Padusan Merapi (15-16 Juli 2012) 1 : #PrayFor33

Percaya tidak percaya, ini adalah tulisan yang sebenarnya hendak saya publikasikan di tahun 2012. Akan tetapi berhubung ceritanya panjang, saya pun tak sempat melanjutkan tulisan. Akhir tahun 2016, saya mereview ulang blog dan kemudian menemukan tulisan ini. Belum tuntas, hanya setengah jadi saja. Oleh karena itu, tulisan ini akan saya lanjutkan namun dibagi menjadi 3 chapter. Kenapa harus 3 chapter? Tidak ada alasan spesifik, hanya soal kenyamanan saja. Saya yakin pembaca dan diri saya sendiri tidak terlalu suka tulisan yang terlalu panjang dan ngalor ngidul. Maka dari itu, ngalor ngidulnya tidak saya jadikan satu, melainkan tiga.

* * * * *

"Pak, ayo munggah merapi." sms dari Mada, yang biasanya dipanggil Gakroso, hinggap di nokia 101 ku. Lho kok dipanggil 'Pak' sih? Ya itu semacam cara manggil aja di angkatanku SMA, istilahnya kayak pake kata 'Bro' dan sebagainya gitu.

Hmmm, iya ya uda lama juga aku ga mendaki bareng anak-anak SMA. Sebenernya mereka sering ngadain pendakian gitu tapi karena kesibukanku sebagai akademisi di kampus yauda aku biasanya nitip salam aja. Wah tapi uda sebulan lebih ga nggerakin badan nih, gimana ya? Well, setelah 'Menuju Puncak Kenikmatan Nan Barokah Di Negeri Pasundan' (FUD), aku 'balas dendam' dengan males-malesan dan nyantai-nyantai. Tapi ajakan ini akhirnya kuiyakan mengingat aku belum pernah muncak Merapi.
Gakros
Singkat cerita, 14 Juli terkumpullah lima orang lainnya yaitu Yoga  (Kanji), Ridhwan (Ibeng), Tito (Toyo), Mahfudz (Samcong), dan Yodha (Kombir). Pendakian ini tadinya nyaris ga jadi, setelah Gakroso kesleo dirumahnya. Tapi karena lemahnya alibi dan engga ada saksi, alasan itu gabisa diterima yang lainnya.
Kanji

Pendakian Merapi ini semacam nostalgia, sebelumnya dua tahun lalu kami pernah berkunjung ke Merapi dengan personil yang berbeda. Saat itu adalah pendakian pertamaku, tapi karena keterbatasan stamina aku gagal muncak. Bagi Gakroso sendiri, pendakian Merapi ibarat padusan atau ritual membersihkan diri yang biasa dilakukan sebelum memasuki bulan Ramadhan. Dan aku nulis ini bukan sebagai catatan perjalanan yang ditujukan buat 'membantu' penikmat alam lainnya, tapi cuma untuk pengingat momen-momenku saat di Merapi aja.
Ibeng

