Mengapa Saya Menulis (Lagi) di Facebook?

Semenjak beberapa minggu yang lalu, saya berkeinginan untuk kembali menulis rutin seminggu sekali...dan kalau bisa di Facebook. Lho, memang kenapa?


Menurut blog yang saya sukai, apabila kita berkeinginan untuk meningkatkan diri sebaiknya dimulai dari hal yang kecil dulu. Sederhana gapapa, asal konsisten. Berhubung saya belum mampu untuk nulis paper yang bagus, jadi mulainya dari postingan sederhana di Facebook. Kemudian saya copy di blog pribadi supaya ketauan track recordnya, dan supaya engga tenggelam postingan alay saya yang lainnya.


Alasan lain, ini berkaitan dengan kasus Mark Zuckerberg yang dipanggil Senate US. Usut punya usut ternyata FB belum menemukan metode yang efektif untuk menangkal hoax dan hate speech. Ditambah lagi, algoritma FB selama ini sungguh menguntungkan hal-hal negatif tersebar (termasuk dua itu) karena cenderung lebih banyak orang yang perhatian pada isu-isu negatif tersebut.

Beruntunglah di home saya tidak banyak hoax, hate speech, ataupun isu SARA yang mencuat. Sepertinya karena kebanyakan friend di FB saya adalah orang "bener". Bisa juga karena mayoritas teman-teman saya pecinta meme, 9gag, 1cak, lawakan receh, anime, dan komik.

Sebagai orang yang tak pandai teknologi dan bukan figur penting, tak banyak yang bisa saya lakukan untuk mengubah sosial media yang mempengaruhi kehidupan sosial orang Indonesia. Saya hanya bisa menulis tulisan di FB dengan topik yang sebenarnya tidak terlalu penting, namun tidak termasuk dalam hoax, hate speech, maupun isu SARA. Syukur-syukur kalau orang ada yang suka, kalau tidak pun minimal melatih kemampuan menulis saya.



Karena mengeluhkan keadaan kita ke orang lain (atau pemerintah) pasti engga ada habisnya, lebih baik kalau waktu untuk mengeluh itu dikurangi dan dipergunakan untuk mencari solusi bersama-sama. Meskipun kita hanya punya setetes air, kalau rame-rame bisa juga kok jadi genangan. Semakin masif lagi, mungkin saja jadi sebuah waduk.


Salam hangat,
Anggra
Anak muda yang tidak tahu seluk-beluk kehidupan

Menentukan 3 Kriteria Suami/Istri demi Meminimalisir Probabilitas Konflik

Saya, yang punya hobi untuk nge-scroll instagram, melihat banyak foto mesra teman-teman dengan pasangannya di instagram. Wow. Sepertinya hubungan dengan pasangan memang topik feed paling ngehits di instagram teman-teman saya.
.
Tulisan ini terinspirasi dari bukunya H. Norman Wright (entah itu Haji atau Hajjah) mengenai pertanyaan-pertanyaan yang perlu diajukan sebelum bertunangan, yang sebenarnya tetap relevan meskipun telah menikah.
.
.
Dalam menentukan pasangan, seringkali kita memiliki "daftar sifat yg harus dimiliki pasangan" yang lazim disingkat ke dalam istilah "tipe". Saya menyadari bahwa ada beberapa kelompok orang terkait dengan penentuan tipe pasangan tersebut.
.
"Utopis", pasangan harus memiliki semua sifat baik tanpa sifat buruk sama sekali, semacam malaikat, pangeran yang ada di dongeng, ataupun dewa-dewa. "Idealis", pokoknya pasangan harus sesuai dengan rincian kriteria yang diinginkan. "Realistis", pasangan paling tidak memenuhi beberapa kriteria yang kita inginkan dan tak muluk-muluk. "Apa yang ada", menerima pasangan apa adanya dan kapanpun adanya, biasanya ini kaum yang hopeless menemukan pendamping.
.
.
Terlepas dari kelompok-kelompok, pastikan kita memiliki TIGA KRITERIA MUTLAK. Apakah itu? Singkatnya, kita perlu menentukan tiga hal yang harus dimiliki oleh pasangan dan engga bisa dinego sama sekali. Kemudian, komunikasikan hal ini dan tanyakan apa tiga kriteria mutlak dari pasangan. Kalau tidak cocok, ada dua pilihan: segera pisah atau saling menyesuaikan diri dengan kriteria mutlak tersebut. 
.
Tiga kriteria ini bisa sederhana atau bahkan kompleks. Sekedar sharing, kriteria mutlak saya adalah "selaras dalam pandangan finansial", "mau bekerja keras", dan "tidak menyembunyikan pikiran/perasaan sesungguhnya". Titik. Selain tiga hal itu, berarti saya harus siap menerima ataupun memperbaikinya pelan-pelan, jika mampu dan pasangan mau.
.
Kriteria mutlak bisa jadi sangat subjektif, silahkan, misal: pasangan harus bisa bangun pagi, ganteng cantik, seagama, alim ulama, dsb terserah.


Mengapa ini penting? Berdasarkan observasi kehidupan pernikahan yang saya lakukan (n=1, hehe), konflik dalam pernikahan itu terkadang datang dari perbedaan perspektif antar pasangan. Bisa jadi, pasangan "berubah" setelah pernikahan berlangsung. Ataupun mungkin saja, ada hal-hal yang tidak diketahui dari pasangan yang membuat kita terkaget-kaget setelah tinggal berdua dengannya.
.
Apakah hal ini bisa memastikan tidak terjadi konflik? Tidak. Langkah ini hanya untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya konflik dalam rumah tangga. Lagipula pernikahan itu adalah sebuah kumpulan kemungkinan, mungkin akan jalan terus, mungkin juga menempuh jalan sendiri-sendiri demi arah yang lebih baik.
.
.
Bagaimanapun, lebih dari setengah waktu hidup kita di dunia ini akan dihabiskan dengan suami atau istri. Jadi, pastikan ia tidak memiliki kriteria mutlak yang dibenci dan memiliki kriteria mutlak yang dinginkan.
.
Karena memilih pasangan itu ibarat membangun bisnis, mari yakinkan diri untuk memilih co-founder yang saling selaras dengan perspektif masing-masing.
.
.
.
Salam hangat,
Anggra
Pelajar yang tidak tau apa-apa mengenai pernikahan