Balerantheodora 20-21 April, FUD 2013

Balerantheodora 20-21 April, FUD 2013
Tempat operasional pertamaku, FUD 2012...

Entah gimana awal mulanya, judul ops ini macem begitu. Yah saya sebagai pengikut sih manut-manut aja. Konsep yang dibangun Dyaning sebagai PO mungkin ada hubungannya dengan pasangan hot yang sedang naik daun akhir-akhir ini. Saya tidak tahu.

Awangers, begitu sebutan kami di ops kali ini, memulai awal ops dengan jogging dan CT. Anehnya, di kedua hal itu kita ga ada yang jebol larinya alias masuk hitungan semua. Rekor baru buat saya yang hampir ga pernah ga jebol. Ahaha. Akan tetapi Yandi sebagai kadiv terlihat tidak puas karena ga ada yang jebol, alhasil naturta gedung K dipakai sekalian mengganti naturta GSP karena hujan yang turun tanpa kompromi. Saya pun jebol.

During day! Kali ini tim kami ketambahan satu personil baru, Erdiska. Yah sebagai orang yang baru ikut ops satu kali dia uda membaur dengan baik, sangat baik malah kalo saya bilang. Saya gabisa seperti itu. Di lain pihak, Afiq yang biasanya ops kali ini ijin gabisa ikut. Ulang tahun. Entah apa alasannya kenapa ga ikut. Family time kali ya.

Kumpul di kampus jam 7.15 begitu kata PO. Saya datang jam 7 tepat, maklum belum sempat packing perkap tim. Masukin ini, masukin itu. Set set set, selesai. Saya melihat ke jam dan uda 7.25. Belum ada yang datang kecuali saya. Tim gunung sendirian. Jangan-jangan uda pada berangkat semua ya? Terus saya ditinggal? Pikiran-pikiran negatif terus berkecamuk dalam benak saya. Maklum, uda dari dulu dibiasakan tepat waktu. Jadi semenit aja nunggu tu gabisa. Gabisa sama sekali, kalau tanpa alasan yang jelas. Biasanya mood langsung jelek dan semua orang bisa kena.

7.45, tim uda pada ngumpul. Akhirnya kita berangkat jam 8 lebih sedikit. Perjalanan kami melewati jalan hancur karena jalur itu didominasi oleh truk pasir yang notabene beratnya berton-ton. Yah, skill pembawa stang motor diuji di sini. Saya ga bakal bisa lulus. Untungnya mbonceng. Usai menghantam jalur tiada maaf tersebut, kami sampai di basecamp jam 10an. Pak Suro, ialah yang punya rumah. Baik dan welcome. Kadang malah membuat saya pekewuh kalo lagi main ke sini. 

Ops dimulai! Kami berjalan santai menuju titik pertama, dengan leader Febri dan Diska. Awalnya sih kita ngerjain Diska dengan nyasar-nyasarin dan engga memberi tau jalan naiknya. Tapi mungkin temen-temen pada iba, akhirnya disupport juga deh. Kami sempat melewati Kali Woro yang isinya pasir-pasir vulkanik dan jalur air. Sungguh lebar, sungguh besar. Mungkin selebar Jalan Humaniora, dikalikan dua atau malah tiga kali. Setelah menyebrang, kami naik dan langsung belajar untuk navigasi darat.

Firasat. Seperti ada bisikan, saya mendapat wangsit bahwa tak lama lagi hujan akan turun. Hujan deras. Makanya saya langsung minta leader buat bergegas ngejar titik. Sekitaran jam 11 kami sampai. Seusai menyelamati para leader, saya dan Dyaning langsung balik ke sebrangan Kali Woro. Kita berdua leader titik dua.

Benar saja, tepat sebelum menyebrang Kali Woro hujan turun ga tanggung-tanggung. Ibarat ditumpahkan dari langit tanpa ampun. Untung udah sampai sini. Ponco kami kenakan dan langsung saja menyebrang mumpung belum ada aliran lahar dingin. Hujan yang begitu derasnya membuat jarak pandang menjadi pendek. Tanpa terasa, Diska kecer dan tak tau ia ada di mana.

"Je, nungguin Diska apa tembus aja?" tanya saya ke Dyaning saat itu.
"Ya kita duluan aja."
Well tiap saat memang kita diminta untuk membuat keputusan, dan tiap keputusan pasti ada konsekuensinya. Tim kita bagi dua, saya berduet dengan Dyaning kejar target dan yang lain nunggu kedatangan Diska. Kami berdua berjalan by compass saja karena memang uda ada jalur yang jelas. Hujan tak henti-hentinya menerjang langkah berat kami. Rembesan air mulai mengalir di seluruh tubuh. Mungkin tempat yang kering hanya tas yang sedari tadi saya gendong.

Untunglah, jam 12.30an hujan mereda dan tak lama kemudian titik dua pun berhasil diraih meskipun dengan lepas karier karena jalur yang tidak memungkinkan. Waktunya kami snacking. Kali ini snacking disponsori oleh ibunda Dhika dengan arem-arem jumbo yang luar biasa nikmatnya. Hmmm.

Pernahkah Anda mendirikan ibadah di tempat yang "baru" bagi Anda? Mungkin itu pertanyaan pertama yang terpikir dalam benak Diska. Ini pertama kalinya ia shalat di ops gunung. Agak bingung, agak canggung. Untuk melepas kecanggungan, Dhika meminta sahabatnya ini untuk adzan. Kebiasaannya gitu, kata Dhika. Padahal semua itu murni keusilan dari anak yang satu ini. Entah polos atau gimana, Diska pun mau-mau aja. Saya sempet rekam sedikit kok, barangkali ada yang minat melihat personil baru yang bulliable ini.

