Ujian Iman Berupa Tas Carrier

Ada kalanya harta itu menjadi ujian bagi seorang manusia...

Belum lama ini aku mencuci tas carrier yang telah setia menemani dalam berbagai kegiatan. Bagi yang belum familiar dengan istilah tas carrier, ia biasa disebut dengan sebutan tas gunung. Aku tidak pernah mencuci tas carrier itu seluruhnya. Ribet. Makanya paling cuman di bagian yang kotor aja biar tetep kelihatan mengkilap.

Cerita tentang tas gunungku ini bermula ketika aku masih SMA tingkat akhir, hampir ujian nasional. Saat itu aku, yang telah berhenti jualan pulsa, tertarik untuk membeli tas carrier dengan dana jualanku itu. Milih-milih. Cari referensi. Cari backsystem yang bagus. Setelah pencarian sekian minggu, pilihanku jatuh pada sebuah carrier impor lisensi Jerman yang harganya memang menguras kantong. Aku memesan tas tersebut di Jakarta yang tidak lama kemudian telah ada di tanganku. Carrier idaman.

Carrier cakep itu pun aku taruh di dalam lemari. Di tempat yang paling aman dari debu, kotoran, maupun sinar matahari. Aku ingin tas ini berguna dengan performa terbaik ketika berlaga di alam bebas. Keinginan yang tak pernah terwujud.

Beberapa kali teman-teman dari SMA, yang mayoritas hobi naik gunung, mengajakku untuk melakukan pendakian. Aku selalu mengiyakan. Masalahnya, tas yang mana? Aku pun beberapa kali mengeluarkan carrier dari tempat penyimpanannya. Coba disetting. Bercermin. Melihat gayaku dengan tas yang berwarna hitam-titanium itu. Ah eman-eman nek dinggo mung nang kono (ah sayang kalo dipakai cuma di situ), pikirku saat itu. Maka dari itu aku tidak pernah, tidak pernah sekalipun menggunakan tas carrier anggun yang satu ini selama aku SMA.

Beranjak ke masa kuliah, keinginan naik gunungku pun meredup. Carrier yang semula ku banggakan hanya menjadi seonggok barang tak berguna di sudut lemari. Aih memang begitulah harta. Ada kalanya kita terlalu sayang dengan harta kita sehingga tidak ingin menggunakannya. Atau malah kita menghabiskan waktu hanya untuk "menjaga" agar harta tersebut "baik-baik saja". Bisa jadi bukan kita yang memiliki harta itu, tapi harta itulah yang memiliki diri kita seutuhnya. Akulah salah satu korbannya.

Kurang lebih 12 bulan yang lalu, akhirnya aku merelakan tas carrier impor idamanku ini. Saat itu "terpaksa" karena aku mengikuti Follow Up Diklat Palapsi dan aku berada di Divisi Gunung. Ga harus punya carrier memang. Tetapi pinjem carrier tiap minggu agaknya cukup merepotkan juga. Apesnya (atau untungnya?) saat itu aku tidak ada uang untuk membeli tas carrier baru. Mau minta orang tua, ga enak. Mau nilep uang SPP, dosa. Mau ambil dari uang jajan, uda habis buat bantingan operasional. Akhirnya aku mengambil "jalan terakhir", menjual tas carrier impor nan elegan. Melepasnya dari rengkuhanku.

Carrier asal Jerman itu pun laku, dan aku membeli carrier yang kumiliki saat ini dengan dana kurang dari sepertiga hasil penjualan carrierku yang pertama. Carrier yang baru ini sangat murah, konsekuensinya kenyamanan dan merk memang ku kesampingkan. Bahkan ukurannya berapa liter saja aku tak paham. Yang kutahu dia bisa dipakai dan aku tidak eman-eman untuk menggunakannya dalam kegiatan di semua jenis medan.

Sekedar informasi, tulisanku ini memang tidak penting bagi kamu yang sedang membaca. Tapi kalau kamu uda sampai di bagian ini, berbahagialah karena tulisan ini hampir selesai. Yang penting carrierku masih bisa dipakai sampai saat ini. Sedikit banyak aku bersyukur karena "harta" yang kumiliki memang bukan yang terbaik, tetapi ia berdaya guna. Idealnya memang yang terbaik dan berdaya guna. Tetapi apalah arti terbaik jika ianya tidak berdaya guna sama sekali.
Previous
Next Post »
2 Komentar
avatar

sik-sik, njuk ngopo tuku carrier nek eman-eman dinggo?

Balas
avatar

haha aku ya ra paham karo jalan pikirku biyen mas..
ning eman-eman tenan nek dinggo mblusukan, dadi ratau tak nggo.

Balas

POST A COMMENT