Siluet Deles di Kala Senja


Kualitas foto? Tidak penting bagi saya.
Makna gambar? Tidak penting bagi saya.
Kepuasan objek dan model? Tidak penting bagi saya.
Pengakuan dan apresiasi hasil? Tidak penting bagi saya.

Yang paling penting bagi saya adalah memori dan kepuasan pribadi. Sebuah jepretan memberi banyak makna bagi diri saya sendiri. Sebuah pengingat yang dapat diandalkan oleh seseorang dengan ingatan jangka panjang yang buruk. Apalah arti sebuah foto? Sebuah foto adalah kenangan. Kenangan adalah harta.
Titik. 

Delesember, 28-29.12.2013

Delesember, 28-29.12.2013
Delesember, operasional terakhir bulan Desember...

Dua minggu sudah saya vakum dari kegiatan FUD 2014 karena adanya sedikit "kecelakaan" dan acara keluarga. Di awal minggu si tua-tua (baca: Yandi Dyaning) sudah ngajak ikut ops minggu ini ke Deles, engga enak kalau nolak. Apalagi saya juga baru sekali main di area Deles. Jogging, CT, naturta, wah saya sudah mulai kewalahan karena lama tidak membiasakan berolahraga. Beruntung bisa kembali ke sekret tanpa tepar atau dipapah orang lain.

PO berjanji akan memberikan pos yang "beda" daripada biasanya, dan keputusannya disampaikan waktu briefing. Ta-da! Saya yang awalnya deg-degan karena mengira akan mendapat pos konsumsi, ternyata diplotkan ke dokumentasi..lagi. Oke deh, santai. Dokumentasi adalah pos yang paling selow, saat pre. Waktu during dan post, haha, saya hanya bisa tertawa getir. Satu hal yang membuat saya geli pada saat packing, pembagian perkap timnya sangat baik hati! Saya hanya membawa tramontina dan pasak, sedangkan yang lain dapat yang berat-berat. Alhamdulillah. 

Sabtu pagi, kami berkumpul di sekret. Seperti biasa upacara keberangkatan kami tidak berbarengan dengan tim lain karena budaya ngaret yang memprihatinkan. Berangkat menuju Deles. Di perjalanan, kami terpisah menjadi dua kloter. Saya ada di kloter belakang. Akhirnya kami memilih jalan berbeda yang sudah jelas tujuannya daripada berspekulasi tim depan hilang lewat jalur mana, toh kloter depan berpengalaman semua. Saya segera mengontak Dyaning dan mengatakan kalo terpisah, ia pun menjawabnya dengan segera. Tahun kemarin, memang kami berdua hampir selalu membonceng sehingga kalo ada kejadian tak terduga selama di jalan kami segera mengontak anak-anak boncengers.

Sesampainya di rumah Mas Darto (kalau tidak salah), basecamper kami, saya melihat anak-anak kloter depan juga sudah sampai. Kami bersalaman dan mengobrol dengan warga yang ada di rumah itu. Sedang panen nampaknya. Pada saat kami akan memasukkan motor ke dalam rumah sayur mayur hasil panen tersebut dipinggirkan agar tidak menghalangi pintu. Saya jadi ingat tahun kemarin Febri dan Mas Darto mengobrol soal pembibitan brambang (bawang merah) dan bawang (bawang putih). Febri (juragan bawang merah) yang engga mengenal istilah ini pun mengobrol ngalor-ngidul cara pembibitan ala Brebes. Begitu dihadapkan bawang, terkuak sudah bahwa pembicaraan keduanya tidak nyambung.

Kami pamit kemudian naik ke area wisata yang banyak digunakan pemuda-pemudi untuk berduaan, meskipun kalau mau jujur pasti mereka sadar kalau mereka tidak sedang "berduaan". Apa boleh buat, mungkin bagi mereka dunia sudah menjadi milik berdua. Pemanasan, orang-orang melihat dengan pandangan penuh tanya. Cuek saja, pemanasan kami selingi mengetes tas karier orang lain bisa berdiri atau tidak. Tas saya aman, ia sedang bersandar di balik pepohonan. Yandi bernostalgia, kami tahun lalu pemanasan tak jauh dari area itu sambil membicarakan ayah Afiq yang makan biji apokat pas waktu muda dulu. Dyaning menambahkan pembicaraan arah utara, karena menurut salah satu teman kami "kalau ada jalan menanjak berarti itu arah utara".

Perjalanan dimulai, kami berjalan perlahan ke arah utara menyusuri sungai di sebelah kiri yang lebih mirip jurang menganga. Leader yang mungkin bosan menapaki jalanan aspal pun belok ke arah kiri, jalur yang biasa dilalui para pencari rumput dan lebih dekat dengan jurang. Belum ada 30 menit berjalan, kami berhenti. Beberapa mengambil nafas, Ghozi dengan hp barunya yang menandingi kemewahan hp Yandi mulai berlaga dengan fitur kameranya. Yandi seakan tak mau kalah, hp harga motor segera dikeluarkan untuk mengambil objek-objek tandingan. Saya sebagai dokumentasi hanya bisa menghela nafas panjang dan memfoto apa saja yang bisa saya foto dengan digicam.

