Ipeka Limbera

Ipeka Limbera
Ipeka limbera ayas bugo bugabo
Ipeka limbera ayas bugo bugabo
Ayas sakele mukele
Ayas bugo bugabo

Ayas sakele mukele
Ayas bugo bugabo
Ayas...ayas...ayas...ayas...ayaas!
Ayas...ayas...ayas...ayas...ayaas!

Pertama kali kulihat di buku panduan mahasiswa baru, komentarku hanya lagu apa sih ini kok rada ga jelas ga jelas gimana gitu. Oke, kita cari tahu pas PRK (Psikologi Rumah Kita) alias ospeknya Psikologi UGM. Tapi ga sekalipun lagu ini didendangkan saat itu, yah mungkin karena terlalu padatnya acara jadi momen untuk lagu ini 'dipotong'. Hmm, paling pas makrab ntar juga dikasih tau. Nyatanya, aku masih belum paham apa maknanya waktu itu. Pas itu emang engga secara langsung dikasih tau, tapi anak-anak Palapsi pada main limbo sambil nyanyiin Ipeka Limbera dengan semangat dan tempo yang menghentak. 

Oke, apa sih limbo itu? Menurut pencarian di google, limbo atau tarian limbo tu atraksi melewati bawah tali yang direntangkan atau tiang dengan cara membungkukkan badan ke belakang. Mungkin masih saudara sama kayang kalik ya. Tiap putaran, tinggi tiang/tali yang direntangkan makin pendek, menguji kelenturan kita. Hahaha.

Waktu terus berjalan, gak terasa udah hampir genap setahun aku ada di Psikologi. Tentu tiap tahunnya akan ada mahasiswa baru yang datang. Dan pasti ada satu pertanyaan besar mengganjal waktu mereka denger Ipeka Limbera. Kemudian sebuah pertanyaan tak terelakkan pun pasti terucap, apaan sih artinya nggra? (kalo mereka pas tanya aku). Lalu jawaban yang akan kulontarkan kurang lebih seperti ini, wah aku juga gatau e apa artinya. Tapi walaupun gatau arti lagu itu, makna lagunya uda sampai ke kita-kita kan?

Well kalau pembaca sekalian tau artinya, jangan disimpen sendiri ya. Nggak indah kan kalo nanti jawabanku ini jadi kuucapkan kepada para penanya kelak? -_-

