Padusan Merapi (15-16 Juli 2012) 2 : Entah Kudu Seneng Apa Mangkel

Tulisan part 2 dan part 3 adalah lanjutan dari kisah pendakian di tahun 2012, yang ditulis kembali oleh penulis di tahun 2016. Selamat menikmati.

* * * * *

Mentari pagi mulai menggeliat naik ketika kami tersadar dari tidur nyaman kami. Udara dingin dan cuaca yang cerah pada 16 Juli 2012 seakan mendukung kami untuk mengeratkan sleeping bag kemudian kembali pada mimpi indah. Saya pun enggan beranjak, namun hati yang tak tenang karena tidak ada kepastian ijin pendakian membuat saya tak mampu tidur dengan tenang. Entah dengan yang lain. Sepertinya mereka nyaman-nyaman saja dengan tidurnya.
Merbabu

"He, kae pemandangane apik lho," ujar Kanji yang baru saja dari luar. Si Boss Ketua OSIS ini nampaknya memang tidak punya syaraf rasa dingin, sepagi itu ia telah jalan-jalan keluar hanya bermodalkan kaos dan celana training.

"Tenane, Nji?" balas dua orang pemburu foto profil pemandangan, Toyo dan Kombir. Sontak keduanya langsung keluar, tentu setelah memakai sweater dan kaos kaki. Samcong pun ikut mencari panorama.

"Pie, dab? Munggah ora penake?" sahut Gakros dari dalam sleeping bagnya.
"Manut. Munggah ndi emang?" balas saya tak bersemangat sembari njingkrung seperti kepompong.
Tak membalas, Gakros beranjak mencari basecamper untuk meminta masukan. Enggan bermalas-malasan, saya mencari peralatan masak dan mulai membuat minuman hangat.

"Ra wani ngeculke dab," Gakros menerangkan bahwa warga tidak berani memberi ijin kami untuk naik, "kene tak gawekke wae, kowe masak."
"Berarti Merbabu?" saya sungguh ragu untuk mendaki jalur yang saya tak pernah lalui tanpa persiapan matang.
"Manut cah-cah," jawabnya, meskipun sebenarnya itu bukan jawaban juga.

Teman-teman yang ada di luar nampaknya kembali masuk karena tahu ada minuman hangat yang telah tersaji. Tetapi tak lama, karena mereka keluar lagi dengan tampilan yang sudah dipermak untuk mendapatkan foto-foto bagus.Saya bergegas meracik bumbu untuk masakan. Nasi dan tempe adalah bahan sarapan kami, "Ah yang penting makan, masalah rasa belakangan," ucap saya pada diri sendiri.
Hunting foto

"Pie penake?" tanya Gakros pada tim.
"Merbabu wae mbangane ra pasti," kata Toyo tak sabar.
"Emang Merbabu mesti oleh?" balas Ibeng.
"Emang ana sing paham Merbabu, ojo nekat lho Beng," Kombir menimpali dengan nada khawatir.
"Ho o lho, ngko malah rasido seneng-seneng," Samcong pun mengamini.
Kami pun hening. Rencana untuk hepi-hepi berujung ketidakpastian. Mungkin diberi harapan palsu oleh perempuan jauh lebih pasti daripada nasib kami. "Ngene ae Gak, coba tok kontak kancamu meneh. Takok Merbabu kaya pie detile," Kanji pun angkat suara.
"Angger Gakros wani aku sih wani wae, karo madang ki," ujarku seraya mengoper jatah makanan.
Berunding

Agaknya keresahan kami sedikit terobati seiring karbohidrat dan protein mengaliri kebutuhan nutrisi. Ditambah lagi adanya pendaki lain yang hendak naik Merapi namun urung dan mengganti tujuan. "Yawes Merbabu wae. Yuk packing, cepak-cepak sik," tegas Gakros setelah bimbang sekian lama. Kami pun membagi tugas, Samcong dan saya cuci-cuci peralatan masak; Toyo, Kombir, Ibeng, dan Gakros menyusun peralatan serta menyiapkan kendaraan; sedangkan Kanji foto-foto (engga ada yang berani memberi perintah pada bos yang satu ini).
Mengisi perut, mengurangi keresahan
Sungguh. Satu pembelajaran penting yang saya dapat ketika di sini adalah, memasaklah dengan minyak atau margarin kalau pakai nesting. Jika tidak, sisa-sisa nasi banyak yang mengeras di pinggir-pinggirnya hingga jadi intip. Mau digosok-gosok seperti apa, tidak mau lepas jua dari nesting. Merk sabun cuci apapun agaknya kalah ampuh. Hanya kesabaran yang mampu menaklukannya.

