Wuah, sudah pagi! Aku pun bergegas mandi dan mempersiapkan beberapa barang yang hendak kubawa hari ini. Gunung Slamet. Ya. Sebuah perjalanan yang gagal kulakukan karena ada suatu insiden yang tak mengenakkan tahun lalu, ketika FUD 2012 tepatnya. Kali ini harus bisa. Harus mampu! Gunung Slamet.
Sebenarnya tim tahun lalu, kecuali aku, sudah pada muncak semua. Mungkin karena itulah Afiq, Yandi, dan senior gunung lainnya lebih memilih Gunung Sumbing untuk dijadikan tempat latihan pada awalnya. Tetapi karena satu hal dan yang lain, akhirnya Gunung Slamet menjadi ajang pendakian dalam FUD 2013. Konsekuensinya, aku harus jadi PO (Project Officer) alias ketua pelaksana operasional. Fyeaah.
Seperti biasa sesuai ritme Palapsi, selalu ada persiapan berupa latihan fisik dan briefing mengenai ops kali ini. Dan ketika briefing, aku menginstruksikan untuk kumpul di sekret jam 07.00. Sekarang pukul 06.45, dan aku masih menunggu batere kamera agar segera penuh. Ayo penuh, ayo penuh, harapku sambil agak cemas. 06.55, sontak saja aku cabut kabel charger, berpamitan dengan keluarga, terus siap-siap berangkat.
Aku hanya membawa tas selempang kecil yang berisikan bekal makanan untuk perjalanan. Tas carrier sudah berada di sekret, males ribet di hari keberangkatan. Ibu membawakan roti ater-ater (roti yang didapat dari hajatan), untuk perjalanan, ucap beliau. Segera saja aku memacu revo hitamku secepat mungkin (padahal kecepatan maksimalnya cuma 55-60 km/jam). Nasib tak dapat diubah, takdir tak dapat ditolak. Aku terlambat.
Aku datang dan sekret sudah ramai. Secara umum terbagi atas dua tim. Tim gunung dan tim pengantar. Tim gunung meminta tolong kepada orang-orang yang selo untuk mengantar kami ke terminal. Tidak enak hati kalau dipikir-pikir, kita minta tolong eh malah bikin nunggu. Untunglah ada kue dari Ibu, langsung saja aku suguhkan pada para pengantar biar mengobati sedikit rasa tidak nyaman ketika menunggu saya. Hehehe.
Checklist dan checking barang-barang, aku memutuskan untuk packing ulang agar bentuknya lebih padat dan cantik. Bawaan tim dengan harga diri yang tinggi kali ya, begitu bentuk tasnya ga cantik langsung packing ulang. Cuma Afiq yang kuat mental dihina karena tasnya kotak, benar-benar kotak sempurna. Setelah prosesi persiapan selesai, upacara pun dilangsungkan dengan menjelaskan perjalanan dan menyanyikan Hymne Palapsi. Seremoni yang sakral dilanjutkan dengan berpamitan. Saking seringnya melakukan prosesi ini, kami kadang gojek dengan mengucap "Tiya, tiya. Titiyaa. (Intinya: hati-hati yaa)".
Pos transport dengan cekatan membagi kami berpasang-pasang: tim gunung dan tim pengantar. Gerry dengan Febri, Wahyu-Enop, Dhika-Yandi, Brain-Afiq, Fauzi-Dyaning, dan aku berboncengan dengan Faris. Jerry dan Awang pun turut menyertai perjalanan kami menuju terminal. Hanif, Ghozi, dan Uki harus berlapang dada karena tidak kebagian kewajiban mengantar (entah lega atau kecewa).
Perjalanan berlangsung cukup lama karena sang leader memutuskan untuk mengambil jalan memutar lewat ringroad. Yah padahal bisa saja lewat jalur dalam, tapi ya sudahlah dinikmati saja. Aku mengajak Faris untuk bercengkrama sambil membunuh kebosanan. Entah gimana asal-usulnya, Brain dan Afiq menghilang dari pandangan. Hilang. Mungkin ditelan bumi, mungkin nyasar, mungkin. Usut punya usut, ternyata motor milik Brain bannya gembos. Mungkin keberatan beban kali ya. Atau doa Pak Haji yang satu ini kurang kuat untuk menahan ban dari serangan jalanan yang beringas. Bisa jadi.
