Si Pasif Belajar Aktif

Si Pasif Belajar Aktif
"...dan percaya nggak percaya, jarang sekali ada hal yang bisa berubah *cling* dengan sekejap. Ada tahapan dan prosesnya dulu."

Entah teori dari bangsa ataupun perspektif apa. Asal muasalnya pun tak bisa dipertanggungjawabkan. Tetapi, saya percaya bahwa kegiatan berbahasa memiliki empat dimensi utama yang menunjangnya. Membaca. Mendengarkan. Menulis. Berbicara. Satu hingga empat. Pendapat oleh siapa, entah...saya percaya saja. Saya percaya adanya empat dimensi itu karena mengalaminya sendiri ketika belajar bahasa.

Bahasa yang saya maksud sebenarnya bukan bahasa asing, meskipun mungkin dapat berlaku pula untuk bahasa-bahasa itu. Akan tetapi dalam hal ini, bahasa tersebut adalah Bahasa Indonesia. "Ayo berbahasa dengan baik dan benar", banyak yang mengkampanyekan slogan seperti itu. Oke, silahkan. Tapi bahasa yang baik dan benar itu menurut siapa? Karena tidak ada "baik dan benar" yang mutlak bagi sebuah bahasa, bukan?

Menggelikan. Banyak pihak mencekoki generasi muda dengan dimensi satu dengan porsi paling banyak diikuti dengan dimensi dua tiga empat. Apa gunanya? Memang sumber daya dan informasi yang ada memang menunjang urutan itu, namun apa efektif? Kalau dipikir-pikir, satu dan dua itu cenderung pasif sedangkan tiga dan empat merupakan proses aktif. Bagaimana mungkin seseorang disulap menjadi aktif berbahasa dengan baik dan benar apabila dicekoki dengan hal-hal pasif?Menggelikan. 

Berdasarkan pengalaman, seseorang lihai berbahasa apabila memiliki porsi dengan urutan empat tiga dua satu. Sedangkan proses belajar apabila dikaitkan dengan teori psikologi cenderung ke arah dua empat satu tiga. Sebuah hal aneh jika ada pihak yang memaksakan pendapat dengan urutan kaku satu dua tiga empat.

Terlepas dari berbagai fenomena di atas, saya pribadi ingin berubah menjadi aktif setelah sekian lama hanya pasif. Berubah produktif dari yang dulunya konsumtif akan karya bahasa. Oleh karena itu saya belajar menulis dan berbicara sedikit demi sedikit. Proses pasif perlu, tetapi porsinya harus proporsional. Proporsional tak berarti sama rata, tetapi sesuai dengan kebutuhan. Tulisan saya jelek? Cara bicara saya belepotan? Gak peduli. Toh cepat atau lambat saya akan menghadapinya. Karena tidak semua hal bisa tiba-tiba "jadi" secara instan. Proses akan membuatnya jauh lebih lezat.

As You Walk On By, Will You Call My Name?

Hidup ini ibarat sebuah perjalanan. Begitulah kata banyak orang. Yap, perjalanan. Bisa jadi panjang ibarat berkunjung ke Argopuro via Baderan atau mungkin pendek seperti memuncaki Gunung Purba Nglanggeran, tiada yang tahu. Sebenarnya analogi tersebut engga selamanya pas juga sih, mengingat tujuan utama seorang petualang bukanlah mencapai puncak. Entah apapun "puncak" yang dimaksud itu, puncak gunung, akhir jeram, nge"top" tebing, atau apapun. Bukan "puncak" yang itu, tujuan utamanya adalah pulang. Pulang sampai ke rumah dengan selamat.

Perjalanan mencapai "puncak" itu pun tak ada yang tau waktu sesungguhnya. Ada yang mencapai "puncak" pendek namun membutuhkan waktu panjang, begitu pun sebaliknya. Dan terkadang setelah pulang pun ada perjalanan-perjalanan lain yang kita tak pernah tahu sebelumnya. Tak ada yang tahu bagaimana perjalanan itu sesungguhnya, mungkin berhenti di tengah jalan setelah ataupun sebelum mencapai "puncak".

Tak ada perjalanan yang dapat kita pahami kisahnya sebelum dilaksanakan. Kita hanya bisa merancang rencana berdasarkan berbagai gambaran yang ada. Persiapan dalam berbagai aspek pun tak jauh dari apa yang kita tahu sebelumnya. Tak ada yang tahu, tak ada yang pasti.