Titik pertama pun ditemukan, ujung punggungan hingga mencapai tikungan jurang, punggungan pun menikung ke arah kanan. Bicara soal tikung-menikung, ada oknum-oknum yang juga bersaing mendapatkan seorang wanita. Oknum tersebut sama-sama ada di tim gunung kala itu. Oknum pertama mendapatkan, namun oknum kedua berbesar hati. Meskipun terkadang oknum pertama jumawa akan kemenangannya dan mencela kesendirian oknum kedua, namun nampaknya hubungan mereka tetap baik. Kami snacking dan sholat di titik itu.

Berlanjut ke titik dua, leader pun berganti. Kami menyeberang ke arah timur kemudian ke utara. Sempat kami bertemu dengan rombongan dari SMA Jogonalan. Diksar katanya. Di telinga saya, kata itu apabila diucapkan oleh organisasi SMA terdengar seperti perpeloncoan. Ah, terserahlah. Tidak terlalu jauh dan medannya cenderung datar ditambah pemandangan pohon pinus yang berjajar rapi di sekeliling kami, sehingga titik dua dapat dicapai kurang dari 2 jam. Di bawah pepohonan teduh kami memarkir tas karier dan menikmati pemandangan di pinggir jurang sembari menunggu leader dan kadiv membaca bentukan. Persaingan antara dua hp mahal pun belum usai, biarkan sajalah. Titik dua benar, tapi kurang naik sedikit kira-kira 25 meter seru kadiv. Akan tetapi hawa yang sejuk membuat kami mager, enggan bergerak lebih jauh.

Titik tiga giliran Mayang dan saya nge-leader. Saat itu kira-kira pukul 14.00. Saya berkonsultasi dengan kadiv dan mantan kadiv, mau disampaikan titiknya hari ini atau besok. Akhirnya diusahakan hari ini dapat meraih titik yang diharapkan. Kami berjalan di depan, menemui lembahan dan berdiri punggungan di sebelah kanan kami. Ormed sebentar, menerka posisi kami berada kemudian merancang jalur yang sekiranya mungkin ditempuh. "Mau mengitari atau trabas aja?" tanya sada pada Mayang.
"Hmm, gimana ya. Bingung aku."
"Lho jangan bingung, tinggal mau mengitari atau trabas saja. Masa berhenti di sini."
"Ya udah, kalo trabas gimana?"
"Ya ambil kanan terus, trabas aja."

Kami pun segera mengambil rute garis lurus ke arah kanan, cukup terjal memang. Pada saat mendaki punggungan ini, kemiringan sekitar 60-75 derajat sehingga perlu meraih tanaman-tanaman yang menjulur di sekitar tangan. Sampai di atas punggungan, beberapa memerlukan bantuan arahan agar dapat menginjak jalur di atas. Tangan-tangan siap menarik terjulur demi keselamatan tim dan pahala. Ketika sudah di jalur punggungan, kami pun turun lagi ke arah timur. Cukup terjal..lagi. Punggungan yang kami lalui tadi adalah punggungan sempit dan hampir simetris, artinya kalo turun kemiringannya hampir sama dengan kemiringan pada saat naik. Tidak ada jalur turun, terpaksalah menyibak jalur. Saya cukup kaget dengan ilalang/rumput gajah yang tingginya hampir se-manusia ini. Beberapa kali saya harus berjongkok untuk mengecek pijakan saat menuruni punggungan tersebut.

"Hati-hati, ntar jatuh ke jurang kayak Afiq," seru Yandi dari atas.
Memori saya melaju pada peristiwa setahun yang lalu. Di area yang serupa, kami menjelajahi rimba lereng Merapi ini. Waktu itu kami konturing, mengitari punggungan untuk mencapai titik di sebelah timur kami. Tidak seperti saat ini yang mengambil opsi trabas, tahun lalu kami "main aman" dengan mengitari area. Saat itu pertama kalinya kami di Deles dan tidak ada "senior" yang menemani. Hingga satu insiden, rekan kami tergelincir saat sedang konturing di tebing yang penuh dengan semak-semak. Wajar, jalan yang kami tempuh adalah jalan setapak yang sempit jadi harus senantiasa berpegangan tanaman yang ada di sebelah kiri kami. Rekan saya terpeleset, terduduk kemudian mengguling ke kanan. Beruntung dia sempat meraih tanaman. Yandi ada di depannya, dan saya berada di belakangnya tapi agak jauh.
"Hahaha, hahahaha," Yandi tertawa tanpa henti waktu itu.
"Tulung, tulung," teriak rekan saya yang jatuh sambil meronta minta pertolongan.
"Wah, wah, lumayanlah. 8.5 dari 10 poin!" ucap saya, memang saat itu menilai style jatuh sangat umum kami lakukan.
"Eeh, kasian. Tolongin lah," Dyaning yang ada di depan Yandi pun ikut menanggapi, agaknya kasihan seniornya meronta-ronta berusaha bangkit.
"Hahahaha, hahahaha," tawa Yandi, melihat usaha rekannya seperti cacing menggeliat kepanasan, seraya mendongak ke atas dan memejamkan mata.
"Coy, tenanan iki. Tulung, tulung, coy," iba rekan saya yang nampaknya sudah kelelahan  menggantung.

