No Post On October

No Post On October
It was a special month. Every day is a new day of hope, supposedly, since that institution promised will give me the news in this week. The information I had been waiting for a year and a half. The announcement that anticipated by every candidate. Four turned out to be five, and six catch up shortly. They mentioned four to six, did not they?

However, that bright expectation of a new day turned out to be an unavoidable hopelessness. Every morning the anxiety came by and left me in despair, but I survived -clinging to something that called determination. Yes. The determination of waiting.

Waiting is the most useless activity. Fortunately, eighteen months of struggling gave me the ability to learn the art of waiting. Patience - became the key of this new skill. I ignored all my fear and anxiety, focusing on something that made me active. I ought to do something productive, you might say, to changing the focus of my mind. On the other hand, all I did in that special month is doing nothing patiently. I waste the most precious treasure in the world, time. The impact is significant, in a negative way, and forced me to be more anxious and scared. The new me, the more negative version of me, became too scared to doing anything. Too scared to come out and socialized. Too scared to meet anyone. Too scared to write something in this portal.

Dang, I already posted one, though.

Mission unaccomplished.

Laste

Laste
Aku pun duduk termangu, di atas kendaraan kesayangan, menanti sebuah pintu terbuka. Pintu yang selalu membawanya kepada kebahagiaam. Kau adalah alasannya, Kau adalah pembawa kebahagiaan itu, Kau adalah Sang Lentera penuh kasih yang pijarnya selalu menerangi jiwa yang dingin nan kesepian. Terangnya cahaya penuh kehangatan itu hanya dibatasi oleh pintu kayu hitam legam yang penuh kenangan antara Kau dan Aku. Tak peduli siang maupun malam, panas terik atau hujan badai, Aku perhatikan kilau cahayanya tak kunjung padam meskipun telah sekian lama.

Pintu itu terbuka, terlihat paras elok seorang perempuan bercahaya di ambang pintu yang penuh makna tersebut. Aku hanya tersenyum simpul dan berkomentar, "tumben sudah siap."
"Ya, tentu saja. Ini hari yang spesial," balas yang diajak bicara.
"Tepat. Lama sekali kita tak berjumpa."

Kau pun langsung memposisikan diri di singgasana yang tersedia. "Mau ke mana kita?" tanya Aku, pertanyaan klasik yang selalu kesulitan untuk Kau jawab. 
"Tidak tahu, Aku ingin ke mana?"
"Entah, aku pun tak tahu." Sebuah jawaban yang aneh bagi si pembonceng. Sepengetahuan dirinya, si pengendara kendaraan roda dua ini selalu punya tujuan, selalu tahu akan ke mana. 
Hening.
"Jalan saja dulu," akhirnya Kau memerintah, demi memecah kebisuan.
Aku terdiam, namun motornya dijalankan perlahan-lahan.

Berkendara tanpa tujuan seakan telah menjadi ritual bagi Kau dan Aku, yang menjadikan ini sebagai momen pelarian diri dari realita. Menjadikan dunia ini milik berdua saja, plus motor bebek 100cc. Akan tetapi, Aku selalu tahu tempat-tempat yang menarik, rute-rute yang menyenangkan, dan membuat momen itu tidak sekadar menghabiskan waktu tanpa makna. Ritual tersebut adalah satu hal yang pasti dilakukan di akhir pertemuan mereka.

"Maaf..hanya roda dua. Maaf," desis Aku terbata-bata.
"Jangan pernah berkata seperti itu."
Kemudian hening.
"Bolehkah?" ucap yang duduk di belakang sembari mempertemukan kedua telapak tangannya melalui pinggang yang duduk di depannya.
Aku tak menjawab, pertanyaan itu seakan tak membutuhkan jawaban. "Tak ada seorangpun yang bisa menolak permintaan itu," bisik hati kecilnya.

Kau menggosokkan kepalamu ke punggung Aku. Beberapa gosokan ia awali sebelum menempatkan pelipis kanannya di titik yang paling nyaman pada lahan yang bidang itu. Betapa hangat, betapa menenangkan. Aku selalu iri dengan punggungnya yang selalu berkesempatan menikmati tulusnya sentuhan dari belakang. Tetapi apa daya. Saat ini Aku hanya mampu mengerahkan kemampuan seluruh syaraf di tubuh demi menikmati kenyamanan yang ditularkan si perempuan itu untuk sementara waktu.