Jam 14.00, kami mulai jalan lagi. Cukup cepat karena kami menuruni punggungan. Tim sempat terpencar karena pisau Febri yang ternyata ketinggalan di tempat snacking. Beruntung tidak lama kemudian kami saling bertemu. Perjalanan dilanjutkan menuju titik Enop dan Mas Hanif. Kali ini kami menyebrangi dua sungai. Ya, dua sungai. Hanya saja tidak selebar Kali Woro, makanya ga terlalu waswas. Bingung mau nulis apa di proses titik tiga ini karena lancar-lancar aja.

Camping sekitar jam 16.00, kami sempat bingung mau mendirikan tenda di mana karena dimana-mana ada ladang orang atau pohon yang baru ditanam. Akhirnya setelah perjuangan keras yang menguras tenaga, kami menemukan tempat lapang. Doming lancar-lancar aja, paling cuman pembagian tenda (tempat tidur) yang agak kontroversial. Diska engga dapet bagian (dikerjain juga sih) dan Dhika diusir dari Consina karena matrasnya yang luar biasa penuh dengan lumpur kering.

Masak, saya tinggal tiduran karena jatah saya besok pagi hari. Makanan tersaji, makan udah deh setelah ngobrol-ngobrol ga jelas (batu tenggelam) kami pun tidur untuk mempersiapkan tenaga untuk esok hari (ada beberapa cerita random sih..haha).

Alarm berdering, katanya. Karena saya memang ga ngeset alarm kalo engga lagi jadi PO. Disuruh bangun ya saya manut-manut aja. Saat itu jam 05.30, molor setengah jam, begitu kata PO. Tapi setelah crew masak bangun dianya tidur lagi. Yaelaah. Entah apes atau cerdas bagian pagi ada Dhika, Febri, Enop, dan saya. Kita tim masak malam hari ketika di Wanagama. Kita adalah experiman experiwoman yang suka membuat masakan jadi "aneh" karena serba "coba-coba". Yah meskipun ada yang gosong, kemanisan, lupa dikasi bumbu dan sebagainya, at least masakan kami bisa dinikmati kok :)

Persiapan jalan sempat diawali dengan kepanikan Enop yang kehilangan kompas. Ternyata hanya ketlingsut di dalam tasnya. Satu hal yang unik, kompas itu engga ada di tempat itu (katanya) tetapi ada di sana begitu Diska menyuruh Enop untuk mengecek bagian itu. Entah apa yang sebenarnya terjadi.

Titik empat, dipimpin oleh Dhika dan Yandi. Titik empat ini adalah titik Yandi tahun lalu yang paling ribet, paling rumit di antara temen-temen 2011 saat itu karena modal skill Yandi yang tinggi. Kami sempat salah punggungan, masuk di punggungan sempit yang mungkin mirip dengan "Jembatan Setan"nya Merbabu via Wekas. Malah kalau boleh saya bilang, jalur ini jauh lebih ngeri karena lebarnya mungkin hanya 2 tegel, kira-kira 60cm lah. Terus kanan kirinya jurang curam yang begitu dalam. Belum lagi tidak adanya "jalur" dan trek yang terus menanjak. Awalnya saya sih fine fine aja ya tetapi lama kelamaan punggungannya menyempit hingga jalur tersebut hanya sepanjang penggaris 30 cm saja, begitu ungkap Dhika yang berjalan paling depan seraya mengilustrasikan dengan kedua tangannya. "Nek arep akrobat apa sirkus yo ayo," ujarnya.

Kami kembali ke awal punggungan. Saya berlari. Kaki saya terlanjur tremor akibat jalur tadi jadi mending sekalian banter. Maklum, takut ketinggian. Di atas tadi, kita sempat orientasi medan dan menyimpulkan bahwa punggungan yang dimaksud ada di sebelah barat kami. Langsung saja begitu di start punggungan kami sasak saja meski ga ada jalur. Ternyata ada, cuman jalan agak jauh karena konturing (mengitari punggungan). Hedehh. Begitu merasa yakin inilah punggungan yang dimaksud kami trabas jalur, jalan terus.

Setahun yang lalu, FUD 2012, tim gunung juga pasang titik di punggungan ini. Jalur saat itu benar-benar rapat dan terjal. Semacam f**k yeah. Untung saat itu dibuka dengan sungguh-sungguh oleh Mas El dan Moni. Ditambah lagi para pengaspal macam saya, Wulan, Gaby, Mas Hanif dan Afiq (dengan tas gunung Mas El) serta trio sumatera 2009 (Wahyu, Gerry Deddy dengan karier Moni). Hasilnya bisa dipetik saat ini. Jalur bukaannya uda keliatan cuma perlu buka jalur seperlunya, kata Dhika. Meskipun demikian saya salut dengan skill buka jalur Dhika. The bacoker (sebutan untuk pembuka jalur).

Hari ini kami snacking tepat waktu. Yah molor sekian menit sih karena tadi pas jam snacking kami masih di area yang tertutup vegetasi, sehingga Mas Hanif dan saya menyarankan untuk naik lagi di tempat yang lapang dan terbuka. Snack yang ada hampir semuanya remuk, efek dari packingan tas saya yang padat. Akhirnya seksi konsum memutuskan untuk bebas beradab saja. Bebas biadab hasilnya.

Perjalanan pun dilanjutkan, masih dengan Dhika sebagai firstliner (pembuka jalur paling depan untuk "membuka" jalur) dan Yandi sebagai secondliner (pembuka jalur kedua untuk "merapikan" jalur). Febri, saya, dan Mas Hanif cukup jadi sweeper. Trek makin nanjak dan ga jelas karena tertutup rumput gajah. Sudah dekat ini, pikir saya. Benar saja, jam 13.35 kami sampai di titik empat. Yeah!