15 Juli, kami janjian kumpul di Angkringan UII di Jl. Kahar Muzakir. Ibeng yang rumahnya gak jauh dari rumahku berniat datang tepat waktu, jam 10. Yah sekalian aja aku nebeng. Waktu SMA dulu, ada istilah Waktu Indonesia Bagian Namche, yang maksudnya anak Namche itu punya 'jam'nya sendiri yang akibatnya molor ga tanggung-tanggung. Aku dan Ibeng jelas datang paling awal karena tepat waktu, disusul Kanji jam 11.00, Gakroso dan Kombir yang aku gatau jam berapa mereka datang karena aku lagi belanja bekal, serta Toyo yang datang jam 14.00...hanya dengan pakaian, motor, dan tas slempang isi rokok.
Toyo
Setelah menyiapkan berbagai bekal dan nyewa peralatan, kami berangkat tepat setelah sholat Ashar. Perjalanan menuju Selo yang panjang dan berkelok-kelok seakan tak terasa karena dihibur dengan pemandangan indah yang disajiikan oleh Merapi dan alam di sekitarnya. Kami sempat mampir makan di warung pinggir jalan karena dorongan cairan lambung yang menggerus keyakinan kami untuk makan di basecamp Selo.
Samcong
Perjalanan pun berlanjut. Sebelum basecamp, trek menanjak lurus menghadang kami. Aku yang saat itu berboncengan dengan Gakros di atas motor Ibeng pun mulai was-was karena muncul tanda-tanda engga kuat. Benar saja, beberapa meter sebelum basecamp aku harus melompat dari motor karena tidak kuat menarik beban kita berdua. Haha. Kami pun sampai di basecamp sebelum Maghrib.
Kombir
Apes. Itulah yang dapat aku katakan. Saat itu warga sekitar melihat asap hitam mengepul dari arah Gunung Merapi dan mereka pun berkumpul di sepanjang jalan dekat basecamp untuk mengamati keadaan Merapi. Mereka belum yakin apakah itu awan panas atau apa. Parahnya di saat yang sama ada pendaki yang mengalami kecelakaan di atas sana. Rumornya adalah terjatuh di tempat yang kurang nyaman sehingga mengalami luka-luka. Tapi dia masih bisa jalan kok ,walaupun pelan. Tetap saja kejadian itu sudah cukup membuat suasana mencekam. Meskipun awan tadi dipastikan hasil dari guguran lava, para warga tidak ingin kami mengambil resiko untuk melanjutkan perjalanan. Walhasil, kami pun beristirahat di basecamp hingga waktu yang belum ditentukan.
Saya


Salah satu prosedur keamanan yang wajib kami lakukan sebelum pendakian adalah memberi kabar kepada rekan-rekan kami di basecamp atau di jogja. Meskipun kami tidak mengharap celaka, namun pencegahan selalu lebih baik bukan? Begitu pun saat itu, banyak rekan yang tahu bahwa kami melakukan pendakian ke Gunung Merapi. Ternyata di berbagai berita muncul kabar terkait kondisi Gunung Merapi yang menampakkan aktivitas dapur magmanya.

Kondisi kami saat itu membuat khawatir teman-teman di Jogja. Berhubung saat itu media sosial paling tenar adalah Twitter, sontak saja twit dengan hashtag #PrayFor33 bertebaran di timeline kami. Angka 33 yang menunjukkan angkatan sispala kami, meski tak semuanya anak pecinta alam, menjadi viral di berbagai angkatan.

Ada kakak kelas yang mencoba menghubungi kami via telepon namun gagal. Ada adik kelas yang mengontak basecamp Gunung Merapi namun tak dapat terhubung. Ada pula senior kami yang menyiagakan tim penyelamatan apabila skenario terburuk terjadi. Di saat bersamaan, kami, yang tak tahu kekhawatiran rekan-rekan di Jogja karena keterbatasan sinyal, sedang menikmati cemilan yang dibawa masing-masing dan asik bermain kartu remi.
Rekan-rekan di Jogja sedang panik
Kami yang sampai di basecamp kurang lebih pukul 18.00, telah menghabiskan 4 jam foto-foto di basecamp, ngemil, dan main kartu. Lama kelamaan bosan juga karena Samcong hampir selalu kalah, Toyo hampir selalu menang, dan Gakros hampir selalu tak kelihatan batang hidungnya, entah hilang ke mana. Dirundung kebosanan yang menjemukan, muncul wacana untuk mendaki Gunung Merbabu. Masalahnya tak ada satu pun dari kami yang berpengalaman via jalur Selo, bahkan basecampnya dimana saja kami tak tahu (bahkan itu adalah kali pertama saya tahu bahwa Merbabu bisa dicapai via Selo). Gakros pun mencoba menghubungi rekan-rekannya yang sebagian besar adalah juru kunci gunung ataupun pendaki veteran.

Tengah malam tiba, namun ijin untuk mendaki tak kunjung didapat. Kecewa, pasti. Akhirnya kami memutuskan untuk mendaki Gunung Merbabu keesokan hari meskipun tak ada yang tahu jalur. Sudahlah yang penting kita bersama, hambatan menghadang hadapi penuh kesabaran. Kami pun memutuskan untuk segera tidur.
Previous
Next Post »
0 Komentar

POST A COMMENT