Ibarat orang makan.
Orang yang dipaksa makan dalam jumlah besar dengan waktu yang singkat dan harus habis, pasti akan merasa kesal, jengkel, hingga marah-marah karena melewati batas.
Akan tetapi, jumlah yang sama besar namun dengan waktu yang lebih panjang akan membuat orang yang memakannya dapat menikmati makanan tersebut. Dan membuatnya lebih bersyukur.

"Pilihan adalah yang terbaik di antara yang baik-baik. Kalau konteksnya begini, saya yakin dengan pilihan saya. Ibarat daripada naga yang terbang dengan menawan di atas langit tapi hanya bisa mejeng, mending jadi semut yang meskipun tidak dihiraukan dan  lingkupnya kecil tapi bisa action."
Gatau dapet inspirasi dari mana nih, bisa jadi cuma quotation yang aku lupa sumbernya, atau aku modif. Atau apalah, terserah saja.
Yang penting curcol.

Terkadang

Terkadang
Terkadang kita kesal karena suatu hal yang tidak terduga terjadi. Terkadang kita sebal karena tidak mendapatkan hal yang sesuai harapan.
Terkadang kita jengkel karena menunggu suatu hal yang tidak pasti.
Terkadang kita hanya tidak tahu.
Karena hidup ini pun juga hanya kadang-kadang.
Karena "Never Give Up!" bukan hanya sekedar rangkaian kata-kata pemanis saja. Bukan hanya soal operasional saja. Bukan hanya  seputar skill fisik saja. Tapi juga masalah perasaan.

Slamet, Akhirnya Menyentuh Jogja 12.05.2013

Slamet, Akhirnya Menyentuh Jogja 12.05.2013
Mataku yang sedari tadi terpejam pun akhirnya sedikit demi sedikit terbuka. Alunan shalawat yang menjadi dering alarm hp seseorang terus berdendang. Mengganggu tidur, kalau boleh jujur. Kutengok hp, masih jam 03.00 dini hari. Ngantuk.

Ternyata Afiq yang ada di sebelahku juga ikut terjaga, ia segera beranjak. Aku yang tak bergeming dari posisi tidur pun penasaran dengan apa yang akan ia lakukan kemudian mengambil posisi duduk. Ia berjongkok beberapa meter di depanku, meraih ketel dan menuang air ke dalam gelas.

"Aku siji, bro." Ia tak menjawab, hanya menyodorkan gelas berisikan air putih. Kutenggak sampai habis. Haus.
"Aku mau ngimpekke si Bagus munggah Turgo (Aku tadi mimpi si Bagus naik Turgo)," ucapku.
"Aku ngimpi Dyaning nangis-nangis merga wetenge lara njuk njaluk diterke bali. Neng Padang. Diterke Enop (Aku mimpi Dyaning menangis terus-menerus karena perutnya sakit lalu minta diantar pulang. Ke Padang. Diantar Enop)," balasnya.
Hmm, obrolan yang sangat berkualitas di pagi hari. Segera saja kami berdua mapan dan memejamkan mata.

Alarm yang sama mengalun menghentak kurang lebih dua jam kemudian. Aku segera bangun. Jengkel. Tapi daripada berlama-lama dongkol, aku segera beranjak ke kamar mandi. Urusan perut. Daripada harus mengantri siang nanti (karena kamar mandi hanya satu di basecamp). Lega, aku bergegas ke masjid yang tak jauh dari basecamp. Mengasingkan diri.

Setelah merasa cukup bertemu dengan-Nya pagi itu, aku pun beranjak keluar. Ada Enop yang sedang telponan entah dengan siapa, yang jelas dia 2 bulanan sama pacarnya. "Mas, sendalku ilang," ujarnya. Mataku melirik ke ujung kakinya. "Mely". Kasian, tadinya "Joger" sekarang berganti rupa.

Di dalam basecamp ada beberapa pendaki yang baru datang, anak-anak yang lain pada ngobrol-ngobrol sedangkan aku berkutat dengan perihal makan. Ya, kalau engga makan ya ga pulang-pulang. Akhirnya dengan sedikit nyusu-nyusu, makanan pun datang. Langsung saja saya ajak anak-anak buat makan. Cepat makan, cepat pulang.