Kita berdelapan beristirahat untuk recover tenaga. Dhika, Febri, dan saya menjalankan tugas dokumentasi. Kami sempat membuat video untuk rekan tercinta, Afiq. Saya tanya Diska, ternyata dia kelelahan. Pusing, begitu keluhnya. Enop dengan kaki kesleonya pun selonjoran pasrah. Dyaning sebagai PO hanya tercenung saja di samping kekasihnya, kelelahan.

Waktu belum sempat mampir ke angka 14.00, kami turun untuk mengejar titik lima dekat basecamp. Diawali oleh Febri dan saya kemudian disusul Mas Hanif, kita bertiga bertugas sebagai leader. Jalur yang tadi cukup lama ditempuh, kami lalui dengan singkat. Ditambah bonus tari-tarian turun gunung tentunya. Jatuh kanan, jatuh kiri, oleng, ngglimpang, sampai njlungup. Beruntung kami baik-baik saja, engga ada yang cedera. Kita sempet istirahat di sabana (cuman mirip aja sih) sambil melihat panorama yang eksotis. Sungguh saya bersyukur dikaruniai mata yang masih bisa melihat indahnya alam, karena kamera-kamera yang kami bawa pun tak dapat mengabadikan momen secantik ini sebagaimana mata pemberian Tuhan.

Aneh, ketika saya nge-lead pada ops kali ini pasti ada aja yang kecer (ketinggalan). Kali ini Enop dan Dyaning. Bukan salah leader kalau saya bilang (agak defense sih) karena tugas utama leader adalah menentukan jalur dan nge-attack tempat camp (saat pendakian). Kalau ada yang kecer, itu masuk fungsi sweeper yang biasanya saya dan Mas Hanif berada pada posisi ini pada FUD 2013. Menjadi sweeper itu cuman butuh sabar aja sebenernya, untuk skill navigasi, baca peta, pilih jalur ya itu tambahan aja. Saya juga sedang berlatih untuk menjadi sweeper yang bisa diandalkan, karena memang tim FUD kali ini hampir semuanya bermental leader. Yah mau gak mau sih.

Tim yang sempet kecer itu akhirnya bertemu di titik perbatasan Jateng-DIY, sesuai kesepakatan yang kami buat saat di atas. Lanjut. Entah salah jalur atau gimana, kami malah sampai di Gardu Pandang Balerante. Ternyata kami masih terlalu Barat, potong kompas deh ke arah Timur. Apesnya, potong kompas ini sesekali melewati rumah warga yang biasa dijaga oleh satu dua anjing. Alhasil anjing sekompleks menggeram dan melolong karena kedatangan kami. Diska lari njrantal (lari terbirit-birit) karena ketakutan oleh anjing. Konyol.

Kami sampai di rumah Pak Suro. Disambut bak tamu kerajaan karena langsung dipersilakan masuk dan disuguh minum dan camilan. Saya sibuk packing ulang dan berganti pakaian, begitu juga dengan teman-teman yang lain. Hingga akhirnya setelah dipersilakan berkali-kali, kami pun masuk dengan wangi khas kami. Keringat. Saya masih kesulitan menggambarkan detail yang terjadi saat itu karena masih agak terharu. Sungguh Pak Suro dan keluarga sangat welcome dan baik pada kami. Kami tidak memberi apapun, sungguh tak ada satu hal pun yang kami berikan pada mereka. Tetapi semua makan-minum yang ada di rumah seperti dikeluarkan, disuguhkan untuk kami. Besok saya buat tulisan baru saja lah ya.

17.00, kami pulang. Jalur yang berbeda karena kapok dengan jalan rusak kemarin. Dhika dan saya yang satu motor sempat kecer, untung skill navigasi kami mumpuni meski gatau medan (bejo-bejoan sih). Akhirnya kami sampai di sekret Palapsi, alhamdulillah. Di akhir ops biasanya kami culat lalu dilanjutkan evaluasi. Cuman karena divisi lain pada culat dan lama, akhirnya kami eva dulu baru culat. Dyaning sudah mencak-mencak karena molor. Yah pengalaman yang seru.

Sampai jumpa lagi, Balerante...

Surat Balasan untuk Robin Wijaya

Surat Balasan untuk Robin Wijaya
Iseng nulis aja pas ada postingan di fb. Haha. Puisi yang diprosakan. Banyak dipakai oleh temen-temenku, tapi jarang aku coba. Ga pandai bersajak.

Selamat pagi wahai sang penulis surat,

Rasa? Entitas asing apakah itu? Sesuatu yang abstrak dan tidak kumengerti, nampaknya.

Pakaian terbaikku hanya kemeja flanel kotak-kotak lengan panjang yang melindungiku dari duri tajam dan teriknya siang.
Tak lupa dengan celana kargo panjang yang menghangatkanku ketika dingin menyerang.
Sepatu terbaikku adalah sepasang sepatu gunung yang melindungi kontur-kontur kakiku meskipun ia telah usang.
Dan seseorang itu..selalu terlintas dalam benak tiap langkah berat ini berusaha menggapai sang puncak.

Orang itu, ada. Tetapi ia tak butuh pakaian terbaik ataupun riasan terbaik untukku.
Rasa. Ya mungkin aku sedikit bisa memahami apa maksudmu di balik istilah itu.
Gejolak asa dalam jiwa.

Aku dengan dirinya, ibarat bunga edelweis yang menantikan pelukan hangat sinar mentari.
Sapaan yang membuatku menggeliat dari mimpi dan semangat untuk menjalani hari.
Dan jikalau bunga edelweis masih terlampau elegan untuk mengibaratkan diriku, biarlah aku menjadi semak-semak.
Semak-semak yang tak dihiraukan bahkan seringkali diinjak-injak oleh puluhan, ratusan bahkan ribuan pendaki.
Biarlah, karena aku masih bahagia untuk melihat sang surya meskipun terjerat bumi.