"Wes ah, Nggra. Mangkel aku. Iki liyane tak angkut mlebu ya," ujar Samcong, jengah dengan cobaan hidup yang satu ini. Saya tak patah arang, tak sudi diperdaya oleh nasi kering di pinggiran nesting.

"Yo, wes siap iki!" Toyo memanggil kami untuk berkumpul. Tas sudah rapi, alat sudah bersih, kendaraan sudah siap. Bahkan mungkin sudah dipanasi 15 menit lebih. Terlihat Pak Basecamper (engga tau siapa namanya) berjalan-jalan keluar dari rumah. Kami acuh saja, cukup menyapa kemudian melanjutkan siap-siap, bingung mau menanggapi bagaimana.

"Pie, sidane Merbabu?" tanya Kombir sembari metingkring di atas motor.
"Lha pie meneh," balas Ibeng.
"Yoweslah."

Tujuh orang lelaki yang dirundung keraguan, kini telah bersatu padu menemukan semangat baru untuk mendaki gunung tetangga, Merbabu. Berdasarkan prakiraan, kita akan sampai di puncak sore hari. Apabila memungkinkan kami kebut pulang malam ini juga, namun rencana cadangan kami adalah pulang esok hari ketika stamina telah prima. Karier kami angkut, barang-barang kami tenteng, helm sudah kami pasang rapi, tinggal nangkring di atas kendaraan dan melanjutkan perjalanan. Merbabu, kami akan mengunjungimu. Berilah kami sambutan terhangat.

"Pak, badhe pamit riyin nggih. Matur nuwun," ucap Gakros penuh unggah-ungguh berpamitan dengan pemilik rumah.
"Oh, nggih. Lha badhe teng pundi niki? Balik Jogja?"
"Mboten pak, badhe Merbabu. Lha tanggung pun tebih-tebih mriki."
Sang empunya rumah terdiam sejenak. Mengernyitkan dahi. "Nggih mpun mas nek badhe minggah Merapi monggo mawon, ning ngantos Pasar Bubrah mawon nggih."

Kami terhenyak. Terkaget-kaget. "Saestu niki. Menawi jenengan minggah malih jelas mboten aman wong niki pun siaga." Gakros memandang tim satu per satu seraya menunjukkan ekspresi "pie iki??". "Iya pak, terimakasih," sahut Kanji segera, sebelum beliau berubah pikiran.

"Ngopo?" tanya Kombir pada saya.
"Bapake ngolehke munggah Merapi, ning mung tekan Bubrah," jawab saya.
"Lha asem, ngopo ra ket mau," balas Ibeng.
Iya juga sih. Kami sudah terjaga sedari Subuh tadi dan beliau sebenarnya juga tahu. Ada banyak kesempatan baginya untuk memberi kami ijin. Ketika hunting foto, ketika membuat kopi, ketika memasak, ketika makan, ataupun ketika bersiap-siap. Kenapa ia harus memilih momen paling buruk? Momen di saat kami sudah teguh pendirian hendak berpindah ke lain hati. Momen ketika kami telah yakin tak mampu bersua dengan orang yang tadinya diharapkan. Momen di mana orang yang pernah kita sukai memberi sinyal cinta, namun waktunya sudah tak tepat lagi. Entah harus senang apakah dongkol.

Gakros pun berjalan kembali ke arah tim seraya bertanya, "Pie iki? Merbabu puncak apa Merapi Bubrah?"
"Merapi puncak ra oleh Gak?"
"Jo ngawur Nji, wong lagi siaga jare kok," sanggah Toyo. Ada benarnya juga, mengingat hujan abu semalam.
"Aku yo mung takon kok, Toy. Hmm, yawes manut ae. Merapi yo rapopo wong niate munggah kene kok."
"Aku ra masalah endi wae, sing penting seneng-seneng kok," Toyo menambahkan.
"Aku yo ho o."
"Melu-melu e Beng!"
"Ha kok nyenthe e Cong, lahloh ae."
"Yowes nek do ora ono sing keberatan, Merapi wae ngko sore mudhun. Pie?" ujar Gakros menyimpulkan.