Ketika makan, Febri kuminta untuk segera mencari angkutan pulang sambil menunggu tim yang lain pada mengantri di depan kamar mandi. Dapat. 175 sampai Terminal Purbalingga. Tak berselang lama, tim sudah pada kembali. Aku berpamitan dengan pemilik basecamp dan beberapa pendaki yang ada di sana kemudian langsung saja : cabut!

Kami naik pickup dengan stiker rajabalap.com di bagian belakangnya. Benar saja, perjalanan turun ke Purbalingga pun ia mbalap. Sampai Afiq (yang ada di paling belakang) terlempar-lempar. Ia jongkok, pegangan dan bersiap lompat (sambil jongkok) ketika melewati jalanan rusak, namun apa daya usahanya tampak sia-sia. Terlihat dari ekspresinya yang sangat ekspresif.

Sekitar 1 jam dari basecamp kami sampai di Terminal Purbalingga, jam 9 kurang lebih. Usai angkut mengangkut tas, kami masuk mencari tumpangan ke Yogyakarta. Satu kesalahan fatal. Tidak ada bus ekonomi tujuan Yogyakarta dari Terminal Purbalingga. TIDAK ADA. Yang ada hanya bus efisiensi, fyeaah. Akhirnya kami memutuskan untuk ke Terminal Purwokerto saja, mencari bus yang sudi mengantar ke kampung halaman.

Febri (yang emang pos transport) mencari bus ke Purwokerto, namun ternyata ia malah digeret sama kernet bus. Tas gunungnya disunggi si kernet dan langsung ditaruh di atap bus. Buat kamu yang lagi baca ini, pokoknya jangan sekali-sekali menyerahkan barangmu (apapun itu) ke orang asing. Fatal akibatnya. Sungguh. Si kernet emang kernet bus ke Purwokerto. Tapi tindak-tanduknya kok mencurigakan. Sungguh mencurigakan.

Aku tanya ke Febri kok ngambil bus yang ini dan menyampaikan asumsiku terhadap gelagat si kernet. Dia pasrah saja. Yaudahlah, gimana lagi. Aku pun ikut pasrah. Ternyata kuliah selama hampir 4 semester di Psikologi tidak sia-sia, asumsiku dan beberapa rekan yang lain tepat. Sangat tepat. Saat bus uda jalan, si kernet narikin ongkos. Febri langsung saja memberi 40ribu. Maklum saja, ongkos Purwokerto Purbalingga itu kisaran 6000. Paling mahal 7000 (uda termasuk tas gunung). Tapi si kernet minta 15000, per orang! Sontak saja aku emosi dan kami berdua berdebat dengan si kernet itu. Usai berdebat cukup panjang (aku uda males nanggepin jadi aku serahin Febri), kami membayar 10000 per orang. Tentu saja dengan berbagai pisuhan dan kutukan terlebih dahulu.

Ternyata oh ternyata, bukan hanya kami yang dikemplang (dikenai harga yang tidak wajar, umumnya jauh lebih mahal). Semua yang ada di bus itu pun kena. Wah, wah rejeki yang tidak barokah ini namanya. Parah. Aku yang sedari tadi getem-getem hanya bisa meminta maaf pada Tuhan dengan memainkan butiran gelang. Tapi ada dua orang yang menarik perhatianku. Dua mbak-mbak alay dengan jeans dan atasan yang tabrak warna serta corak bermacam-macam. Dengan rambut yang di cat warna emas dan helm berkualitas yang ditenteng, keduanya mengobrol dengan seru. Satu hal yang menggelitik, keduanya enggan terdengar ngapak dan menggunakan bahasa gaul. Kami yang sudah empat hari bergelut dengan ngapakers dan sudah biasa, jadi merasa asing mendengar keduanya berbicara. Tapi ya namanya logat bawaan, di dalam bahasa gaul yang mereka gunakan secara engga sadar logat ngapaknya muncul. Usaha yang keras.

Sampai juga kami di Terminal Purwokerto, saat itu pukul 09.45. Segera saja kami mencari bus. Dapat. Yah meskipun harus menunggu sekitar 45 menit sih, gapapa yang penting pulang. Kurang lebih 10.30 kami meluncur dari Purwokerto menuju Jogja. Ya, Yogyakarta.

