Pertama-tama, terimakasih buat kamu yang masih sudi membaca segenap tulisan-tulisanku yang tak berarti. Hehe. Maafkan segala keabsurdan yang saya miliki. Okay, berikut adalah tulisan ketika masih semester tiga dulu. Semuanya, even the footnote. Maafkan segala ke"alay"annya. Thanks for coming!
* * * * *
Dan secangkir
jahe instan hangat telah duduk dengan nyaman di atas meja belajarku. Ia menanti
diriku yang sedang berkutat menghadapi tumpukan tugas dengan setia, tanpa
beranjak sedikit pun dari sudut meja yang sepi. Aku pun termenung. Samar-samar
terpantul bayangan diriku dari cangkir yang masih mengepul. Hmm, jikalau
cangkir punya mata pasti dia sedang menatapku, menatapku yang sedari tadi hanya
memandang layar laptop tanpa pernah menghiraukannya.
Kuamati lagi
diriku melalui cangkir dan aku pun teringat ketidaksukaanku terhadap cermin.
Ya, aku tidak suka dengan pantulan diriku yang ada di cermin. Bukan benci, tapi
memang sejak dulu aku tidak pernah suka untuk bercermin dimana pun aku berada.
Aku merasa malu terhadap diriku. Orang mungkin mengatakan penghargaan diriku
terhadap diri sendiri kurang, ada pula yang berkomentar bahwa diriku terlalu
merendah. Yah memang seperti itulah aku, rasa rendah diri yang ada pada diriku
ini telah bercokol sekian lama dan memang aku pun nyaman-nyaman saja dengan hal
itu. Aku hanya takut jika rasa ini kucabut hingga akar-akarnya, yang tersisa
hanyalah kesombongan dan keangkuhan diri yang sulit untuk dikendalikan.
Sebagai efek
lanjutan dari kurangnya rasa penghargaan diri, banyak hal-hal kecil yang
mungkin tidak memberi dampak stres bagi orang lain tetapi memberi andil
terhadap stres dalam diriku. Tetapi masih bisa diatasi dengan metode positive thinking yang selama ini aku
pelajari kerena intensitas pemicu stres yang sering datang. Setiap ada pemicu
stres hendak berkunjung, aku memberi konsep kepada sistem mentalku “keep calm and hakuna matata”. Hakuna matata adalah istilah dalam
sebuah film yang mirip artinya dengan carpe
diem, atau nikmatilah hidupmu sepenuhnya.
Seiring
mengalirnya tulisan, aku yakin orang yang membacanya tidak merasa ini tulisan
yang penting untuk disimak. Aku tahu akan hal ini karena Sang Cangkir pun telah
kehabisan uapnya, kehabisan semangatnya untuk memperhatikanku. Anganku pun terbang,
membayangkan diriku di masa depan. Akankah aku tetap rendah diri? Mungkin.
Apakah aku tetap akan mudah tertekan? Mungkin. Bisakah aku menikmati hidupku
nanti? Untuk yang satu ini aku jawab harus bisa.
Aku memiliki
banyak impian muluk-muluk dan tak masuk akal yang aku pajang di tembok kamarku.
Inti dari sekian banyak mimpi ini adalah aku ingin menikmati hidup. Hidupku
sekarang sudah nikmat, tapi aku yakin hidupku esok hari akan lebih nikmat dan lebih
nikmat dan begitu seterusnya. Banyak orang telah mengorbankan kenikmatan selagi
berjuang meraih tujuan. Jadi mengapa kita tidak menikmati kehidupan sembari
mengejar mimpi?
Well, tugasku adalah
menuliskan diriku sekarang dan esok, tapi mengapa isinya ngelantur begini? Hmm,
seingatku tidak ada ketentuan yang mengharuskan aku menuliskan aspek-aspek
tertentu. Dan kalau pun penilai membaca tulisan ini tidak jelas dan tidak
karuan, itulah yang ingin kusampaikan mengenai betapa tidak jelasnya gambaran
diriku di kemudian hari.
Kuraih cangkir
yang mulai dingin dan kuteguk sebagian dari isinya. Kubiarkan cairan jahe
mengalir melewati kerongkonganku dan menghentak kerja otakku. Jika memang
tugasku adalah menuliskan bagaimana diriku nantinya, aku hanya berharap masih
bisa bertemu dengan esok hari, bercengkrama bersama matahari, menikmati
secangkir jahe hangat, mendengarkan alunan lagu, bertemu dengan orang-orang
yang aku sayangi, dan beristirahat lagi berselimutkan malam hari.
Kuteguk lagi
sisa cairan yang ada di dalam cangkir, kali ini sampai habis. Kupandang layar laptopku
dan kusadari tulisan amburadulku ini sudah lebih dari satu halaman. Kuputuskan
untuk tidak menyiksa pembaca lebih lama lagi. Sembari memikirkan kata penutup,
aku memejamkan mata. Tanpa sengaja kudengar jarum jam berdetak dengan suaranya
yang khas. Kunikmati sambil menarik nafas dalam-dalam, terkadang aku lupa
betapa nikmatnya tiap detik yang telah diberikan padaku bahkan seringkali
mengeluh karena kehabisan waktu menghadapi
berbagai aktivitas. Esok hari adalah gambaran yang abstrak, tetapi apa pun yang
terjadi ya nikmati saja tiap-tiap detiknya. Tik tok tik tok...
NB: membaca tulisan ini sampai akhir bukan
kewajiban, melainkan pilihan Anda. terimakasih