After Credit: Agatha Christie - Murder in the Mews

Pada tulisan sebelumnya, saya telah mengutarakan untuk menargetkan mampu menyelesaikan sekurang-kurangnya 4 buku tiap tahunnya. Meskipun tahun 2017 tinggal 3,5 bulan lagi, keyakinan untuk memenuhi angka tersebut tetap teguh. Hari ini saya telah menyelesaikan sebuah buku karya Agatha Christie, Murder in the Mews. Masih ada 3 buku lagi, minimal, demi mengubah Indonesiaku. Satu buku tiap bulan. Semoga mampu tercapai.

Tulisan ini tidak akan mereview atau merangkum isi novel tersebut, karena teman-teman bisa melihat spoiler-nya di Google dengan fitur search, namun berfokus pada impresi yang muncul usai membaca novel tersebut.



Murder in the Mews sendiri terdiri dari 4 kisah berbeda, yaitu: Murder in the Mews, The Incredible Theft, Dead Man's Mirror, dan Triangle at Rhodes. Semua kisah tersebut menceritakan peristiwa yang dialami oleh Hercule Poirot, seorang detektif swasta berkebangsaan Belgia yang menjadi tokoh utama dalam hampir di setiap karya Agatha, serta bagaimana 'sel otak kelabu'nya bekerja untuk menyingkap tabir kasus yang menaungi tiap kisah tersebut. Novel ini mampu menangkap perhatian sang pembaca untuk fokus kepada tindak-tanduk Poirot yang unik, tidak lazim, dan terkadang mengesalkan tokoh-tokoh lainnya. Berbeda dengan detektif legenda yang mahir dalam ilmu forensik, Sherlock Holmes, Poirot menggarisbawahi analisis berdasarkan reaksi psikologis yang muncul pada tiap kasus tersebut.

Saya sungguh menggandrungi kisah-kisah detektif. Memang pembahasannya seringkali memunculkan sakit kepala, namun saya tidak bisa memungkiri bahwa kisah detektif adalah candu bagi otak saya. Meskipun analisis saya telah terlatih oleh bacaan-bacaan detektif lainnya, tetapi nyatanya saya masih 'gagal' dalam menebak alur tulisan Agatha ini. Di Murder in the Mews, hasil akhirnya tak terkira. Tidak ada clue yang saya temukan untuk membantu memecahkan kasus tersebut sebelum mencapai akhir cerita. The Incredible Theft, Agatha mengarahkan pembaca untuk mencurigai seorang wanita cantik sebagai pencuri, ternyata terungkap bahwa ia hanya agen negosiasi negara asing. Dead Man's Mirror, konklusi yang muncul cukup membingungkan karena tidak ada satu petunjuk pun yang dapat saya temui untuk mengarah pada pelaku sebenarnya. Bisa jadi karena saya kekurangan petunjuk visual, sebagai penunjuk yang konkret, karena hanya mengandalkan visualisasi dari tulisan yang ada. Kisah terakhir, Triangle at Rhodes, pada awalnya saya kira akan membosankan karena pelakunya telah tertebak di tengah cerita. Siapa sangka jika tokoh tersebut hanyalah komplotan pelaku utama pembunuhan dalam kisah ini.

Agatha sejak dahulu telah didapuk sebagai The Queen of Crime, dan saya makin mengerti mengapa nama tersebut sungguh melekat padanya. Balutan kisahnya penuh misteri dan memiliki 'lapisan-lapisan kenyataan', dimana meskipun kita mampu mengupas sebuah layer misteri itu, ternyata masih ada lapisan-lapisan yang membungkus kebenaran yang ada. Situasi seperti ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan realita di sekitar kita. Meskipun kita mampu menguak sebuah peristiwa, namun bisa jadi masih ada lapisan-lapisan lain yang tanpa diduga mengaburkan kita terhadap kebenaran hakiki.