Tentu saja tak ada yang keberatan. Orang-orang ini semua pernah mendaki dan memuncaki Merbabu, meskipun melalui jalur Wekas. Bagi mereka, pilihan Merbabu Selo ataupun Merapi Pasar Bubrah adalah perkara mudah. Bagi saya yang gagal memuncaki kedua gunung ini, mendaki Merapi namun hanya Pasar Bubrah merupakan pil pahit ibarat tradisi yang terulang. Ah, sudahlah. Toh niat saya bersenang-senang bersama teman-teman SMA setelah jemu berkutat dengan penatnya proses perkuliahan.
Mbuh pie carane, bongkar!
"Gek uwes, Nda!"
Entah dari mana istilah "Nda" ini, apakah nama orang ataukah dari film, saya juga lupa. Akan tetapi setahu saya, fungsinya menggantikan sebutan panggilan orang lain.
"Kosek, Nda. Ewangi nata motor ki lho."
Motor yang tadinya telah siaga dengan gagah di pekarangan, diparkir kembali. Tas yang sudah terpacking rapi, diudal-udal tanpa ampun. Barang-barang yang tak diperlukan, dikumpulkan jadi satu di pojok ruangan.

"Gak, tenda pie?"
"Guwang ae."
"Tenane?"
"Iyo, ngko Anggra ben dadi pawang udan, mbuh pie carane."

Saya terkekeh mendengar percakapan tersebut. Jujur saya khawatir juga. Tenda tak dibawa. Alat masak hanya seperlunya. Sleeping bag pun ditinggal. Muatan yang tadinya 3 karier dan 4 ransel dipress menjadi 2 karier dan 3 ransel plus satu tas selempang. Peralatan tim dan konsumsi kemudian dibagi rata ke karier Gakros dan saya serta ransel Ibeng, Samcong, dan Kanji. Saya mengingatkan untuk tetap membawa mantel atau ponco demi alasan safety. Saya pun diam-diam mengangkut sleeping bag dan peralatan rescue ke dalam karier. Setelah berbulan-bulan dibiasakan, rasanya tak tenang kalau mendaki tanpa prosedur safety yang sesuai.
Bersiap berangkat
"Kanji nggowo banyu, konsum karo peralatan kamera. Samcong nggowo banyu karo ponco. Ibeng nggowo banyu karo cemilan lengkap. Lah kowe nggowo opo e, Toy?" sindir Kombir yang melihat Toyo hanya membawa sebuah tas selempang yang entah apa isinya itu.
"Menengo su. Ngoco!!" balas Toyo. Yah Kombir memang tidak membawa apapun kecuali pakaian yang menempel dan sweater yang dikalungkan ke lehernya.

"Pemanasan sik Gak!" perintah Kanji ketika kami hendak berjalan naik. Tak berani membantah dan demi alasan keselamatan, kami pun pemanasan dan peregangan meski hanya sebentar. Maklum saja, niatan awal kami adalah camp di gunung dan bermalam di atas. Wajar saja kalau kami tak sabar mengejar impian yang sudah pasti tak mungkin terealisasi.

Usai pemanasan, kami berdoa memohon keselamatan dan kelancaran pendakian. Mendaki di tengah Merapi sedang siaga memang nekat, namun kami tetap berusaha menyadari batas-batas kemampuan kami tanpa menantang maut. "Yo munggahe alon wae, ojo ninggali. Ngko nek ana sing kesel gawa tas ben Toyo karo Kombir genteni."
"Wegah aku."
"Su e Toy!" balas Ibeng.

"Wah foto sik iki penake," ucap Kanji lirih, mungkin pengingat untuk dirinya sendiri. Akan tetapi setiap perkataannya bak komando, titah yang tak terpatahkan.
Akhirnya....

Padusan Merapi (15-16 Juli 2012) 1 : #PrayFor33

Percaya tidak percaya, ini adalah tulisan yang sebenarnya hendak saya publikasikan di tahun 2012. Akan tetapi berhubung ceritanya panjang, saya pun tak sempat melanjutkan tulisan. Akhir tahun 2016, saya mereview ulang blog dan kemudian menemukan tulisan ini. Belum tuntas, hanya setengah jadi saja. Oleh karena itu, tulisan ini akan saya lanjutkan namun dibagi menjadi 3 chapter. Kenapa harus 3 chapter? Tidak ada alasan spesifik, hanya soal kenyamanan saja. Saya yakin pembaca dan diri saya sendiri tidak terlalu suka tulisan yang terlalu panjang dan ngalor ngidul. Maka dari itu, ngalor ngidulnya tidak saya jadikan satu, melainkan tiga.

* * * * *

"Pak, ayo munggah merapi." sms dari Mada, yang biasanya dipanggil Gakroso, hinggap di nokia 101 ku. Lho kok dipanggil 'Pak' sih? Ya itu semacam cara manggil aja di angkatanku SMA, istilahnya kayak pake kata 'Bro' dan sebagainya gitu.

