Daden Geni

Daden Geni

Tungku api dari kayu, rangkaian reranting dan kayu-kayu kecil...

Operasional Jobolarangan! Wah banyak hal mengesankan yang terjadi di tempat ini tahun lalu, FUD 2012. Dan operasional kali ini pun tim gunung main-main ke tempat ini lagi. Jobolarangan tepatnya ada di daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, Tlogo Dlingo. Masih naik lagi dari Tawangmangu. Selatan persis Gunung Lawu, baik dari Cemara Sewu maupun Cemara Kandang.

Survival. Di Palapsi kami berlatih untuk bertahan hidup dengan logistik dan perlengkapan seadanya ketika di gunung. Konsep survival Palapsi adalah kesalahan managerial, maksudnya ketika pendakian yang direncanakan 3 hari (misalnya) karena satu dan lain hal jadi molor lebih dari 4 hari. Tidak seperti pecinta alam lain yang benar-benar dilepas di alam rimba hampir tanpa perlengkapan. Makanya kami meskipun survival, tapi kami masih bawa peralatan lengkap seperti tas karier, pakaian ganti, maupun ponco.

Daden geni. Ya, untuk memasak kami tidak menggunakan kompor. Tidak pula menggunakan bebatuan yang saling dipukulkan ataupun kayu yang digesek-gesekkan. Kami menggunakan lilin dan korek api. Agak modern dikit, hasil dari pemikiran para pendahulu. Realistis dan praktis. Akhirnya dengan lilin dan korek api itulah yang membantu kami untuk daden geniDaden geni tu istilah dalam Bahasa Jawa, ya mungkin terjemahan dari "menyalakan api".

Anganku pun melayang pergi menuju masa lalu yang tak mampu kudekap lagi. Saat itu, ketika simbah masih sugeng semua, aku sering menunggui tungku masak ketika beliau sedang daden geni. Melihat. Memperhatikan. Tak berani aku berkomunikasi dengan beliau. Maklum Bahasa Jawa saya tidak lancar.

Beliau mulai mengambil kayu-kayu kering yang telah disimpan di depan rumah, tempat yang teduh.  Tiga batang kayu 

to be continued yaaa

Lelaki Bergelang

Lelaki Bergelang
Dia adalah perempuan yang murah senyum dan selalu tampak bahagia. Dia adalah perempuan yang tegar dan kuat. Dia adalah perempuan yang enggan terbuka dan bersikeras untuk menyimpan semua yang dirasakannya sendiri.

Suatu saat ia memutuskan untuk menerima dan membuka dirinya pada lelaki itu. Ia masih mempertahankan sifat-sifatnya, namun ia merasa risih dengan aksesoris yang melekat di pergelangan tangan kiri lelaki itu. Hingga ia lontarkan sebuah pertanyaan yang nampaknya telah dipendam sekian lama.

"Mengapa engkau menggunakan gelang?" tanya Dia.
"Mengapa engkau bertanya demikian?" balas lelaki itu, yang memang selalu bertanya balik ketika ditanyai.
"Tidak, aku hanya risih ketika seorang lelaki mengenakan gelang sepertimu. Tapi aku hanya ingin sekadar bertanya saja."
"Hmm..," lelaki itu berpikir sebentar kemudian tersenyum.
"Mengapa kau tersenyum?"
"Sejatinya, ini bukan gelang. Ini adalah memento, pengingatku pada Yang Maha Kuasa. Tiap aku melangkah di ketinggian, tiap aku menggerakkan kedua tanganku, dan tiap aku memanggul bebanku, benda yang kau sebut sebagai gelang ini akan senantiasa mengingatkanku pada Yang Maha Kuasa. Aku mengenakan benda yang kau sebut sebagai gelang ini bukan karena aku suka, Dia. Tetapi lebih kepada pengingat bahwa masih banyak yang harus kulakukan di dunia dengan Tuhan sebagai pegangannya."