Aku memperhatikan jari-jemari lentik yang menggelayut di perutnya. Indah nan cantik. Menentramkan, namun kini memilukan. Cincin emas bermata kristal tersemat di jari manis tangan kanan, suatu hal yang tak mungkin Aku jangkau. Hanya perak polos yang mampu Aku berikan untuk dirinya. Hanya saja Sang Perak tak sempat menunjukkan pamornya, karena Si Emas telah lebih dahulu hinggap dengan nyaman sejak minggu kemarin. Aku tersenyum simpul. Sadar bahwa perak kalah tanding, sadar bahwa perjalanan ini akan usai.

"Kamu sudah akan mengantarku pulang?" tanya Kau yang tersadar rute ini menuju kediamannya.
"Belum puaskah engkau bersamaku semenjak matahari terbit hingga petang?"
Kau terdiam, berharap matahari bergulir ke timur agar hari ini takkan pernah berakhir.
"Baiklah, satu putaran lagi," ujar Aku menguatkan dirinya yang sadar bahwa waktu takkan mampu terulang kembali.
Kau tersenyum puas, bahagia permintaannya dikabulkan, walaupun memang selalu demikian.

Hari telah beranjak larut. Aku menghentikan kendaraan sederhana tersebut tepat di depan pintu penuh kenangan yang ia hadapi pagi tadi. Kau pun turun.
"Jadi, Kau akan pindah?" ucap Aku. Ada nada sesal di dalam pernyataan itu.
"Padahal tempat ini penuh kenangan," balas Kau, mengiyakan tanpa jawaban sembari mengulurkan tangan untuk berpamitan seperti biasa, namun ini tak biasa.
"He-em," Aku raih tangan tersebut, dan tanpa sadar terpaku memandanginya, memperhatikan kemilau di jemari lentiknya.
"Eh! Maaf!" pekik Kau seraya menarik lengan dengan tergesa. Telapak itu pun disembunyikan di balik tubuhnya.

Kau berjalan mundur menuju ke pintu itu. Biasanya ia akan mengucap "tunggu aku hingga masuk ke dalam", lalu Aku mengangguk pelan tanpa sedetik pun melepas pandangnya dari Kau.

Kau telah berada di dalam, di tempat yang berbeda dengan Aku. Ia berbalik, memegangi daun pintu dengan tangan bergetar. Perlahan menutup potret masa lalu hubungan mereka berdua. Kau menarik nafas panjang, seakan ingin melepaskan beban yang amat berat. Satu kali. Dua kali. "Aku akan merindukanmu," ia berhasil mengungkapkan isi hati sebelum tangisnya pecah.

Aku duduk memandangi pintu yang tertutup itu. Tak ada jalan baginya untuk masuk. Ia mengangguk perlahan, meneguhkan hatinya. Cahaya yang ada di dalam pun perlahan temaram. Meredup.

Sang Lentera pun akhirnya padam.



Terinspirasi dari "Cinta dan Cahaya Ruang Tamu yang Padam", sebuah kisah nyata yang tak nyata.

161027 Heavy Rain

161027 Heavy Rain
It was a beautiful morning. Sunny but cool enough to repress my anxiety. Yes, THAT anxiety. I just sat in the corner of my room, in the other corner of the room my laptop tried to connect the internet, without any sign of succeeding. I took my phone. Nothing interesting in that thing, but I thought it is better than just sitting without any activity. Then, I turned on the mobile data. Wow, is it true? I cannot verify that news while my wi-fi down.

It was a mysterious afternoon. The sky started to drizzle. Some people might say that rain will only bring misfortune or bad premonition. Others might say, rain is 10 percent water and 90 percent memories. Well, in my opinion, rain is a good sign. Many great things happened to me on a rainy day. The slight rain transformed into a heavy rain. And I could not stop my joyful feeling. The cool rain spatters made me calm. Yeah, I always love this moment.

Is it the God's celebration? I am not sure until this moment. But since many memorable occurrences happened in the rain, I can only give a profound gratitude when it comes.