"Nggra, masih ada air engga di tasmu?" tanya rekan pendakian saya waktu itu.
"Engga. Engga sama sekali. Cuma tetesan uap air yang muncul karena panas matahari."
Pendakian perdanaku! Merbabu, yeey. Aku bersorak sorai kegirangan dalam hati di dalam truk sepanjang perjalanan menuju basecamp Wekas. Yah memang tidak mulus, karena sempat saling lempar argumen dengan orang tua. Wajar sih, anak kelas 1 SMA pasti belum dipercaya penuh apalagi kalo dilepas di gunung. Alhasil aku pun ngepack barang untuk mendaki dan menyimpannya di sekolah, sehari sebelumnya. Jadi aku pamit pagi tadi sebelum berangkat ke sekolah. Bandel memang, tapi ga bandel-bandel banget kok. Maklum, anak SMA.
Perjalanan yang memakan waktu sekitar 3 jam pun berlalu dengan cepat karena euforia yang saya rasakan. Event pendakian yang diselenggarakan oleh MWHC (Muda Wijaya Hiking and Mountaineering Club) ini diikuti oleh lebih dari 40 orang siswa dan alumni. Aku hanya penumpang yang ingin nyoba hal baru makanya ikut event ini. Kami pun sampai di basecamp sekitar jam 19.00. Basecamp Wekas adalah rumah warga yang letaknya lumayan jauh dari tempat kami turun truk yang sudah tak kuasa mengangkut kami sampai di atas. Jalan berbatu yang tersusun rapi dan menanjak menjadi arena pemanasan tubuh. Kami sempat beristirahat sejenak di depan masjid. Wah, baru mau ke basecamp aja kayak gini. Apalagi pendakian? Aku mulai ragu, tapi untung saja sudah sampai basecamp.
Sepi, karena sudah dibooking mungkin ya. Ada dua ruangan besar di rumah itu yang diperuntukkan bagi pendaki. Satu ruangan besar yang menjadi tempat parkir, tempat tidur, dan tempat makan. Sedangkan yang satunya berukuran sedang sebagai dapur, tempat makan, dan kamar mandi.
Kami start pendakian jam 21.00, menunggu kedatangan alumni agak lama. Mereka yang tau jalannya. Pendakian agak "macet" karena menggunakan sistem berbaris berurutan sehingga tidak peduli keadaan fisik yang penting urut. Aku yang termasuk kloter belakang pun terkena imbasnya, ngerem terus saat jalan menanjak.
Fisik kami tidak siap, saya akui itu. Terbukti beberapa teman saya ada yang terkilir maupun kram. Ada pula yang nafasnya ngos-ngosan dan juga ada yang asmanya hampir kumat, untung dia bawa obatnya. Perjalanan yang melelahkan itu tak sebanding dengan bekal yang kami bawa. Di dalam tas hanya ada air minum 1,5lt, camilan, mie instan 2 bungkus, senter, cemilan, dan pakaian yang menempel di tubuh. Nekat.
Rute jalan dan keadaannya tidak dapat kuingat secara rinci. Selain kecapekan yang mendera tiap sendi tubuh, jangka waktu 4 tahun agaknya mampu mengaburkan ingatanku. Aku ingat saat itu aku kelelahan bahkan nyaris kehabisan tenaga sehingga berada di kloter paling belakang, kloter sweeper. Kami menamai grup ini PKS (Partai Kakean Sambat). Bagaimana tidak? Sedikit sedikit kami ngeluh, capek. Ketemu tempat landai berhenti. Lama.
Pelan tapi pasti, sedikit demi sedikit mempersempit jarak antara kami dan pos 2. Entah pos berapa pun itu yang pasti tempat di mana akan didirikan camp. Aku berjalan menyusuri jalan tanah dengan semak-semak di kanan kiri dan terkadang ada pohon tumbang yang menghiasi perjalanan gelap ini. Setelah beberapa saat berjalan, tampak kelap-kelip cahaya senter dari atas. Aah, itu pasti yang lain. Aku pun menambah kecepatan berjalan agar cepat sampai. Cepat istirahat. Apes, ternyata masih turun bukit dulu sebelum sampai di sana.
Pos yang dinanti-nanti pun sudah tercapai. Seperti sabana karena cukup datar dan luas dan dikelilingi pepohonan lebat serta bukit. Aku tak banyak berpikir. Lelah. Aku pun ambruk setelah memposisikan diriku di dalam tenda. Tidur.