Empat hari aku berpisah dengan Jogja, hal yang berat. Berpisah dengan orangtua, teman-teman, internet, komik, dan lain sebagainya ternyata berat juga. Aku yang sudah tidak sabar melihat suasana kota yang hangat menghabiskan waktu di bus dengan ngemil, baca koran, dan pastinya tidur. Memimpikan Jogja.

Jam 15.45 kami sampai di Terminal Giwangan, Yogyakarta! Yap kami tinggal menunggu jemputan dari senior Palapsi, Mas Indra, terus culat dilanjutkan eva dan berakhirlah operasional ini. Operasional Sluman Slumun Slamet yang sarat pengalaman baru telah mencapai bagian post during, hampir ending. Masing-masing dari tim gunung punya pengalaman menarik yang tentu beda satu sama lain. Bukan masalah besar bagiku, yang menjadi PO (pimpinan operasional) kali ini, karena pengalaman itu bisa dishare. Satu hal yang utama, akhirnya kami menyentuh Jogja!

Sepanjang Humaniora 04.10.11

Sepanjang Humaniora 04.10.11
Iseng iseng baca, ternyata ada tulisan-tulisan lawas. Yah mumpung lagi ga ada inspirasi nulis, mending dicopas aja. Haha.

Ufuk timur menyambutku di atas sampan
Cahaya terang menerjang menyilaukan mata
Helaian angin membelai menyejukkan jasad
Gemericik air bersenandung lembut, membuai
Terbayang di langit, senyummu yang kusuka
Kenangan itu takkan pernah karam tercelup
Perjalanan singkat yang indah bersama
Memori terburai dan kini mulai mengental
Sajak demi sajak terangkai untuk dirimu
Ku ingin merengkuhmu di bawah bintang yang mengerlip
Sungguh ku bahagia meski hanya ilusi
Kabut pekat datang menghampiri kami, dingin
Terik matahari yang sedari tadi menghitamkan kulit kami pun berganti peran dengan Sang Kabut
Asap hasil kerja kawah yang membumbung tinggi
Menambah pesonanya yang garang tetapi elegan, keras namun juga lembut
Di atas bebatuan berpasir yang labil kami berpijak
Ditambah pepohonan menghijau nun jauh di sana
Dunia yang asing

Area Selatan Merapi, Turgo, 05.05.2013
Pernahkah kamu melihat sesuatu yang indah dan garang pada saat yang bersamaan?
Yang membuat adrenalin aktif sehingga jantung berdegup kencang,
namun juga tenang akibat terbuai pesonanya.
Pernahkah?

Deles,  28.04.2013

Yang Sabar Yaa - Pesan Buat Kamu

Yang Sabar Yaa - Pesan Buat Kamu
Setelah kuingat-ingat, ternyata aku sudah tidak menulis selama hampir 2 minggu berturut-turut. Haha. Ya sudahlah, kemarin memang lagi banyak pikiran kok. Tapi kali ini sudah terlepas dari semuanya. Memang sudah bawaan ga suka diatur dan dikekang kali ya, jadi sering malas untuk melakukan hal yang ribet-ribet. Begitu megang hal yang ribet jadi gabisa mikir yang lain. Hedeh, urip kok digawe susah.

Oke, sebagai "pembalasan" mungkin aku akan ngepost beberapa tulisan yang satu dua di antaranya merupakan kewajibanku dalam pos dokumentasi saat ops gunung di FUD 2013. Tapi tidak menutup kemungkinan juga untuk menuliskan hal yang lain. Well buat kamu yang lagi baca tulisan ini, yah sabar ya karena mungkin aku akan "menyiksa"mu dengan berbagai tulisanku.

Boleh kan? Boleh kan?

Sebenarnya pertanyaan itu ga perlu, wong kamu bisa lari dari "siksaan" ini kok dengan tidak membaca sama sekali. Tapi kalo kamu emang suka di"siksa" dengan tulisanku yah itu kan pilihan yang uda kamu ambil.

Thanks, anyway.

