Aih,
pagi telah menjelang. Saya pun terduduk di atas kasur tidurku yang empuk.
Jantung berdebar, makin lama makin terasa, makin kencang. Operasional terakhir
dari rangkaian diklat, gunung. Survival. Sudah lama rasanya saya engga setegang
ini. Yah maklum lah, kenangan survival terakhir yang saya lakukan di Ungaran
berjalan dengan chaos meskipun target
yang dituju terpenuhi. Takut? Ya. Tapi yaudah kunikmati aja ketakutan ini, toh
dengan merasa takut saya merasa lebih hidup. Hidup yang datar kayaknya bukan aku
banget karena banyak hal yang saya takuti.
Setelah
kubasuh diriku, saya pun turun untuk sarapan. Kali ini porsi makan sengaja saya
lebihkan, preventif. Seusai berpamitan dengan keluarga, kukendarai revo hitam
yang cantik dan segera melaju ke kampus. Karena ada satu dan lain hal, saya pun
belok di pertigaan hukum dulu baru kemudian menuju kampus. Pukul 07.05 revo
hitam parkir di kampus dan ternyata sekre uda ramai dengan orang-orang.
Mata-mata antusias kulihat menanti keberangkatan yang tinggal sebentar lagi.
Checklist dan persiapan pun dilaksanakan kemudian upacara, ritual Palapsi
sebelum berangkat operasional. Empat kali Hymne Palapsi berkumandang dalam
upacara tersebut, tanda banyaknya peserta yang berpartisipasi dalam operasional
kali ini. Saya pun berpisah dengan motorku yang ada di kampus, nampaknya akan
kurindukan dalam beberapa puluh jam ke depan.
Kami
pun berangkat menuju Turgo, saya berboncengan dengan Dyaning di atas motor
Scoopynya sesuai dengan list transport yang dibagi. Yah karena dasarnya motor
kota, dipakai nanjak pun bikin agak deg-degan. Akhirnya sampai juga dengan
selamat sampai rumah Budi, meskipun motornya perlu didorong saat menaiki
tanjakan maut. Kami langsung disambut oleh Budi dan ibunya. Setelah Building
Raport beberapa saat, kami pun mulai pemanasan dan beberapa panitia sweeping barang bawaan kami. Pemanasan
kami isi dengan canda tawa dan beberapa game, yah itung-itung mengurangi kadar
stress kami. Haha.
Langkah panjang yang akan kami
hadapi 2 hari ini, kami mulai dengan satu langkah pasti. Perjalanan baru saja
dimulai ketika kami ‘nyasar’ ke jalan raya dan saya pun jadi kebingungan. Yap,
intermezzo perjalanan. Anggap saja begitu. Trekking
pun dilanjut sampai akhirnya kami beristirahat sebentar di antena. Rofiq yang
kebagian membawa tali 100 menyerah dan mengakui betapa lemah dirinya sehingga
Mas Awang pun mau gak mau membawa tali tersebut karena tanggung jawabnya
sebagai perkap.
Setelah menyusuri punggungan
Turgo, kami bertemu dengan beberapa bak penampungan air. Wah kebetulan sekali,
langsung saja kami nikmati beberapa tetes air yang mengalir ke sana.
Kerongkongan telah basah, meskipun belum puas. Trek menanjak menghadang langkah
kami hingga beberapa kali langkah tim harus terhenti karena macet. Saat-saat berhenti inilah sarana kami yang
berdekatan untuk berdinamika, saling mengenal satu sama lain di gunung yang
jujur ini.
Selama kurang lebih 2 jam kami
berjalan, ada sebuah dataran yang cukup menampung kami semua untuk
beristirahat. Kami pun berhenti untuk shalat dan orientasi medan. Sayangnya,
kabut dan mendung terlalu setia hingga ormed yang kami lakukan pun kurang
optimal. Jadinya kami pun malah mengumpulkan kayu-kayu demi kebutuhan nanti
malam. Tenaga kembali, kami pun jalan lagi.
Tidak lama berselang, kami pun
bertemu perempatan dan sebuah batu besar. Di sini kami belajar
bentukan-bentukan gunung, seperti lembahan dan punggungan, itung-itung
istirahat. Perjalanan pun dilanjutkan, kami mengikuti jalur yang telah ada
hingga kami bertemu dengan padang ilalang yang didominasi dengan warna kuning
tua dari rumput gajah. Indah. Apalagi jika mentari yang malu-malu bersembunyi
di balik kabut itu memancarkan cahyanya. Pasti butiran air hujan yang
bertengger di atas tanaman pun akan menyambut dan memantulkannya untuk menambah
keindahan panorama kala itu.
Kira-kira pukul 16.30 kami sampai
di titik camp. Beberapa kelompok telah membawa kayu dalam berbagai ukuran untuk
menopang kebutuhan selama sehari ke depan. Kelompok 2 pun membagi tugas, Mbak
Neson, Ali, Chung, dan Rofiq menjahit bivak kemudian Mas Awang dan saya
mempersiapkan tempat bivak. Karena terlalu telaten dan perfeksionis (biar
nyaman sih sebenernya :p) akhirnya kami baru bisa menikmati bivak buatan kami
saat Maghrib telah menjelang.