Rekan saya yang satu itu jempolan dalam segala hal, salah satunya kepecintaalaman. Skill dan tekniknya tinggi, kemampuan memanjat tebingnya setara kadiv saat itu. Aneh juga melihat dia pasrah menggantung di tempat itu, meskipun beberapa kali ia telah berusaha naik tapi gagal. Malah membuatnya lebih lucu. Kami pun menariknya ke jalur, aman. Tidak ada masalah. Belakangan baru kami tahu kalau di bawah adalah tebing tanah yang curam. Kalau saya yang terpleset pasti sulit naik lagi, malah mungkin sudah jatuh ke bawah. Kembali ke saat ini, saya pun hanya tertawa kecil mengingat peristiwa itu. Saya sampai di dasar lembahan.

Mayang tidak menggunakan jalur saya, ia menggunakan jalur berbeda. Ia juga sampai di bawah, diikuti dengan yang lain. Kami melanjutkan perjalanan. Start punggungan, satu lembahan, punggungan kecil, satu lembahan, punggungan terjal lagi. Kami mendaki punggungan ini, sedikit lebih terjal dibandingkan punggungan yang kami trabas pertama tadi. Well done! Sampailah kami di atas punggungan ini. Familiar. Ya, tahun kemarin kami mendirikan tenda di punggungan ini. Inikah titik yang dimaksud? Saya awalnya yakin.

"Bukan, titiknya masih di seberang sana lagi," ucap mantan kadiv.
"Lah kok bisa? Terus ini di punggungan mana?" tanya saya, enggan melangkah lagi jika salah titik.
"Ini kan ada punggungan sempit banget," ucapnya sambil menggariskan ranting kecil ke atas peta, "titiknya masih ke timur lagi nglewatin lembahan."
Lemas sudah. Argumennya memang benar mengingat sempitnya jalur yang sedang kami singgahi. Ini punggungan sempit. Bentukan peta pun tepat. Waktu sudah menunjukkan pukul 14.55, hampir waktunya ngecamp. Tapi mau ngecamp pun tak ada tempat mengingat sempitnya area ini. Lanjut.

Saya berjalan di depan Mayang, takut juga kalau nanti dia kurang hati-hati menentukan pijakan apalagi kedua tangannya lebih sering dilipat daripada meraih tanaman untuk memperkuat pegangan. Jalan turun tidak separah punggungan sebelumnya maupun jalur naik tadi. Hanya saja, kami harus berhati-hati menentukan tempat turun mengingat curamnya tebing di bawah yang sempat kami lihat tadi. Salah-salah malah terjun bebas. Meskipun tidak terlampau tinggi, mungkin hanya 1,5-3 meter saja, namun tetap saja. Berhasil sampai bawah setelah "ngaspal" jalur, kemudian diikuti yang lain. Aad nampaknya uji nyali dengan berdiri bersandar pada batang pohon di pinggir tebing. Saya yang ada di bawah bergidik ngeri. Tampaknya ia juga merasa ngeri kemudian memutuskan untuk segera turun. Gantian Yandi uji nyali, ia berlari kecil dari atas kemudian bergelantung di dahan pohon. Salah perhitungan! Tidak ada pijakan yang bisa membuat ia terhenti, badan bagian bawah Yandi pun terlempar ke arah depan, di bawahnya tebing berketinggian 2 meter lebih. Beruntung kedua tangannya masih kuat mencengkeram sehingga pada saat tubuhnya mengayun ke belakang, ia menemukan pijakan kembali. Kita semua menghela nafas lega.

Punggungan berikutnya, titik ditemukan. Well, jalur paling berkesan karena terabasannya cukup mantap. Jam telah menunjukkan pukul 15.45. Diputuskanlah untuk mencari tempat camp. Ormed dan lihat peta, tidak nampak adanya area untuk camping 10 orang. Dhika menyarankan camp di tempat lapang nan indah yang ditemui tahun kemarin. Letaknya di awal punggungan, dan cukup jauh. Afiq dan saya tidak ke area itu karena kami ada skoring di Kebumen tahun lalu. Akhirnya Diska dan Ghozi leader dan bergegas menuruni punggungan. Kami turun secepat yang kami mampu, sudah senja.

Jatuh? Biasa. Apalagi saat tergesa-gesa seperti ini. Di depan saya ada Yandi, kemudian Dyaning, belakang saya ada Vivi, Mayang, Dhika, Aad, Febri. Yandi menegaskan bahwa jatuh itu menurunkan harga diri tim gunung. Tidak lama kemudian, ia terjatuh ke dalam lubang hingga tubuhnya tak kelihatan. "Memang jalur ini harus jatuh dulu, oi!" kilahnya. Tapi memang demikian, jalur itu menuruni dahan pohon. Pijakan tanah berselisih lebih dari 1 meter. Jalan lagi. Berhenti sejenak.
"Kok berhenti, Je," ucap saya pada Dyaning.
"Bentar, nungguin depan."
"Hati-hati jatuh," kata Yandi.
"Kalau jatuh bilang ya, Je," ujar saya agar dapat mengabadikan momen saat ada yang jatuh.
"Iya, iya."
"Kalau jatuh bilang ya," sambung Yandi, "entar aku bilang hati-hati."
"Iya, ah." Dyaning pun berbalik, dan jatuh. "Aduh!" pekiknya.
"Yah kan aku bilang, kalo jatuh bilang-bilang, Je," ucapku sambil menahan tawa.
"Iya nih, jatuh. Huhuhu."
"Hati-hati ya," ucap Yandi memenuhi janjinya.