Perjalanan yang kita tempuh pun belum tentu perjalanan seorang diri. Pasti ada teman. Setidaknya ada rekan lain beda tim yang akan berjumpa dengan kita. Mungkin saja. Kemungkinan untuk keasyikan berinteraksi pun tidak tertutup. Kita nyaman dan bahagia dengan mereka. Tetapi sebuah perjalanan tetaplah perjalanan. Persimpangan jalan ataupun perbedaan "puncak" bisa memisahkan hubungan dinamika yang apik.

Hidup penuh dengan kemungkinan, begitu juga dengan perjalanan. Jika dalam perjalanan ini saya bertemu lagi denganmu apa yang akan terjadi? Tak ada yang tahu. Mungkin engkau telah bersama rekan lain, mungkin saya akan mengharapkanmu, mungkin kita ibarat orang tak kenal sama sekali, terlalu banyak kemungkinan.

Ketika pertemuan itu, seiring kaki kita melangkah semakin mendekat perlahan akankah engkau mau memanggil nama itu? Akankah kau melakukannya saat kita baru sebatas berpandangan? Ataukah ketika ketika jarak kita sepanjang lengan? Atau waktu wajah kita berpapasan? Atau mungkin kau tidak akan pernah memanggil, melewati diri ini sambil lalu tanpa menghiraukannya sedikit pun.

As you walk on by, will you call my name?
Tidak, saya tidak pernah tahu engkau akan memanggilnya atau tidak. 
As you walk on bywill you call my name?
Jika engkau panggil, pertemuan itu akan memiliki kisah yang bermakna dan mungkin berujung pada kebahagiaan.
As you walk on bywill you call my name?
Kalaupun tidak, saya harap kita tetap bahagia dalam jalan yang berbeda.


Kisah Hutan Rimba : Ini Tentang Pemuja Rahasia

Kisah Hutan Rimba : Ini Tentang Pemuja Rahasia
"...ku tak pernah berharap kau kan merindukan keberadaanku, yang menyedihkan ini..."

Nama anak itu adalah San. Seorang pelajar biasa yang berusaha menempuh hidup menerjang halang rintangan membentang. Lebat tanaman dan ramai lolongan binatang menemaninya ketika ia berada di rumah. Berbagai macam tanaman tumbuh subur di hutan tersebut sehingga memayungi kisah hidupnya yang demikian gersang. Berbagai macam binatang juga lalu lalang di sekitarnya tanpa mampu menyerang anak itu. Taring tajam, lidah terjuntai dan tanpa henti membuka mulut disangka cukup untuk menggertaknya. Mereka hanya menanti di balik punggung, bersiap menerjang kala si anak lengah ataupun bimbang.

Ini adalah hal yang dilematis. Ianya adalah kisah, namun di saat bersamaan juga bukan kisah. Hanya curahan pemikiran yang dibalut dengan analogi dan metafor, namun tak hingga sandi khusus ataupun anagram. Sang anak memang gemar berkisah, meskipun ia tak punya sahabat untuk berbagi resah. Pikirannya tajam, namun ia tahu bahwa lidah yang tak dijaga mampu mengalahkan ketajaman otaknya. Pilihan untuk menjauh dari pawiyatan dan menghabiskan waktu di hutan adalah usaha untuk mengolah perkataan, perasaan, serta perbuatannya agar lebih terjaga.

Orang bijak pernah berujar bahwa seseorang bisa menimba ilmu di samudera pengetahuan. Ya, samudera. Sebuah setting biru yang dihuni berbagai macam kehidupan dengan trisula sebagai pusaka di dalamnya. Tetapi ini tak lagi bercerita terkait samudera. Ini soal hutan rimba. Tempat yang keras dan membutuhkan kesabaran yang tanpa batas.

Hutan itu bukannya tanpa penghuni manusia selain dirinya. Tetapi keberadaan hewan yang kejam dan beringas agaknya mengintimidasi orang-orang untuk menetap di dalamnya. Salah-salah malah bisa jadi hewan juga karena dikonsumsi hati dan jiwanya.

Dulu, ketika ia masih kecil. Manusia penghuni tinggal tidak jauh dari tempatnya. Tetapi tak lama. Si penghuni tersebut hanya tinggal untuk sementara. Menengok tempat untuk dijadikan tempatnya berlindung dari kerasnya kota. Si penghuni tersebut telah berkeluarga, dari keadaan yang tak punya apa-apa. Ketika itu kegiatannya menjual komoditas kebutuhan utama manusia. Oleh karenanya ia rutin menempuh jarak dari rimba ke kota.