Slamet, Sebuah Pemberangkatan 09.05.2013

Slamet, Sebuah Pemberangkatan 09.05.2013
Wuah, sudah pagi! Aku pun bergegas mandi dan mempersiapkan beberapa barang yang hendak kubawa hari ini. Gunung Slamet. Ya. Sebuah perjalanan yang gagal kulakukan karena ada suatu insiden yang tak mengenakkan tahun lalu, ketika FUD 2012 tepatnya. Kali ini harus bisa. Harus mampu! Gunung Slamet.

Sebenarnya tim tahun lalu, kecuali aku, sudah pada muncak semua. Mungkin karena itulah Afiq, Yandi, dan senior gunung lainnya lebih memilih Gunung Sumbing untuk dijadikan tempat latihan pada awalnya. Tetapi karena satu hal dan yang lain, akhirnya Gunung Slamet menjadi ajang pendakian dalam FUD 2013. Konsekuensinya, aku harus jadi PO (Project Officer) alias ketua pelaksana operasional. Fyeaah.

Seperti biasa sesuai ritme Palapsi, selalu ada persiapan berupa latihan fisik dan briefing mengenai ops kali ini. Dan ketika briefing, aku menginstruksikan untuk kumpul di sekret jam 07.00. Sekarang pukul 06.45, dan aku masih menunggu batere kamera agar segera penuh. Ayo penuh, ayo penuh, harapku sambil agak cemas. 06.55, sontak saja aku cabut kabel charger, berpamitan dengan keluarga, terus siap-siap berangkat. 

Aku hanya membawa tas selempang kecil yang berisikan bekal makanan untuk perjalanan. Tas carrier sudah berada di sekret, males ribet di hari keberangkatan. Ibu membawakan roti ater-ater (roti yang didapat dari hajatan), untuk perjalanan, ucap beliau. Segera saja aku memacu revo hitamku secepat mungkin (padahal kecepatan maksimalnya cuma 55-60 km/jam). Nasib tak dapat diubah, takdir tak dapat ditolak. Aku terlambat.

Aku datang dan sekret sudah ramai. Secara umum terbagi atas dua tim. Tim gunung dan tim pengantar. Tim gunung meminta tolong kepada orang-orang yang selo untuk mengantar kami ke terminal. Tidak enak hati kalau dipikir-pikir, kita minta tolong eh malah bikin nunggu. Untunglah ada kue dari Ibu, langsung saja aku suguhkan pada para pengantar biar mengobati sedikit rasa tidak nyaman ketika menunggu saya. Hehehe.

Checklist dan checking barang-barang, aku memutuskan untuk packing ulang agar bentuknya lebih padat dan cantik. Bawaan tim dengan harga diri yang tinggi kali ya, begitu bentuk tasnya ga cantik langsung packing ulang. Cuma Afiq yang kuat mental dihina karena tasnya kotak, benar-benar kotak sempurna. Setelah prosesi persiapan selesai, upacara pun dilangsungkan dengan menjelaskan perjalanan dan menyanyikan Hymne Palapsi. Seremoni yang sakral dilanjutkan dengan berpamitan. Saking seringnya melakukan prosesi ini, kami kadang gojek dengan mengucap "Tiya, tiya. Titiyaa. (Intinya: hati-hati yaa)".

Pos transport dengan cekatan membagi kami berpasang-pasang: tim gunung dan tim pengantar. Gerry dengan Febri, Wahyu-Enop, Dhika-Yandi, Brain-Afiq, Fauzi-Dyaning, dan aku berboncengan dengan Faris. Jerry dan Awang pun turut menyertai perjalanan kami menuju terminal. Hanif, Ghozi, dan Uki harus berlapang dada karena tidak kebagian kewajiban mengantar (entah lega atau kecewa).

Perjalanan berlangsung cukup lama karena sang leader memutuskan untuk mengambil jalan memutar lewat ringroad. Yah padahal bisa saja lewat jalur dalam, tapi ya sudahlah dinikmati saja. Aku mengajak Faris untuk bercengkrama sambil membunuh kebosanan. Entah gimana asal-usulnya, Brain dan Afiq menghilang dari pandangan. Hilang. Mungkin ditelan bumi, mungkin nyasar, mungkin. Usut punya usut, ternyata motor milik Brain bannya gembos. Mungkin keberatan beban kali ya. Atau doa Pak Haji yang satu ini kurang kuat untuk menahan ban dari serangan jalanan yang beringas. Bisa jadi.

