kepala menunduk, mata memandangi kaki yang melangkah berat perlahan selangkah demi selangkah. Miris. Orang yang hanya ingin enaknya aja kayak aku, sekarang malah menguras tenaga untuk hal yang melelahkan.

Heran. Aku sangat heran dengan orang-orang yang memiliki hobi naik gunung. Seringkali ketika ada acara training ataupun diskusi grup kemudian ada pertanyaan mengenai hobi, pasti sekurang-kurangnya ada satu orang yang hobi naik gunung. Entah mungkin memang passion ataupun karena individual differences, namun aku yakin ga akan pernah menyebut "Naik Gunung" sebagai hobi. Capek. Menguras tenaga. Penuh penyesalan.

Mestinya saat ini aku bisa berbaring di atas kasur empuk dan nyaman, kemudian menyantap minuman berasa yang menyegarkan badan dan pikiranku. Berteduh di dalam rumah yang sejuk dan menentramkan. Banyak hal yang bisa ku nikmati kalo aku engga sedang berada di sini. Berada di tempat yang terik di mana hanya ada air putih tawar untuk mengobati dahaga yang tak pernah hilang. Berada di tempat yang mengharuskanku berjalan hingga entah kapan dengan beban yang tak jauh berbeda dengan kulkas mini. Pikiran rutin saat naik gunung.

Bagiku, naik gunung dan mendaki gunung adalah dua hal yang sangat berbeda. Mendaki adalah ketika naik kemudian turun gunung. Hanya ada lelah, penyesalan, dan penyesalan ketika naik gunung. Melangkahkan kaki yang berat di trek menanjak dengan beban yang menguras tenaga agaknya tak lazim jika dijadikan sebuah hobi. Suatu saat nanti ketika ada yang menanyakan hobiku, tentu tanpa banyak berpikir akan kujawab : Turun Gunung. Meskipun begitu, aku tak yakin bisa berhenti mendaki gunung saat ini. Mungkin semester depan. Yah nampaknya penyesalan-penyesalan itu masih akan terulang hingga beberapa minggu ke depan.