Dan ia pun mulai mengepul, uap yang melayang dari permukaan air mulai menghangatkan udara dalam ruangan itu. Ruangan sempit. Kujulurkan tanganku ke atas wadahnya, ke atas ember itu. Kurasakan uap-uap air menerpa telapak tanganku yang semula berkeringat dingin. Kini menjadi hangat. Dan sekali lagi aku berhadapan denganmu, wahai seember air panas.
Ianya pun tersenyum sinis. Mengejekku dengan uapnya. Menyindirku dengan radiasi panasnya. Yap, seember air panas telah dibuatkan oleh ibuku untukku membersihkan diri. Demam. Adalah bahasa yang lebih modis untuk menyebut penyakit meriang. Sudah 3 hari ini badanku tak karuan rasanya. Pusing kepala terus menerjang, ditambah tingginya temperatur yang ada di keningku. Beratnya mata menghalangi aktivitasku. Badan yang terus menggigil dipadu rendahnya temperatur di bagian kaki memicu perut kosongku untuk terus bergejolak. Jangankan beraktivitas di luar rumah, berjalan dari kamar tidur ke kamar mandi yang kurang dari 15 langkah saja aku terseok-seok. Menyedihkan.
Air panas ini, bukan air panas biasa. Air yang semula dingin dan biasa saja ini dipanaskan ibuku agar kehangatan yang ada di dalamnya dapat menyelimutiku. Tidak, jarang sekali aku dibuatkan air panas kecuali kalau memang ga enak badan sampai ke level mengkhawatirkan atau setelah aktivitas berat di luar sehingga belum mandi saat larut malam. Sebuah bahasa yang halus untuk mengingatkan, "Cepatlah engkau sehat," atau "Banyaklah istirahat, jangan kecapekan."
Kenapa manusia membutuhkan bahasa? Karena manusia memerlukan media untuk mengkomunikasikan apa yang ia pikir dan rasakan kepada orang lain. Karena itu pulalah, zaman dulu banyak dipakai simbol. Meski kita tidak tahu artinya, tapi orang-orang zaman dulu paham apa maksudnya. Tak jauh beda dengan zaman sekarang, asal orang lain paham maka itulah bahasa.
Ibuku memanaskan air dalam diam dan menyiapkannya tanpa mengucap sepatah kata. Sebuah lagu dari Padi berpesan, "Cinta Tak Hanya Diam". Tapi menurutku diam bukan berarti tak cinta. Dalam diam mungkin saja ada cinta. Karena cinta tak jarang berawal dari diam. Diam bukan berarti tanpa makna, sebaliknya diam adalah sikap penuh makna. Diam adalah sikap untuk menyampaikan suatu maksud, entah yang dituju akan memahami maksud yang ingin disampaikan atau tidak. Namun diam adalah media menyampaikan perasaan. Diam adalah bahasa.
Dan aku pun masih memandangi permukaan air yang diam bersama uap yang terus mengepul perlahan. Aih, aku adalah orang yang beruntung. Karena tiap tetes air mengandung kehangatan. Hangat yang tak mampu bertahan lama di kulit, namun langsung meresap menghangatkan hati.