Robin,
Aku dan kamu tak saling mengenal ataupun bertatap muka.
Kita berdua memiliki dunia yang berbeda.
Akan tetapi ada satu yang menjembatani kita, rasa.

Dan biarlah aku duduk bersandar bersama tas ranselku.
Duduk di tengah sunyi malam di atas punggungan pegunungan.
Menikmati gelapnya langit, menikmati indahnya ufuk timur.
Menunggu datangnya pelukan hangat sang mentari.
Menunggu surat balasanmu yang selalu ku nanti.

Anclot, 19.04.2013

Amarah

Amarah
16.04.2013

Saya dihina sehina-hinanya oleh seseorang yang memang saya tidak sukai.
Saya marah, saya ingin mengamuk.
Tetapi hanya saya biarkan di pikiran saja.
Karena sejatinya tiap-tiap orang itu pasti menuju kesuksesan, maka tidak boleh saya dzalim padanya.
Saya tidak boleh marah.
Tidak.
Tetapi tidak ada kesempatan kedua.
Biarkan ia meledak sejadi-jadinya ketika hal yang sama terulang.

Kematian, Fenomena Pengubah Kehidupan

Kematian, Fenomena Pengubah Kehidupan
Minggu pagi yang cerah. Aku duduk duduk santai di teras sambil membaca koran, menikmati hidup. Perhatianku tertuju pada headline koran yang ditulis besar-besar "Sekian (ditulis dalam angka, ga hapal e..) orang tewas akibat peristiwa xxx (lupa juga)". Hmmm.

Tak jarang kita, aku pada khususnya, melihat berbagai berita yang hampir serupa. Di koran, di TV, di internet, seringkali kujumpai statement serupa. Gempa bumi di dekat reaktor nuklir Iran, 30 orang tewas. Puluhan orang meninggal akibat virus baru. Belasan anak terguling-guling akibat euforia naik odong-odong. Yang terakhir itu ga benar-benar terjadi sih.

Kematian seseorang dapat mengubah orang lain dengan drastis. Aku betul-betul kehilangan sosok kakek ketika beliau telah tiada. Saat itu aku, yang berusia 9-10 tahun atau kelas 4 SD, sedang bermain bola di pekarangan rumah simbah yang cukup luas. Jedug, jedug, jedarr. Aku bermain bola sendiri, menendang kemudian mengejar bola begitu seterusnya. Ternyata di saat yang sama beliau sedang mengalami sakaratul maut. Aku tidak tahu.

Hilang. Sungguh kosong. Aku ingat sekali, aku hampir selalu menghindar dari kakek ketika beliau mendekatiku untuk bercengkrama. Aku pasti menjauh. Pasti. Kecuali kalau ada orangtuaku. Aku tidak bisa bicara Bahasa Jawa yang halus, hanya bisa yang kasar. Hal ini membuatku minder dan merasa tak sopan untuk berbicara dengan beliau. Makanya kalau simbah mendekat dan tidak ada orangtuaku, aku menjauh. Beliau mendekat, aku menjauh. Hampir tidak berkomunikasi sama sekali.

Entah apa yang beliau rasakan saat itu. Bagaimana perasaanmu ketika kamu mendekati cucu yang sungguh ingin kau rengkuh tapi ia malah menjauh? Aku tak paham, karena belum pernah menjadi seorang kakek. Mungkin sakit. Mungkin sedih. Mungkin. Satu hal yang pasti, aku seorang cucu yang tak berguna.

Setelah kakek meninggal, aku hanya bisa melihat beliau terbaring kaku di peti mati. Beliau nampak tersenyum. Aku tidak. Aku menangis. Menyesal.

Sejak saat itu, aku berusaha keras agar dapat berbicara Bahasa Jawa yang halus. Bukan yang kasar. Sedikit demi sedikit aku belajar, hanya untuk memahaminya. Saat ini aku lumayan mampu untuk berbicara Bahasa Jawa halus, ya ga bisa banget-banget sih tapi lebih mending daripada saat itu. Tapi siapa yang ingin kuajak bicara? Keluarga? Pasti. Kakek? Ya, aku sungguh ingin bisa bercengkrama dengan beliau bahkan hingga saat ini pun aku masih berharap. Getun tiba mburi (penyesalan selalu datang terakhir). Beliau telah terlanjur tiada.

Entah ada hubungannya atau tidak, sejak saat itu pula aku enggan bermain bola. Banyak ajakan teman-teman untuk bermain sepakbola yang aku tolak. Bukan benci, hanya tidak ingin saja. Padahal aku senang bermain bola, meskipun gabisa. Tapi... Gatau ah, mungkin aku yang terlalu menghubung-hubungkannya.

Sebuah kematian dapat mengubah orang lain secara drastis. Sekarang jika puluhan orang tiada, bayangkan berapa orang yang merasa kehilangan. Berapa orang yang mau tidak mau mengubah rutinitas kehidupannya. Jangan bicara angka melulu. Kuantifikasi dapat mengakibatkan generalisasi. Apabila kita terlalu sering dicekoki dengan angka-angka kematian, kita menjadi terbiasa dengan berita tersebut. Meremehkan dinamika psikologis yang terjadi pada orang-orang yang kehilangan. 

At least, jangan sampai kita menyepelekan berita dengan angka kematian yang "hanya" satu digit. Ah yang mati cuman segini tha. Berita kecil untuk kita, sepele. Tapi bagi orang-orang hidup yang kehilangan, itu berita besar. Sangat besar. Terlampau besar. Kehidupan mau tidak mau berubah seiring munculnya kematian, pasti.

Harga sebuah kehidupan.