Inilah saat yang mendebarkan,
membuat api. Terutama karena anak 2012 yang diplot untuk membuat api oleh PO.
Meskipun banyak angkatan 2011 ke atas yang menjadi peserta, tapi beberapa di
antara kami sudah bisa membuat api dari lilin dan korek sehingga dirasa tidak
adil jika teman-teman 2012 tidak mendapat ilmu mengenai itu pada diklat kali
ini. Setelah beberapa kali percobaan, api pun gagal menyala hingga mereka putus
asa. Akhirnya perut malam ini kami isi dengan mie kremes. Ternyata kami bukan
satu-satunya kelompok, jadi ya tidak merasa paling malu. Hahaha. Kami pun
bersegera tidur untuk menyimpan tenaga. Sial untuk saya karena tidur di pintu
bivak yang notabene dingin dan basah, untungnya ada trashbag yang saya jadikan selimut.
Pagi pun datang, indahnya panorama
Merapi yang gagah, Turgo yang menawan, dan mentari pagi yang berkilau pun
bersatu padu dengan sejuknya angin dan lembutnya dataran. Memukau. Tantangan
yang sejak kemarin belum dapat diselesaikan pun muncul kembali, memasak dengan
api buatan. Kelompok 2 saat itu pada nyerut ketika saya sedang mencari udara di
luar. Beberapa pasang mata memandang dengan nanar dan perut yang lapar.
Menyerut kayu dengan sabar, kemudian berharap dapat menikmati hidangan yang
dimasak dengan api yang besar. Saya yakin bisa saja senior di kelompokku turun
tangan dan membuat api untuk makan, tapi karena panitia sepakat tidak
membuatkan api, saya pun tak kuasa menahan diri untuk membuat api. Singkatnya,
jatah makan kemarin pun juga dimasak dan kami pun makan besar. Kenyang.
Bongkar bivak sambil
bercanda-canda, anak gunung melempar guyonan satu sama lain. Ada guyonan baru,
jeje dan yeye. Setelah diingatkan masalah waktu, kami pun bersiap untuk jalan
lagi. Agenda kami hari ini adalah mencari titik dan rappling. Kami dibagi ke dalam tiga kelompok besar dan masing
masing mencari titik. Setelah berjalan 2 jam, kami pun bergegas ke tempat rappling meskipun belum waktunya karena
beberapa alat rappling ada yang terbawa
ke dalam kerir salah satu partner kami. Sampai di tempat rappling, lembah cinta (lumut 2), kami pun bergegas untuk menuruni
tebing. Plot waktu menjadi lebih cepat beberapa jam karena adanya kesalahan
teknis ini.
Satu per satu peserta pun menuruni
tebing dengan menuruni rappling. Di
bawah sana sudah ada beberapa senior yang juga menginap di alam Turgo semalam.
Mereka beristirahat di dalam tenda Consina yang gagah berdiri di tengah kabut
dan sengatan matahari silih berganti. Kelompok Afiq pun datang sebagai kelompok
terakhir (yang memang tepat waktu) kemudian segera menuruni tebing. Setelah
semua sampai di bawah, kami pun merayakan tercapainya target 2 hari ini dengan
minuman rappling berupa minuman soda
(adaptasi dari minuman puncak ala divisi gunung) dan juga upacara seperti
biasanya.
Cleaning peralatan dan istirahat menjadi agenda utama setelah
selebrasi. Saya sendiri pun tertidur hingga jam menunjukkan pukul 15.00.
Kemudian kami pun turun ke Lumut dan berencana menunggu ayunan. Di perjalanan
kami bernyanyi-nyanyi. Bahagia operasional ini akan segera usai, meskipun pasti
meninggalkan kenangan yang kan terus mengendap hingga nanti. Dilema, antara
senang atau sedih.
Tanah lapang dekat ayunan pun
mulai terlihat, tampak hiruk pikuk wajah-wajah yang familier di sana.
Rekan-rekan Palapsi rupanya, mereka menyambut kedatangan kami yang berhasil
menyelesaikan operasional ini. Ramah-tamah sejenak kemudian upacara pun
dilangsungkan. Saya pun berbaris dan berdiri dalam lingkaran. Terbayang sudah
agenda setelah ini, menuju basecamp, makan-makan, canda tawa, pulang, culat,
evaluasi, dan bersenang-senang. Tetapi bayangan itu saya tepis sejenak agar
bisa fokus ke dalam ceremoni kali ini. Ibarat pelantikan, hanya pemberian nomor
semata. Ini diklat pertama saya di Palapsi selama di Psikologi. Diklat yang ‘berbeda’
dengan mapala-mapala lainnya. Unik, tak ada duanya, fun. Perjuangan selama 3
minggu lamanya tanpa henti tak terasa sia-sia ketika ia telah berada di genggaman.
Adalah kebanggaan tersendiri memilikinya. Badge Palapsi.
*foto menyusul hehe.