*foto menyusul

24-25.11.12 Ops Diklat Turgo

24-25.11.12 Ops Diklat Turgo

                Aih, pagi telah menjelang. Saya pun terduduk di atas kasur tidurku yang empuk. Jantung berdebar, makin lama makin terasa, makin kencang. Operasional terakhir dari rangkaian diklat, gunung. Survival. Sudah lama rasanya saya engga setegang ini. Yah maklum lah, kenangan survival terakhir yang saya lakukan di Ungaran berjalan dengan chaos meskipun target yang dituju terpenuhi. Takut? Ya. Tapi yaudah kunikmati aja ketakutan ini, toh dengan merasa takut saya merasa lebih hidup. Hidup yang datar kayaknya bukan aku banget karena banyak hal yang saya takuti.
                Setelah kubasuh diriku, saya pun turun untuk sarapan. Kali ini porsi makan sengaja saya lebihkan, preventif. Seusai berpamitan dengan keluarga, kukendarai revo hitam yang cantik dan segera melaju ke kampus. Karena ada satu dan lain hal, saya pun belok di pertigaan hukum dulu baru kemudian menuju kampus. Pukul 07.05 revo hitam parkir di kampus dan ternyata sekre uda ramai dengan orang-orang. Mata-mata antusias kulihat menanti keberangkatan yang tinggal sebentar lagi. Checklist dan persiapan pun dilaksanakan kemudian upacara, ritual Palapsi sebelum berangkat operasional. Empat kali Hymne Palapsi berkumandang dalam upacara tersebut, tanda banyaknya peserta yang berpartisipasi dalam operasional kali ini. Saya pun berpisah dengan motorku yang ada di kampus, nampaknya akan kurindukan dalam beberapa puluh jam ke depan.
                Kami pun berangkat menuju Turgo, saya berboncengan dengan Dyaning di atas motor Scoopynya sesuai dengan list transport yang dibagi. Yah karena dasarnya motor kota, dipakai nanjak pun bikin agak deg-degan. Akhirnya sampai juga dengan selamat sampai rumah Budi, meskipun motornya perlu didorong saat menaiki tanjakan maut. Kami langsung disambut oleh Budi dan ibunya. Setelah Building Raport beberapa saat, kami pun mulai pemanasan dan beberapa panitia sweeping barang bawaan kami. Pemanasan kami isi dengan canda tawa dan beberapa game, yah itung-itung mengurangi kadar stress kami. Haha.
Langkah panjang yang akan kami hadapi 2 hari ini, kami mulai dengan satu langkah pasti. Perjalanan baru saja dimulai ketika kami ‘nyasar’ ke jalan raya dan saya pun jadi kebingungan. Yap, intermezzo perjalanan. Anggap saja begitu. Trekking pun dilanjut sampai akhirnya kami beristirahat sebentar di antena. Rofiq yang kebagian membawa tali 100 menyerah dan mengakui betapa lemah dirinya sehingga Mas Awang pun mau gak mau membawa tali tersebut karena tanggung jawabnya sebagai perkap.
Setelah menyusuri punggungan Turgo, kami bertemu dengan beberapa bak penampungan air. Wah kebetulan sekali, langsung saja kami nikmati beberapa tetes air yang mengalir ke sana. Kerongkongan telah basah, meskipun belum puas. Trek menanjak menghadang langkah kami hingga beberapa kali langkah tim harus terhenti karena macet.  Saat-saat berhenti inilah sarana kami yang berdekatan untuk berdinamika, saling mengenal satu sama lain di gunung yang jujur ini.
Selama kurang lebih 2 jam kami berjalan, ada sebuah dataran yang cukup menampung kami semua untuk beristirahat. Kami pun berhenti untuk shalat dan orientasi medan. Sayangnya, kabut dan mendung terlalu setia hingga ormed yang kami lakukan pun kurang optimal. Jadinya kami pun malah mengumpulkan kayu-kayu demi kebutuhan nanti malam. Tenaga kembali, kami pun jalan lagi.
Tidak lama berselang, kami pun bertemu perempatan dan sebuah batu besar. Di sini kami belajar bentukan-bentukan gunung, seperti lembahan dan punggungan, itung-itung istirahat. Perjalanan pun dilanjutkan, kami mengikuti jalur yang telah ada hingga kami bertemu dengan padang ilalang yang didominasi dengan warna kuning tua dari rumput gajah. Indah. Apalagi jika mentari yang malu-malu bersembunyi di balik kabut itu memancarkan cahyanya. Pasti butiran air hujan yang bertengger di atas tanaman pun akan menyambut dan memantulkannya untuk menambah keindahan panorama kala itu.
Kira-kira pukul 16.30 kami sampai di titik camp. Beberapa kelompok telah membawa kayu dalam berbagai ukuran untuk menopang kebutuhan selama sehari ke depan. Kelompok 2 pun membagi tugas, Mbak Neson, Ali, Chung, dan Rofiq menjahit bivak kemudian Mas Awang dan saya mempersiapkan tempat bivak. Karena terlalu telaten dan perfeksionis (biar nyaman sih sebenernya :p) akhirnya kami baru bisa menikmati bivak buatan kami saat Maghrib telah menjelang.