Tak yakin benar jam berapa waktu itu. Maklum, ga terbiasa bawa jam. Yang jelas, matahari sudah datang dan menyinari tendaku. Aku pun keluar tenda. Ternyata beberapa rekan pendakianku tidur beratapkan langit dan beralaskan bumi dibalut sleeping bag yang nampak cukup tebal. Nekat.
Sarapan biskuit dan mie, kemudian kami melanjutkan perjalanan. Ada beberapa yang memilih untuk tinggal di sana. Mulai mendaki. Kok capek ya? Tanyaku dalam hati. Kami pun tiba di pertigaan kalo ke kiri ke arah helipad. Kami ambil jalan ke kanan. Trek lumayan datar. Entah ini yang dinamakan jembatan setan atau igir-igir sapi, aku tak tahu. Yang penting jalan.
Setelah melewatinya, kami pun dihadapkan pada tanjakan yang lumayan curam. Harus sedikit akrobat untuk melewatinya. Tapi pas uda berada di atas, ternyata jalan menurun kemudian menanjak lagi. Istilahnya puncak bayangan. Air minum yang ada di tasku pun perlahan-lahan terkuras hingga akhirnya habis. Sial.
Tanpa adanya air yang menemani, aku pun mulai terseok-seok dalam menghadapi trek pendakian. Beberapa temanku pun tumbang dan mengurungkan niat untuk melanjutkan pendakian karena masalah air dan fisik. Tak lama berselang, aku bertemu dengan dua seniorku yang berhenti dan salah satunya mengalami maag. Seniorku yang sehat, memberikan aku tanggung jawab untuk menunggui dan dia sendiri pun hendak muncak. Ya udahlah.
Seniorku itu sebenernya uda tertidur pulas di bawah bivak darurat yang sebelumnya kami (aku dan senior yang sehat) buat. Aku pun ragu-ragu antara melanjutkan pendakian agar bisa muncak di pendakian pertama atau stay di situ, nungguin orang tidur. Pada akhirnya karena perasaan lelah dan takut antara senior-junior, aku pun memilih tinggal di situ. Merelakan puncak.
Matahari memancarkan sinarnya seakan-akan menunjukkan superioritas terhadap manusia. Kebetulan daerah tempatku berpijak tidak ada pohon yang rimbun atau bentukan yang bisa dijadikan tempat berteduh. Hanya sebuah bivak yang cukup untuk melindungi satu orang saja. Haus yang menyerangku sedari tadi minta untuk dipuaskan. Tidak bisa. Tidak ada air tersisa di dekatku. Desperatedly, aku pun menjemur beberapa botol kosong untuk mendapatkan uap air agar bisa menjadi air, meski hanya beberapa tetes.
Satu jam lebih berlalu. Rekan-rekan pendakian pun sudah turun dari puncak. Mereka bertanya tentang hal yang sudah pasti, air. Tidak ada. Aku pun meminta air untuk menopang dahaga yang melanda. Tidak ada. Aku pun tanya apakah teman yang lain ada yang membawa air. Tidak ada juga jawabnya. Seniorku yang sudah lumayan sehat pun segera bergegas turun, tanpa merapikan bivak yang telah melindunginya dari terpaan terik matahari.
Segera setelah melipat mantel, aku melaju turun. Mengejar air. Trek yang naik turun dengan berat hati aku tembus. Raga yang sedari tadi diistirahatkan ternyata tak berdampak banyak. Pada satu puncakan aku berhenti karena kelelahan. Ternyata Agritama dan Axel Eka juga sudah kelelahan, mereka tampak duduk dengan terengah-engah ketika aku tiba.
Kami bertiga terduduk di sana karena satu alasan yang sama. Lelah butuh air. Agritama kemudian sadar kalo ada botol kecil berisikan air berwarna kuning muda yang tergeletak tak jauh dari kami duduk. Kira-kira 300cc. Awalnya kami ragu-ragu, takutnya air yang bukan bukan (baca: air seni) hingga akhirnya Axel memberanikan diri untuk mencicipinya. "Dudu kok bro," ucapnya saat itu. Sontak saja kami meneguk air untuk menopang dahaga yang telah membuat kami seperti orang linglung.