Kami turun lagi, kali ini jalur turun sudah tidak terjal seperti tadi lagi sehingga memungkinkan untuk dituruni dengan berlari kecil. Wuss, wuss, wuss. Lari turun. Tim LTMJ memang top ketika turun gunung, namun entah dengan tim yang ini. Brukk! Aad terpeleset ketika berlari turun, ia memeluk batang pohon di dekatnya yang entah ia tabrak atau malah menyelamatkan nyawanya. Dyaning pun tertawa lepas, melihat ekspresi Aad yang masih kosong. Shock nampaknya. Sambil menunggu Aad pulih, Yandi memplester sepatunya didampingi Dhika. Turun, tak lama kemudian kami menemui tanah lapang yang indah mirip sabana.

Kami bermalas-malasan sembari bersenda-gurau. Dhika dengan pose tidurnya. Vivi dengan botol ajaib dan gaya fotogeniknya. Dan duo-hp-mahal dengan senjatanya masing-masing. PO dan kadiv sibuk mencari tempat camp. Sekembalinya mereka berdua, timbul perdebatan mengenai tempat camp. Akhirnya sepakat untuk melihat tempat yang ditentukan oleh PO, nyaman juga. Kami pun mendirikan tenda dan jemuran di area itu.

Tenda sudah berdiri, peralatan masak dikumpulkan menjadi satu, bahan makanan telah dipisah, dan pembagian tidur sudah ditentukan. Saya kebagian Consina bersama Yandi, Ghozi, Vivi, Mayang, dan Dyaning. Sholat, masak malam! Masak dimulai lebih cepat, kira-kira pukul 18.00. Kami menyempatkan Maghrib dahulu sebelum menyantap makanan. Makanan jadi pukul 19.15an, makan! Mungkin karena kelelahan, Vivi dan Mayang tepar seusai makan. Aad, Febri, Dhika, dan Yandi mencari kayu, daun, dan biji cemara kering untuk membuat api unggun sederhana. Kami melalui malam dengan menyusun teka-teki, tebak-tebakan, dan cerita-cerita. Tertawa lepas hingga malam menjelang. Tengah malam, kami beristirahat di tenda masing-masing.

Pagi itu masih pukul 03.00 dini hari, saya tahu betul karena jam tangan disisi kiri saya. Suara teriakan dan bentakan pria maupun wanita membahana di area camp. Perintah-perintah seperti "Baris yang rapi!" "Jongkok!" dan lain sebagainya pun berkumandang. Ada satu dua bahkan menyelipkan kata-kata makian. Suara kayu yang dipukulkan ke pohon pun menambah gaduhnya suasana. Tak terdefinisikan dengan kata-kata. Oh "diksar", pikir saya sembari tersenyum getir, kemudian berusaha meraih alam mimpi lagi.

Bangun pukul 05.00 sholat, mapan tiduran lagi hingga matahari menjelang dan makanan hampir siap. Yah insiden ketinggalan bumbu masak pun sukses diakalin boss Dyaning. Alhamdulillah bisa makan lumayan enak. Kami pun makan di pinggir tebing, menikmati indahnya bentangan alam. Berberes, eh Vivi kembali ber-fotogenik-ria. Satu foto lagi. Pemanasan, jalan. Kami sempat bertemu dengan rombongan "diksar", bertegur sapalah kami. Kami beristirahat, para leader sedang cek jalur. Tebak-tebakan semalam pun muncul lagi.

Perjalanan berikutnya sempat terbagi menjadi dua kloter karena ketidakjelasan rute dan tujuan. Vivi, Yandi, Dyaning, dan saya satu kloter. Kami berada di atas punggungan, padahal kloter satunya berada di bawah punggungan. Kami pun menikmati pemandangan sambil mengamati kelakuan anak-anak di bawah. Ternyata titiknya benar berada di bawah, ya sudah kami turun, melepas tas karier dan menuju titik yang tak jauh dari tempat itu. Penjelasan titik pun diwarnai dengan tebak-tebakan. Emang dasarnya Aad terlalu sopan, sebelum mengejek Yandi dia minta izin dulu kemudian minta maaf. Haha. Usai sudah, kami pulang. Karena mengambil jalur lurus ke selatan, yang kami temui adalah komplek perumahan. Basecamp kami ada di sebelah barat lagi, maka kami lewat jalan komplek dan persawahan tersebut. Finally, basecamp!

Istirahat sambil ngeteh dan makan rambak (seperti kerupuk panjang), mengobrol dengan basecamper panjang lebar. Kami pun pulang ke arah sekret, namun mampir ke masjid dulu untuk menunaikan sholat. Teka-teki Palapsi muncul lagi sehingga kami betah berlama-lama di masjid. Pulang, kami mampir makan soto di daerah Jakal. Pilihan yang kurang tepat, tapi apa daya karena sudah terlanjur berhenti dan memesan. Kami hanya bisa menikmati santapan ini sebelum melanjutkan perjalanan pulang.