Budak dalam Badai

Budak dalam Badai
Seorang Maharaja pergi ke laut dan ketika itu badai pun tiba. Salah seorang hamba di perahu mulai berteriak-teriak dan meraung ketakutan, karena ia belum pernah naik perahu. Teriakannya begitu keras dan panjang sehingga semua orang di atas perahu itu mulai terganggu dan Maharaja bermaksud untuk membuang orang itu ke laut.

Akan tetapi, Penasihat Utama yang adalah seorang bijaksana berkata, "Jangan. Biarlah orang itu saya urusi. Saya kira saya dapat menyembuhkannya."

Maka ia menyuruh beberapa orang awak kapal untuk melemparkan orang itu ke laut. Ketika tercebur ke dalam laut hamba itu mulai berteriak dan memberontak ketakutan. Beberapa saat kemudian, sang bijak menyuruh agar hamba itu diangkat kembali ke kapal.

Sesudah berada di kapal, hamba itu terbaring tenang di suatu sudut. Ketika Maharaja menanyakan alasan kepada penasihatnya, dijawab, "Kita tidak pernah menyadari betapa kita beruntung sampai keadaan kita menjadi lebih buruk."

dikutip dari karya Anthony de Mello, "Doa Sang Katak"

First Ascend, Balerante FUD 2012

First Ascend, Balerante FUD 2012

Operasional pertamaku! Yeah, setelah diajak dan dibujuk oleh beberapa teman akhirnya aku luluh juga. Awalnya aku berpendirian teguh untuk menjauhi segala aktivitas kepecintaalaman, kulampiaskan dengan berkegiatan di kesenian. Tetapi saat itu bagian kesenian sedang dalam masa rehat, seusai penampilan teater "AA II UU". Aku yang uda terlanjur nyaman dengan ritme kegiatan akhirnya mencari hal lain, pendidikan lanjut Pecinta Alam Psikologi.

Ayo ikutan FUD, Nggra. Aku ingat betul bagaimana kakak tingkatku mengajak yang kemudian kutolak. Walaupun akhirnya aku ikut juga. Setelah roleplay dan pre operasional, akhirnya aku merasakan bagaimana kegiatan divisi gunung. Ya, Balerante adalah destinasi pertamaku!

Berawal dari kampus tercinta, kami upacara dulu bersama dengan divisi-divisi lainnya. Ritual sebelum berangkat operasional. Seperti woro-woro bahwa kami akan pergi. Seusai menceritakan detail masing-masing operasional, menyanyikan hymne Palapsi, dan menyatukan tangan untuk ber Never Give Up, tim Para Pencari Nikmat meluncur ke Utara. Aku dan Moni bertengger di atas Revo hitamku.

Sampai di basecamp, para kakak tingkat ngobrol-ngobrol dengan yang punya rumah. Aku menyibukkan diri dengan tas carrier (yang saat itu masih pinjam) memodifikasi packingan, namun apa daya bentuknya tetep mleok (bahasa kekinian letoy kali ya) dan jatuh-jatuh terus, gabisa berdiri. Oiya, saat itu kami beranggotakan El, Jerry, Hanif, Moni, Wahyu, Gerry, Wulan, Gaby, Afiq, Yandi, Isti, Deddy, dan aku sendiri.

Kalau diingat-ingat, sifat kami berempat saat itu (Afiq, Yandi, Isti, aku) berbeda sekali dengan saat sekarang. Afiq masih pendiam, sibuk dengan mie dan tas kariernya yang gabisa berdiri juga gabisa ditutup, aneh. Yandi yang sering sibuk sendiri dan dengan apes tas pinjeman dari toko persewaan alat runtuh, bagian cangklongannya putus. Isti yang Palapsi banget dan ngobrol kesana-kemari dengan semua kakak tingkat. Dan aku sendiri duduk diam dengan pendiamnya (sifat menetap hingga sekarang) mengutak-atik tas carrier. Kalau Wulan dan Gaby kayaknya ga terlalu banyak berubah, Wulan yang ramah ngobrol nimbrung dengan Isti dan Wahyu, sedangkan Gaby yang unik sibuk dengan kameranya mengabadikan momen-momen operasional pertama itu.

Jam 11an, kami pun pemanasan di teras rumah. Meskipun saat itu hari sedang panas-panasnya. Alhasil belum apa-apa tapi keringat sudah menyelip disana-sini. Tas Yandi sudah di rescue oleh Jerry yang nampaknya memang ahli menjahit. Kami berjalan. Aku mendapat amanah untuk mencari titik pertama. Ya, dalam operasional tiap-tiap orang mendapat tanggung jawab untuk mencari sebuah titik dalam peta. Aku giliran pertama. Padahal tidak seperti yang lain, aku benar-benar buta masalah peta, gunung, dan hutan. Bahkan jalur pendakian di mana pun aku tak tahu.

Aku pun bergegas ke rumah warga di daerah Balerante itu, bertanya ke mana arah untuk naik. Beliau berbaik hati dan menunjukkan jalan. Beberapa kakak tingkat tertawa. Masa bodoh lah. Walaupun cukup konyol juga karena jalannya uda ketok melok-melok (keliatan jelas). Aku menaiki trek yang masih landai. Sesekali kami berhenti untuk belajar orientasi medan. Aku yang saat itu dipandu Moni hanya bisa mengangguk-angguk tak paham ketika ia menjelaskan. Maklum, prosesorku gampang ngelag.

