Posting pertama saya di tahun yang baru, berharap mendapatkan pengalaman bertualang lebih sering lagi dari tahun sebelumnya. Happy new year buat kamu dan semoga kesuksesan serta kelancaran dalam setiap aspek hidup selalu mendampingimu. Sejujurnya tulisan ini sudah dirintis sejak Desember 2015, namun berbagai hal terjadi sehingga terbengkalai (lagi) hingga saat ini. Selamat membaca.
Pendakian dimulai. Kami sadar waktu kami tak banyak. Merapi memang gunung yang memungkinkan untuk didaki "tektok", maksudnya mendaki kemudian turun di hari yang sama. Ini pendakian tektok yang tak direncanakan. Kami harus naik dan turun dalam kurun waktu tertentu, lebih cepat sampai bawah lebih baik mengingat cuaca Merapi yang tak menentu dan tak pernah tentu.
Tim melaju dengan cepat. Bahkan sebelum menyentuh pos 1, kami terbagi menjadi dua. Kanji, Gakros, dan saya ada di belakang. Bisa jadi karena isi tas kami yang terlampau penuh, atau juga teman-teman di depan yang berstamina "kewan". Sepertinya alasan pertama hanya berlaku bagi saya saja karena sebutan "kewan" sangat tepat untuk mendeskripsikan ketangguhan mereka dalam kegiatan pendakian sebelum ini.
"Gaak! Gaak!!" suara Toyo sayupsayup memanggil Gakros sebelum kami mencapai pos. Arah suaranya dari samping kiri, tapi tak tampak pergerakan mereka.
"
Ngopo? Nengdi we?" balas Kanji cepat, sadar bahwa mereka mengambil jalur yang tidak umum.
"
Iki arahe ngendi ya?" suara itu terdengar kembali, kini lebih dekat.
"
Tutno suaraku wae!" Gakros yang enggan menyusul tim yang tersesat kemudian mengambil langkah naik, menggunakan jalan yang benar.
"
Ngopo Gak?" tak disangka-sangka, muncul satu sosok di balik batu besar yang akan kami lewati. Samcong.
"
Lah kok kowe neng kene e Cong?" ujar Kanji, ada sedikit nada terkejut di dalamnya.
"
Mau aku ditinggal og, telo. Terus aku asal munggah wae."
"
Woi, nengdi do an kih?!"
Srek, srek, srek. Tiga pasang langkah kaki pun mendekati kami. "Kene, Gak," jawab Kombir singkat.
"
Kok iso tekan kono e?"
"
Ha Toyo ki sing milih dalan ra cetha tenan og," umpat Ibeng.
"
Lha ketoke dalane mung kuwi kok."
"
Wes, wes gek ayo wae. Selak awan," saya pun angkat suara sembari mengumpulkan tenaga dan nafas.
Pendakian Merapi memang tidak membutuhkan waktu banyak. Rata-rata 2-4 jam, pendaki sudah bisa mencapai Pasar Bubrah setelah melalui jalan menanjak dan berpasir serta berdebu akibat sisa abu vulkanik.
"
Jalur Kartini ki Gak?" tanya Kanji.
"
Ho o."
"
Do sipikan ae dab, aku tak leren. Ra kuat aku," rintih saya di tengah medan super nanjak dengan bebatuan vulkanik yang berfungsi sebagai pijakan.
"
Halah sithik meneh iki nanjake mungan," jawab Toyo.
"
Iyo, dhisikan ae. Kesel tenan dab," ucap saya dengan gaya rukuk, demi menarik oksigen lebih banyak ke dalam tubuh.
"
Yawes leren dhisik wae," Samcong pun iba melihat wajahku yang tak karuan. Merah legam, bercucuran keringat, serta nafas tak beraturan.
"
Ngemil sik po?" sahut Ibeng seraya meraih tasnya.
"
Ora sah, mlaku wae yo. Ning tak alon-alon ya."
Tanjakan berbatu telah sukses kami lewati hingga kami menemukan jalur landai sebelum Pasar Bubrah. Saya masih ingat betul, spot ini adalah titik penyesalan saya beberapa tahun lalu ketika mendaki Merapi untuk pertama kalinya. Saya menyerah di titik itu karena kelelahan, akhirnya saya dan seorang rekan mendirikan tenda di situ sedangkan yang lain lanjut summit attack. Kali ini pun saya juga tidak berkesempatan muncak. Pahit.
Anggota tim
nggeblas menuju Pasar Bubrah, karena memang areanya sudah dekat. Tinggal melewati satu punggungan saja. Tinggalah saya di belakang menapak perlahan ditemani Kanji. Meski jalur tidak semenanjak tadi, tetap saja fisik yang lemah ini tertatih-tatih. Alhamdulillah saya tidak terlalu banyak membuang waktu tim. Saya pun sampai ke monumen
in memoriam. Pasar Bubrah telah terlihat.