Deles, area yang masih belum banyak tereksplor. Menarik. Salah satu area yang akan selalu saya kenang. Tempat berubah, waktu berlalu, namun kenangan mampu bertahan lama. Kami berjalan pulang, deru kendaraan mewarnai perjalanan. Beruntung tidak turun hujan. Aih, mungkin ini yang terakhir kali saya ke Deles. Saya menoleh ke samping, mengamati kendaraan yang lalu lalang. Mata terpejam kemudian menarik nafas panjang, dan menghembuskannya dengan penuh penerimaan. Operasional terakhir di tahun ini, atau operasional terakhir bagi saya?

Orientasi Medan Wanagama, 7-8.12.2013

Orientasi Medan Wanagama, 7-8.12.2013
"nggra, plis banget ki melu ops yo. ben yandi yo melu dadi ana 2011e."

Malam itu, Jumat 6 Desember, saya membaca pesan dari seorang teman yang kebetulan menjadi PO operasional gunung TC #1 FUD. Tak lama kemudian, datang dua buah pesan yang bernada serupa dengan nomor pengirim yang sama. Yah memang masalah umur, fisik, dan juga izin memang menjadi kendala utama bagi saya ketika ingin mengikuti rangkaian FUD. Tapi tidak hanya itu, kebetulan saya diajak senior dan ketua palapsi untuk menjadi panitia dalam seminar "HOW TO BE A POTENTIAL CANDIDATE". Seminar itu berlangsung dari pagi hingga (hampir) sore hari, sedangkan ops dimulai sejak pagi-pagi sekali. Wah, jelas engga bisa.

Well, lihat entar aja. Alhasil saya mengikuti proses ops sebagaimana yang biasa dilakukan Palapsi. Pre-During-Post. Pre mencakup persiapan-persiapan yang harus dilakukan sebagai "syarat sah" layak tidak seseorang ikut ops. Kalo divisi gunung, pre tersebut meliputi jogging, CT, briefing, penentuan titik, studi peta, dan packing bersama (kalau tidak salah, hehe). Demi "ngayem-ayemi" PO akhirnya saya ikuti proses persiapannya sampai ke briefing dan penentuan masalah bantingan. Hanya saja saya menegaskan ke PO bahwa saya entah bisa ikut atau engga karena ada acara yang bersamaan itu. Tapi saya tau kalo sudah ikut briefing, ikut engga ikut ya harus melaksanakan jobdesc perpos dan membayar bantingan. Yah, resiko tim lama.

Selepas briefing, Yandi juga mengatakan hal senada ke forum. Dia ada praktikum besok jam 12 sampai jam 2 siang. Ikut engganya dia, entah. PO tampak makin ketar-ketir. Akhirnya kadiv memutuskan boleh nyusul aja, karena memang engga memungkinkan. Briefing selesai. Sampai di rumah, mikir lagi. Ikut engga ya?

Keesokan harinya, saya menyelesaikan tugas perpos dan membantu persiapan seminar. Hampir sama sekali tidak bertemu tim gunung, namun pas saya mau pulang tampak Dhika dan Febri. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak ikut ops. Pilihan yang berat, memang. Ketika sudah sampai kamar, sms yang telah saya tuliskan di atas muncul di layar hp. Acuhkan saja. Kemudian datang 2 pesan serupa. Hmm, kasian sih tapi mau gimana lagi. Selang satu jam, ada pesan baru lagi. Yandi. Ia menyarankan saya untuk ikut ops dan nyusul bareng, karena dia males nyusul sendiri dan lupa jalan ke Wanagama. Bimbang jadinya. Entahlah. Saya pun tertidur.

Sabtu pagi, tim seminar harus standby pukul 07.00. Saya bangun, mandi dan bersiap-siap. Seonggok tas karier meringkuk di dekat lemari pakaian. Saya berpikir ulang. Ikut engga ya? Ikut engga ya? Ikut engga ya? Akhirnya saya putuskan untuk ikut ops (karena Yandi pagi itu juga sms lagi -.-), dan packing dadakan dengan sisa-sisa keterampilan yang pernah saya miliki. Voila, jadilah tas karier siap ops! Tapi kalau dibuka, tas itu sangat amburadul. Yah gimana lagi. Saya pamit, dan berangkat ke kampus.

Ternyata anak gunung yang datang belum ada separuhnya. Kebiasaan ngaret kayaknya udah mulai kelewatan ini. Yandi pun datang dengan tas karier Avtech dan pakaian opsnya. "Kamu praktikum pake itu, Yan?" 
"Gapapa Nggra, mbaknya bolehin kok," ucapnya sambil mengambil petunjuk praktikum. "Kamu jadinya ikut kan?"
"Ikut, Yan. Ntar bareng ya kita. Aku selesai jam 2an..mungkin."
"Yo. Kalo kamu ga ikut, ntar Dhika yang aku suruh tinggal di sini." Yandi pergi ke laboratorium, begitupun tim seminar yang mulai bergegas ke UC.

**skip <-> lagi seminar chuy**

Tepat pukul 13.00, seminar usai. Beberes bersih-bersih dan foto-foto, akhirnya jam 2 siang acara tersebut tuntas. Kami balik ke sekret Palapsi, saya bersiap-siap berangkat dan packing ulang. Makanan dus yang diberikan untuk panitia saya masukkan ke dalam tas, belum sempat menyantap makanan. Yandi datang, tampaknya skoring praktikumnya juga sudah selesai. Kami bersiap berangkat.
"Nggra, dapet sms dari PO engga?"
"Belum ngecek hp Yan. Ada apa emang?"
"Brimob sama Dyaning kecelakaan, tapi gapapa kok. Detilnya belum tau sih, haha."
"Seriusan?"