Aku pun berjalan, bahkan hampir berlari hanya karena ingin sesegera mungkin mendapatkan titik. Yang penting penderitaan ini segera berakhir, pikirku saat itu. Keringatku mengucur deras. Awalnya menetes dari dahi perlahan-lahan, kemudian merembes dari berbagai sudut bahkan lenganku pun basah oleh keringat. Saat kami berjalan, ada rombongan motorcross yang menaiki medan itu. Aih geberan motornya yang membahana, tak lupa meninggalkan jejak berupa asap berwarna putih. Jejak tersebut mengepung kami dan dengan perlahan menembus pertahanan tubuh sehingga dengan leluasa menelusup ke dalam tubuh kami. Sesak. Apes, meski sudah keren-keren dengan motor itu ada beberapa yang kepleset tak jauh dari tempat kami berdiri. Rasain tuh.

Sekitar pukul 13.00 kami sudah sampai di titikku. Kami harus mengecek yang meyakinkan kakak tingkat bahwa tempat ini benar sesuai dengan yang ada di peta. Yap, berhasil! Akhirnya siksaan tanggung jawab usai sudah. Kami snacking dulu. Ternyata tim gunung jarang sekali makan siang karena menghabiskan banyak waktu, ribet, dan mendinginkan tubuh yang telah beradaptasi.

Tak lama setelah itu, kami bergegas menuju titik dua, Isti dan Wahyu. Enaknya kalo uda dapet titik tu ya cuman ngikut dengan leader aja. Selow gitu lho. Aku tak ingat betul gimana Isti dapet titiknya karena kami nyasar mulu. Kurang lebih pukul 16.00 Isti sudah nemu titiknya berdua dengan Wahyu sedangkan Gaby, Yandi, dan aku malah bercengkrama di pinggir punggungan. Dirasa sudah sore, Moni sebagai PO pun memutuskan untuk mengakhiri pencarian titik hari itu dan kami pun mendirikan tenda tak jauh dari titik Isti.

Kami mendirikan 3 buah tenda yang ukurannya masing-masing (harusnya) 5 orang, 4 orang, dan 6 orang. Yah, jadi agak mepet-mepet karena ditambah tas carrier di dalamnya. Acara malam diisi dengan masak-masak dan bercengkrama. Ada maksud untuk membuat api unggun. Tapi karena takut api nanti melalap tidak hanya kayu bakar, dengan cekatan Afiq mematikan api yang baru dibuat itu. Dengan air minum. Dengan merk Nestle.

Air adalah komoditas langka di gunung, terutama gunung Pulau Jawa karena jarang ditemui sumber air di area tersebut. Salah satu perencanaan yang paling penting dalam pendakian adalah perencanaan air. Maka dari itu penggunaannya dihemat dan digunakan dengan sebagaimana mestinya. Bukan untuk mematikan api. Yah paling engga liat-liat merknya gitu lho -___-

Hari sudah malam, kami pun tidur.

Suara motor menderu-deru membangunkan kami dari lelapnya mimpi. Ternyata kami berkemah tepat di tepi "jalan raya" sehingga mau tidak mau kami menanggapi sapaan warga ketika ada yang melewati jalan itu. Seusai masak dan packing, kami pun berangkat lagi. Titik Yandi.

Titik Yandi cukup rumit karena berada di bentukan yang rapat. Kami sempat melewati sungai yang kering, naik ke punggungan satu, turun di punggungan yang lain, begitu seterusnya. Ketika sudah yakin bahwa punggungan yang dimaksud adalah yang kami pijak, dengan mantap kami melangkah. Mendaki.

Panjang. Perjalanan cukup melelahkan karena kontur yang terus menanjak dan belum ada jalurnya. Beberapa kali kami beristirahat untuk mengembalikan tenaga. Mau tidak mau, Mas El turun tangan membukakan jalur untuk kami semua. Imbasnya, tim belakang harus menggotong tas karier Mas El. Kabut perlahan turun. Aku dan beberapa anak baru tertinggal di belakang. Sunyi. Tidak ada satu pun dari kami yang punya kemampuan untuk mencari jalan pulang. Tim belakang pun nampaknya telah tertinggal jauh. Kami hanya bisa melangkah. Terus melangkah. Berdoa agar tim depan tetap berada di punggungan ini.

Kurang lebih pukul 14.30, akhirnya kami mendapatkan titik yang dimaksud. Alhamdulillah. Yandi memang punya skill yang tinggi, jauh jika dibandingkan denganku saat itu maupun saat ini. Kami beristirahat sejenak. Setelah tenaga terkumpul, kami turun punggungan dan bermaksud menuju titik Afiq dan Wulan. Kami mencoba secepat mungkin, sebelum matahari turun.

17.00, kami sampai di titik Afiq dan Wulan (nampaknya kalau tidak salah ingat). Karena hari sudah hampir gelap, titik Gaby pun dicancel dan kami bergegas menuju basecamp. Ritme jalan kami cukup cepat untuk mengejar tempat itu sebelum senja berakhir. Rintik hujan seakan tidak rela kami pergi. Ia menyelimuti kami dari waktu ke waktu pada saat perjalanan pulang ini. Entah karena stamina yang terkuras atau hujan yang menderu, Deddy dan Gaby terpisah dari rombongan kami di tim depan.

Kami berputar-putar mencari mereka. Tak ketemu. Kami kode dengan peluit. Tak ada jawaban. Memang tim belakang juga cukup jauh, jadi kami berharap agar mereka bertemu dengan tim belakang. Kami melanjutkan perjalanan pulang. Tiba di basecamp, rupanya belum ada tanda-tanda kehidupan dari mereka. Akhirnya Hanif, Gerry, dan aku kembali naik. Mencari.

Gerry dengan sepenuh tenaga naik dan berusaha membabat habis tempat-tempat yang bisa jadi kemungkinan untuk nyasar. Aku yang sudah kehabisan tenaga akhirnya mengusulkan ide untuk menelepon saja. Ia masih bersikeras, usulku ditolak. Tetapi karena alasan logis dan didukung Hanif, akhirnya kami berhenti untuk menelepon.