Hmmm, iya ya uda lama juga aku ga mendaki bareng anak-anak SMA. Sebenernya mereka sering ngadain pendakian gitu tapi karena kesibukanku sebagai akademisi di kampus yauda aku biasanya nitip salam aja. Wah tapi uda sebulan lebih ga nggerakin badan nih, gimana ya? Well, setelah 'Menuju Puncak Kenikmatan Nan Barokah Di Negeri Pasundan' (FUD), aku 'balas dendam' dengan males-malesan dan nyantai-nyantai. Tapi ajakan ini akhirnya kuiyakan mengingat aku belum pernah muncak Merapi.
Gakros
Singkat cerita, 14 Juli terkumpullah lima orang lainnya yaitu Yoga  (Kanji), Ridhwan (Ibeng), Tito (Toyo), Mahfudz (Samcong), dan Yodha (Kombir). Pendakian ini tadinya nyaris ga jadi, setelah Gakroso kesleo dirumahnya. Tapi karena lemahnya alibi dan engga ada saksi, alasan itu gabisa diterima yang lainnya.
Kanji

Pendakian Merapi ini semacam nostalgia, sebelumnya dua tahun lalu kami pernah berkunjung ke Merapi dengan personil yang berbeda. Saat itu adalah pendakian pertamaku, tapi karena keterbatasan stamina aku gagal muncak. Bagi Gakroso sendiri, pendakian Merapi ibarat padusan atau ritual membersihkan diri yang biasa dilakukan sebelum memasuki bulan Ramadhan. Dan aku nulis ini bukan sebagai catatan perjalanan yang ditujukan buat 'membantu' penikmat alam lainnya, tapi cuma untuk pengingat momen-momenku saat di Merapi aja.
Ibeng

15 Juli, kami janjian kumpul di Angkringan UII di Jl. Kahar Muzakir. Ibeng yang rumahnya gak jauh dari rumahku berniat datang tepat waktu, jam 10. Yah sekalian aja aku nebeng. Waktu SMA dulu, ada istilah Waktu Indonesia Bagian Namche, yang maksudnya anak Namche itu punya 'jam'nya sendiri yang akibatnya molor ga tanggung-tanggung. Aku dan Ibeng jelas datang paling awal karena tepat waktu, disusul Kanji jam 11.00, Gakroso dan Kombir yang aku gatau jam berapa mereka datang karena aku lagi belanja bekal, serta Toyo yang datang jam 14.00...hanya dengan pakaian, motor, dan tas slempang isi rokok.
Toyo
Setelah menyiapkan berbagai bekal dan nyewa peralatan, kami berangkat tepat setelah sholat Ashar. Perjalanan menuju Selo yang panjang dan berkelok-kelok seakan tak terasa karena dihibur dengan pemandangan indah yang disajiikan oleh Merapi dan alam di sekitarnya. Kami sempat mampir makan di warung pinggir jalan karena dorongan cairan lambung yang menggerus keyakinan kami untuk makan di basecamp Selo.
Samcong
Perjalanan pun berlanjut. Sebelum basecamp, trek menanjak lurus menghadang kami. Aku yang saat itu berboncengan dengan Gakros di atas motor Ibeng pun mulai was-was karena muncul tanda-tanda engga kuat. Benar saja, beberapa meter sebelum basecamp aku harus melompat dari motor karena tidak kuat menarik beban kita berdua. Haha. Kami pun sampai di basecamp sebelum Maghrib.
Kombir
Apes. Itulah yang dapat aku katakan. Saat itu warga sekitar melihat asap hitam mengepul dari arah Gunung Merapi dan mereka pun berkumpul di sepanjang jalan dekat basecamp untuk mengamati keadaan Merapi. Mereka belum yakin apakah itu awan panas atau apa. Parahnya di saat yang sama ada pendaki yang mengalami kecelakaan di atas sana. Rumornya adalah terjatuh di tempat yang kurang nyaman sehingga mengalami luka-luka. Tapi dia masih bisa jalan kok ,walaupun pelan. Tetap saja kejadian itu sudah cukup membuat suasana mencekam. Meskipun awan tadi dipastikan hasil dari guguran lava, para warga tidak ingin kami mengambil resiko untuk melanjutkan perjalanan. Walhasil, kami pun beristirahat di basecamp hingga waktu yang belum ditentukan.
Saya


Salah satu prosedur keamanan yang wajib kami lakukan sebelum pendakian adalah memberi kabar kepada rekan-rekan kami di basecamp atau di jogja. Meskipun kami tidak mengharap celaka, namun pencegahan selalu lebih baik bukan? Begitu pun saat itu, banyak rekan yang tahu bahwa kami melakukan pendakian ke Gunung Merapi. Ternyata di berbagai berita muncul kabar terkait kondisi Gunung Merapi yang menampakkan aktivitas dapur magmanya.