Sesampainya di terminal, segera saja kami mengantri bus. Yah menunggu setengah jam deh. Tetapi alhamdulillah kami dapat transport sampai ke terminal Purwokerto. Di jalan kita hanya tidur-tiduran dan leyeh-leyeh saja. Sambil melihat kiri-kanan panorama alam yang begitu asing bagiku yang belum pernah melewati kawasan ini. Asing namun indah.
Lima setengah jam yang tak membosankan pun diakhiri dengan turunnya kami di terminal purwokerto. Segera saja kami mencari bus menuju ke daerah Bobotsari sebelum dirubung oleh para kenek bus yang sedang mencari rezeki. Dapat. Tas ditumpuk di belakang dan kami pun memposisikan diri senyaman mungkin di bus dengan sopir yang asoy abis, nyetirnya luar biasa bikin speechless. Ugal-ugalan tapi aman nan berseni. Asik banget. Enop yang notabene asing dengan bus macem beginian mukanya pucat pasi, berkebalikan dengan tim yang nampaknya menikmati.
Perjalanan kami dibumbui oleh tragedi jatuhnya rangkaian kursi dari mobil pick-up di depan kami. Untung saja hanya kursi lipat yang kecil, coba kalau rangkaian besi atau kayu-kayu. Jadi final destination deh ntar. Awalnya sebuah kursi melorot dari atas, kemudian satu demi satu pun jatuh dan banyak kursi yang mengikuti. Alhamdulillah ga ada korban kursi yang terlindas.
Pertigaan Serayu. Sekitar 60 menit dari awal perjalanan kami. Tas langsung kami turunkan dan bergegas mencari angkutan untuk ke basecamp sebelum habis. Dapat. Berhubung kami cuman berenam, tarif yang dikenakan pun cukup mahal. Dua puluh ribu per orang. Fyeaah. Tak apa-apa, yang penting sampai di basecamp.
Jalan yang ditempuh cukup ekstrim dengan tanjakan-tanjakan yang luar biasa mencekam (bagi saya). Tegakan-tegakan yang seperti dinding di depan mata sudah cukup untuk menggetarkan nyali. Pemandangan yang didominasi oleh area ladang seakan memanjakanku yang memang kangen dengan nuansa pedesaan. Satu hal lagi, garangnya Gunung Slamet. Ia tampak menjulang kokoh dan tegap seakan tak akan mampu dibuat bergeming. Adrenalinku terpacu. Hanya dengan melihatnya saja aku merasa degup jantungku semakin cepat. Wahai Gunung Slamet, bolehlah aku mengunjungimu kali ini.
Satu jam sudah saya kependeng (terhimpit) oleh tumpukan tas gunung di bagian belakang angkutan ini. Ia pun berhenti. Alhamdulillah. Sampai di basecamp. Kami menginap semalam dulu di basecamp milik Mas Didin sambil leyeh-leyeh dan santai-santai.
Beberapa pendaki sempat bercengkrama dengan kami, menambah kenalan. Memang hampir selalu demikian. Ketika mendaki, minimal kita tahu dari mana asal pendaki lain. Kalau sempat dan mampu, perbincangan pun bisa berlanjut ke hal-hal lain seperti umur, pekerjaan, bahkan status percintaan. Akan tetapi tak lama kemudian ada rombongan dari Jakarta datang dalam skala besar. Mungkin 50an orang, pendakian massal nampaknya. Aku yang memang tidak terlalu suka dengan keramaian pun sedikit mangkel. Tapi apa daya, wong tempat umum kok. Akhirnya aku pun memutuskan untuk memejamkan mata, beristirahat untuk pendakian esok hari. Sampai jumpa lagi, dunia.