Tulisan part 2 dan part 3 adalah lanjutan dari kisah pendakian di tahun 2012, yang ditulis kembali oleh penulis di tahun 2016. Selamat menikmati.
Mentari pagi mulai menggeliat naik ketika kami tersadar dari tidur nyaman kami. Udara dingin dan cuaca yang cerah pada 16 Juli 2012 seakan mendukung kami untuk mengeratkan sleeping bag kemudian kembali pada mimpi indah. Saya pun enggan beranjak, namun hati yang tak tenang karena tidak ada kepastian ijin pendakian membuat saya tak mampu tidur dengan tenang. Entah dengan yang lain. Sepertinya mereka nyaman-nyaman saja dengan tidurnya.
"He, kae pemandangane apik lho," ujar Kanji yang baru saja dari luar. Si Boss Ketua OSIS ini nampaknya memang tidak punya syaraf rasa dingin, sepagi itu ia telah jalan-jalan keluar hanya bermodalkan kaos dan celana training.
"Tenane, Nji?" balas dua orang pemburu foto profil pemandangan, Toyo dan Kombir. Sontak keduanya langsung keluar, tentu setelah memakai sweater dan kaos kaki. Samcong pun ikut mencari panorama.
"Pie, dab? Munggah ora penake?" sahut Gakros dari dalam sleeping bagnya.
"Manut. Munggah ndi emang?" balas saya tak bersemangat sembari njingkrung seperti kepompong.
Tak membalas, Gakros beranjak mencari basecamper untuk meminta masukan. Enggan bermalas-malasan, saya mencari peralatan masak dan mulai membuat minuman hangat.
"Ra wani ngeculke dab," Gakros menerangkan bahwa warga tidak berani memberi ijin kami untuk naik, "kene tak gawekke wae, kowe masak."
"Berarti Merbabu?" saya sungguh ragu untuk mendaki jalur yang saya tak pernah lalui tanpa persiapan matang.
"Manut cah-cah," jawabnya, meskipun sebenarnya itu bukan jawaban juga.
Teman-teman yang ada di luar nampaknya kembali masuk karena tahu ada minuman hangat yang telah tersaji. Tetapi tak lama, karena mereka keluar lagi dengan tampilan yang sudah dipermak untuk mendapatkan foto-foto bagus.Saya bergegas meracik bumbu untuk masakan. Nasi dan tempe adalah bahan sarapan kami, "Ah yang penting makan, masalah rasa belakangan," ucap saya pada diri sendiri.
"Pie penake?" tanya Gakros pada tim.
"Merbabu wae mbangane ra pasti," kata Toyo tak sabar.
"Emang Merbabu mesti oleh?" balas Ibeng.
"Emang ana sing paham Merbabu, ojo nekat lho Beng," Kombir menimpali dengan nada khawatir.
"Ho o lho, ngko malah rasido seneng-seneng," Samcong pun mengamini.
Kami pun hening. Rencana untuk hepi-hepi berujung ketidakpastian. Mungkin diberi harapan palsu oleh perempuan jauh lebih pasti daripada nasib kami. "Ngene ae Gak, coba tok kontak kancamu meneh. Takok Merbabu kaya pie detile," Kanji pun angkat suara.
"Angger Gakros wani aku sih wani wae, karo madang ki," ujarku seraya mengoper jatah makanan.
Agaknya keresahan kami sedikit terobati seiring karbohidrat dan protein mengaliri kebutuhan nutrisi. Ditambah lagi adanya pendaki lain yang hendak naik Merapi namun urung dan mengganti tujuan. "Yawes Merbabu wae. Yuk packing, cepak-cepak sik," tegas Gakros setelah bimbang sekian lama. Kami pun membagi tugas, Samcong dan saya cuci-cuci peralatan masak; Toyo, Kombir, Ibeng, dan Gakros menyusun peralatan serta menyiapkan kendaraan; sedangkan Kanji foto-foto (engga ada yang berani memberi perintah pada bos yang satu ini).