Kondisi kami saat itu membuat khawatir teman-teman di Jogja. Berhubung saat itu media sosial paling tenar adalah Twitter, sontak saja twit dengan hashtag #PrayFor33 bertebaran di timeline kami. Angka 33 yang menunjukkan angkatan sispala kami, meski tak semuanya anak pecinta alam, menjadi viral di berbagai angkatan.

Ada kakak kelas yang mencoba menghubungi kami via telepon namun gagal. Ada adik kelas yang mengontak basecamp Gunung Merapi namun tak dapat terhubung. Ada pula senior kami yang menyiagakan tim penyelamatan apabila skenario terburuk terjadi. Di saat bersamaan, kami, yang tak tahu kekhawatiran rekan-rekan di Jogja karena keterbatasan sinyal, sedang menikmati cemilan yang dibawa masing-masing dan asik bermain kartu remi.
Rekan-rekan di Jogja sedang panik
Kami yang sampai di basecamp kurang lebih pukul 18.00, telah menghabiskan 4 jam foto-foto di basecamp, ngemil, dan main kartu. Lama kelamaan bosan juga karena Samcong hampir selalu kalah, Toyo hampir selalu menang, dan Gakros hampir selalu tak kelihatan batang hidungnya, entah hilang ke mana. Dirundung kebosanan yang menjemukan, muncul wacana untuk mendaki Gunung Merbabu. Masalahnya tak ada satu pun dari kami yang berpengalaman via jalur Selo, bahkan basecampnya dimana saja kami tak tahu (bahkan itu adalah kali pertama saya tahu bahwa Merbabu bisa dicapai via Selo). Gakros pun mencoba menghubungi rekan-rekannya yang sebagian besar adalah juru kunci gunung ataupun pendaki veteran.

Tengah malam tiba, namun ijin untuk mendaki tak kunjung didapat. Kecewa, pasti. Akhirnya kami memutuskan untuk mendaki Gunung Merbabu keesokan hari meskipun tak ada yang tahu jalur. Sudahlah yang penting kita bersama, hambatan menghadang hadapi penuh kesabaran. Kami pun memutuskan untuk segera tidur.

Unreachable

Unreachable
I intended to make this year much more productive than before. Creating more post was one of the realizations. In fact, I could not be more productive than three years ago, which topped with 77 posts. With this post I only created less than 30 posts and that is only a half of 2013. Still a long way to go, but only 7 days left of this year.

At the end of August 2016, I made a commitment to create a post everyday until the end of the year. However, that commitment is not commitment at all, since definitively commitment means a strong willingness of giving the energy and time to something that someone believes in, or a promise (based on dictionary). It seems that I cannot fulfill that promise this year because my commitment is not strong enough. In my opinion, that "commitment" more or less just an "intention".

Why dont you create 30 or 40 more posts in the reamaining days? Well, I do not have a solid reason. However, I will be satisfied if I could continuously create a post each day. I could make 40 or even 50 posts in a day, but I will not be able to ensure the quality. In terms of writing, I prefer quality over quantity. It is a silly reason, but I already made up my mind and accepted my failure.

It is possibly done, but I was not persistence in pursuing my target. I had time to do so, yet I waste it. My target turn into my next year target. For now, it is out of the question. It is unreachable.

Crash

Crash
Here I am, back again in my lovely blog. It's been a while since I'm gone missing. Well, truthfully, I really wanted to write something. Yet, the browser of mine gone mad. I could not download anything. I could not open several specific pages. And I even could not read my own email.

Malware? I am dumb as a rock when it comes to technology, so I have no idea. Virus? Nah, I did not think so. Since I already scanned the laptop thoroughly with the anti-viruses, I was forced to use another, easy-to-use but unfamiliar, browser for net surfing. The main problem is, I never remember any password of my account except gmail account. Therefore, I will not be able to use any accounts if it goes any longer. Meanwhile, I am in the middle of intensive communication with institutions for important matter. Dang.

Fortunately, it is solved by now.

Simple turn off and on do the trick.

FYI, I rarely shut my laptop down.

Dang, so embarassing.