Ternyata anak gunung ada yang kecelakaan pas perjalanan menuju tempat ops. Wah bahaya nih. Jujur saya lebih takut di perjalanan ke tempat ops (terutama pakai motor) daripada opsnya sendiri. Pengalaman pribadi. Kami berdua pun berangkat bersamaan dengan redanya hujan yang deras menerpa. Beberapa anak sekret kaget dengan keberangkatatan kami. Kurang kerjaan, mungkin begitu yang ada dalam pikiran mereka. Keberangkatan diawali dengan kebingungan mencari motor Novi, kami berdua sama-sama tidak tahu apa motornya. Petunjuknya adalah kunci motor Honda, dan plat Bali (Novi asalnya dari Bali). Alhasil Yandi mencoba memasukkan kunci ke motor yang disangka-sangka. Dapatlah Vario merah motor Novi, padahal tebakan saya Honda Beat. Berangkat!

Perjalanan biasa-biasa saja, kami sudah dapet ancer-ancer Wanagama dari Febri. Yandi dengan skill motornya yang tinggi, ngebut sejak awal keberangkatan. Akan tetapi begitu melewati Bukit Bintang, ia melambat.
"Kenapa Yan?"
"Kalo ada rumah makan padang, berhenti bentar ya Nggra. Laper aku."
Kami berdua pun bagi tugas, Yandi lihat kiri dan saya lihat kanan. Nihil, tidak ada rumah makan padang yang buka sepanjang perjalanan. Bagi yang mau buka bisnis masakan padang, kayaknya bisa jadi peluang nih. Yandi pun menyerah, dia ngebut lagi. Tapi dia mendadak ambil kanan, menyeberang. Ohh, ada ayam goreng kali ini. Sepertinya rangkaian ususnya menyeruak minta jatah secepatnya.
"Ga jadi rumah makan padang nih?"
"Engga, seadanya aja deh."

Yandi turun. Saya menunggu di luar, males parkir. Biarlah dia makan sendiri, biar cepet hehe. Akan tetapi, belum ada 10 menit Yandi sudah keluar dari rumah makan tersebut sambil menenteng plastik putih.
"Lho, engga jadi Yan?"
"Di sana aja deh."
Entah apa yang membuat anak ini berubah pikiran sebegitu cepat. Saya pun tidak bisa menyimpulkan. Hanya mampu menerka, mungkin karena Dyaning, mungkin karena hari beranjak senja, atau mungkin rumah makannya tidak nyaman.

Kami sempat bingung dengan tempat parkir motor. Tahun kemarin, kami menitipkannya di sebuah pos jaga Wanagama. Kali ini, kami lihat tidak ada motor anak Palapsi yang parkir di pos jaga. Akhirnya berputar-putarlah kita mencari motor yang tersembunyi. "Wisma Murbei" begitu petunjuk yang diberikan PO melalui sms siang tadi. Murbei apanya! Kami menemukan motor terparkir rapi di Wisma Cendana!

"Yan, engga makan dulu kamu?" tanya saya mengingat betapa melas mukanya ketika mencari rumah makan padang.
"Engga, di sana aja. Keburu malem juga."
Hmm, memang ops kali ini modal nekat bagi kami berdua. Tidak ada sesi studi peta. Tidak membawa GPS. Tidak ada gambaran jalur yang akan ditempuh. Tidak tahu informasi terkini keberadaan tim yang berangkat sebelumnya. Tidak ada tenda. Hanya ada petunjuk "Camp di sekitar titik Dhika tahun kemarin". Sebagai antisipasi, kami berdua telah membawa perlengkapan survival sederhana untuk mendirikan shelter dan bermalam. Dan juga makanan eksklusif masing-masing tentunya, haha. Saya salut dengan semangat Yandi untuk menemani tim FUD ini sampai menerjang resiko-resiko di atas. Well, tanggungjawab mantan kadiv. Saya sih hanya menemani, dan hura-hura.

Kami bersiap-siap. Bisa jadi karena terdesak, persiapan tersebut menjadi begitu singkat. Tas, ponco, pakaian ops, sepatu, dan snack. Tepat pukul 15.30 kita berjalan menyusuri jalan, menyusuri ingatan setaun yang lalu di Wanagama. Kami menandai Wisma Cendana dan titik Dhika (tahun kemarin) di peta, mempelajari rute dan bentukan alamnya. Peta kami simpan dalam tas. Belum begitu berguna saat ini, nanti ketika nyasar saja. Kita berjalan menelusuri jalan (aspal dan paving) dengan ritme normal, sekalian pemanasan. Yandi yakin nanti kita akan bertemu dengan gubuk dekat tikungan sungai. Ya, ingatan saya pun demikian.