Sungguh. Satu pembelajaran penting yang saya dapat ketika di sini adalah, memasaklah dengan minyak atau margarin kalau pakai nesting. Jika tidak, sisa-sisa nasi banyak yang mengeras di pinggir-pinggirnya hingga jadi intip. Mau digosok-gosok seperti apa, tidak mau lepas jua dari nesting. Merk sabun cuci apapun agaknya kalah ampuh. Hanya kesabaran yang mampu menaklukannya.
"Wes ah, Nggra. Mangkel aku. Iki liyane tak angkut mlebu ya," ujar Samcong, jengah dengan cobaan hidup yang satu ini. Saya tak patah arang, tak sudi diperdaya oleh nasi kering di pinggiran nesting.
"Yo, wes siap iki!" Toyo memanggil kami untuk berkumpul. Tas sudah rapi, alat sudah bersih, kendaraan sudah siap. Bahkan mungkin sudah dipanasi 15 menit lebih. Terlihat Pak Basecamper (engga tau siapa namanya) berjalan-jalan keluar dari rumah. Kami acuh saja, cukup menyapa kemudian melanjutkan siap-siap, bingung mau menanggapi bagaimana.
* * * * *
Mentari pagi mulai menggeliat naik ketika kami tersadar dari tidur nyaman kami. Udara dingin dan cuaca yang cerah pada 16 Juli 2012 seakan mendukung kami untuk mengeratkan sleeping bag kemudian kembali pada mimpi indah. Saya pun enggan beranjak, namun hati yang tak tenang karena tidak ada kepastian ijin pendakian membuat saya tak mampu tidur dengan tenang. Entah dengan yang lain. Sepertinya mereka nyaman-nyaman saja dengan tidurnya.
Merbabu |
"He, kae pemandangane apik lho," ujar Kanji yang baru saja dari luar. Si Boss Ketua OSIS ini nampaknya memang tidak punya syaraf rasa dingin, sepagi itu ia telah jalan-jalan keluar hanya bermodalkan kaos dan celana training.
"Tenane, Nji?" balas dua orang pemburu foto profil pemandangan, Toyo dan Kombir. Sontak keduanya langsung keluar, tentu setelah memakai sweater dan kaos kaki. Samcong pun ikut mencari panorama.
"Pie, dab? Munggah ora penake?" sahut Gakros dari dalam sleeping bagnya.
"Manut. Munggah ndi emang?" balas saya tak bersemangat sembari njingkrung seperti kepompong.
Tak membalas, Gakros beranjak mencari basecamper untuk meminta masukan. Enggan bermalas-malasan, saya mencari peralatan masak dan mulai membuat minuman hangat.
"Ra wani ngeculke dab," Gakros menerangkan bahwa warga tidak berani memberi ijin kami untuk naik, "kene tak gawekke wae, kowe masak."
"Berarti Merbabu?" saya sungguh ragu untuk mendaki jalur yang saya tak pernah lalui tanpa persiapan matang.
"Manut cah-cah," jawabnya, meskipun sebenarnya itu bukan jawaban juga.
Teman-teman yang ada di luar nampaknya kembali masuk karena tahu ada minuman hangat yang telah tersaji. Tetapi tak lama, karena mereka keluar lagi dengan tampilan yang sudah dipermak untuk mendapatkan foto-foto bagus.Saya bergegas meracik bumbu untuk masakan. Nasi dan tempe adalah bahan sarapan kami, "Ah yang penting makan, masalah rasa belakangan," ucap saya pada diri sendiri.
Hunting foto |
"Pie penake?" tanya Gakros pada tim.
"Merbabu wae mbangane ra pasti," kata Toyo tak sabar.
"Emang Merbabu mesti oleh?" balas Ibeng.
"Emang ana sing paham Merbabu, ojo nekat lho Beng," Kombir menimpali dengan nada khawatir.
"Ho o lho, ngko malah rasido seneng-seneng," Samcong pun mengamini.
Kami pun hening. Rencana untuk hepi-hepi berujung ketidakpastian. Mungkin diberi harapan palsu oleh perempuan jauh lebih pasti daripada nasib kami. "Ngene ae Gak, coba tok kontak kancamu meneh. Takok Merbabu kaya pie detile," Kanji pun angkat suara.
