Kisah Hutan Rimba : Ini Tentang Pemuja Rahasia

"...ku tak pernah berharap kau kan merindukan keberadaanku, yang menyedihkan ini..."

Nama anak itu adalah San. Seorang pelajar biasa yang berusaha menempuh hidup menerjang halang rintangan membentang. Lebat tanaman dan ramai lolongan binatang menemaninya ketika ia berada di rumah. Berbagai macam tanaman tumbuh subur di hutan tersebut sehingga memayungi kisah hidupnya yang demikian gersang. Berbagai macam binatang juga lalu lalang di sekitarnya tanpa mampu menyerang anak itu. Taring tajam, lidah terjuntai dan tanpa henti membuka mulut disangka cukup untuk menggertaknya. Mereka hanya menanti di balik punggung, bersiap menerjang kala si anak lengah ataupun bimbang.

Ini adalah hal yang dilematis. Ianya adalah kisah, namun di saat bersamaan juga bukan kisah. Hanya curahan pemikiran yang dibalut dengan analogi dan metafor, namun tak hingga sandi khusus ataupun anagram. Sang anak memang gemar berkisah, meskipun ia tak punya sahabat untuk berbagi resah. Pikirannya tajam, namun ia tahu bahwa lidah yang tak dijaga mampu mengalahkan ketajaman otaknya. Pilihan untuk menjauh dari pawiyatan dan menghabiskan waktu di hutan adalah usaha untuk mengolah perkataan, perasaan, serta perbuatannya agar lebih terjaga.

Orang bijak pernah berujar bahwa seseorang bisa menimba ilmu di samudera pengetahuan. Ya, samudera. Sebuah setting biru yang dihuni berbagai macam kehidupan dengan trisula sebagai pusaka di dalamnya. Tetapi ini tak lagi bercerita terkait samudera. Ini soal hutan rimba. Tempat yang keras dan membutuhkan kesabaran yang tanpa batas.

Hutan itu bukannya tanpa penghuni manusia selain dirinya. Tetapi keberadaan hewan yang kejam dan beringas agaknya mengintimidasi orang-orang untuk menetap di dalamnya. Salah-salah malah bisa jadi hewan juga karena dikonsumsi hati dan jiwanya.

Dulu, ketika ia masih kecil. Manusia penghuni tinggal tidak jauh dari tempatnya. Tetapi tak lama. Si penghuni tersebut hanya tinggal untuk sementara. Menengok tempat untuk dijadikan tempatnya berlindung dari kerasnya kota. Si penghuni tersebut telah berkeluarga, dari keadaan yang tak punya apa-apa. Ketika itu kegiatannya menjual komoditas kebutuhan utama manusia. Oleh karenanya ia rutin menempuh jarak dari rimba ke kota.

Berkat kerja kerasnya ia menjadi saudagar yang mapan. Tak pantas lagi sang saudagar tinggal di hutan yang terbuang. Pergilah ia ke kota sebelah dan menetap di sana bersama keluarga. Si anak kecewa. Kehilangan sosok manusia, dan kehilangan seorang manusia...si kecil yang merenggut hatinya.

Musim demi musim berganti. Lebih dari enam kali pohon jati meranggas dan menumbuhkan dedaunan. Si anak telah berubah, namun tak berubah. Fisiknya berubah, tetapi hal "dalam"nya tak banyak kemajuan.

Di tengah padatnya aktivitas pawiyatan luhur, si anak beberapa kali memutuskan untuk bermalam di kota. Tempat yang penuh hingar bingar keramaian yang bahkan sulit dibedakan antara siang dan malam karena memang tak banyak bedanya. Memang hati biasa tinggal di tempat tanpa sekat ataupun batas, dirinya lebih suka berkelana menikmati suasana dibanding hanya diam di ruangannya.

"Lho, Kak San?"
"Eh, siapa ya?"
Dan sebuah lagu dari penyanyi kenamaan kota tersebut mendominasi momen yang hanya sekejapan mata itu...
Previous
Next Post »
0 Komentar

POST A COMMENT