Satu demi satu kami kontak namun nihil, tak ada jawaban. Untungnya handphone Mas El aktif, dan mujurnya lagi dua orang itu uda ada satu rombongan dengan tim. Kami menarik nafas lega dan bergegas turun menuju basecamp. Tak lama kemudian, rombongan tim yang lain pun menyusul. Rupanya dua orang yang kami kira nyasar itu, memang nyasar beneran. Beruntung tim yang lain bertemu dengan mereka.

Lelah. Stamina terkuras. Seakan berperan sebagai dewa penyelamat, mas yang punya rumah pun menawarkan makanan untuk kami. Kontan saja kami terima dan dengan lahap kami menyantap makanan lezat yang dimasak menggunakan tungku. Kami makan bersama tim PPM yang saat itu didampingi oleh Diyan dan Wikan.

Aku kurang ingat jam berapa kami pulang, mungkin sekitaran jam 8 - jam 9, yang kuingat hanya gelapnya malam dan rasa kantuk yang terus menyerang. Hujan yang tadi sempat berhenti lama kemudian datang lagi, mengantarkan kepulangan kami. Kali ini jauh lebih deras. Di bawah hujan yang menderu, aku mengimpikan nikmatnya tempat tidur yang empuk dan minuman hangat.

Percakapan Sambil Lalu

Percakapan Sambil Lalu
Y : ayo nggra masuk ke departemenku?
A : hah? ada apaan emangnya?
Y : ada akuu!!
A : hmmm..
Y : kamu gamau apa balik ke organisasi?
A : bukan gitu..
Y : terus?
A : bohong banget kalo aku gamau atau ga tertarik dengan
      departemenmu. tapi saat ini masih ada yang kukejar, dan aku
      takut untuk setengah-setengah.

Sulawesi... 

Ujian Iman Berupa Tas Carrier

Ujian Iman Berupa Tas Carrier
Ada kalanya harta itu menjadi ujian bagi seorang manusia...

Belum lama ini aku mencuci tas carrier yang telah setia menemani dalam berbagai kegiatan. Bagi yang belum familiar dengan istilah tas carrier, ia biasa disebut dengan sebutan tas gunung. Aku tidak pernah mencuci tas carrier itu seluruhnya. Ribet. Makanya paling cuman di bagian yang kotor aja biar tetep kelihatan mengkilap.

Cerita tentang tas gunungku ini bermula ketika aku masih SMA tingkat akhir, hampir ujian nasional. Saat itu aku, yang telah berhenti jualan pulsa, tertarik untuk membeli tas carrier dengan dana jualanku itu. Milih-milih. Cari referensi. Cari backsystem yang bagus. Setelah pencarian sekian minggu, pilihanku jatuh pada sebuah carrier impor lisensi Jerman yang harganya memang menguras kantong. Aku memesan tas tersebut di Jakarta yang tidak lama kemudian telah ada di tanganku. Carrier idaman.

Carrier cakep itu pun aku taruh di dalam lemari. Di tempat yang paling aman dari debu, kotoran, maupun sinar matahari. Aku ingin tas ini berguna dengan performa terbaik ketika berlaga di alam bebas. Keinginan yang tak pernah terwujud.

Beberapa kali teman-teman dari SMA, yang mayoritas hobi naik gunung, mengajakku untuk melakukan pendakian. Aku selalu mengiyakan. Masalahnya, tas yang mana? Aku pun beberapa kali mengeluarkan carrier dari tempat penyimpanannya. Coba disetting. Bercermin. Melihat gayaku dengan tas yang berwarna hitam-titanium itu. Ah eman-eman nek dinggo mung nang kono (ah sayang kalo dipakai cuma di situ), pikirku saat itu. Maka dari itu aku tidak pernah, tidak pernah sekalipun menggunakan tas carrier anggun yang satu ini selama aku SMA.

Beranjak ke masa kuliah, keinginan naik gunungku pun meredup. Carrier yang semula ku banggakan hanya menjadi seonggok barang tak berguna di sudut lemari. Aih memang begitulah harta. Ada kalanya kita terlalu sayang dengan harta kita sehingga tidak ingin menggunakannya. Atau malah kita menghabiskan waktu hanya untuk "menjaga" agar harta tersebut "baik-baik saja". Bisa jadi bukan kita yang memiliki harta itu, tapi harta itulah yang memiliki diri kita seutuhnya. Akulah salah satu korbannya.

Kurang lebih 12 bulan yang lalu, akhirnya aku merelakan tas carrier impor idamanku ini. Saat itu "terpaksa" karena aku mengikuti Follow Up Diklat Palapsi dan aku berada di Divisi Gunung. Ga harus punya carrier memang. Tetapi pinjem carrier tiap minggu agaknya cukup merepotkan juga. Apesnya (atau untungnya?) saat itu aku tidak ada uang untuk membeli tas carrier baru. Mau minta orang tua, ga enak. Mau nilep uang SPP, dosa. Mau ambil dari uang jajan, uda habis buat bantingan operasional. Akhirnya aku mengambil "jalan terakhir", menjual tas carrier impor nan elegan. Melepasnya dari rengkuhanku.

Carrier asal Jerman itu pun laku, dan aku membeli carrier yang kumiliki saat ini dengan dana kurang dari sepertiga hasil penjualan carrierku yang pertama. Carrier yang baru ini sangat murah, konsekuensinya kenyamanan dan merk memang ku kesampingkan. Bahkan ukurannya berapa liter saja aku tak paham. Yang kutahu dia bisa dipakai dan aku tidak eman-eman untuk menggunakannya dalam kegiatan di semua jenis medan.