Mendongkrak Peringkat Perilaku Literasi (Literacy Behavior) di Indonesia

Mendongkrak Peringkat Perilaku Literasi (Literacy Behavior) di Indonesia
Based on research (tentu saja yang saya temukan di internet),  seseorang pada umumnya mampu menyelesaikan 4 buku dalam waktu satu tahun. Masalahnya, angka ini adalah angka mean, alias rerata orang-orang dengan kultur dan motivasi membaca yang beragam. Artinya apabila di dalam suatu daerah di dunia memiliki angka rerata 8 buku per tahun, maka ada pula daerah lain yang masyarakatnya tidak menyelesaikan buku sama sekali dalam waktu satu tahun tersebut.

Saya, sebagai orang Indonesia, patut khawatir dengan diri saya sendiri.  Flood (2016) mengutarakan bahwa berdasarkan berbagai pertimbangan, Indonesia menempati urutan ke-60 di dunia dalam "Perilaku Membaca dan Dukungan Sumber Bacaan". Well, peringkat 60 sedunia tentu tidak buruk mengingat ada lebih dari 180 negara di dunia. 

Guess what? Peringkat 60 tersebut mampu kita dapatkan hanya dengan mengalahkan statistik dari satu negara saja. Dengan kata lain, hanya ada 61 negara yang menjadi sampel penelitian tersebut! Dengan kata lain dari sebelumnya, Indonesia mendapatkan peringkat nomor dua dari belakang dalam perilaku literasi. Hasil ini mengindikasikan bahwa angka 93% populasi Indonesia yang mampu baca tulis tak dibarengi dengan aktivitas membaca serta perilaku terkait literasi lainnya. Merujuk pada angka yang muncul pada awal tulisan, seandainya rerata tiap orang di dunia menyelesaikan 4 buku per tahunnya, maka rerata Indonesia bisa jadi kurang dari 3 buku tiap orang per tahunnya atau malah bahkan tak ada satu bukupun yang diselesaikan! 

Lalu apa? Memangnya kita bisa apa untuk mengubah Indonesia yang sebegini besarnya? Saya pun tak punya jawaban yang dapat menyelesaikan seluruh problemnya. Yang saya miliki hanyalah satu keyakinan sederhana: menyelesaikan lebih dari 4 buku tiap tahunnya untuk mendongkrak statistik perilaku literasi Indonesia. Lho, memangnya perubahan satu orang saja mampu meningkatkan angka rerata 250 juta orang lainnya? Tentu saja, meskipun hanya nol koma nol nol sekian. Saya percaya progress sekecil apapun dapat berpengaruh pada hasil akhirnya kelak. Memang, sembari membaca buku lebih banyak, perlu dicari solusi yang lebih besar dampaknya bagi khalayak umum. 

Yang jelas, daripada hanya menyalahkan keadaan dan kondisi orang-orang di sekitarmu, lebih baik kita melakukan sesuatu, bukan? Mulai dari yang kecil, mulai dari diri sendiri, mulai dari sekarang.

Yuk baca buku! 


Referensi
Flood, A. (2016). The Guardian. https://www.theguardian.com/books/2016/mar/11/finland-ranked-worlds-most-literate-nation Retrieved at 12 Sept 2017.

That Fear

That Fear
I. Am. Afraid.

Since I have been here, there is one thing that bugs me most of my time. It is abstract, and that is the main reason of its indestructibility. A form of an idea can not vanish without trace. While it disturbs me like an pop up tab in a web browser, it makes me awake and conscious. There is something wrong with the place I was born. 

And that fear comes true. Well, not suddenly comes true, but based on the prediction it has substantive and enormous probability to occur in the social environment. You might say that it is a product of fear, an anxious feeling of the future, and that might be true. However, I do not see any critical evidence that prove the opposite.

The country will have immense friction. It might not be a weaponised conflict, or not yet. It will start, and already started, with a technological "weapon". Few of us will start to debate something based on its identity. They (or we) will try to distinguish between correct and wrong, and most likely anyone that is having different vision from us will be labelled as "wrong".

Unfortunately, that was not the most scary thing that I feared the most. The thing is when we actually in the wrong side, we still prove our correctness by using the mass effect. Quantity over quality. The country that at a time was using "musyawarah mufakat" or discussion and compromise as a foundation to pursue decision, now debate over everything and try to prove individual superiority. The debate itself is useful at some point, but frequently the "wrong-that-debate-everything-based-on-personal-opinion-but-do-not-want-to-accept-defeat" will eventually attack the identity of the opposite side. And, the scariest thing is, it works.