Inilah saat yang mendebarkan, membuat api. Terutama karena anak 2012 yang diplot untuk membuat api oleh PO. Meskipun banyak angkatan 2011 ke atas yang menjadi peserta, tapi beberapa di antara kami sudah bisa membuat api dari lilin dan korek sehingga dirasa tidak adil jika teman-teman 2012 tidak mendapat ilmu mengenai itu pada diklat kali ini. Setelah beberapa kali percobaan, api pun gagal menyala hingga mereka putus asa. Akhirnya perut malam ini kami isi dengan mie kremes. Ternyata kami bukan satu-satunya kelompok, jadi ya tidak merasa paling malu. Hahaha. Kami pun bersegera tidur untuk menyimpan tenaga. Sial untuk saya karena tidur di pintu bivak yang notabene dingin dan basah, untungnya ada trashbag yang saya jadikan selimut.
Pagi pun datang, indahnya panorama Merapi yang gagah, Turgo yang menawan, dan mentari pagi yang berkilau pun bersatu padu dengan sejuknya angin dan lembutnya dataran. Memukau. Tantangan yang sejak kemarin belum dapat diselesaikan pun muncul kembali, memasak dengan api buatan. Kelompok 2 saat itu pada nyerut ketika saya sedang mencari udara di luar. Beberapa pasang mata memandang dengan nanar dan perut yang lapar. Menyerut kayu dengan sabar, kemudian berharap dapat menikmati hidangan yang dimasak dengan api yang besar. Saya yakin bisa saja senior di kelompokku turun tangan dan membuat api untuk makan, tapi karena panitia sepakat tidak membuatkan api, saya pun tak kuasa menahan diri untuk membuat api. Singkatnya, jatah makan kemarin pun juga dimasak dan kami pun makan besar. Kenyang.
Bongkar bivak sambil bercanda-canda, anak gunung melempar guyonan satu sama lain. Ada guyonan baru, jeje dan yeye. Setelah diingatkan masalah waktu, kami pun bersiap untuk jalan lagi. Agenda kami hari ini adalah mencari titik dan rappling. Kami dibagi ke dalam tiga kelompok besar dan masing masing mencari titik. Setelah berjalan 2 jam, kami pun bergegas ke tempat rappling meskipun belum waktunya karena beberapa alat rappling ada yang terbawa ke dalam kerir salah satu partner kami. Sampai di tempat rappling, lembah cinta (lumut 2), kami pun bergegas untuk menuruni tebing. Plot waktu menjadi lebih cepat beberapa jam karena adanya kesalahan teknis ini.
Satu per satu peserta pun menuruni tebing dengan menuruni rappling. Di bawah sana sudah ada beberapa senior yang juga menginap di alam Turgo semalam. Mereka beristirahat di dalam tenda Consina yang gagah berdiri di tengah kabut dan sengatan matahari silih berganti. Kelompok Afiq pun datang sebagai kelompok terakhir (yang memang tepat waktu) kemudian segera menuruni tebing. Setelah semua sampai di bawah, kami pun merayakan tercapainya target 2 hari ini dengan minuman rappling berupa minuman soda (adaptasi dari minuman puncak ala divisi gunung) dan juga upacara seperti biasanya.
Cleaning peralatan dan istirahat menjadi agenda utama setelah selebrasi. Saya sendiri pun tertidur hingga jam menunjukkan pukul 15.00. Kemudian kami pun turun ke Lumut dan berencana menunggu ayunan. Di perjalanan kami bernyanyi-nyanyi. Bahagia operasional ini akan segera usai, meskipun pasti meninggalkan kenangan yang kan terus mengendap hingga nanti. Dilema, antara senang atau sedih.
Tanah lapang dekat ayunan pun mulai terlihat, tampak hiruk pikuk wajah-wajah yang familier di sana. Rekan-rekan Palapsi rupanya, mereka menyambut kedatangan kami yang berhasil menyelesaikan operasional ini. Ramah-tamah sejenak kemudian upacara pun dilangsungkan. Saya pun berbaris dan berdiri dalam lingkaran. Terbayang sudah agenda setelah ini, menuju basecamp, makan-makan, canda tawa, pulang, culat, evaluasi, dan bersenang-senang. Tetapi bayangan itu saya tepis sejenak agar bisa fokus ke dalam ceremoni kali ini. Ibarat pelantikan, hanya pemberian nomor semata. Ini diklat pertama saya di Palapsi selama di Psikologi. Diklat yang ‘berbeda’ dengan mapala-mapala lainnya. Unik, tak ada duanya, fun. Perjuangan selama 3 minggu lamanya tanpa henti tak terasa sia-sia ketika ia telah berada di genggaman. Adalah kebanggaan tersendiri memilikinya. Badge Palapsi. 

