Aku pun duduk termangu, di atas kendaraan kesayangan, menanti sebuah pintu terbuka. Pintu yang selalu membawanya kepada kebahagiaam. Kau adalah alasannya, Kau adalah pembawa kebahagiaan itu, Kau adalah Sang Lentera penuh kasih yang pijarnya selalu menerangi jiwa yang dingin nan kesepian. Terangnya cahaya penuh kehangatan itu hanya dibatasi oleh pintu kayu hitam legam yang penuh kenangan antara Kau dan Aku. Tak peduli siang maupun malam, panas terik atau hujan badai, Aku perhatikan kilau cahayanya tak kunjung padam meskipun telah sekian lama.
Pintu itu terbuka, terlihat paras elok seorang perempuan bercahaya di ambang pintu yang penuh makna tersebut. Aku hanya tersenyum simpul dan berkomentar, "tumben sudah siap."
"Ya, tentu saja. Ini hari yang spesial," balas yang diajak bicara.
"Tepat. Lama sekali kita tak berjumpa."
Kau pun langsung memposisikan diri di singgasana yang tersedia. "Mau ke mana kita?" tanya Aku, pertanyaan klasik yang selalu kesulitan untuk Kau jawab.
"Tidak tahu, Aku ingin ke mana?"
"Entah, aku pun tak tahu." Sebuah jawaban yang aneh bagi si pembonceng. Sepengetahuan dirinya, si pengendara kendaraan roda dua ini selalu punya tujuan, selalu tahu akan ke mana.
Hening.
"Jalan saja dulu," akhirnya Kau memerintah, demi memecah kebisuan.
Aku terdiam, namun motornya dijalankan perlahan-lahan.
Berkendara tanpa tujuan seakan telah menjadi ritual bagi Kau dan Aku, yang menjadikan ini sebagai momen pelarian diri dari realita. Menjadikan dunia ini milik berdua saja, plus motor bebek 100cc. Akan tetapi, Aku selalu tahu tempat-tempat yang menarik, rute-rute yang menyenangkan, dan membuat momen itu tidak sekadar menghabiskan waktu tanpa makna. Ritual tersebut adalah satu hal yang pasti dilakukan di akhir pertemuan mereka.
"Maaf..hanya roda dua. Maaf," desis Aku terbata-bata.
"Jangan pernah berkata seperti itu."
Kemudian hening.
"Bolehkah?" ucap yang duduk di belakang sembari mempertemukan kedua telapak tangannya melalui pinggang yang duduk di depannya.
Aku tak menjawab, pertanyaan itu seakan tak membutuhkan jawaban. "Tak ada seorangpun yang bisa menolak permintaan itu," bisik hati kecilnya.
Kau menggosokkan kepalamu ke punggung Aku. Beberapa gosokan ia awali sebelum menempatkan pelipis kanannya di titik yang paling nyaman pada lahan yang bidang itu. Betapa hangat, betapa menenangkan. Aku selalu iri dengan punggungnya yang selalu berkesempatan menikmati tulusnya sentuhan dari belakang. Tetapi apa daya. Saat ini Aku hanya mampu mengerahkan kemampuan seluruh syaraf di tubuh demi menikmati kenyamanan yang ditularkan si perempuan itu untuk sementara waktu.
Aku memperhatikan jari-jemari lentik yang menggelayut di perutnya. Indah nan cantik. Menentramkan, namun kini memilukan. Cincin emas bermata kristal tersemat di jari manis tangan kanan, suatu hal yang tak mungkin Aku jangkau. Hanya perak polos yang mampu Aku berikan untuk dirinya. Hanya saja Sang Perak tak sempat menunjukkan pamornya, karena Si Emas telah lebih dahulu hinggap dengan nyaman sejak minggu kemarin. Aku tersenyum simpul. Sadar bahwa perak kalah tanding, sadar bahwa perjalanan ini akan usai.
"Kamu sudah akan mengantarku pulang?" tanya Kau yang tersadar rute ini menuju kediamannya.
"Belum puaskah engkau bersamaku semenjak matahari terbit hingga petang?"
Kau terdiam, berharap matahari bergulir ke timur agar hari ini takkan pernah berakhir.
"Baiklah, satu putaran lagi," ujar Aku menguatkan dirinya yang sadar bahwa waktu takkan mampu terulang kembali.
Kau tersenyum puas, bahagia permintaannya dikabulkan, walaupun memang selalu demikian.
Hari telah beranjak larut. Aku menghentikan kendaraan sederhana tersebut tepat di depan pintu penuh kenangan yang ia hadapi pagi tadi. Kau pun turun.
"Jadi, Kau akan pindah?" ucap Aku. Ada nada sesal di dalam pernyataan itu.
"Padahal tempat ini penuh kenangan," balas Kau, mengiyakan tanpa jawaban sembari mengulurkan tangan untuk berpamitan seperti biasa, namun ini tak biasa.
"He-em," Aku raih tangan tersebut, dan tanpa sadar terpaku memandanginya, memperhatikan kemilau di jemari lentiknya.
"Eh! Maaf!" pekik Kau seraya menarik lengan dengan tergesa. Telapak itu pun disembunyikan di balik tubuhnya.
Kau berjalan mundur menuju ke pintu itu. Biasanya ia akan mengucap "tunggu aku hingga masuk ke dalam", lalu Aku mengangguk pelan tanpa sedetik pun melepas pandangnya dari Kau.
Kau telah berada di dalam, di tempat yang berbeda dengan Aku. Ia berbalik, memegangi daun pintu dengan tangan bergetar. Perlahan menutup potret masa lalu hubungan mereka berdua. Kau menarik nafas panjang, seakan ingin melepaskan beban yang amat berat. Satu kali. Dua kali. "Aku akan merindukanmu," ia berhasil mengungkapkan isi hati sebelum tangisnya pecah.
Aku duduk memandangi pintu yang tertutup itu. Tak ada jalan baginya untuk masuk. Ia mengangguk perlahan, meneguhkan hatinya. Cahaya yang ada di dalam pun perlahan temaram. Meredup.
Sang Lentera pun akhirnya padam.
Terinspirasi dari "Cinta dan Cahaya Ruang Tamu yang Padam", sebuah kisah nyata yang tak nyata.