Technology development and advancement is like a knife. For a chef, it is a significant equipment to create an art. For a murder, it is a weapon to kill - but well, everything could be a weapon for them, even chopstick or pencil. In regard to this analogy, there is an obvious major distinction between the two and several slight differences. One of that differences is to become a chef, someone will need a proper training and knowledge, while for the other it is not needed. Therefore, we need a large number of "chef trainer" to train the people to use the tool correctly in the safe way and indirectly minimise the probability of increasing number of murderer.

The First for Everything

The First for Everything
Being a newcomer could cause stirred feelings inside us. It is a fascinating, exciting, but confusing or even overwhelming circumstance. We can be enthusiastic, yet worried the outcome discouraging ourselves even more. 

The fear of doing something based on our own thoughts or consideration called mental block. Basically, it is a natural survival instinct to protect us from any potential risk which might be threatened ourselves. The lack of our understanding of the state, anxiousness, fearfulness, and the drive to be safe build a thick barrier that prevents crossing action. A frightening well-known nature we need to be wary of, mental block grows over time which implicitly means it will be harder to overcome.

We always have two options, face the mental block and cope with the horror or avoid the position and be safe in the comfort zone. While all of us know breaking the mental block is the only way to live comfortably, it is easier said than done. We may suggest others face the challenge, but hardly have the courage to solve our problems. Run and wish never deal with the terror is an intense tempting alternative but escaping problem will only suspend it from reoccurring again and again. Nevertheless, forcing ourselves to take a small step continuously to pass the barrier is a reasonable long-term solution.

Everything we can do was nil at the beginning. Our actual skill was only a potential at one point and will always be unless we boost ourselves. However, we can list abundant things now because of our previous effort. Trying something then failed is natural, but we never gave up. As an ordinary person, not a special snowflake, I kept telling myself that flunked on the first try is normal. Even so, a significant self-improvement should develop upon every failure.

A new condition might horrifying and escape from a potential risk element is a tempting alternative, yet dealing with the situation is the better -but more challenging- choice to overcome the problem. There always be the first time for everything. Giving up before even trying not only postpone individual's growth, but also the world's since its improvement totally depends on the people.

By the way, this is my first post in February.

Bertemu

Bertemu
Love, the burgeoning sector in young adulthood phase of human development, was the only important and interesting thing in the early third semester.  I tried to build a relationship after my ex dumped me all of a sudden in the first semester, but none succeeded. There was two or three candidate, but one was too bland while another frequently broached sensitive matters. I did not mention the others that did not have any interest with me. However, life must go on. I was a wanderer that looking for a peace.

She was the one. She, the one that ended our relationship before we even started, indirectly instilled her life principal to me. But she was the past, only a history. And I did not want to enlarge the wound that she made.

My mind wandered through the past. The ex, the girl that I liked, the girl that I secretly admired, and so on and so forth. The details of the situations were repeated like a record in my brain. It kept going on for days. I could not concentrate on the course (since when I even concentrate on one?). But, poof, suddenly they were gone. I saw you.

I found you, you the one that I saw in the public lecture. You that gave a strong first impression to me, but I could not find you anywhere I look. I was frozen for a while. You walked past me and sat on the back of the class. It was an Industrial and Organization Psychology class. Finally, I found you and I could jump for joy.

Wait, I did not know you, neither you were. What if she already had a boyfriend? What if she did not like me at all? What if, what if, what if. Okay, just go with the flow, I had to make it smooth and slow. Maybe, just a friend? Yes, moving on to "friend" from two strangers was the choice that I made. I wanted to know more about you but slowly, so nobody will get hurt.

I kept quietly watching you throughout the day.

Kita

Kita
It was the second semester. You rushed into the hall, afraid being late, to attend the public lecture. We never met before and I did not know you at all. I believe you had no idea who am I at that time. You captivated me in the first glance and that moment just stuck in my head all this time. For the next an hour and half during the lecture, I was searching the cheerful slender good-looking girl with a pair of pale pink glasses within the hall. I could not find you.

