"I am surpassing you"
Bio twitter yang muncul akibat rasa iri menghujam diri dan menghabiskan banyak waktu hanya untuk merenung.
"Saya sedang mengunggulimu". Ya. Bukan akan, bukan pula telah. Akan menggambarkan awang-awang serta angan-angan yang kemungkinan terjadinya masih fifty-fifty. Telah menyiratkan kepastian yang telah terjadi, fakta yang tak terbantahkan lagi. Bukan akan bukan pula telah, namun sedang. Sedang menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi masa ini. Tidak seperti akan yang membicarakan masa depan yang tak pasti, tidak pula telah yang membahas masa lalu yang selesai terangkai.
Sedang membuka peluang perubahan sehingga menyangkal kemungkinan tunggal seperti yang telah lakukan. Di sisi lain, sedang memacu kita untuk bergerak saat ini detik ini tidak seperti akan yang terkesan berjangka waktu panjang. Sedang bergerak dengan dinamis, berbeda dengan telah yang sudah pasti statis. Sedang bergerak menggunakan aspek kognisi, afeksi, dan psikomotor berbeda dengan akan yang bergerak dalam benak pikiran saja. Sedang, sedang, sedang. -ing, -ing, -ing.
"Saya sedang mengunggulimu". Ada dua peran dalam kalimat ini. Siapakah "saya"? Tentu saja saya sebagai pemilik twitter, tidak lain tidak bukan adalah ANC. Kemudian siapakah "kamu"? Kamu, iya kamu. Siapakah subjek yang dimaksud "saya" sebagai kamu di halaman media sosialnya? "Kamu" adalah saya. Jangan terjebak dengan paradox. "Kamu" adalah saya. Ya, saya sendiri. Saya sebagai pembaca bio tersebut, saya sebagai orang yang melihat akun saya. Ya, dua orang saya dalam peran yang berbeda.
Ketika itu saya menyesal. Banyak waktu yang tersita untuk sekadar scrolling timeline tiap harinya. Meskipun telah membaca di kesempatan sebelumnya, kadang di kesempatan lain tetap saya lanjutkan menuju tulisan-tulisan yang jelas-jelas sudah dibaca. Pemborosan waktu. Sia-sia. Maka muncullah ide menuliskan kalimat tersebut. Satu harapan terbersit, semangat saya terpacu tiap kali membacanya.
Terpacu? Bagaimana mungkin? Yap. Dengan kalimat itu saya menyesali banyaknya waktu yang terbuang sia-sia. Dengan kalimat itu saya menyadari bahwa banyak hal produktif lain yang bisa saya lakukan.
Ada satu hal lagi. Dengan kalimat itu, saya memahami bahwa saya sedang dalam sebuah kompetisi akbar. Saya di saat ini sedang berkompetisi dengan saya di masa lalu dan saya di masa depan. Sedang vs Telah vs Akan. Saya harus bisa lebih baik daripada saya di masa lalu, maka saya harus berusaha dan memperbaiki diri. Saya harus bisa lebih baik dari saya di masa depan. Bagaimana mungkin, wong kita belum tahu masa depan kita? Memang kamu bisa memastikan keberadaan nyawamu satu detik ke depan? Tidak kan? Maka dari itu, saya harus lebih berusaha dan memperbaiki diri lagi di saat ini agar bisa mengungguli saya di masa depan.
"Saya sedang mengunggulimu." ~ (Cahyo, 2014)
Ketika itu saya menyesal. Banyak waktu yang tersita untuk sekadar scrolling timeline tiap harinya. Meskipun telah membaca di kesempatan sebelumnya, kadang di kesempatan lain tetap saya lanjutkan menuju tulisan-tulisan yang jelas-jelas sudah dibaca. Pemborosan waktu. Sia-sia. Maka muncullah ide menuliskan kalimat tersebut. Satu harapan terbersit, semangat saya terpacu tiap kali membacanya.
Terpacu? Bagaimana mungkin? Yap. Dengan kalimat itu saya menyesali banyaknya waktu yang terbuang sia-sia. Dengan kalimat itu saya menyadari bahwa banyak hal produktif lain yang bisa saya lakukan.
Ada satu hal lagi. Dengan kalimat itu, saya memahami bahwa saya sedang dalam sebuah kompetisi akbar. Saya di saat ini sedang berkompetisi dengan saya di masa lalu dan saya di masa depan. Sedang vs Telah vs Akan. Saya harus bisa lebih baik daripada saya di masa lalu, maka saya harus berusaha dan memperbaiki diri. Saya harus bisa lebih baik dari saya di masa depan. Bagaimana mungkin, wong kita belum tahu masa depan kita? Memang kamu bisa memastikan keberadaan nyawamu satu detik ke depan? Tidak kan? Maka dari itu, saya harus lebih berusaha dan memperbaiki diri lagi di saat ini agar bisa mengungguli saya di masa depan.
"Saya sedang mengunggulimu." ~ (Cahyo, 2014)