Gonjang-Ganjing Samudera : Kisahku, Batu Tenggelam

Gonjang-Ganjing Samudera : Kisahku, Batu Tenggelam
Buaian sinar matahari dahulu adalah tempatku, kini aku tinggal di gelapnya samudera malam.

Yah, akulah batu tenggelam. Sesosok makhluk yang gemar digunjingkan oleh para penghuni samudera. Mulai dari rakyat daratan, raja lautan, hingga menteri-menteri samudera acap kali membicarakanku di balik punggungku. Kini aku hanya menyendiri, menyepi dan menepi di suatu sudut samudera. Di tempat yang tak terjangkau oleh sinar mentari, di tempat yang diasingkan oleh para penghuni samudera dengan topeng-topeng kebaikannya. Aku nelangsa, sejujurnya. Aku tersiksa oleh kesendirianku di pojok lautan. Akan tetapi di sini aku aman. Tidak ada makhluk bertopeng tersenyum di depan, namun menusuk punggungku. Di sini aku lebih aman. Aku aman di dalam kesendirianku, dibandingkan dalam hiruk pikuk keramaian yang berlangsung dalam samudera. Aku takut. Tersiksa. Muak.

Dahulu aku adalah batu yang tinggal di pinggiran sungai dekat samudera. Tiap hari yang ada hanyalah kesenangan dan kebahagiaan. Bermandikan sorot cahaya hangat dan dibuai oleh nikmatnya alam. Setiap hari aku dimanjakan oleh tempat tinggalku. Aku menari ditemani rerumputan hijau dengan irama deru arus sungai. Aku dikelilingi oleh bebatuan yang mengagumiku. Aku adalah pusat perhatian. Aku adalah bintangnya!

Bodohnya aku tergoda. Tergoda untuk menceburkan diri dalam sungai. Aku tidak puas hanya bermandikan hangatnya cahaya surya. Aku ingin lebih. Aku ingin lebih! Aku terjun ke dalam sungai yang kemudian dengan kejam menyeretku dalam arusnya. Oh sungguh di luar dugaan. Deru arus sungai yang kerap menjadi irama tarianku kini bergolak menarik tubuh tanpa ampun. Tubuh ini terus terseret arus yang menerjang. Berjuang tanpa harapan. Mata ini hanya bisa nanar memandangi kenangan-kenangan lampau. Tempat aku dipuja, tempat aku menjadi pusat perhatian.

Aku terseret arus sungai, arus waktu. Aliran itu bermuara pada samudera tanpa daratan di permukaan. Menyedihkan. Sungguh menyedihkan. Di sini banyak orang, memang. Tapi aku bukanlah pusat perhatian, bukan poros pergaulan. Oh dapatkah kau bayangkan betapa merananya diriku? Aku haus perhatian, perhatikan aku! Perhatikan aku!

Ini adalah samudera yang kejam. Kala aku ingin orang lain memperhatikanku, yang kudapatkan hanya cemoohan dan hinaan. Semakin aku berusaha tampil menjadi yang paling menonjol, para predator langsung menjeratku. Menarikku untuk tetap tenggelam di samudera. Aku terombang-ambing di tengah lautan, di bawah permukaan. Pyash! Setelah tenggelam sekian lama, aku berhasil muncul di permukaan lagi. Aku menarik nafas, menghirup udara yang dulu adalah hal yang biasa dan tak berharga bagiku. Aku berjuang untuk tetap berada di permukaan. Tempat paling tinggi di samudera, tempat di mana orang lain bisa melihatku, tempat di mana aku bisa memuaskan keinginanku untuk diperhatikan.

Hentakan kakiku mulai melemah. Sudah sekian waktu aku bertahan di permukaan. Menghentakkan tubuh tanpa henti, demi berada di tempat tertinggi. Aku lelah. Sungguh lelah. Hanya ada predator samudera yang menarikku untuk tenggelam. Tak ada teman, mungkin rasa kesepian dan kesendirian adalah teman-teman sejatiku. Kakiku lelah, tubuhku letih. Aku berhenti berjuang. Kubiarkan diriku untuk tenggelam dalam samudera yang kelam. Aku hanya dapat menatap miris sang mentari di balik permukaan air. Perlahan namun pasti, sinar matahari pun mulai samar seiring tubuhku yang terus tenggelam. Dan aku terhempas dalam gelapnya samudera malam.