In my perspective, you did not know me and did not even bother to know me. Why should you know me? I won't give you any benefit. Did I give you enough impression to make you remember myself? The answer was certain, absolutely no. I kept thinking about it all day long. I did not know your name and I was too shy to ask somebody who probably knows. I smiled, trying to accept this situation, and treasured the moment about you.

We were so close, yet so far. I searched for you, but you did not realize being sought. It was not hide and seek, since you were not hiding, we just had a whole different world. I could not easily entered your world, while you never walked across my world. I would stalk you like a madman, but I did not know your name. Searching your account by your face was too hard since it will took abundant amount of time.

The "click" moment just happened once in this semester, when I saw you in the hall. I believe, if we really meant to be with each other, there will be another "click" moment . However, it did not occur in this 3 to 4 months. Well, I thought this is it then. I have to move on.

Premonition

Premonition
Have you ever been in a spine-tingling situation and the whole world tried to warn you before? And a moment after the situation you realized that the universe gave you signs to make you escape it? And then you realized that every choice you took could either save your life or turn it into an everlasting misery?

Well, I did.

I was in the middle of the way back trip after a thrilling adventure in a phenomenal cave. Unfortunately, my bike slipped. The driver of the bike jump off to the side, while I was thrown to the front. I cheated the accident and walked away without serious injury, but both of my knees got wounded. Still, if you witnessed the sound, the thrown distance, and the situation, you could say that both of us own tons of luck.

The interesting part is, I have a hunch that this accident is going to occur. However, I have no idea when, where, and how will it happen. As long as I remember, I saw the same community service ad for 3 to 4 times which tell us to make sure we wear the helmet correctly. It is odd. I rarely seat on the back when I ride motorcycle, but when I do I always enjoy the scenery and the surroundings. However, that ad message stuck in my head all day long. So, I always checked my helmet's safety. One choice that save my life.

Our team consisted of 4 member, including myself, which one of us had to carry a carrier bag. It filled with our equipment. Do not ask me how heavy was it. Firstly, I asked my junior to carry that bag, but she almost collapsed in the middle of the way. She got a headache and nausea, so we stopped at a shop and bought food. I can not grasp the cause of her sickness, was it from her body condition or the heaviness of the bag? Therefore, I decided to carry the bag along the way. Eventually, believe it or not, the bag is one of the factor that save me from severe back injury. When I was thrown away, the bag hit the road first then I rolled over and the bag was the one that stopped me from rolling any further. One choice may save your life, indeed.

I could speak the choices I took that kept me alive for day-and-night. But the thing is, every time you get a hunch about something, please think it over and be careful. It could be the world trying to warn you of the future. It could be the message from the universe for your own good. It could be an alternative that might save the life.

Padusan Merapi (15-16 Juli 2012) 3 : Tektok, Tiktok

Posting pertama saya di tahun yang baru, berharap mendapatkan pengalaman bertualang lebih sering lagi dari tahun sebelumnya. Happy new year buat kamu dan semoga kesuksesan serta kelancaran dalam setiap aspek hidup selalu mendampingimu. Sejujurnya tulisan ini sudah dirintis sejak Desember 2015, namun berbagai hal terjadi sehingga terbengkalai (lagi) hingga saat ini. Selamat membaca.

* * * * *

Pendakian dimulai. Kami sadar waktu kami tak banyak. Merapi memang gunung yang memungkinkan untuk didaki "tektok", maksudnya mendaki kemudian turun di hari yang sama. Ini pendakian tektok yang tak direncanakan. Kami harus naik dan turun dalam kurun waktu tertentu, lebih cepat sampai bawah lebih baik mengingat cuaca Merapi yang tak menentu dan tak pernah tentu.

Tim melaju dengan cepat. Bahkan sebelum menyentuh pos 1, kami terbagi menjadi dua. Kanji, Gakros, dan saya ada di belakang. Bisa jadi karena isi tas kami yang terlampau penuh, atau juga teman-teman di depan yang berstamina "kewan". Sepertinya alasan pertama hanya berlaku bagi saya saja karena sebutan "kewan" sangat tepat untuk mendeskripsikan ketangguhan mereka dalam kegiatan pendakian sebelum ini.