Berkat kerja kerasnya ia menjadi saudagar yang mapan. Tak pantas lagi sang saudagar tinggal di hutan yang terbuang. Pergilah ia ke kota sebelah dan menetap di sana bersama keluarga. Si anak kecewa. Kehilangan sosok manusia, dan kehilangan seorang manusia...si kecil yang merenggut hatinya.

Musim demi musim berganti. Lebih dari enam kali pohon jati meranggas dan menumbuhkan dedaunan. Si anak telah berubah, namun tak berubah. Fisiknya berubah, tetapi hal "dalam"nya tak banyak kemajuan.

Di tengah padatnya aktivitas pawiyatan luhur, si anak beberapa kali memutuskan untuk bermalam di kota. Tempat yang penuh hingar bingar keramaian yang bahkan sulit dibedakan antara siang dan malam karena memang tak banyak bedanya. Memang hati biasa tinggal di tempat tanpa sekat ataupun batas, dirinya lebih suka berkelana menikmati suasana dibanding hanya diam di ruangannya.

"Lho, Kak San?"
"Eh, siapa ya?"
Dan sebuah lagu dari penyanyi kenamaan kota tersebut mendominasi momen yang hanya sekejapan mata itu...

Sang Pemakan Impian (1)

Sang Pemakan Impian (1)
"Rumit? Tidak juga. Secara singkat, kalian hanya memiliki tiga pilihan. Menjadi predator. Kalah dengan predator. Atau berjuang sampai akhir hingga impian tercapai."

Semenjak beberapa tahun yang lalu, saya selalu berkeinginan menulis sesuatu yang terkait dengan tanggal cantik di Bulan Desember. Tetapi wacana tetaplah wacana. Meskipun rangkaian tulisan yang hendak ditulis relatif berbeda, namun ujungnya tetap sama. Nihil. Tahun 2014, tulisan yang ingin saya posting telah terangkai secara runtut di kepala. Tinggal ketik, namun apa daya ada saja yang terjadi.

Tulisan ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan Desember atau apapun yang biasa saya tulis, karena memang tulisan ini hanya berisi keisengan belaka. Buah dari ketidakaktifan menulis di blog selama beberapa saat.

Ketika saya SMA seorang guru pernah berkata di dalam kelas, "Tempat ini adalah tempatnya anak-anak cemerlang. Ada yang percaya?" Saya masih ingat betul bagaimana beliau membuka pertanyaan di dalam benak kami.

"Yakinlah. Semua anak di sini cemerlang dan memiliki impian yang membanggakan."
"Tetapi. Ada kalanya seorang anak menyerah dengan mimpi tersebut dan meninggalkannya," kami pun mulai tak paham dengan arah pembicaraan beliau.

"Karena tak mau sendiri, maka ia pun mengajak rekannya untuk ikut meninggalkan mimpi pribadinya. Kalau perlu dengan pemaksaan. Dialah predator impian."

Sekian tahun berada di masa putih abu-abu, sebagian waktu saya habis dimakan Sang Predator. Untungnya ketika injury time, saya mampu meluruskan kembali tonggak tujuan sehingga bisa berakhir bahagia.

Apakah kemudian saya bebas setelah lulus dari SMA? Awalnya saya pikir, YA. Tetapi itulah kesalahan terbesar saya. Ternyata TIDAK. Predator tersebut hanya semakin lihai memainkan kartunya, membuat seseorang terbuai dalam area nyamannya. Bahkan ada kalanya ia berasal dari lingkungan terdekat. Lengkaplah sudah syarat-syarat untuk memupuskan harapan. 

Pernahkah kamu memiliki impian, impian yang besar, sangat besar mungkin, kemudian kamu sampaikan ke orang lain? Gimana tanggapan yang diberikan oleh orang itu? Ada yang mendukung? Tentu ada. Tapi tak jarang pula orang menyanggah, mencibir, menghalangi, bahkan menjatuhkan. Iya kan? Beruntunglah engkau yang belum pernah merasakannya dan semoga tidak akan merasakannya.

Terus? Nyerah? Haha, apa enaknya? Apa nikmatnya hidup tanpa impian tanpa target tanpa tujuan? Tanpa itu semua hidup adalah sebuah rutinitas ibarat lagu dalam kaset yang diputar berulang ulang. Kita akan merasa lebih "hidup" jika ada sesuatu yang bernama "impian" bukan?