Sepanjang perjalanan kami mengobrol tentang kehidupan masing-masing. Meskipun hampir 3 tahun satu tim, saya tidak banyak tahu tentang dua rekan saya, Yandi dan Afiq. Tak terasa, kami sudah sampai gubuk dan menyusuri jalan setapak menuju tikungan sungai. Tahun lalu, kami beristirahat di titik ini setelah beberapa jam menelusuri hutan Wanagama melalui jalur yang berbeda. Titik Enop, begitu kami sebut tempat ini. Tanpa beristirahat, kita melanjutkan perjalanan menyusuri jalan setapak di pinggir sungai sambil mempercepat ritme. Saya berjalan di depan.

Jam di tangan menunjukkan angka 15.50. Wah cukup ngebut juga kita. Nafas saya mulai tak beraturan. "Wah punggungku basah nih," ucap Yandi, mengeluhkan keadaan fisiknya yang belum "jadi".
"Mending kamu basah Yan, aku mandi," ujar saya sambil menoleh. Keringat bercucuran dari kening membasahi muka saya, punggung basah. Tak karuan. Yandi tertawa sambil mendongakkan kepala, khas dirinya.
"Titik Dhika mana sih, Nggra? Bener ini pa?" Yandi memecah keheningan yang belum lama datang.
"Halah, yang Afiq sama Dyaning nyariin titik Dhika itu lho gara-gara engga belok kiri. Kan kita di sini santai-santai pas dua orang itu cari jalur. Eh tau-tau titik Dhika uda di depan."
"Ohh, yang itu. Aku engga santai-santai yo, ngebantuin mereka tau. Berarti udah deket dong. Peluit, Nggra."

Saya kemudian meniup peluit yang menggantung di bahu kiri, tiga kali panjang. Nihil. "Terus jalan aja," Yandi mengkomando. Saya berjalan mengikuti jalur. Belok kiri, konturing. Peluit lagi. Ada jawaban! Seperti mendapat lentera dalam gelapnya gua, kami terkejut. Bahagia. Kami berjalan lagi, menerka arah suara. "Duluan Yan, capek aku." Yandi melangkah di depan, sambil mendongak ke kanan dan ke kiri. Melihat tanda kehidupan. "Peluit," ucapnya singkat. Ada balasan! Entah dari arah mana, kami bingung. Yandi memutuskan berhenti di tanah lapang yang ada di depan, sadel antara dua puncak bukit.

"Berhenti aja dulu, Nggra. Peluit lagi," ucapnya setelah sampai di tempat yang kami tuju.
"Seingatku titik Dhika ini, Yan," seraya menunjuk puncak bukit yang ada di utara saya. Peluit saya bunyikan.
Ada balasan! "Lah itu mereka!" seru Yandi menujuk puncak bukit di selatan kami. Sejak kapan titik Dhika pindah ke sana? Biarlah. Yang penting ketemu.

Kami berdua mendaki bukit dan menemui anggota tim yang sedang foto-foto, sebagian nampak kelelahan. 16.00. 30 menit yang menegangkan dan melelahkan, saya mengambil posisi tidur berbantalkan tas karier. Yandi, dengan hp baru seharga motor, mengambil panorama senja yang indah..bersama pasangannya. PO datang dan bertanya, "Mulai jalan jam berapa e?" 
Yandi menjawab, "Setengah empat."
"Engga mungkin," balasnya sambil menggelengkan kepala tanda tak percaya.
"Serius cuy, emang kalian jalan jam berapa?"
"Dua, gara-gara ada kecelakaan tadi."

Saya teringat dengan rumor kecelakaan itu dan menanyakan detilnya. Ternyata betulan, Aad, Febri, dan Dyaning menceritakannya dengan berapi-api. Brimob menyendiri membelakangi kami, trauma nampaknya. 16.30, kami mencari titik camp berhubung sudah sore. Tempat campnya, tanah lapang tempat saya dan Yandi berhenti sejenak sebelum mendaki bukit. Sial. Penempatan dome berdasar undian. Semua laki-laki tim lama yaitu Yandi, Febri, Dhika, dan saya tidur di Lafuma. Entah kebetulan, entah rekayasa. Saya kebagian masak malam, alhamdulillah. Makanan sudah jadi, makan makanan "eksklusif" kemudian kami membuat api unggun sederhana sambil ToT (truth or truth) alias media curhat ala anak Palapsi. Kami memposisikan diri senyaman mungkin, sambil menikmati taburan cahaya bintang yang menghiasi angkasa ditambah cahaya yang datang dari kota.

Tak terasa sudah pukul 23.55. Beberapa di antara kami sudah tepar, ada yang terlentang maupun tengkurap. Angin malam berhembus menggelayut manja membuat mata kami terlena. PO pun memutuskan untuk menghentikan acara meskipun salah satu dari kami sedang bercerita dengan semangat membara, demi kondisi fisik yang fit esok hari.

Saya bangun ketika matahari pagi sudah menggedor pintu tenda dengan kasar. 05.45. Wah sudah siang. Kami shalat dan mulai masak pagi. Yandi dan saya menjemur pakaian kami berdua, yang lain pun ikut-ikutan. Makanan jadi, menyantap masakan dengan nasi yang melimpah. Alhamdulillah saja lah. Packing dan siap jalan lagi, ternyata saya yang cari titik bersama Novi. Peta pun dibuka, saya kopi tanda-tanda titik yang hendak dituju. Wah daya jelajahnya kecil sekali, pikir saya setelah melihat rute "sesungguhnya". Titik Novi terletak tidak jauh dari tempat kami camp. Sekitar 10-15 menit cukup apabila kemampuan orientasi medan ketika diklat digunakan.