"Gaak! Gaak!!" suara Toyo sayupsayup memanggil Gakros sebelum kami mencapai pos. Arah suaranya dari samping kiri, tapi tak tampak pergerakan mereka.
"Ngopo? Nengdi we?" balas Kanji cepat, sadar bahwa mereka mengambil jalur yang tidak umum.
"Iki arahe ngendi ya?" suara itu terdengar kembali, kini lebih dekat.
"Tutno suaraku wae!" Gakros yang enggan menyusul tim yang tersesat kemudian mengambil langkah naik, menggunakan jalan yang benar.

"Ngopo Gak?" tak disangka-sangka, muncul satu sosok di balik batu besar yang akan kami lewati. Samcong.
"Lah kok kowe neng kene e Cong?" ujar Kanji, ada sedikit nada terkejut di dalamnya.
"Mau aku ditinggal og, telo. Terus aku asal munggah wae."
"Woi, nengdi do an kih?!"
Srek, srek, srek. Tiga pasang langkah kaki pun mendekati kami. "Kene, Gak," jawab Kombir singkat.
"Kok iso tekan kono e?"
"Ha Toyo ki sing milih dalan ra cetha tenan og," umpat Ibeng.
"Lha ketoke dalane mung kuwi kok."
"Wes, wes gek ayo wae. Selak awan," saya pun angkat suara sembari mengumpulkan tenaga dan nafas.

Pendakian Merapi memang tidak membutuhkan waktu banyak. Rata-rata 2-4 jam, pendaki sudah bisa mencapai Pasar Bubrah setelah melalui jalan menanjak dan berpasir serta berdebu akibat sisa abu vulkanik.

"Jalur Kartini ki Gak?" tanya Kanji.
"Ho o."
"Do sipikan ae dab, aku tak leren. Ra kuat aku," rintih saya di tengah medan super nanjak dengan bebatuan vulkanik yang berfungsi sebagai pijakan.
"Halah sithik meneh iki nanjake mungan," jawab Toyo.
"Iyo, dhisikan ae. Kesel tenan dab," ucap saya dengan gaya rukuk, demi menarik oksigen lebih banyak ke dalam tubuh.
"Yawes leren dhisik wae," Samcong pun iba melihat wajahku yang tak karuan. Merah legam, bercucuran keringat, serta nafas tak beraturan.
"Ngemil sik po?" sahut Ibeng seraya meraih tasnya.
"Ora sah, mlaku wae yo. Ning tak alon-alon ya."

Tanjakan berbatu telah sukses kami lewati hingga kami menemukan jalur landai sebelum Pasar Bubrah. Saya masih ingat betul, spot ini adalah titik penyesalan saya beberapa tahun lalu ketika mendaki Merapi untuk pertama kalinya. Saya menyerah di titik itu karena kelelahan, akhirnya saya dan seorang rekan mendirikan tenda di situ sedangkan yang lain lanjut summit attack. Kali ini  pun saya juga tidak berkesempatan muncak. Pahit.

Anggota tim nggeblas menuju Pasar Bubrah, karena memang areanya sudah dekat. Tinggal melewati satu punggungan saja. Tinggalah saya di belakang menapak perlahan ditemani Kanji. Meski jalur tidak semenanjak tadi, tetap saja fisik yang lemah ini tertatih-tatih. Alhamdulillah saya tidak terlalu banyak membuang waktu tim. Saya pun sampai ke monumen in memoriam. Pasar Bubrah telah terlihat.

"Ayo Pak, wes tekan," ujar Gakros menyemangati. Saya pun mengangguk saja.

Toyo langsung berlari ke arah area landai dan lapang tersebut, diikuti Kombir, dan Samcong. Kami berempat berjalan santai saja, menghemat tenaga. Kisaran pukul 11.30 kami sampai di Pasar Bubrah. Kami langsung menata matras untuk duduk, menyiapkan peralatan masak dan bahan-bahan masakan, serta mengeluarkan cemilan. Kombir dengan sigap menggelar ponco, yang kemudian ia gunakan untuk berbaring. Begitupun Toyo, ia mengeluarkan matras dari karier Gakros demi mendapatkan tempat tidur yang lebih nyaman di atas bebatuan.