Sesampainya di terminal, segera saja kami mengantri bus. Yah menunggu setengah jam deh. Tetapi alhamdulillah kami dapat transport sampai ke terminal Purwokerto. Di jalan kita hanya tidur-tiduran dan leyeh-leyeh saja. Sambil melihat kiri-kanan panorama alam yang begitu asing bagiku yang belum pernah melewati kawasan ini. Asing namun indah.

Lima setengah jam yang tak membosankan pun diakhiri dengan turunnya kami di terminal purwokerto. Segera saja kami mencari bus menuju ke daerah Bobotsari sebelum dirubung oleh para kenek bus yang sedang mencari rezeki. Dapat. Tas ditumpuk di belakang dan kami pun memposisikan diri senyaman mungkin di bus dengan sopir yang asoy abis, nyetirnya luar biasa bikin speechless. Ugal-ugalan tapi aman nan berseni. Asik banget. Enop yang notabene asing dengan bus macem beginian mukanya pucat pasi, berkebalikan dengan tim yang nampaknya menikmati.

Perjalanan kami dibumbui oleh tragedi jatuhnya rangkaian kursi dari mobil pick-up di depan kami. Untung saja hanya kursi lipat yang kecil, coba kalau rangkaian besi atau kayu-kayu. Jadi final destination deh ntar. Awalnya sebuah kursi melorot dari atas, kemudian satu demi satu pun jatuh dan banyak kursi yang mengikuti. Alhamdulillah ga ada korban kursi yang terlindas.

Pertigaan Serayu. Sekitar 60 menit dari awal perjalanan kami. Tas langsung kami turunkan dan bergegas mencari angkutan untuk ke basecamp sebelum habis. Dapat. Berhubung kami cuman berenam, tarif yang dikenakan pun cukup mahal. Dua puluh ribu per orang. Fyeaah. Tak apa-apa, yang penting sampai di basecamp.

Jalan yang ditempuh cukup ekstrim dengan tanjakan-tanjakan yang luar biasa mencekam (bagi saya). Tegakan-tegakan yang seperti dinding di depan mata sudah cukup untuk menggetarkan nyali. Pemandangan yang didominasi oleh area ladang seakan memanjakanku yang memang kangen dengan nuansa pedesaan. Satu hal lagi, garangnya Gunung Slamet. Ia tampak menjulang kokoh dan tegap seakan tak akan mampu dibuat bergeming. Adrenalinku terpacu. Hanya dengan melihatnya saja aku merasa degup jantungku semakin cepat. Wahai Gunung Slamet, bolehlah aku mengunjungimu kali ini.

Satu jam sudah saya kependeng (terhimpit) oleh tumpukan tas gunung di bagian belakang angkutan ini. Ia pun berhenti. Alhamdulillah. Sampai di basecamp. Kami menginap semalam dulu di basecamp milik Mas Didin sambil leyeh-leyeh dan santai-santai. 

Beberapa pendaki sempat bercengkrama dengan kami, menambah kenalan. Memang hampir selalu demikian. Ketika mendaki, minimal kita tahu dari mana asal pendaki lain. Kalau sempat dan mampu, perbincangan pun bisa berlanjut ke hal-hal lain seperti umur, pekerjaan, bahkan status percintaan. Akan tetapi tak lama kemudian ada rombongan dari Jakarta datang dalam skala besar. Mungkin 50an orang, pendakian massal nampaknya. Aku yang memang tidak terlalu suka dengan keramaian pun sedikit mangkel. Tapi apa daya, wong tempat umum kok. Akhirnya aku pun memutuskan untuk memejamkan mata, beristirahat untuk pendakian esok hari. Sampai jumpa lagi, dunia.


Karena bebas tak selamanya hanya berarti fisik    
Tetapi juga mental    
Bahkan lebih utama bebas secara mental    

(dari kanan) : Wahyu, Afiq, Yandi, Isti, Moni, Diyan, Hanif, Gerry, Anggra
Lembah Mandalawangi, Pangrango, 2012