"Ooi, ada air engga?" teriak teman yang berada di belakang, kencang-kencang. Kami bertiga sudah jauh meninggalkan tempat saat kami minum air ajaib itu. "Ooi, depan ada air engga?" suara Yoga yang tampak tertekan itu terus mencari respon. Kami bertiga pun berhenti di ujung igir-igir sapi, menanti. Tampak rombongan 5 orang yang salah satunya adalah Yoga berjalan kelelahan ke arah kami dan segera terduduk di samping kami dengan terengah-engah.
Haus dan lelah mendominasi tubuhku hingga rasanya tak ingin melanjutkan perjalanan. Saat itu kami melihat ada pipa air di dekat kami. Air! Bisa jadi di dalamnya ada air! Yoga pun mencari retakan. Setelah menyusurinya teryata hanya pipa kering, sudah lama kering. Tak ada waktu untuk kecewa. Haus ini gabisa menunggu. Akhirnya kami segera melanjutkan perjalanan turun yang mestinya sudah tidak terlalu jauh lagi.
"Hati-hati, Dit," sahut temanku. Adit tampak kelelahan hingga jalannya terseok-seok. Tiap beberapa langkah sekali ia terjatuh terjerembab. Oleng ke kanan, oleng ke kiri. Aku pun menasehatinya agar berhenti sebentar untuk mengumpulkan tenaga. Tak lama setelah aku selesai bicara teman yang ada di depan, Ian, berteriak kencang, "Aaaiirrr!!" Kontan saja Adit berlari, aku pun segera mengikutinya.
Aku tak peduli lagi walau terjatuh-jatuh, demi air yang dijanjikan temanku di depan. Aku tersandung. Gapapa, ada air. Jatuh terjerembab. Gapapa, air. Jatuh terperosok. Gapapa, air. Oleng ke kanan lalu jatuh terguling. Gapapa, air. Jatuh bangun di antara semak-semak, jalan terseok-seok, kerongkongan kering hingga tak bisa bersuara, gapapa air! Air, air, air!
Akhirnya kulihat Mas Faudzan duduk di sebuah batu di pinggir jalur dengan beberapa botol air yang telah ia isi di tempat camp. Tanpa banyak basa-basi segera kuraih sebotol besar air dan kuminum seperti orang kalap. Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah. Badanku masih bermandi peluh, tetapi pikiran dan nafasku mulai tenang. Aku sadar betapa pentingnya air bagi hidupku. Alhamdullillah. Tempat camp tak jauh lagi, aku pun berjalan pelan tapi pasti mengingat sore tak lama lagi datang.
Di camp sudah ada senior yang membuatkan kami mie. Langsung saja kulahap untuk mengembalikan stamina yang tadi terkuras. Beberapa rekan yang tadi ga ikut muncak rupanya sudah turun duluan untuk mempersiapkan basecamp dan kendaraan pulang. Setelah beberapa teman yang lain datang, kami pun bersiap turun. Pukul 15.00 kami berjalan turun.
Perjalanan turun memang sangat menyenangkan, tenagaku tersimpan dan tidak terengah-engah. Hanya saja karena kami tidak boleh saling mendahului, kami pun ngerem-ngerem. Hingga gelap datang, kami masih berada di gunung. Penerangan yang minim menghambat kami, aku saat itu juga hanya menggunakan senter handphone. Untunglah tidak ada hal buruk yang terjadi, akhirnya kami menyentuh basecamp sekitar jam 19.00.
Setelah beristirahat, kami tinggal menunggu teman-teman yang masih di atas. Aku sempat makan dan minum di basecamp dengan santai selama waktu luang itu. Ternyata ada teman kami yang begitu kelelahan di atas sehingga harus digendong turun dari puncak. Engga digendong terus sih, hanya waktu kelelahan aja. Alhasil, kami semua baru lengkap pukul 23.00. Segera saja kami masuk truk. Truk melaju dengan sangat kencang seperti kesetanan. Akhirnya kami sampai di Jogja pukul 01.00 dini hari. Beruntunglah ada teman yang mau mengantarku. Aku tak bisa membayangkan betapa khawatirnya keluargaku saat itu. Yang penting aku masih hidup, pikirku.
Aih, padahal besok pagi-pagi sekali harus kumpul untuk perkemahan selama empat hari...