"Yo, masak yo."
"Kokine ora kaya biasane wae pa?"
"Sopo?"
"Gakros karo Anggra kae."
"Yowes ngono wae."
Saya hanya bisa menghela nafas ketika mendengar percakapan itu, namun sudahlah toh saya juga senang masak-masak kalau sedang pendakian. Bahan masakan yang tersedia saat itu hanya Indomie, beras, telur, dan sedikit sayur mayur. Sembari kami menyiapkan makanan dan ngemil roti, beberapa anggota memutuskan untuk berfoto-foto di tempat yang dominan warna putih ini.

"Jane sithik meneh wes tekan lho iki. Gari munggah kono wae ta?" ujar Kombir.
"Bahaya Mbir, sesuk meneh wae. Wong Merapi ra nengdi-nengdi," balas Kanji.
"Yo rapopo kok Mbir munggah wae, wes tekan kene lho," sahut Ibeng memanas-manasi.
"Iyo munggaho Mbir, tapi tak tunggu kene wae ya. Aku wes tau kok," Gakros tak mau kalah mengompori.
Sadar dipanas-panasi, Kombir pun mengurungkan niatnya.
"Ah aku tekan kene wae wes seneng kok," ucap Toyo.


"Sholat dhisik po?"
"Ayo wae sih, mie ne wes rampung kok. Gari nunggu endhog wae," jawab saya.
Kemudian Gakros mengambil alih tugas perkokian dan mengeluarkan kemampuannya mengolah telur.

Hening. Sunyi. Tak ada sepatah kata pun yang terucap, tapi ratusan doa kami panjatkan. Demi diri sendiri, demi masa depan, demi keselamatan kami dalam pendakian.

Gakros shalat setelah kami usai dan menggunakan sarung yang dibawa Samcong. Kemudian kami pun menyantap makan siang yang kalau boleh jujur, terasa aneh di lidah dan ada sensasi berbeda akibat eksperimen Gakros ketika kami tinggal beribadah tadi. Meskipun sederhana dan rasanya tidak familiar, tetap saja terasa lezat karena dibumbui dengan kebersamaan dan cerita pengalaman masing-masing di dunia kuliah. Tidak lupa kami mengambil foto tim pendakian kali ini.

"Ayo siap-siap mudhun."
"Mager e, dab. Tak turu-turu sik," jawab Kombir.
"Welha selak kesoren mengko tekan ngisor."
"Mbok santai wae, mumpung wes tekan kene," tambah Toyo.
30 menit kemudian.
"Yo mudhun yo, gek cepak-cepak."
"Sesuk aku bakalane mbalik rene njuk menggapai puncakmu, kok Merapi. Tunggu aku."

Jam 3an kami memutuskan untuk turun agar sampai basecamp sebelum hari gelap. Sudah cukup lama kami bersantai-santai dan bercengkrama serta mengambil berbagai foto di Pasar Bubrah. Perjalanan kami mulai dengan pelan, enggan berpisah dengan pengalaman pendakian kali ini. Sampai di monumen in memoriam, kami melihat pemandangan indah di depan kami. Akhirnya prosesi foto-foto pun tak terelakkan.

"Ojo nganti kepisah lho ya, iki jalure beda karo sing mau." Kami berjalan turun menggunakan jalur alternatif, menghindari jalur biasa (Jalur Kartini) yang memiliki tanjakan terjal. Jauh lebih berdebu memang, tapi lebih landai dan yang penting bisa gaspol. Kami pun sampai di bangunan mirip pendopo sebelum Maghrib. Di sana kami bersantai, beradu hinaan dan meneguk air yang tersisa.

Kami sampai di New Selo jam 6 lebih. Hari sudah gelap, badan sudah lelah, namun kami bahagia. Rasa kecewa tak dapat mendaki kemarin terbayarkan, rasa rindu akan pendakian bersama sahabat pun terpuaskan.