Sekedar informasi, tulisanku ini memang tidak penting bagi kamu yang sedang membaca. Tapi kalau kamu uda sampai di bagian ini, berbahagialah karena tulisan ini hampir selesai. Yang penting carrierku masih bisa dipakai sampai saat ini. Sedikit banyak aku bersyukur karena "harta" yang kumiliki memang bukan yang terbaik, tetapi ia berdaya guna. Idealnya memang yang terbaik dan berdaya guna. Tetapi apalah arti terbaik jika ianya tidak berdaya guna sama sekali.

Kisah Singkat Cangkirku dan Pilihan Anda

Kisah Singkat Cangkirku dan Pilihan Anda

Sebuah tulisan untuk tugas Psikologi Kesehatan Mental..
Mengenai diriku kemarin, hari ini, dan yang akan datang...

Dan secangkir jahe instan hangat telah duduk dengan nyaman di atas meja belajarku. Ia menanti diriku yang sedang berkutat menghadapi tumpukan tugas dengan setia, tanpa beranjak sedikit pun dari sudut meja yang sepi. Aku pun termenung. Samar-samar terpantul bayangan diriku dari cangkir yang masih mengepul. Hmm, jikalau cangkir punya mata pasti dia sedang menatapku, menatapku yang sedari tadi hanya memandang layar laptop tanpa pernah menghiraukannya.

Kuamati lagi diriku melalui cangkir dan aku pun teringat ketidaksukaanku terhadap cermin. Ya, aku tidak suka dengan pantulan diriku yang ada di cermin. Bukan benci, tapi memang sejak dulu aku tidak pernah suka untuk bercermin dimana pun aku berada. Aku merasa malu terhadap diriku. Orang mungkin mengatakan penghargaan diriku terhadap diri sendiri kurang, ada pula yang berkomentar bahwa diriku terlalu merendah. Yah memang seperti itulah aku, rasa rendah diri yang ada pada diriku ini telah bercokol sekian lama dan memang aku pun nyaman-nyaman saja dengan hal itu. Aku hanya takut jika rasa ini kucabut hingga akar-akarnya, yang tersisa hanyalah kesombongan dan keangkuhan diri yang sulit untuk dikendalikan.

Sebagai efek lanjutan dari kurangnya rasa penghargaan diri, banyak hal-hal kecil yang mungkin tidak memberi dampak stres bagi orang lain tetapi memberi andil terhadap stres dalam diriku. Tetapi masih bisa diatasi dengan metode positive thinking yang selama ini aku pelajari kerena intensitas pemicu stres yang sering datang. Setiap ada pemicu stres hendak berkunjung, aku memberi konsep kepada sistem mentalku “keep calm and hakuna matata”. Hakuna matata adalah istilah dalam sebuah film yang mirip artinya dengan carpe diem, atau nikmatilah hidupmu sepenuhnya.

Seiring mengalirnya tulisan, aku yakin orang yang membacanya tidak merasa ini tulisan yang penting untuk disimak. Aku tahu akan hal ini karena Sang Cangkir pun telah kehabisan uapnya, kehabisan semangatnya untuk memperhatikanku. Anganku pun terbang, membayangkan diriku di masa depan. Akankah aku tetap rendah diri? Mungkin. Apakah aku tetap akan mudah tertekan? Mungkin. Bisakah aku menikmati hidupku nanti? Untuk yang satu ini aku jawab harus bisa.

Aku memiliki banyak impian muluk-muluk dan tak masuk akal yang aku pajang di tembok kamarku. Inti dari sekian banyak mimpi ini adalah aku ingin menikmati hidup. Hidupku sekarang sudah nikmat, tapi aku yakin hidupku esok hari akan lebih nikmat dan lebih nikmat dan begitu seterusnya. Banyak orang telah mengorbankan kenikmatan selagi berjuang meraih tujuan. Jadi mengapa kita tidak menikmati kehidupan sembari mengejar mimpi?

Well, tugasku adalah menuliskan diriku sekarang dan esok, tapi mengapa isinya ngelantur begini? Hmm, seingatku tidak ada ketentuan yang mengharuskan aku menuliskan aspek-aspek tertentu. Dan kalau pun penilai membaca tulisan ini tidak jelas dan tidak karuan, itulah yang ingin kusampaikan mengenai betapa tidak jelasnya gambaran diriku di kemudian hari. 

Kuraih cangkir yang mulai dingin dan kuteguk sebagian dari isinya. Kubiarkan cairan jahe mengalir melewati kerongkonganku dan menghentak kerja otakku. Jika memang tugasku adalah menuliskan bagaimana diriku nantinya, aku hanya berharap masih bisa bertemu dengan esok hari, bertegur sapa denganmu siapa pun kamu yang sedang membaca tulisan ini, bercengkrama bersama matahari, menikmati secangkir jahe hangat, mendengarkan alunan lagu, bertemu dengan orang-orang yang aku sayangi, dan beristirahat lagi berselimutkan malam hari.

Kuteguk lagi sisa cairan yang ada di dalam cangkir, kali ini sampai habis. Kupandang layar laptopku dan kusadari tulisan amburadulku ini sudah lebih dari satu halaman. Kuputuskan untuk tidak menyiksamu lebih lama lagi. Sembari memikirkan kata penutup, aku memejamkan mata. Tanpa sengaja kudengar jarum jam berdetak dengan suaranya yang khas. Kunikmati sambil menarik nafas dalam-dalam Terkadang aku lupa betapa nikmatnya tiap detik yang telah diberikan padaku. Bahkan tiap detik itu kuisi dengan berbagai keluhan karena kehabisan waktu saat beraktivitas. Esok hari adalah gambaran yang abstrak, tetapi apa pun yang terjadi ya nikmati saja tiap-tiap detiknya. Tik tok tik tok...

NB: membaca tulisan ini sampai akhir bukan kewajiban, melainkan pilihan Anda. Terimakasih