Berhubung Novi tidak ikut diklat tahun 2013, jadi saya minta kadiv dan mantan kadiv menjelaskan dengan singkat. Maklum, saya juga engga bisa. Haha. Alhasil, Novi dengan kemampuan belajarnya yang cepat segera paham dengan bentukan alam. 20 menit berlalu, sebenarnya titik sudah tepat dengan "argumen" yang cukup kuat. Kadiv pun sudah mengiyakan dengan ekspresi nonverbal. Masa 20 menit langsung udah? Novi dan saya kemudian mengecek jalur serta bentukan alam, jadi turun ke lembahan juga naik ke bukit. Setelah melihat dengan cara pandang berbeda, argumen yang dilontarkan Novi pun semakin jelas dan kuat. Well, langsung saja kami selamati keberhasilannya.

Titik berikutnya berlangsung dengan cepat, saya bahkan tidak merasakan sensasinya karena letaknya di pinggir jalan. Kami hanya perlu menyusuri paving dan sampailah di tujuan. Titik terakhir, adalah titik yang sama dengan titik terakhir Dhika Febri tahun kemarin. Hanya saja rute yang kami tempuh berbeda. Tahun kemarin melalui jalur selatan, kali ini utara. Hmm, sama-sama terjal sih. Cuma, kali ini lebih rungkut (lebat) jadi tramontina sempat keluar. Tapi tak banyak gunanya selain hiasan.

Saya melihat ada jalur terbuka apabila ambil lurus tapi Brimob, Aad, Mayang, dan Vivi belok ke arah kiri. Sama-sama lebat, tapi saya liat lurus lebih berprospek. Alhasil jalur lurus itu cukup saya sibak saja. Meskipun lebih terjal, tapi memang berprospek! Saya menemukan jalur hasil bukaan warga setempat (sepertinya), kemudian mengitari melalui kiri. Eeaa, ada Yandi dari bawah muncul tiba-tiba. Dia bilang, jalur yang ditempuh enak dan terbuka. Tapi startnya lebih ke timur lagi dari start tim yang lain. Wah wah, pengalaman memang tidak bisa diremehkan. Mantan kadiv yang satu ini emang punya insting luar biasa, mirip teman kami yang pindah tim demi meraih mimpi ke luar negeri, seperti (sebut saja) Sang Fenomenal.

Baru Yandi dan saya yang sampai puncakan, lima menit kemudian baru menyusul Febri, Dhika, dan Dyaning. Anak-anak lainnya pun sampai tak lama kemudian. Terhambat lebatnya jalur, ungkap mereka. Sama seperti tahun kemarin, puncak yang panas dan matahari yang menyengat, serta upacara. Yap, upacara untuk merayakan tuntasnya semua titik. Cukup jarang, memang. Kami menyanyikan Hymne Palapsi ditemani garangnya cahaya matahari dan terpaan angin. Kami pun turun ke bawah.

Berhubung kecepatan turun kami tidak sama, tim terbagi menjadi 3 kelompok. Saya ada di kelompok tengah. Kami terpencar. PO, yang juga berada di tim tengah, berhenti dan meniup peluit tanda untuk berkumpul. Selang 15 menit kemudian, kelompok depan datang dan kelompok belakang juga hadir. Setelah menyusun formasi jalan, kami menuju Wisma Cendana tempat motor kami terparkir. Satu jam kemudian, kami sampai. Tidak seperti tahun kemarin, kami tidak mampir ke air terjun kali ini. Surut. Air terjun kering, minim air. Saya kecewa. Mantan tim LTMJ pasti kecewa. Yah, takdir alam.

Kami beristirahat di depan Wisma Cendana, tidur-tiduran di jalan raya. Mengabadikan momen dengan kamera dan hape harga motor. Beruntunglah kami, Aad membawa apel untuk bekal. Dyaning membaginya dengan rata, meski sedikit tapi segarnya buah setelah ops sangat melegakan. Kemudian kami sholat di wisma, dan bersiap untuk pulang. PO mengeluh tertusuk duri dan minta tolong agar cewe-cewe membantunya mengeluarkan dari ujung jarinya. Para perempuan lugu pun "terjebak", beberapa menghampiri untuk membantunya. PO tersenyum-senyum aneh. Sepertinya tertusuk duri hanya alasan untuk meraih perhatian saja. Astaga.

Kami pulang. Saya dan Yandi berada di paling belakang. Membicarakan impresi pertama tim gunung ketika FUD ini. Membicarakan proses. Membicarakan kebiasaan tim gunung sebelum-sebelumnya. Membicarakan perbedaan. Membicarakan intrik. Membicarakan alasan dan argumen. Membicarakan keadaan tim. Membicarakan hal interpersonal. Membicarakan Palapsi. Membicarakan tim lama, tim LTMJ. Saya pun merindukan proses dan segala hal yang berkaitan dengan tim LTMJ. Merindukannya. Dengan. Sangat. Hujan rintik-rintik pun turun mengiringi perjalanan pulang seakan membasuh kerinduan akan peristiwa yang tak mungkin terulang lagi.