*foto menyusul hehe.

And I'm Still In Love With You

Dan aku masih ingat, dua tahun yang lalu saat aku pertama kali melihatmu. Tidak, sungguh tidak ada perasaan yang menggebu-gebu layaknya hari ini. Aku hanya melihatmu, dan selesai. Tidak ada getaran-getaran khusus ataupun wangsit yang datang kepadaku. Well, aku butuh, begitu pikirku saat itu sehingga tanpa berpikir ataupun bersemedi aku langsung saja memilihmu tanpa ragu sedikitpun.

Hari berganti, waktu pun ikut mengiringi. Kita lewati hari demi hari bersama, saling berinteraksi, saling sentuh, dan saling membuka diri. Perasaanku pun mulai muncul perlahan-lahan, dan kusadari itu. Aku tak banyak berharap, hanya menikmati tiap waktu bersamamu hingga suatu saat nanti. Kata orang, rasa sayang itu ibarat kue, yang semakin dinikmati maka semakin cepat habis. Tidak sama halnya denganku. Bukannya luntur, lama kelamaan pun perasaanku malah menjadi semakin menggebu. Hingga beberapa waktu yang lalu, di saat kita sudah genap 2 tahun bersama, tak ada sedikitpun rasa sayangku yang hilang kepadamu. 

Hingga hari itu pun tiba. Hari yang mengenaskan. Mencekam. Engkau jatuh sakit tanpa diketahui sebab-musababnya. Aku panik tidak karuan, mencoba mencari tahu apa yang terjadi kepadamu. Kuraih dirimu, kusentuh lembut penuh perasaan, nihil. Tak ada respon. Terpaksa aku mulai mengguncang-guncangkan dirimu dengan agak keras. Tak berhasil. Jantungku pun mulai berdegup kencang, hingga hentakannya dapat kurasakan mengalir lewat belakang telinga. Butiran keringat pun menuruni pelipis kananku. Sial.

Dan engkau pun terbaring, opname. Tak boleh dijenguk, tak ada interaksi, bahkan tidak diizinkan untuk sekedar menatap dirinya. Dengan kecewa aku pun melangkah ke motorku untuk pulang. Kalut. Segala macam pikiran pun muncul dengan berbagai kemungkinan buruk yang mungkin terjadi. Gimana kalau dia kena ini? Gimana kalau dia kena itu? Berbagai pemikiran liar menggelayut di benakku hingga tanpa sadar aku pun telah sampai di teras rumahku. Yah, sehari dua hari tanpa dirinya..aku pasti mampu, pikirku saat itu.

Beberapa hari berlalu, dan ayahku berkata bahwa diriku berubah semenjak kehilangan (sementara) dirinya. Di saat itu pula, beliau menyarankan diriku untuk mencari pengganti yang cocok sebagai pendampingku berikutnya. Pendamping untuk berbagi pengalaman, cerita, dan juga berbagi rasa. Aku pun menghela nafas panjang. Kutimbang baik buruknya. Diam sejenak. Kemudian menarik nafas untuk kesekian kalinya. Kalut.

Bulan dan matahari pun telah tenggelam silih berganti. Terduduk lemas di sudut kamar, aku mendengarkan musik yang ada di hapeku hingga suatu rangkaian nada yang tidak asing di telingaku mengalun lembut penuh makna. The Script - The Man Who Can't Be Moved. Aih, jadi teringat ketika aku memandangmu pertama kali di tengah hiruk pikuk orang-orang. Aku ingat betul, saat itu kulitmu yang putih cerah dibalut dengan warna ungu yang memukau. Engkau menunggu di suatu sudut dan aku pun menghampirimu.

Jujur, aku masih galau dengan saran ayahku hingga terseliplah sebuah kalimat dalam lagu ke telingaku "How can I move on when I'm still in love with you?" Ahaha, aku pun tertawa sendiri. Sebuah petunjuk dari Tuhan, petunjuk untuk tetap percaya kepadamu. Dan...aku pun tak mampu berkata-kata lagi, hanya mampu berdoa demi keadaanmu.

ditulis dan didedikasikan untuk netbook tersayang

dan alhamdulillah, ia pun sehat ..semoga tetap seperti ini hingga jangka panjang nanti.