"Angger Gakros wani aku sih wani wae, karo madang ki," ujarku seraya mengoper jatah makanan.
Berunding |
Agaknya keresahan kami sedikit terobati seiring karbohidrat dan protein mengaliri kebutuhan nutrisi. Ditambah lagi adanya pendaki lain yang hendak naik Merapi namun urung dan mengganti tujuan. "Yawes Merbabu wae. Yuk packing, cepak-cepak sik," tegas Gakros setelah bimbang sekian lama. Kami pun membagi tugas, Samcong dan saya cuci-cuci peralatan masak; Toyo, Kombir, Ibeng, dan Gakros menyusun peralatan serta menyiapkan kendaraan; sedangkan Kanji foto-foto (engga ada yang berani memberi perintah pada bos yang satu ini).
Mengisi perut, mengurangi keresahan |
"Wes ah, Nggra. Mangkel aku. Iki liyane tak angkut mlebu ya," ujar Samcong, jengah dengan cobaan hidup yang satu ini. Saya tak patah arang, tak sudi diperdaya oleh nasi kering di pinggiran nesting.
"Yo, wes siap iki!" Toyo memanggil kami untuk berkumpul. Tas sudah rapi, alat sudah bersih, kendaraan sudah siap. Bahkan mungkin sudah dipanasi 15 menit lebih. Terlihat Pak Basecamper (engga tau siapa namanya) berjalan-jalan keluar dari rumah. Kami acuh saja, cukup menyapa kemudian melanjutkan siap-siap, bingung mau menanggapi bagaimana.
"Pie, sidane Merbabu?" tanya Kombir sembari metingkring di atas motor.
"Lha pie meneh," balas Ibeng.
"Yoweslah."
Tujuh orang lelaki yang dirundung keraguan, kini telah bersatu padu menemukan semangat baru untuk mendaki gunung tetangga, Merbabu. Berdasarkan prakiraan, kita akan sampai di puncak sore hari. Apabila memungkinkan kami kebut pulang malam ini juga, namun rencana cadangan kami adalah pulang esok hari ketika stamina telah prima. Karier kami angkut, barang-barang kami tenteng, helm sudah kami pasang rapi, tinggal nangkring di atas kendaraan dan melanjutkan perjalanan. Merbabu, kami akan mengunjungimu. Berilah kami sambutan terhangat.
"Pak, badhe pamit riyin nggih. Matur nuwun," ucap Gakros penuh unggah-ungguh berpamitan dengan pemilik rumah.
"Oh, nggih. Lha badhe teng pundi niki? Balik Jogja?"
"Mboten pak, badhe Merbabu. Lha tanggung pun tebih-tebih mriki."
Sang empunya rumah terdiam sejenak. Mengernyitkan dahi. "Nggih mpun mas nek badhe minggah Merapi monggo mawon, ning ngantos Pasar Bubrah mawon nggih."
Kami terhenyak. Terkaget-kaget. "Saestu niki. Menawi jenengan minggah malih jelas mboten aman wong niki pun siaga." Gakros memandang tim satu per satu seraya menunjukkan ekspresi "pie iki??". "Iya pak, terimakasih," sahut Kanji segera, sebelum beliau berubah pikiran.
"Ngopo?" tanya Kombir pada saya.
"Bapake ngolehke munggah Merapi, ning mung tekan Bubrah," jawab saya.
"Lha asem, ngopo ra ket mau," balas Ibeng.
Iya juga sih. Kami sudah terjaga sedari Subuh tadi dan beliau sebenarnya juga tahu. Ada banyak kesempatan baginya untuk memberi kami ijin. Ketika hunting foto, ketika membuat kopi, ketika memasak, ketika makan, ataupun ketika bersiap-siap. Kenapa ia harus memilih momen paling buruk? Momen di saat kami sudah teguh pendirian hendak berpindah ke lain hati. Momen ketika kami telah yakin tak mampu bersua dengan orang yang tadinya diharapkan. Momen di mana orang yang pernah kita sukai memberi sinyal cinta, namun waktunya sudah tak tepat lagi. Entah harus senang apakah dongkol.
Gakros pun berjalan kembali ke arah tim seraya bertanya, "Pie iki? Merbabu puncak apa Merapi Bubrah?"