"
Ayo Pak, wes tekan," ujar Gakros menyemangati. Saya pun mengangguk saja.
Toyo langsung berlari ke arah area landai dan lapang tersebut, diikuti Kombir, dan Samcong. Kami berempat berjalan santai saja, menghemat tenaga. Kisaran pukul 11.30 kami sampai di Pasar Bubrah. Kami langsung menata matras untuk duduk, menyiapkan peralatan masak dan bahan-bahan masakan, serta mengeluarkan cemilan. Kombir dengan sigap menggelar ponco, yang kemudian ia gunakan untuk berbaring. Begitupun Toyo, ia mengeluarkan matras dari karier Gakros demi mendapatkan tempat tidur yang lebih nyaman di atas bebatuan.
"
Yo, masak yo."
"
Kokine ora kaya biasane wae pa?"
"
Sopo?"
"
Gakros karo Anggra kae."
"
Yowes ngono wae."
Saya hanya bisa menghela nafas ketika mendengar percakapan itu, namun sudahlah toh saya juga senang masak-masak kalau sedang pendakian. Bahan masakan yang tersedia saat itu hanya Indomie, beras, telur, dan sedikit sayur mayur. Sembari kami menyiapkan makanan dan ngemil roti, beberapa anggota memutuskan untuk berfoto-foto di tempat yang dominan warna putih ini.
"
Jane sithik meneh wes tekan lho iki. Gari munggah kono wae ta?" ujar Kombir.
"
Bahaya Mbir, sesuk meneh wae. Wong Merapi ra nengdi-nengdi," balas Kanji.
"
Yo rapopo kok Mbir munggah wae, wes tekan kene lho," sahut Ibeng memanas-manasi.
"
Iyo munggaho Mbir, tapi tak tunggu kene wae ya. Aku wes tau kok," Gakros tak mau kalah mengompori.
Sadar dipanas-panasi, Kombir pun mengurungkan niatnya.
"
Ah aku tekan kene wae wes seneng kok," ucap Toyo.
"
Sholat dhisik po?"
"
Ayo wae sih, mie ne wes rampung kok. Gari nunggu endhog wae," jawab saya.
Kemudian Gakros mengambil alih tugas perkokian dan mengeluarkan kemampuannya mengolah telur.
Hening. Sunyi. Tak ada sepatah kata pun yang terucap, tapi ratusan doa kami panjatkan. Demi diri sendiri, demi masa depan, demi keselamatan kami dalam pendakian.
Gakros shalat setelah kami usai dan menggunakan sarung yang dibawa Samcong. Kemudian kami pun menyantap makan siang yang kalau boleh jujur, terasa aneh di lidah dan ada sensasi berbeda akibat eksperimen Gakros ketika kami tinggal beribadah tadi. Meskipun sederhana dan rasanya tidak familiar, tetap saja terasa lezat karena dibumbui dengan kebersamaan dan cerita pengalaman masing-masing di dunia kuliah. Tidak lupa kami mengambil foto tim pendakian kali ini.
"
Ayo siap-siap mudhun."
"
Mager e, dab. Tak turu-turu sik," jawab Kombir.
"
Welha selak kesoren mengko tekan ngisor."
"
Mbok santai wae, mumpung wes tekan kene," tambah Toyo.
30 menit kemudian.
"
Yo mudhun yo, gek cepak-cepak."
"
Sesuk aku bakalane mbalik rene njuk menggapai puncakmu, kok Merapi. Tunggu aku."
Jam 3an kami memutuskan untuk turun agar sampai basecamp sebelum hari gelap. Sudah cukup lama kami bersantai-santai dan bercengkrama serta mengambil berbagai foto di Pasar Bubrah. Perjalanan kami mulai dengan pelan, enggan berpisah dengan pengalaman pendakian kali ini. Sampai di monumen
in memoriam, kami melihat pemandangan indah di depan kami. Akhirnya prosesi foto-foto pun tak terelakkan.
"
Ojo nganti kepisah lho ya, iki jalure beda karo sing mau." Kami berjalan turun menggunakan jalur alternatif, menghindari jalur biasa (Jalur Kartini) yang memiliki tanjakan terjal. Jauh lebih berdebu memang, tapi lebih landai dan yang penting bisa gaspol. Kami pun sampai di bangunan mirip pendopo sebelum Maghrib. Di sana kami bersantai, beradu hinaan dan meneguk air yang tersisa.
Kami sampai di New Selo jam 6 lebih. Hari sudah gelap, badan sudah lelah, namun kami bahagia. Rasa kecewa tak dapat mendaki kemarin terbayarkan, rasa rindu akan pendakian bersama sahabat pun terpuaskan.