"Merapi puncak ra oleh Gak?"
"Jo ngawur Nji, wong lagi siaga jare kok," sanggah Toyo. Ada benarnya juga, mengingat hujan abu semalam.
"Aku yo mung takon kok, Toy. Hmm, yawes manut ae. Merapi yo rapopo wong niate munggah kene kok."
"Aku ra masalah endi wae, sing penting seneng-seneng kok," Toyo menambahkan.
"Aku yo ho o."
"Melu-melu e Beng!"
"Ha kok nyenthe e Cong, lahloh ae."
"Yowes nek do ora ono sing keberatan, Merapi wae ngko sore mudhun. Pie?" ujar Gakros menyimpulkan.
Tentu saja tak ada yang keberatan. Orang-orang ini semua pernah mendaki dan memuncaki Merbabu, meskipun melalui jalur Wekas. Bagi mereka, pilihan Merbabu Selo ataupun Merapi Pasar Bubrah adalah perkara mudah. Bagi saya yang gagal memuncaki kedua gunung ini, mendaki Merapi namun hanya Pasar Bubrah merupakan pil pahit ibarat tradisi yang terulang. Ah, sudahlah. Toh niat saya bersenang-senang bersama teman-teman SMA setelah jemu berkutat dengan penatnya proses perkuliahan.
Mbuh pie carane, bongkar! |
Entah dari mana istilah "Nda" ini, apakah nama orang ataukah dari film, saya juga lupa. Akan tetapi setahu saya, fungsinya menggantikan sebutan panggilan orang lain.
"Kosek, Nda. Ewangi nata motor ki lho."
Motor yang tadinya telah siaga dengan gagah di pekarangan, diparkir kembali. Tas yang sudah terpacking rapi, diudal-udal tanpa ampun. Barang-barang yang tak diperlukan, dikumpulkan jadi satu di pojok ruangan.
"Gak, tenda pie?"
"Guwang ae."
"Tenane?"
"Iyo, ngko Anggra ben dadi pawang udan, mbuh pie carane."
Saya terkekeh mendengar percakapan tersebut. Jujur saya khawatir juga. Tenda tak dibawa. Alat masak hanya seperlunya. Sleeping bag pun ditinggal. Muatan yang tadinya 3 karier dan 4 ransel dipress menjadi 2 karier dan 3 ransel plus satu tas selempang. Peralatan tim dan konsumsi kemudian dibagi rata ke karier Gakros dan saya serta ransel Ibeng, Samcong, dan Kanji. Saya mengingatkan untuk tetap membawa mantel atau ponco demi alasan safety. Saya pun diam-diam mengangkut sleeping bag dan peralatan rescue ke dalam karier. Setelah berbulan-bulan dibiasakan, rasanya tak tenang kalau mendaki tanpa prosedur safety yang sesuai.
Bersiap berangkat |
"Menengo su. Ngoco!!" balas Toyo. Yah Kombir memang tidak membawa apapun kecuali pakaian yang menempel dan sweater yang dikalungkan ke lehernya.
"Pemanasan sik Gak!" perintah Kanji ketika kami hendak berjalan naik. Tak berani membantah dan demi alasan keselamatan, kami pun pemanasan dan peregangan meski hanya sebentar. Maklum saja, niatan awal kami adalah camp di gunung dan bermalam di atas. Wajar saja kalau kami tak sabar mengejar impian yang sudah pasti tak mungkin terealisasi.
Usai pemanasan, kami berdoa memohon keselamatan dan kelancaran pendakian. Mendaki di tengah Merapi sedang siaga memang nekat, namun kami tetap berusaha menyadari batas-batas kemampuan kami tanpa menantang maut. "Yo munggahe alon wae, ojo ninggali. Ngko nek ana sing kesel gawa tas ben Toyo karo Kombir genteni."
"Wegah aku."
"Su e Toy!" balas Ibeng.
"Wah foto sik iki penake," ucap Kanji lirih, mungkin pengingat untuk dirinya sendiri. Akan tetapi setiap perkataannya bak komando, titah yang tak terpatahkan.
Akhirnya.... |